Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Jadi, kapan kamu akan nikah?”
Jika ada yang bertanya tentang pertemuan apa yang paling menakutkan di dunia ini, maka aku akan berteriak dengan lantang jika jawabannya adalah pertemuan keluarga. Sejak tiga tahun lalu, pertemuan keluarga yang pada dasarnya memang membosankan menjadi mengerikan karena serbuan pertanyaan yang sama. Dari jutaan pertanyaan yang berpotensi untuk dilontarkan, kenapa harus pertanyaan yang seperti itu yang harus ditanyakan berulang-ulang?
“Udah ada calonnya gak, Ra?”
Aku hanya tersenyum sembari menggeleng, “belum, Budhe.”
“Binta sudah nikah loh tahun kemarin, masa kamu belum? Bukannya Binta lebih muda dari kamu, ya?”
“Jodoh mah gak ada yang tau, Mayang. Kebetulan anak kamu lebih laku dari Lentera,” suara tawa mereka berayun menggelegar.
“Lihat, Binta di sana lagi sama suaminya. Sepupu kamu yang lain juga lagi sama pasangannya masing-masing. Anak Mbak Dhea yang paling bungsu aja udah mau nikah tiga bulan lagi. Makanya kamu kami ajak duduk di sini soalnya kasihan sendirian, betul kan mbak Dhea?”
“Bener, umur 28 tahun masih sendirian kan miris.”
Demi Tuhan, aku mampu melihat mereka tersenyum mengejek meski mereka bertutur dengan lembut dan manis. Aku meringis dalam hati, selalu merasa tertekan dengan situasi seperti ini. Kakak dan adik dari mamaku ini memang selalu kompak untuk menjebakku dalam genggaman mereka yang semata-mata mencari celah untuk merendahkanku.
“Jangan kelamaan jomblo lah, Ra. Perempuan itu beda sama laki-laki, masa expirednya lebih cepet. Entar makin gak ada yang mau, loh.”
Aku tertawa jenaka meski dalam hati ingin melayangkan berbagai umpatan, “Perempuan kan bukan barang, Budhe.”
Mereka saling menatap lantas Tante Mayang bersuara, “Tapi betul, perempuan lebih cepat keriput. Kalau sudah keriput terus siapa yang mau sama kamu?”
“Biarin aja Mayang, mungkin Lentera emang mau jadi perawan tua.”
Lagi dan lagi, aku hanya mampu meringis mendengar segala perkataan mereka yang menyindir dan merendahkan. Sesekali ikut tertawa jenaka yang terdengar natural padahal penuh kebohongan, skill yang aku dapat sejak adanya ketua divisi pemasaran baru di lingkungan kerjaku. Menyebalkan, aku menjadi mengingat ketua divisi yang suka seenaknya itu. Sialnya, aku berada dinaungannya karena aku adalah salah satu staff divisi pemasaran.
Let’s kill this love! Yeay yeay yeay!
“Permisi, Lentera angkat telepon dulu.”
Lantas aku buru-buru berdiri dan pergi dari lingkaran meja kematian ini. Dalam hati aku bersorak senang karena bisa terbebas dari para tante-tante itu namun pada detik selanjutnya bahuku merosot lesu ketika melihat siapa pelaku yang tengah meneleponku ini.
Ketua Divisi Maniak
Aku merengut sebal sebelum mengangkatnya, “Halo, ada perlu apa, Pak?”
“Tolong laporan stock di gudang yang hari Jumat dikirim malam ini ke e-mail saya.”
“Tapi Pak, sekarang hari Minggu. Apa tidak bisa me—”
Titt… Titt… Titt…
“Ketua sialan,” umpatku kesal.
Jika ada seseorang yang harus disalahkan mengenai aku yang belum menikah sampai sekarang maka seseorang itu adalah ketua divisiku sendiri. Bagaimana aku bisa memikirkan soal pernikahan atau setidaknya hubungan asmara jika selama setahun ini yang bisa aku pikirkan hanya deadline pekerjaan. Setahun ia menjabat sebagai ketua divisi, setahun itu pula aku selalu dikejar-kejar deadline. Aku memijat pangkal hidungku, baru saja diserbu dengan tenggat waktu pernikahan, sekarang aku diserbu oleh tenggat waktu pekerjaan. Aku berjalan lesu ke arah kedua orang tuaku yang sibuk berbincang dengan saudara-saudara papa, sepertinya aku harus meminta izin untuk pulang lebih dulu.
♦ ♦ ♦ ♦
“Kenapa lu, Ra? Kusut amat tuh muka pagi-pagi gini kayak belum disetrika.”
Aku hanya menghela napas lelah, memilih untuk berjalan ke kubikelku lantas duduk sebelum membalas pertanyaan dari wanita yang empat tahun lebih tua dariku ini, “gara-gara ketuamu, mbak.”
Dengan gerakan gesit lantas ia memundurkan kursinya, posisi yang ia ambil ketika hendak bergosip. Mbak Selena, begitu aku memanggilnya, ia adalah wanita berumur tiga puluh dua tahun yang berasal dari ibu kota dan sudah bekerja di kantor ini selama empat tahun. Divisi pemasaran sebenarnya terdiri dari lima orang, ketua divisi, aku, Mbak Selena, Yudha, dan Hana. Di antara kami, mbak Selena lah yang paling lama di sini setelah itu aku dan Yudha yang sudah bekerja selama dua tahun dan yang terakhir datang adalah Hana dan ketua divisi kami yang baru satu tahun bekerja di sini.
