Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah setengah jam berlalu, tapi aku dan Martin masih tetap diam di depan perapian. Suasana pantai sudah tak lagi ramai. Teman-teman yang lain kebanyakan sudah kembali ke penginapan. Tinggal aku dan Martin saja di sini.
Kayu-kayu yang terbakar sudah hampir padam. Martin segera mengambil kayu lain dan melemparkannya lagi. Perapian pun kembali menyala. Entah apa yang dipikirkan olehnya, sebab sedari tadi, di mataku, Martin tampak sedang punya banyak beban.
Martin menghela napas. Pandangannya sesekali melihat ke arah pantai lepas.
"Kenapa?" tanyaku penasaran. Namun, lelaki itu hanya menggeleng.
"Sudah setengah jam, tapi kamu tak kunjung mengatakan apa pun. Sebenarnya, ada masalah apa?"
"Tidak apa-apa, Hans. Tidak ada apa-apa."
"Kenapa? Tinggal aku saja di sini, yang lain sudah pergi. Ceritakan saja masalahmu."
"Masalah?"
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Kenapa kamu tahu aku sedang ada permasalahan?"
"Ya, memang. Aku pikir semua teman-teman kita juga tahu. Mereka hanya pura-pura tidak tahu dan mungkin sungkan jika bertanya langsung kepadamu. Tapi aku, aku melihat kau memang ada sesuatu yang sedang dipendam."
Martin kembali diam.
Aku mengatakan itu bukan tanpa alasan. Aku tahu, selain kepadaku, Martin jarang sekali mau bercerita perihal masalahnya.
"Mereka tahu, tapi pura-pura tidak tahu?" tanya Martin.
"Iya. Kita semua memang kadang suka begitu, 'kan? Karena kita kadang juga berpikir, ada orang yang akan kembali seperti semula dengan cara diam seperti dirimu ini. Banyak yang suka menyelesaikan masalahnya sendiri dengan cara diam saja. Tapi, kalau kau mau bicara kepadaku, ya, tentu aku akan senang hati mendengarkan."
"Begitu, ya. Memang. Banyak orang yang kadang suka menyelesaikan masalahnya dalam diam."
"Jadi, kamu hanya mau diam saja? Sampai pagi? Di sini?"
"Kamu pergi saja, aku akan menyusul nanti."
"Nanti itu, pagi?"
"Belum tahu."
"Ya, sudah. Aku masih belum mau tidur. Aku juga akan di sini sampai pagi."
Martin tak menanggapi. Ia masih menatap perapian dengan tatapan yang nanar. Sebenarnya, apa yang benar-benar sedang sahabatku ini pikirkan? Apakah memang seberat itu?
Setelah beberapa menit berlalu, perapian hampir padam lagi. Akan tetapi, kali ini Martin tidak berusaha membuatnya kembali menyala. Perapian dibiarkan padam saja, menyisakan sisa-sisa bara yang kian meredup.
"Hans, sebenarnya aku menyukai seorang perempuan,” ucap Martin tiba-tiba saja.
Aku terkejut mendengar Martin mengatakan itu. Setelah bertahun-tahun bersahabat dengannya, sungguh ini pertama kalinya Martin bicara soal perempuan. Sebelumnya, ia tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara terbuka soal perempuan.
Aku cukup senang dengan kenyataan itu. Karena jujur saja, aku pernah berpikir kalau Martin bukan laki-laki normal. Saking tidak pernahnya ia berbicara tentang perempuan.
Aku berusaha santai menanggapinya. "Bagus kalau begitu. Lalu, apa yang jadi kendalanya?"
"Aku tidak bisa menyukainya."
"Kenapa tidak bisa? Itu hakmu."
"Maksudku, aku tidak boleh menyukainya."
"Dia sudah menikah?"
Martin menggeleng. "Belum, tapi ini sangat rumit, Hans. Aku tidak bisa bercerita lebih jauh lagi."
Mendengar kalimat Martin, aku malah jadi semakin penasaran, tapi ... tidak mungkin memaksanya untuk cerita lebih jauh, jika ia memang tidak mau.
"Baiklah kalau begitu," ucapku pada akhirnya.
Martin terlihat semakin kusut. Wajahnya murung sekali. Ya ampun.
