Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit berwarna oranye, seperti api yang dipadamkan angin, perlahan warnanya memudar di balik awan kelabu yang menggantung berat. Aku duduk di halte bus, di tengah hiruk-pikuk kendaraan yang saling desak, saling mengejar entah menuju mana. Mungkin rumah, atau mungkin toilet umum? Semuanya tampak seperti berlari, seolah-olah ada sesuatu yang mengejar mereka. Tetapi apa? Aku tak tahu, dan jujur saja, aku tak peduli.
Rutinitas ini sudah terlalu sering kulihat. Dari pagi ke sore, nine to five! Waktu seolah habis begitu saja, tenggelam dalam pusing yang menjerat kepala. Kehidupan kota yang monoton dan membosankan. Orang-orang berjalan cepat, kepala mereka tertunduk, dan raut wajah yang sama: lelah. Di atas itu semua, tuntutan-tuntutan dari pemberi perintah mengalir deras. Aku merasa semakin dalam ditekan, semakin sulit bernapas, dan jadilah tubuh ini semacam ladang subur bagi rasa mual dan lelah yang menumpuk. Pikiran pun seolah terjebak dalam sebuah loop tanpa akhir.
Aku menatap ke kejauhan, mencoba mencari arti di balik semua kekacauan ini. Di sebelahku, duduk seorang lelaki tua, mungkin sekitar 65 tahun. Wajahnya sudah menunjukkan banyak garis usia, kaku dan membatu seperti waktu. Tubuhnya tampak rapuh, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tampak bertahan melawan waktu. Mungkin itu rokok kretek yang dibakar dengan cekatan di tangan kanannya. Asapnya melayang-layang, membentuk lingkaran kecil di udara sebelum akhirnya menghilang. Seolah-olah rokok itu berbicara, membisikkan sesuatu yang hanya dimengerti oleh lelaki tua itu.
Di antara desisan rokok yang memenuhi udara, dia melirik padaku. Tatapannya tajam, seperti seorang detektif yang sedang menyelidiki tersangka. Aku merasa sedikit terganggu, tetapi aku tak berkata apa-apa.
“Anak muda,” katanya akhirnya, suaranya parau. “Sudah berapa lama kamu begini?”
Aku hanya mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan yang aneh, pikirku. Ilmu hitam apa yang bapak ini kuasai?! Sudah berapa lama apa maksudnya? Apakah semua orang setuanya memang bisa melihat isi kepala orang lain? Aku memutar otak, mencoba mencari jawaban yang masuk akal, tetapi tidak ada yang muncul.
Dia hanya tersenyum tipis, seperti mengetahui bahwa aku bingung. “Zaman Pak. S juga begitu,” lanjutnya pelan, “orang-orang ini tak pernah berubah. Mereka cuma ganti baju, ganti wajah, tapi tujuan mereka tetap sama, hidup untuk memperkaya diri, sementara kita terus berputar dalam lingkaran ini. Entah kapan berhentinya.”
Aku terdiam. Betul juga, pikirku. Meski waktu berganti, meski para penguasa datang dan pergi, apakah kita pernah benar-benar keluar dari pusaran ini? Apakah kita pernah melihat perubahan yang berarti? Rasanya, kami yang berada di bawah ini tetap terjebak dalam nasib yang sama. Seperti roda yang terus berputar di tempat, tak pernah benar-benar maju.
“Pak, kalau begitu kenapa Bapak masih di sini? Kenapa tidak berhenti saja?” tanyaku, mencoba menantang logikanya. Mungkin ini caraku melawan kebingunganku sendiri.
Dia tertawa kecil, suara serak yang mengingatkan pada radio tua. “Kalau aku berhenti, anak muda, siapa yang akan mengingatkan kalian? Kadang-kadang seseorang harus tetap di sini, meski dia tahu dunia tak akan berubah, hanya supaya ada suara kecil yang berkata, ‘Ini salah.’”
Kata-katanya menohokku. Aku merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang sudah lama kusangkal. Apakah selama ini aku hanya menjadi bagian dari sistem tanpa pernah mempertanyakan atau melawannya? Apa aku hanya salah satu dari wajah-wajah lelah itu, yang terus berjalan tanpa arah?
