Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku selalu mengingat masa itu, ketika gelapnya malam, heningnya angin menjadi saksi keberadaan sosoknya. Kedua tangan dinginnya memegang pundaku “kamu baik-baik aja?” ucapnya. Pandanganku langsung menoleh ke arah suara yang ternyata menanyakan keadaanku. Aku terdiam sambil berusaha merentangkan kakiku untuk berdiri menompang tubuhku yang terasa pegal. Setelah kejadian terpelesetnya aku.
“Kamu duduk disini dulu” ucapnya sambil membantuku ke kursi besi halte bus. “Nih, minum dulu biar kamu tenang,”lanjut lelaki itu sambil menyodorkan sebotol minuman bening.
Setelah pertemuan itu, kami tidak banyak bicara, hanya bertukar senyum dan ucapan terima kasih yang terlontarkan kepadanya. Kemudian kami melanjutkan perjalanan masing-masing. Tapi entah mengapa, setelah berada di rumah aku selalu terbayang caranya menolongku. Rasanya tak adil jika hanya ucapan terima kasih untuk membalas budinya saat itu.
Pertemuan itu bukan yang terakhir, justru menjadi awal dari banyak kebersamaan dan persamaan yang tak terduga. Sejak itu dia menjadi alasan terjadinya pertemuan untuk berjoging bersama dan diskusi kecil untuk tugas-tugas kuliah, bertukar canda tawa bahkan sering sekali menikmati sunset bersama. Hingga akhirnya bukan sekedar teman lagi tapi lebih dari itu. Tidak ada satu pun yang melarang kita bersama.
Kamu sering bermain ke rumah, walau sekedar menikmati kopi dengan orang tuaku. Orang tuaku tidak pernah membuka jalan untuk seorang laki-laki bermain denganku apalagi bertamu ke rumah. Namun karna kamu adalah orang yang berasal dari satu daerah dengan ibuku bahkan ia mengenali orang tuamu, jadi tidak masalah bermain bersamamu dan bertamu ke rumahku.
Namun, ketika aku berkunjung ke rumah nenek daerah asal ibuku dan kamu, aku mulai mendengarkan bisikan. Mereka menggunjingkan hubungan kita. Semua orang hendak mempertanyakanku menatapku seperti mangsa harimau. Mereka berbisik namun terdengar olehku. Mereka membahas tentang marga, tentang kita yang seharusnya tidak bersama.
Awalnya aku tidak peduli. Namun, ketika bisikan itu masuk kedalam keluargamu dan didengar oleh orang yang paling kamu hormati di rumahmu. Tentu saja keluargamu mempertanyakan hal itu kepadamu. Memberimu nasihat dan menyadarimu dengan penuh bahwa kamu harus memilih pasangan yang memiliki marga yang dapat dibanggakan di masyarakat atau bahkan sekedar tidak merendahkan keluarga.
Sejak saat itu aku mulai berpikir dengan penuh. Perihal karna kamu memiliki keturunan yang bermarga, dari keluarga yang berada. Sedangkan aku tidak memiliki marga. Perihal hartapun hanya sekedar cukup. Orang tuaku pun bukan yang berjas di perkantoran seperti orang tuamu. Orang tuaku adalah orang yang sangat sederhana.
Sejak itupun kamu tampak berubah. Kamu tidak lagi menjadi rumah tempatku menuangkan segala lelah. Komunikasi dan pertemuan pun tidak ada lagi. Aku ingat sekali saat terakhir kita bertemu. Aku selalu melontarkan pertanyaan yang sering sekali aku lontarkan “apa yang membuatmu begitu yakin dengaku?” tanyaku, sore hari di kafe meekow tempat biasa kita bertemu. Saat itu diiringi dengan dentuman hujan yang berjatuhan dengan perlahan-lahan membasahi tumbuhan.
Kamu menghela nafas, kamu tidak menjawab apapun saat itu. Kamu malah mengalihkan topik. Menanyakan kabar orang tuaku. Aku terdiam, rasanya aku sudah sering menanyakanmu perihal itu dan bagaimana kita kedepannya. Namun jawaban yang selalu kamu lontarkan begitu menyesakkan. Diam seribu bahasamu adalah jurus jitumu.
Suatu hari aku rasa aku terlalu lelah dengan semuanya. Orang tuamu memberontak tidak menginginkanku denganmu. Kamu bingung kamu memilih siapa. Tapi aku tahu naluri seorang anak. Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku memilih untuk merelakanmu dan kamu menuruti perkataan orang tuamu. “Aku ingin kamu bahagia” kataku malam itu. Dan kamu bilang “aku harap kamu juga bahagia selalu” ucapmu. Aku mengangguk sambil berdiri di kursi besi tengah taman sambil mengatakan “maaf kalo aku ada salah, aku pamit” ucapku, yang kuyakini akan menjadi ucapan terakhir setelah pertemuan kita saat itu. Aku mulai melangkah kutegarkan diriku, kulapangkan dadaku sambil mengucap dan berdoa kepada tuhan semoga aku dikuatkan perihal ini.