“Diapain lagi lu sama Pak Bintang, Ra?”
Aku meringis mendengar kalimatnya yang terkesan ambigu, memilih untuk menghidupkan komputerku karena sungguh, masih banyak yang harus kerjakan dibandingkan meladeni Mbak Selena dengan segala rasa keingin tahuannya. Ketika komputer sudah menyala, aku melirik sebentar ke arah Mbak Selena yang tetap menatapku penasaran.
“Aduh mbak, nanti aja deh. Emang mbak gak ada kerjaan pagi-pagi begini ngegosip?”
Mbak Selena terkekeh, “yaelah, Ra. Jam segini masih kepagian kali buat kerja, enaknya di awalin dengan gosip dulu kayak biasanya.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya, beralih untuk membuka suatu file untuk melanjutkan pekerjaanku, “gak ada waktu mbak, Pak Bintang tuh minta laporan tentang stock gudang bulan ini selesai setelah jam makan siang hari ini.”
“Bukannya laporannya buat akhir pekan ini?”
“Nah itu dia, Mbak!” aku berteriak, sembari memundurkan kursiku.
“Ssstt jangan teriak kenceng-kenceng woi, Pak Bintang udah ada di ruangannya,” Mbak Selena terlihat menunjuk ke arah ruangan ketua divisi dengan sebelah tangan yang mengelus dadanya.
Aku terkekeh, sepertinya terlalu membara hingga tak sadar berteriak cukup kencang. Aku melirik sekilas ke arah jam di ruangan yang menunjukkan pukul setengah delapan pagi, setidaknya masih banyak waktu untuk mengerjakan laporannya. Sepertinya, bergosip sebentar tidak masalah, maka aku beralih membentuk formasi seperti biasanya ketika kami akan bergosip ria.
“Tadi katanya kagak ada waktu buat ngegosip,” sindir Mbak Selena ketika melihatku sekarang yang bersemangat.
Mendengus kesal mendengar sindiran itu namun aku tetap membuka suara, “Pak Bintang kemarin nelepon siang-siang mbak waktu aku lagi acara keluarga, katanya laporan stock bulan ini harus jadi malam itu juga. Maniak gak sih tuh orang, udah nelepon siang-siang waktu hari libur, ngasih deadline mepet pula. Dikira aku gak ada urusan lain selain kerjaan apa ya.”
“Wah sinting, lu harusnya minta kenaikan gaji sih, Ra. Tapi emang Pak Bintang tuh suka banget ngasih kita deadline tiba-tiba gitu, gila kerja kayaknya sih dia. Apa efek karna jomblo ya? Gua denger dia udah bertahun-tahun gak ada pasangan.”
Aku melipat kedua tanganku di depan dada, “Mbak jangan bawa-bawa jomblo deh, tersinggung nih. Aku jomblo tapi gak gila seperti Pak Bintang.”
Mbak Selena terbahak membuatku makin kesal saja. Satu menit, sekitar itu aku menunggu hingga tawa Mbak Selena mereda dan kembali memfokuskan diri padaku. Memang, jika urusan menertawai statusku yang masih sendiri ini, Mbak Selena adalah orang yang paling semangat.
“Terus kalau laporan lu diminta semalem, lu tadi mau ngerjain apaan dah?”
“Nah itu mbak!” aku meraih tas yang ada di atas meja kerjaku, merogoh ponsel yang ada di dalamnya sebelum kembali memposisikan diri seperti semula dengan tangan yang mengacung memegang ponsel, “lihat!”
‘Tolong di revisi, saya tunggu besok setelah jam makan siang.’
Tawa Mbak Selena pecah kembali, “Pak Bintang kebiasaan dah.”
Aku merengut kesal sembari mengangguk-angguk, “Bener-bener gila, itu udah jam dua belas malem dan dia bilang seenak jidatnya minta di revisi. Kalau bukan ketua, udah aku cabik-cabik Pak Bintang, serius deh Mbak.”
“Eh eh bentar deh, Ra,” tiba-tiba dirampas ponselku, Mbak Selena terlihat menelisik e-mail yang dikirim oleh ketua divisi maniak itu.
“Ada yang beda dah,” aku mengernyit, mendekatkan kursi semakin mendekat ke arah Mbak Selena sembari mengintip pada apa yang ia lihat.
“Apaan sih, Mbak. Gak ada apa-apa tuh,” aku mengernyit penasaran, memang apanya yang aneh dari e-mail itu selain mengandung unsur yang mampu membuat darah tinggi?
Mbak Selena terlihat mengambil ponselnya sendiri, mengotak-atiknya sebentar sebelum kembali, “Pak Bintang bilang minta tolong!”
“Apaan sih, Mbak, gak penting! Dia kan emang selalu ada kata minta tolongnya kalau minta revisian,” aku mendengus mendengar pernyataannya yang jauh dari ekspetasi, aku kira ada sesuatu yang heboh taunya hanya sebatas informasi tidak berguna.
“Lu lihat dah bocah, perbedaan balasan e-mail dia ke lu sama ke gua,” terlihat Mbak Selena yang menggeram sembari menunjukkan balasan-balasan e-mail Pak Bintang padaku.