"Memang, setiap orang pasti menemui kesulitan dalam hidup mereka. Kisah cinta yang tak berjalan dengan mulus salah satunya. Tapi, dalam kasusmu, karena perempuan yang kamu sukai itu belum menikah, seharusnya masih ada celah," ucapku berusaha menenangkan. Aku tidak berharap terlalu banyak tentang Martin akan bercerita kelanjutan masalahnya lagi. Aku tidak akan memaksanya kalau memang ia tidak mau.
"Memang. Aku juga tahu itu, Hans. Aku tahu masih ada kesempatan bagiku untuk bisa mendapatkan perempuan itu. Terlebih, aku merasa perempuan itu juga memiliki perasaan yang sama kepadaku."
Tunggu, sepertinya Martin memang mau bercerita.
"Apa kamu tidak berani mengungkapkannya?" tanyaku.
Martin mengangguk.
"Kenapa tidak dicoba saja dulu?"
"Tidak bisa."
Giliran aku yang menghela napas. Ingin kumaki Martin habis-habisan. Ingin aku mengatakan bahwa bagaimana mungkin ia bisa disebut seorang lelaki, jika tak memiliki keberanian mengungkapkan kesungguhan atas perasaan yang dimilikinya. Namun, itu tidak bisa kukatakan. Martin, aku tahu bukanlah jenis orang yang bisa bangkit dengan cara dimaki. Justru itu akan membuatnya semakin ciut.
"Martin, dengarkan aku. Kamu menyukainya, kamu juga melihat dia sepertinya memiliki perasaan yang sama kepadamu. Kalau kamu tidak juga mengatakannya, kalian tidak akan bisa bersama sampai kapan pun. Mustahil. Harus ada yang berani mengambil langkah. Kalau dia tidak berani, itu berarti dirimu yang harus maju."
"Ya, memang. Kita memang mungkin tidak akan bisa bersama sampai kapan pun. Karena itu sedikit mustahil. Aku juga tidak bisa maju."
"Tidak, Martin. Kamu harus mencobanya. Kamu harus mencoba mengungkapkan kebenaran atas perasaanmu terhadapnya. Jangan sampai kamu berakhir menyesal nantinya."
Martin memandangku. "Sekali lagi, aku tidak bisa."
"Ya, sudah. Kalau memang itu keputusanmu. Kalau memang kamu merasa tidak bisa."
Martin lagi-lagi terlihat semakin gelisah. Aku jadi semakin bingung dengan cara apa harus menenangkan sahabatku ini.
"Martin, mari bicarakan hal lain," ucapku. Semoga saja ia mau beralih topik
"Tidak ada yang ingin kubicarakan lagi, Hans."
"Baik kalau begitu."
Setelah kalimatku, untuk beberapa menit, tak ada pembicaraan di antara aku dan Martin. Aku hanya mendengar suara ombak yang sedari tadi menemani kami. Perapian sudah benar-benar padam. Hanya menyisakan kayu-kayu yang sudah menghitam dan rapuh.
"Kalau aku mengatakannya, aku pasti akan hancur, Hans. Aku tidak bisa."
Lagi, Martin rupanya masih ingin bercerita.
"Tapi, kalau kamu tidak mengatakannya, kamu juga akan hancur, bukan? Kamu akan didera perasaan gelisah terus-menerus."
Martin diam. Sepertinya ia setuju dengan apa yang kukatakan.
"Aku bingung."
"Buang kebingunganmu itu. Katakan saja pada perempuan itu. Katakan kamu mencintainya, tanpa berpikir hasil akhirnya seperti apa. Jangan pikirkan apakah dia mencintaimu juga atau tidak. Katakan saja, beres."
"Tidak semudah itu," katanya lagi. Ah, aku sudah tak mau bicara. Susah sekali meyakinkan Martin. Aku tahu, di dunia ini memang ada banyak laki-laki seperti Martin, yang sulit sekali mengungkapkan perasaan kepada lawan jenis. Akan tetapi, ya, tidak mungkin selamanya diam, 'kan?
"Hans, aku tidak bisa mengatakannya, tapi aku juga tidak bisa menahannya. Aku tersiksa."
Aku menghela napas kesal. "Sudah kubilang, katakan saja. Daripada nanti kamu menyesal."
"Tidak bisa, Hans."
"Kalau begitu, katakan saja siapa perempuan itu. Nanti aku bantu."
Martin terlihat semakin gelisah. Ia menatapku lekat.
"Aku mencintai Melisa. Kekasihmu."
Martin masih menatapku. Aku tertawa. Setelah itu, aku meninju wajahnya berkali-kali sampai ia jatuh tersungkur ke perapian dan kesulitan bangun lagi. (*)
2021