Aku memandang ke arah jalanan. Lampu merah menyala, dan kendaraan-kendaraan berhenti sejenak, hanya untuk kembali berlari saat lampu hijau memberi sinyal. Sama seperti kita, pikirku. Berhenti sejenak, lalu kembali terjebak dalam kecepatan yang memabukkan. Tak ada jeda yang cukup lama untuk benar-benar bernapas.
“Anak muda,” lelaki tua itu kembali berkata, “apa yang kamu cari di sini?”
Aku tertegun. Apa yang sebenarnya aku cari? Aku tak punya jawaban. Mungkin aku hanya ingin bertahan, seperti semua orang. Bertahan hidup, membayar tagihan, menjalani hari demi hari. Tapi apakah itu cukup? Apakah itu hidup yang kuinginkan?
“Mungkin kebebasan,” jawabku akhirnya, meski aku sendiri tak yakin dengan jawabanku.
Dia mengangguk pelan, seolah-olah mengerti. “Kebebasan itu mahal, Nak. Kadang-kadang, untuk mendapatkannya, kamu harus kehilangan sesuatu yang lain. Pertanyaannya, apa yang berani kamu korbankan?”
Aku terdiam. Kata-katanya menggantung di udara, seperti asap rokok yang perlahan memudar. Apa yang aku berani korbankan? Pekerjaan? Zona nyaman? Hubungan yang sudah lama kusimpan meski terasa hampa? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, tanpa jawaban yang jelas.
Sementara itu, langit mulai berubah warna. Oranye yang membakar kini telah berganti menjadi kelam. Lampu-lampu jalan menyala, mencoba menggantikan cahaya matahari yang telah pergi. Aku merasa kecil di tengah semua ini, seperti debu yang tak berarti dalam hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.
Lelaki tua itu mematikan rokoknya, menginjak puntungnya dengan perlahan. “Busmu datang,” katanya, menunjuk ke arah sebuah bus yang mendekat.
Aku melihat ke arah bus itu, tetapi aku merasa berat untuk bangkit. Seolah-olah ada sesuatu yang menahanku di sini, di samping lelaki tua ini dan semua ucapannya yang penuh teka-teki. “Bapak mau ke mana?” tanyaku, mencoba memperpanjang percakapan.
Dia hanya tersenyum. “Aku sudah sampai tujuanku, Nak. Sekarang giliranmu untuk memutuskan, apakah kamu akan terus berlari, atau berhenti sejenak untuk bertanya ke mana arah langkahmu.”
Bus itu berhenti tepat di depanku, pintunya terbuka dengan suara desis. Aku berdiri perlahan, menatap lelaki tua itu sekali lagi. “Terima kasih, Pak,” ucapku, meski aku sendiri tak yakin apa yang sebenarnya aku syukuri.
Dia hanya mengangguk, matanya yang tua namun tajam tetap memandangku. Aku melangkah masuk ke dalam bus, mencari tempat duduk di dekat jendela. Saat bus mulai bergerak, aku melihat ke luar, mencoba mencari sosok lelaki tua itu. Tapi dia sudah tak ada. Hanya ada halte yang kosong, dengan lampu jalan yang bersinar redup di atasnya.
Aku menyandarkan kepalaku ke jendela, menatap kota yang mulai tenggelam dalam gelap. Suara mesin bus, deru kendaraan, dan obrolan pelan penumpang lainnya terasa seperti latar belakang yang jauh. Di kepalaku, pertanyaan lelaki tua itu terus terulang: Apa yang aku cari? Apa yang berani aku korbankan?
Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Meski kecil, meski samar, ada semacam kesadaran baru yang tumbuh. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku mulai berpikir tentang hidupku dengan cara yang berbeda. Tentang apa yang benar-benar penting, dan apa yang hanya ilusi yang kubangun untuk membuat diriku merasa nyaman.
Bus terus melaju, membawa aku ke arah yang entah ke mana. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa ingin tahu ke mana arah tujuanku. Tidak hanya sekadar mengikuti alur, tetapi benar-benar mencari tahu, memahami, dan memutuskan sendiri jalanku. Langit malam terlihat gelap, tetapi di kejauhan, ada bintang yang mulai muncul satu per satu. Mungkin, pikirku, ini adalah awal dari sesuatu yang baru.