‘direvisi, besok harus jadi.’
‘direvisi, lusa harus jadi.’
‘direvisi, minggu depan harus jadi.’
“Eh iya juga ya, cara dia balasnya ke aku kayak lebih sopan gitu gak sih?”
“Itu dia! Wah, wah tanda-tanda apa nih,” Mbak Selena tersenyum jenaka lantas aku balas dengan senyum yang sama, “tanda kalau derajatku lebih tinggi dari Mbak Selena.”
Selanjutnya yang terjadi adalah Mbak Selena yang memukul kepalaku dengan ponselku sendiri, ia mengembalikan ponselku dengan tatapan kesal sedangkan aku cekikikan, “bener-bener ya, si jomblo satu ini.”
Aku merengut, “iya deh yang udah nikah sama punya anak, si paling bekeluarga pokoknya.”
Gantian Mbak Selena cengengesan, “lagian lu umur segini, pacar aja kagak punya. Perasaan lu gak jelek-jelek amat dah, Ra.”
“Yang bilang aku jelek siapa sih, Mbak? Emang belum ada jodohnya aja ini mah,” ucapku berapi-api.
Teringat akan sesuatu, aku bergeser mendekat ke arah Mbak Selena. Sejujurnya, aku cukup penasaran dengan dunia pernikahan, terlebih dengan segala tekanan yang seolah menyuruhku untuk cepat menikah saat ini membuatku mau tak mau memikirkannya. Mbak Selena memang terkadang menceritakan tentang anaknya atau sesekali suaminya, tapi aku rasa aku perlu lebih banyak konsultasi pada Mbak Selena yang sudah menginjak pernikahan di tahun keenam.
“Apa? Lu mau tanya tentang nikah? Tumben amat.”
“Kok Mbak kayak cenayang sih. Tapi iya nih, mau tanya-tanya tentang pernikahan dong Mbak Suhu. Biasalah, kemarin di desak lagi suruh nikah sama tante-tante tuh padahal mama papa aja santai.”
Mbak Selena terkekeh, “biasalah itu, Ra. Menurut gua, seumuran lu kagak tua-tua amat untuk seukuran wanita karir yang belum nikah. Tapi, menurut gua sih lu seengaknya punya pacar aja dulu, terakhir bukannya lu pacaran dua tahun lalu waktu baru masuk sini?”
“Bener sih, Mbak. Terlalu fokus pekerjaan jadi waktu itu putus, mau nyari yang baru jadinya agak takut. Apalagi tau kan sejak Bu Karin diganti sama tuh ketua maniak yang suka minta revisi dan ngasih deadline seenak dengkulnya aja. Gimana mau mikirin nyari laki coba kalau gitu, bisa liburan aja syukur!”
“Justru, itu! Lu terlalu sibuk kerja sampe lupa sama diri sendiri. Sejujurnya, nikah itu ada enak dan gak enaknya. Tapi gua yakin dah, kalau lu pilih calon yang tepat lu bakalan mikir ‘kenapa ya, kok kagak nikah dari dulu’.”
“Nikah tuh buat lu punya seseorang yang bisa lu ajak diskusi apa aja, seseorang yang bisa jadi tempat lu keluh kesah entah itu tentang pekerjaan ataupun hal random sekaligus. Temen sama pasangan tuh rasanya beda, kalau pasangan lu tepat, yakin dah lu pasti ngerasa dunia akan baik-baik aja asal sama dia. Nikah tuh buat lu punya temen hidup sampai nanti ajal menjemput, Ra.”
“Gini deh, lu kerja capek-capek gini buat siapa? Sebenernya apa yang lu kejar, apa sih tujuan lu selain untuk bertahan hidup? Kalau lu banyak duit, buat apa duit itu? Banyak duit kalau kita cuma sendirian, apa rasanya kagak hampa? Kalau lu punya pasangan apalagi anak, pasti itu semua terjawab. Bayangin capek-capek kerja, pulang ke rumah ada suami sama anak, rasanya bahagia banget.”
Aku termangu, meresapi setiap perkataan Mbak Selena. Pikiranku melayang pada keseharianku yang monoton, terlintas angan rasanya mempunyai keluarga kecil sendiri. Mengingat bagaimana Mbak Selena selalu tersenyum ketika membicarakan suami atau anaknya. Benar juga, sebenarnya apa yang aku kejar selama ini dengan mendedikasikan diri dengan bekerja dan bekerja saja?
Aku kembali ke permukaan ketika Mbak Selena menepuk pundakku, “nikah itu pilihan, lu gak mau nikah juga hak lu. Tapi gua pesen aja, lu jangan takut buat nikah atau memulai hubungan. Semua cowok tuh gak sama, Ra.”
Mbak Selena tiba-tiba tersenyum jenaka, “ada yang kek Pak Bintang, ada yang kek si Yudha. Lu pilih dah, mau yang gila kerja atau yang gila beneran?”
“Siapa yang lu bilang gila beneran, Mbak Sel?”
“Eh Yudha tumben bareng Hana, enak ya lu berdua udah datang telat malah asik kencan!”
“Enak aja, Hana mana mau sama Mas Yudha! Hana udah tunangan, mending mas Yudha sama Mbak Lentera aja sana hush jauh jauh nanti timbul fitnah!”