Sesampainya dirumah aku merasakan dadaku begitu sesak, nafasku tersenggal. Mataku mulai terasa memanas, bulir-bulir air mata mulai berjatuhan membasahi pipiku. Aku berusaha menenangkan diriku, namun aku gagal. Aku dilihat oleh ibu masuk ke dalam rumah dengan air mata yang terbendungkan. Ibuku menghampiriku ke kamar membuka pintu dengan pelan. Ia seperti tahu apa yang kurasakan “tidak apa jika kau ingin menangis, menangislah anakku” ucapnya, menatapku dengan simpati. Saat itu tangisku kembali pecah dalam dekapan ibuku. Rasanya dunia tidak berpihak padaku saat itu. Menatap kosong dinding kamar berjam-jam, membuka ponselpun tak sanggup bagiku.
Setelah perpisahan itu aku selalu memikirkanmu. Apakah kita terlalu lemah untuk tidak ingin berjuang atau memang kita tidak ditakdirkan. Tapi aku tidak pernah menyesal dipertemukan denganmu. Bulan demi bulan berlalu. Hari-hariku terasa berjalan begitu berat ditambah ayah meninggalkan kami. Kamu mengirim pesan untuk menguatkanku. Tapi tak cukup untuk mengobati lukaku.
Beberapa bulan setelah kehilanganmu dan ayah aku benar-benar merasa kesulitan menerima kenyataan. Rasanya hidup dalam ruangan hampa, dimana setiap langkah terasa berat, setiap kenangan datang menghantui.
Kini hari-hariku disibukkan dengan tugas kuliah dan organisasi yang terasa menumpuk. Aku mulai menata hidupku, meskipun masih terasa terkoyak. Setiap hari mencoba untuk mengalihkan pikiranku, tapi bayanganmu tetap ada disana. Terkadang, ketika malam tiba kesunyian mengisi ruang kamar kosku, perasaan itu datang lagi seperti ombak yang tak henti menghantam pantai. Namun, meskipun merasakan perasaan itu aku harus tetap berjalan. Demi ibuku, orang tua yang satu-satunya aku miliki saat ini. Ibuku adalah sumber kekuatanku.
Setahun berlalu, setelah sekian lama mengalami perasaan yang terombang ambing dalam keheningan. Aku sedikit mulai merelakan semuanya walupun bayanganmu masih terbayang dalam benakku. Pagi itu pukul 04.55 WITA, setelah bangun tidur aku menyempatkan diri untuk membuka whatsapp hanya untuk melihat informasi perkulihan. Tak terasa gemetar tanganku melihat notifikasi pesan singkat yang datang dari orang yang aku rindukan namun sudah ku relakan. Iya pesan singkat dari kau, Azka.
“Fiy, dimana? aku mau ngomong. Boleh ketemu?” isi pesan singkat itu. Aku memajamkan mataku menarik nafas dalam-dalam lalu kuhempaskan. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku sudah berusaha menerima, berusaha untuk melepaskan, tetapi pesan ini seakan menggoyahkan kedamaian yang baru saja aku temukan. Aku tahu ini adalah ujian bagiku. Aku bingung haruskah aku akan membuka pintu kembali untuknya? ataukah akan tetap memilih ke depan.
Aku menatap layar ponsel itu cukup lama. Di luar, azan subuh berkumandang pelan, seolah mengingatkanku akan ketenangan yang sedang kutata pelan-pelan. Aku menarik napas lebih panjang lagi. Lalu kutulis pesan singkat “ok, kita ketemu nanti sore. Di tempat biasa.”
Hujan turun rintik-rintik ketika aku baru saja mendaratkan kakiku di cafe biasa kami berjumpa dulu. Cafe kecil itu tidak banyak berubah. Azka duduk di pojok mengenakan jaket yang biasa ku kenakan saat kedinginan. Ia melambaikan tangan tersenyum kecil ke arahku “disini” lirihnya, aku menghampirinya. Ia mempersilakanku duduk dan memesan apa saja yang aku inginkan. “Kau apa kabar?” tanyanya, “aku baik” balasku. “Kau banyak berubah, aku mau kita perjuangkan semua ini lagi” ucapnya tanpa basa-basi.
Aku menarik nafas. Dadaku terasa sesak. Jantungku bedengup kencang. Aku tak menyangka dia akan mengatakan hal itu setelah apa yang sudah berlalu. “Ya, aku sudah tidak seperti dulu lagi. Setiap harinya aku selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. Tapi, ada yang masih sama dalam diriku. Ga pernah bisa berubah ataupun menghilang” aku mengambil jeda, menarik nafas kemudian menghembuskannya. “Rasaku padamu” ucapku perlahan. Aku tak menyangka akan mengucapkannya, ia keluar begitu saja. Seperti air kran yang dibuka dan menyembrukan airnya dengan deras. Suatu rindu yang digenggam dalam kurun waktu berbulan-bulan. Kemudian kulanjutkan ucapaku “tapi maaf, aku tak bisa kembali, aku harap kau mengerti” ucapku. Aku berdiri dan mengucapkan kata yang kupercaya menjadi akhir dari pertemuan kami “aku pamit” tutupku.
Kemudian ku beranjak untuk pergi meninggalkan kursi dan dirinya. Ku langkahkan kakiku menuju parkiran. Tidak ada penyesalan, hanya ada rasa lega yang pelan-pelan menjalar. Bukan aku tak mencintaimu lagi, azka. Tapi kali ini aku memilih mencintai diriku sendiri dan ibuku yang selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Walau kita pernah bahagia bersama, tapi adat tak menginginkan kita menua bersama. Dan mungkin aku tak memenangkan cinta, tapi aku memenangkan diriku sendiri.