Aku hanya tertawa menyaksikannya, bagaimana Hana yang buru-buru berjalan ke arah kubikelnya dan Yudha yang menatap kesal ke arahnya serta Mbak Selena yang sudah terbahak sebelum akhirnya berteriak setelah Yudha dengan berani menginjak kakinya. Aku menggelengkan kepala melihat dua orang asal ibu kota itu mulai adu mulut sedangkan Hana terlihat santai di kubikelnya dengan ponsel yang ia tempelkan di telinga. Aku mengecek jam yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, dengan ricuh aku segera kembali pada posisiku yang seharusnya sembari terburu-buru mengecek file yang harus aku revisi.
Aku melirik sekilas ke arah Yudha yang sudah duduk di kubikelnya dimana tepat berada di samping kananku, aku bergeser dan menyembulkan diri ke pembatas kubikel kami, “jadi beneran kencan sama Hana, Yud?”
Yudha menoleh, “Enggak anjir, tadi sebelum ke sini, survei toko dulu bentar bareng si Hana. Ogah gue jadi perusak hubungan orang. Kenapa emang?”
“Oh, bebebku ini cemburu ya,” spontak aku menampar mulutnya ketika Yudha yang sebelumnya berniat menghidupkan komputernya justru berbalik menghadapku dan membuat ekspresi aneh sembari memanyunkan bibirnya.
“Geli, Yudha!”
“Aduh bebeb Lentera kalau cemburu lucu banget, sayang sayang.”
Dengan gerakan cepat aku melepas high heelsku dan mengacungkannya, mengambil aba-aba untuk meluncurkannya tepat ke wajah Yudha yang sok menggemaskan itu. “Ampun nyai! Buset, Ra, galak mulu lu!”
Aku mencebik kesal sembari memasang kembali high heelsku, “bantu aku revisi laporan dong, Yudha.”
“Bener-bener ya lu, abis mau gebukin gue malah minta tolong,” aku hanya terkekeh melihat Yudha yang merengut kesal.
Meskipun dengan wajah ditekuk, Yudha tetap beranjak dari kursinya dan menghampiri kubikelku. Aku tersenyum cerah, meskipun Yudha sedikit aneh tapi ia adalah teman kerja yang baik, terlebih kami seumuran sehingga lebih nyaman bagiku untuk meminta bantuannya.
“Yudha pernah ditanya kapan nikah gak?” tanyaku pada Yudha yang kini sibuk mengecek file di komputerku.
“Pernah, sesekali doang, seringnya bercandaan dari temen-temen sih” jawabnya tanpa menoleh sekalipun padaku.
“Kalau acara keluarga gitu, suka disuruh nikah gak?”
“Enggak, Lentera. Kalau ditanya pun ya gua jawab aja fokus nyari duit, mereka pun paham. Cowok buat nikahin cewek kan kudu mapan dulu buat bayarin nikah, resepsi, rumah, belom lagi nafkahinnya. Lagian keluarga gue emang mendukung keberhasilan karir daripada buru-buru nikah.”
Aku mengangguk meski Yudha tidak melihatnya, rasa iri menyeruak kala membayangkan betapa enaknya menjadi seorang lelaki, seorang Yudha. Tiba-tiba terngiang perkataan-perkataan Mbak Selena tadi. Baik Mbak Selena maupun Yudha, keduanya terlihat sangat bahagia dengan pilihan mereka sekarang tanpa ada tekanan yang nyata.
“Kalian berisik sekali tadi. Saya harap semuanya fokus bekerja, untuk Lentera sebisa mungkin kerjakan sendiri tugas kamu. Yudha kamu memangnya tidak punya tugas yang harus dikerjakan? Nanti setelah makan siang, saya mau tugas kalian semua selesai dan dikumpulkan ke ruangan saya tanpa terkecuali!”
Aku berjengit terkejut ketika Pak Bintang sudah berada di depan kubikelku, tak hanya aku yang kaget tapi yang lain pun juga. Mbak Selena yang tadi terlihat santai mengerjakan sesuatu di komputernya terlihat tegang dengan pundak yang tegap, Hana yang tadi memoleskan gincu seketika bergerak panik dan fokus pada komputernya, sedangkan Yudha yang tengah memberikanku arahan mendadak terpotong dan lantas terbirit menuju kubikelnya.
“Maaf, Ra. Gue gak bisa bantu dulu, ada laporan tentang toko tadi yang harus gue kerjain.”
Aku mengangguk kecil, tersenyum ke arah Yudha yang menyempatkan diri menampakkan dirinya melalui pembatas kubikel kami hanya untuk meminta maaf ketika Pak Bintang mulai melangkah pergi. Aku menatap punggung tegap Pak Bintang yang terlihat menjauh. Terbersit rasa penasaran, di umurnya yang tiga puluh tahun, kira-kira dia nyaman tidak ya dengan status bujangnya saat ini?
♦ ♦ ♦ ♦
“Gaji lu pada udah cair gak?” tanya Yudha yang tengah menatap layar ponselnya.
Kami bertiga kompak mengangguk, saling tersenyum menatap layar ponsel masing-masing. “Gila sih, cinta banget sama nih perusahaan meskipun ketua divisi kita agak laen.”
Aku terbahak mendengar penuturan Mbak Selena, “agak laen tapi kalau bonusnya begini sih aku ikhlas.”
“Pulang kerja hari ini, aku mau traktir tunangan aku, saran tempat makan yang enak dong.”
“Eh gua juga mau ngajakin suami sama anak gua makan, di restoran deket hotel yang baru berdiri sebulan kemaren tuh enak makanannya.”
“Yang mana Mbak Sel? Gue juga mau traktir temen-temen gue nih.”
Lantas semuanya sibuk berdiskusi mengenai tempat makan mana yang paling enak, sedangkan aku hanya terdiam, meringis iri namun juga senang melihat mereka semua bahagia dengan caranya masing-masing. Teringat kata-kata Mbak Selena bulan lalu, sebenarnya apa yang aku kejar?
Lamunanku lantas buyar ketika suara ricuh dari teman kerjaku yang terbirit-birit menuju kubikelnya masing-masing. Aku melirik ke ruangan ketua divisi dan benar saja, Pak Bintang berjalan dari sana menuju kubikelku dengan langkah yang arogan. Tak dapat aku pungkiri jika ketua divisi kami ini memiliki aura yang kuat.
“Laporannya sudah selesai, Lentera?” tanyanya ketika sudah berdiri di depan kubikelku.
“Sudah, Pak.”
“Kalau begitu cepat bawa laporannya, rapat sudah akan dimulai.”
Aku buru-buru merapikan laporan-laporan yang dibutuhkan untuk rapat kali ini. Sejatinya, menghadiri rapat antara divisi pemasaran dan design bukanlah tugasku. Aku sama sekali tidak memiliki tugas untuk menghadiri rapat apapun, kecuali ketika ketua divisi berhalangan. Tapi lihat sekarang, ketua maniak nan gila ini justru menyuruhku untuk mendampinginya. Parahnya, ia baru memberi tahu 30 menit sebelum rapat dimulai!
“Pak, ini saya beneran ikut rapat? Inikan bukan tugas saya,” tanyaku sekali lagi untuk memastikan, sejujurnya pertanyaan ini sudah beberapa kali aku lontarkan tapi apa salahnya menanyakan lagi, siapa tau dia berubah pikiran.
Ia hanya menatap sekilas, “cepat, Lentera.”
“Buruan Ra, susulin. Manajer pemasaran si Pak Bruto kan lagi gak hadir hari ini, ada rumor katanya dia mau resign. Nah ini kesempatan, Pak Bintang bakalan diangkat jadi manajer, terus lu bisa aja kemungkinan jadi ketua divisi kalau ikut rapat ini.”
Aku memandang Mbak Selena dengan laporan yang sudah berada dipelukan, “serius, Mbak?”
“Buruan oon, malah gosip lu di sini sama Mbak Sel,” aku meringis ketika Yudha mendorong-dorong punggungku untuk pergi.
Selama rapat, aku benar-benar memfokuskan diri pada paparan Bu Gisel, ketua divisi design yang kini mempresentasikan design koleksi baru untuk bulan ini. Sesekali aku mencatat hal-hal yang penting, sepintas merasa sesuatu terasa kurang cocok dengan apa yang tengah dipresentasikan. Aku mengigit bagian belakang bolpoin yang aku genggam sembari semakin memfokuskan diri ke layar proyektor, mencoba menemukan sesuatu yang mengganjal tersebut.
“Sekian presentasi dari saya, apa ada yang ingin di sampaikan?”
“Design nya bagus, tapi saya pikir ada sesuatu yang salah di sini,” Pak Bintang membuka suara yang membuatku penasaran karena kita memiliki pemikiran yang sama.
“Lentera, coba katakan sesuatu tersebut.”
“Eh eh,” mataku membola ketika Pak Bintang justru menyuruhku untuk menjelaskannya. Sialan, gimana cara aku menjelaskannya, memangnya aku ini bisa meramal isi pikirannya? Tentu saja tidak!
Aku menatap orang-orang di sekitar yang menunggu jawaban dariku. Dua kali lipat sialan, aku tidak boleh salah bicara jika ada manajer dan ketua divisi design di sini, terlebih ada direktur yang sedari tadi juga menatapku penasaran.
“Itu, saya rasa rancangan konsep yang luar biasa tidak cukup untuk koleksi baru bulan ini. Itu karena target kita adalah wanita berumur 30-40 tahun, sedangkan design warna yang dipresentasikan Mbak Gisel terlalu cerah dan mencolok terlebih dengan heels yang cukup tinggi,” aku mencoba mengatur napas setelah berhasil menyampaikan apa yang aku pikirkan dengan lancar, bersyukur dalam hati karena tidak bicara tergagap-gagap.
“Wanita dengan umur 30-40 tahun lebih cocok dengan warna-warna seperti hitam, coklat, ataupun warna-warna nude, mereka bukan gadis remaja atau wanita berumur 20 tahunan yang sangat suka dengan warna-warna cerah dan lucu. Di umur mereka yang segitu, mereka juga akan lebih nyaman dengan flat shoes atau setidaknya sepatu yang memiliki hak yang rendah, ayolah umur mereka sudah tidak muda lagi jadi kenyamanan itulah yang lebih utama. Bukan begitu, Lentera?” aku hanya mengangguk menyetujui perkataan Pak Bintang.
“Aku tidak setuju, kita butuh sesuatu yang fresh dan tidak monoton seperti itu,” Bu Gisel berujar sengit, aku yakin ia pasti tidak terima karyanya diprotes.
“Dan membiarkan koleksi kita tidak laku di pasaran?” tanya Pak Bintang tak kalah sengit.
Seketika perdebatan terus berlanjut antara Pak Bintang dan Bu Gisel yang sesekali ditanggapi oleh manajer design yang mendukung Bu Gisel dan aku yang mengangguk dan terkadang bersuara untuk memvalidasi perkataan Pak Bintang, untuk sekarang aku setuju dengan semua yang diungkapkan oleh Pak Bintang. Perdebatan ini lantas membuatku tersadar, jika Pak Bintang bukan hanya seorang ketua maniak yang gila kerja tapi ia memang seseorang yang berkompeten.
“Terima kasih atas diskusi hari ini,” kami semua berjabatan bergantian sembari tersenyum satu sama lain.
Jika ditanya siapa yang menang, maka jawabannya adalah divisi pemasaran. Secara Ajaib, direktur memutuskan jika pernyataan Pak Bintang adalah suatu yang benar sehingga divisi design diharuskan sedikit merubah rancangannya. Mengapa aku bilang ajaib, itu karena dari rumor yang aku tau, selama ini para petinggi perusahaan sangat mengelu-elukan divisi design, mereka seperti anak emas dan kesayangan perusahaan ini. Lagi, aku dibuat takjub dengan kinerja Pak Bintang.
“Panggil Mbak Gisel saja ya. Lentera, nanti setelah pulang kerja mau makan bareng sama Mbak?” aku menelan ludah gugup mendengar ajakan darinya sebelum terpaksa mengangguk karena akan sangat tidak sopan jika menolak tawarannya yang bisa saja sekali seumur hidup ini.
♦ ♦ ♦ ♦
Gisella Victoria, merupakan wanita yang menakjubkan menurutku. Beberapa kali aku mendengar rumor di kantor dimana semua rumornya selalu memuja-muja wanita berumur tiga puluh lima tahun ini, ia cantik, pintar, dan juga berkompeten, karya design nya selalu luar biasa dan melejit. Sudah bekerja di perusahaan yang sama denganku selama empat tahun, Mbak Gisel tetap bertahan sampai sekarang. Bisa dibilang, Mbak Gisel adalah salah satu pilar yang membuat perusahaan kami kokoh karena karyanya yang luar biasa.
Maka ketika ia mengajakku makan malam di salah satu restoran dekat kantor, aku gugup setengah mati. Memakan potongan kue red velvetku dengan pelan, sesekali melirik Mbak Gisel yang tengah menikmati kue tiramisu nya dengan elegan. Di umurnya yang sekarang, Mbak Gisel masih terlihat amat cantik. Lantas mengapa ada rumor yang mengatakan jika wanita di depanku ini masih single?
“Dilihat dari rapat tadi, kamu salah satu bibit unggul divisi pemasaran, ya.”
Aku tersenyum malu, “enggak juga, Mbak.”
Terlihat Mbak Gisel tersenyum tipis, “kalau Bintang udah gak usah di tanya, arogan tapi meski aku sulit mengakui, semua argumennya memang luar biasa.”
Aku mengangguk kecil, menyetujui perkataan Mbak Gisel kali ini. “Kamu juga hebat, Lentera. Mungkin setelah Bintang naik jabatan nanti, kamu yang akan menggantikan posisinya.”
Aku menggeleng, “enggak juga Mbak, ada Yudha teman divisiku yang lebih cocok jadi pemimpin, ada Mbak Selena juga yang udah tiga tahun kerja di perusahaan.”
Mbak Gisel terkekeh, “jangan pesimis gitu, Yudha teman divisimu itu belum tentu jadi ketua divisi, saya paham pikiran kamu. Ingat kata Mbak ini, ketua itu gak harus laki-laki, enggak juga ditentukan dari seberapa lama kamu bekerja di perusahaan tapi seberapa pantas dan seberapa berkompetennya kamu untuk jadi ketua di divisi itu.”
Aku mengangguk lamat-lamat sementara Mbak Gisel menyeruput minumannya, “Lentera umur berapa?”
“Umur 28 tahun, Mbak.”
“Udah nikah?”
Aku menggaruk pipiku yang sebenarnya tidak gatal, “udah didesak sih, tapi calonnya aja gak punya, Mbak.”
“Santai, mbak aja belum nikah kok. Percaya gak kamu?”
Mendengar pertanyaannya lantas membuatku spontan kembali menggaruk pipiku, “percaya, denger rumor katanya Mbak Gisel masih single, hehehe.”
Mbak Gisel ikut terkekeh, “mau tau gak alasannya?”
Aku mengangguk antusias, jujur sangat penasaran akan alasan apa kira-kira yang membuat wanita semenakjubkan Mbak Gisel tetap bertahan pada kesendiriannya. Anggap lah ini salah satu hari beruntungku, kapan lagi konsultasi terkait percintaan pada orang yang memilih untuk sendiri. Lantas aku merapatkan kursiku dengan meja, menatap lekat Mbak Gisel yang duduk di depanku yang tengah menyeruput kembali minumannya sebelum beralih menatapku.
“Jika wanita sudah punya segalanya, ia tidak butuh pria di hidupnya.”
“Eh?”
“Mbak itu wanita yang mandiri, bisa melakukan semuanya sendiri, menghasilkan uang sendiri. Jadi kehadiran pria tidak terlalu penting, prinsip Mbak itu jangan biarkan pria datang hanya untuk menghancurkan apa yang sudah susah payah dibangun. Kan banyak tuh pria berengsek di luar sana, anggap saja Mbak terlalu pemilih karena sudah nyaman sendiri.”
Aku melongo dan siap melontarkan pikiran hasil dari mendengarkan Mbak Selena, “tapi apa Mbak gak ngerasa kesepian? Sebenernya Mbak kerja keras untuk siapa? Apa yang dikejar? Bukannya dengan membangun rumah tangga terasa lebih menyenangkan?”
Mbak Gisel terkekeh, “benar, membangun keluarga baru, memiliki pasangan dan anak adalah salah satu kebahagiaan. Tapi, kebahagiaan itu bukan satu-satunya.”
“Gini, kalau ditanya kesepian pasti pernah tapi Mbak engga ngerasa itu suatu hal yang menyedihkan, Mbak menikmatinya. Mbak kerja keras untuk diri sendiri, yang Mbak kejar itu rasa puas ketika melihat kerja keras Mbak diapresiasi dan disukai banyak orang, rasa puas ketika orang-orang ikut bahagia karna Mbak. Pada dasarnya, kebahagiaan orang itu berbeda-beda, yang terlihat menyedihkan menurut orang lain belum tentu semenyedihkan itu untuk orang yang mengalaminya.”
“Orang tuamu masih lengkap?” aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mbak Gisel, masih terlalu takjub untuk berkata-kata.
“Nah, kamu bisa jadikan orang tua kamu tujuan kamu, kebahagiaan mereka sebagai sesuatu yang kamu kejar selama ini. Ini bukannya Mbak menghasut kamu untuk tidak menikah loh ya. Hanya saja, biarkan saja semuanya mengalir, jangan terlalu memaksakan diri. Kita ini manusia bukan sepatu.”
Aku terdiam cukup lama sebelum ikut tersenyum bersama Mbak Gisel, “Benar, kita bukan sepatu. Sepatu yang selalu berpasangan, sepatu yang tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri tapi mereka lah yang dipilih, sepatu yang harus menyesuaikan diri dengan minat pasar, sepatu yang harus rela menjadi barang jadul karena design mereka yang sudah ketinggalan zaman, sepatu yang harus rela berdebu karena sudah tidak cocok dengan selera pasaran. Bukan begitu, Mbak?”
“Cerdas.”
Sejatinya, aku sangat menikmati dan mensyukuri makan bersama dan berbincang dengan Mbak Gisel kali ini. Kami bertukar pikiran tentang wanita, perusahaan, bahkan tentang suatu hubungan. Maka setelah Mbak Gisel berpamitan untuk pulang lebih dulu, aku segera merogoh ponsel yang berada di dalam tas selempangku. Mencari kontak seseorang kemudian meneleponnya, berdoa agar panggilanku di angkat.
“Halo, Lentera. Ada apa sayang?”
“Mama sama Papa lagi sibuk gak malam ini?”
“Kebetulan engga ada kerjaan, kenapa sayang?”
Aku tersenyum, hari ini benar-benar hari keberuntunganku, “aku mau ngajakin Mama sama Papa ke restoran paling mewah di Surabaya malam ini, bisa?”
Sekilas, aku mendengar suara mama yang terkekeh di seberang sana, “boleh dong, maaf ya kalau Mama sama Papa gak terlalu banyak punya waktu buat kamu.”
“Ssstt, ini bukan sesi minta maaf, hari ini harus bahagia. Lentera dapat bonus banyak bulan ini!”
Pekikan ringan dari Mama lantas mendatangkan desir menggembirakan pada relung-relung jiwaku. Aku tersenyum sangat lebar sepanjang telepon, menemukan sebenarnya apa yang aku kejar untuk saat ini. Benar, kita adalah manusia dan bukan sepatu, maka biarkan semua ini mengalir apa adanya. Kita cukup jalani dan nikmati.
♦ ♦ ♦ ♦
“Jadi, kapan kamu bakalan nikah, Ra?”
Jika selama tiga tahun ini aku menganggap semua yang berkaitan dengan pertemuan keluarga adalah hal yang paling mengerikan maka aku kembali ke titik dimana merasa semuanya biasa saja, hanya bosan sesekali. Seperti biasa, Budhe Dhea akan mencuri kesempatan untuk membuatku berada di sekitarnya lantas melontarkan pertanyaan yang sama semenjak tiga tahun ini. Tapi ada yang berbeda kali ini, tidak ada tante Mayang bersamanya.
“Lentera lagi fokus kerja, Budhe. Apalagi besok ada kenaikan jabatan, jadi Lentera gak bisa nyusul anak Budhe yang sekarang, dia kan enak habis lulus kuliah, belum kerja udah nikah aja. Lentera mah bisa apa, gak ada yang lamar kecuali pekerjaan,” aku tersenyum semanis mungkin.
Wajah Budhe Dhea terlihat memerah kesal, “enak dong anak saya gak usah kerja ada yang nafkahin. Kamu kerja kerja mulu buat apa? Yang ada jadi perawan tua.”
“Bukannya anak Budhe gak kerja karna gak keterima kerja ya? Nganggur satu tahun sampai yang datang lamaran nikah bukan lamaran pekerjaan. Lentera kan selesai wisuda langsung dapat lamaran kerja, jadi Lentera ambil lah, Budhe. Emang Lentera salah sih terlalu sibuk kerja jadi bisa ngasilin duit sendiri, terlalu fokus kerja sampai gak sadar udah mau naik jabatan aja jadi ketua divisi.”
Aku terkekeh dalam hati melihat muka Budhe Dhea yang semerah gincunya, melirik sekilas ke arah pengantin yang berada di panggung. Sebenarnya aku tidak tega berkata jelek tentang sepupuku sendiri tapi karena mamanya ini menyebalkan jadi aku tak tahan untuk balik menyindir. Budhe Dhea terlihat mengap-mengap, membuka mulutnya seperti ikan yang hendak menyemburkan sesuatu. Aku yakin ia akan menyumpahiku, tapi mamaku datang lebih cepat sebelum ia melancarkan umpatannya. Satu fakta yang aku ketahui, meskipun mamaku adalah anak tengah tapi Budhe Dhea terlihat ciut jika berhadapan dengannya.
“Mayang kemana, Mbak? Kok aku gak lihat dia dari tadi?” tanya mama sembari celingukan.
“Mayang gak dateng, dia lagi di pengadilan agama nemenin si Binta.”
Aku menutup mulutku terkejut sedangkan Budhe Dhea menatap sinis kepadaku. Ku lirik mama yang mengisyaratkan diriku untuk pergi, entah karena ingin membicarakan sesuatu dengan Budhe Dhea atau menyelamatkanku dari budhe ular itu. Maka aku menunduk dan berpamitan untuk pergi. Langkahku ringan menuju meja yang di atasnya disajikan berbagai jenis kue. Aku sedikit menyipitkan mata ketika melihat seseorang yang tidak asing tengah berdiri menyamping sembari memainkan ponselnya. Mencoba abai, aku mengambil berbagai jenis kue sebelum memakannya dengan riang. Aku merasa lebih berseri-seri malam ini. Entah karena kejadian tadi atau karena besok aku akan resmi naik jabatan menjadi ketua divisi pemasaran.
“Selamat atas kenaikan jabatannya,” aku melonjak kaget ketika mendengar suara Pak Bintang yang tiba-tiba berada di depanku.
“Pak, ngagetin aja. Untung muka Bapak gak saya timpuk pakai kue-kue ini,” aku mengelus dada sabar sedangkan Pak Bintang hanya tersenyum kecil, menyebalkan!
“Besok saya jadi manajer dan kamu ketua divisi, semakin luas kesempatan saya untuk memberikan kamu deadline.”
Aku melotot, apa apaan sih ketua maniak ini! Membuat moodku jadi rusak saja! “Bapak ngapain sih di sini!”
“Loh, kok tidak terima? Mempelai prianya itu teman kuliah saya dulu.”
“Mempelai wanitanya itu sepupu saya!”
“Saya tidak bertanya, Lentera.”
Aku bungkam sesaat, mencoba membuka suara namun yang keluar hanya kata-kata yang tidak beraturan, entah apa yang sebenarnya ingin aku katakan karena sebenarnya saat ini aku hanya merasa malu, wajahku menjadi panas padahal gedung ini memiliki banyak pendingin ruangan.
“Deadline itu ada untuk membuat orang disiplin. Deadline itu diciptakan untuk membentuk seseorang lebih berusaha mencapai sesuatu sebelum batas waktunya habis, karakter seseorang bisa dibentuk lebih baik karena adanya target yang dituju. Tapi, deadline ada untuk mengasah bukan untuk membebankan, maka sebenarnya yang mampu menentukan batas waktunya itu adalah diri sendiri bukan orang lain. Diri sendiri yang mampu mengukur kemampuan sampai batas mana dan sampai pada target apa yang bisa kita raih.”
Aku mengangguk-angguk malas meskipun dalam hati selalu setuju pada setiap perkataan bijak yang tiba-tiba keluar dari mulutnya, “paham, Pak. Bapak ngasih deadline ke kami untuk mengasah kami, kan.”
“Iya. Saya mungkin bisa ringanin satu deadline kamu.”
Aku yang sebelumnya memakan kue-kue dengan keadaan lesu lantas tersenyum sumringah, “beneran, Pak?”
Pak Bintang mengangguk tapi terasa ada yang salah di sini, kenapa ketua maniak ini justru merampas piringku yang berisi kue-kue lantas meletakkannya pada meja yang ada di sebelah kami? Aku menatap bingung yang bergulir menatap waspada pada Pak Bintang yang kini meraih kedua tanganku kemudian menggenggamnya. Aku mengedipkan mata dengan cukup brutal ketika melihatnya tersenyum, senyum tulus yang hanya ku lihat beberapa kali setelah setahun lebih bekerja dengannya. Oh Tuhan, sebenarnya ada apa ini?
“Pak? Deadline yang kayak mana yang mau diringanin, kenapa harus pegang tangan saya kayak gini?” tanyaku luar biasa gugup jika harus ditatap seintens ini.
“Your marriage deadline.”
TAMAT