Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
MANTRA LUDAH
2
Suka
35
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Setelah berkeliling mencari lapak kosong untuk disewa akhirnya Jamilah menemukannya di sebuah pinggiran jalan besar tepat didepan sebuah masjid. Setahun sejak ia sakit, seluruh usaha ayam Sabana-nya tutup. Terpaksa ia tak memperpanjang sewa kedai lama tempat ia berjualan sebelumnya karena meski kedai tutup, sewa bulananya tetap jalan terus.

Kedai barunya itu meskipun kecil tapi lumayan strategis. Pemilik kedai tersebut tinggal tepat di belakangnya. Seorang ibu tua yang setiap hari hanya mengunjungi masjid dan membaca Qur’an tiga juz.

“Jangan sibuk dengan gadget,” katanya menasehati Jamilah ketika dilihatnya Jamilah sibuk memelototi gadget sewaktu istirahat usai membersihkan kedainya.

Jamilah hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya mendebat. Apa urusannya, yang penting kan ia sudah membayar sewa, dan urusan lain-lain biar Jamilah sendiri yang atur. Jamilah teringat mendiang ibunya dulu, dalam usia tuanya, satu-satunya yang selalu bisa dilakukannya adalah menasehatinya, lebih tepatnya mengomelinya. Tapi yang bikin Jamilah suka kesal karena dengan pendengarannya yang sudah semakin berkurang, ia harus sering beruara sedikit keras, kadang-kadang harus berteriak. Tetangganya pernah mengira ia sedang marah-marah pada ibunya karena berteriak.

Seorang perempuan muda sepantaran usia Jamilah yang punya kedai di sampingnya, pada suatu malam datang menanyakan rencananya akan membuka kedai apa. Bahkan sampai jenis dan resep membuatnya pun harus di beberkan karena ia setengah memaksa, dan duduk berlama-lama di risban mengajaknya mengobrol tidak jelas.

Telur dadar bergetar itu apa sih?” Tanyanya penasaran.

“Terus ayam celup faketory itu apa?” Tanyanya lagi. “Bagaimana cara memasaknya, apa sama seperti ayam jualanku,” tanyanya lagi tanpa sungkan.

Tanpa kecurigaan apapun, Jamilah bercerita panjang lebar cara memasaknya. Apalagi sejak memulai bisnis, Jamilah selalu berpikir rezeki itu sudah diatur yang Maha Kuasa, dan tidak akan pernah tertukar.

Tapi anehnya, sebulan setelah usahnya berjalan, katanya kemudian, ia justru bilang jika Jamilah nanti tak berencana menyewa lagi, kabari dia karena dia akan menjadi penyewa selanjutnya. Ia berniat pindah dari kedai lamanya dan akan melanjutkan jualan milik Jamilah. Apalagi dia melihat kedainya itu telah disulapnya seperti gerai ayam franchise yang terkenal punya cabang dimana-mana. Kedai kecil itu menjadi seperti gerai mini berwarna merah, kuning dan putih terang.

Jamilah yang pada dasarnya cuma mikir berjualan saja, sama sekali tak berprasangka apalagi berpikir buruk soal perkataannya, karena belum lagi dia mulai berjualan dengan serius, tiba-tiba ada yang sudah merencanakan mengambil alih usahanya--sesuatu yang menurutnya aneh.

“Boleh saya titip jual makanan di kedai ini?” tanyanya suatu ketika ketika ia singgah lagi.

Jamilah bingung dengan permintaannya, apalagi yang akan dititipnya adalah gorengan, yang ngak releate dengan ayam krispi sabana, ajdi dia hanya tersenyum. Lalu perempuan itu pergi, entah paham maksudnya atau cuek saja karena tak ada jawaban.

Siang itu pembeli ramai, apalagi Jamilah menggratiskan minuman dan paket makanan lain sebagai promo Jumat Berkah. Biasanya usai shalat Jumat, jamaah yang keluar dari masjid yang tepat berada di depan kedainya akan mampir membeli paket makanan. Paket premium dengan bonus es teh dingin ukuran jumbo menu paling jadi andalan. Biasanya di hari Jumat, Jamilah harus menyediakan stok dagangan empat kali lebih banyak. Ia akan menggorengnya tepat 20 menit sebelum Jumatan usai. Agar paket masih panas saat dibawa pulang bagi yang memesan, dine in maupun take away.

Beberapa pembeli keheranan dengan kebaikan hatinya yang menurut mereka berlebihan. Tapi Jamilah meyakinkannya bahwa ini hanya masa promo sekaligus cari pahala Jumat berkah.

Semua berlangsung normal, sepanjang pekan pembeli semakin banyak, dan semakin menyukai apapun menu jualannya. Jamilah malah sudah merencanakan mencari tenaga baru yang bisa membantunya, biar ia hanya fokus menyaji saja.

***

Setelah berjalan tiga minggu sesuatu yang aneh terjadi, semakin lama pembeli menyusut. Padahal Jamilah memberikan harga wajar dengan ukuran makanan yang jauh lebih besar dari ukuran yang dijual kedai lainnya. Belum lagi ia selalu melakukan segala sesuatunya seperti seorang sahabat kepada setiap pelanggan. Bahkan pelanggan yang jauh dari titik dimana ia membuka kedai juga datang khusus untuk memesan.

Ketika partai besar mulai bermunculan, pada saat bersamaan juga pembeli reguler hilang. Hingga kedai pada akhirnya tiba-tiba sunyi.

Kedai sebelah tanya, apa ada yang salah dengan menu, Jamilah hanya menjawab dengan bertanya balik, menurutmu apa ada yang salah dengan rasa atau harga?. Atau ada yang aneh?.

Ia baru ingat kemudian. Suatu siang saat sedang membereskan kedai. Seorang laki-laki tua mengendarai sepeda, tiba-tiba berhenti tak jauh dari kedai lalu ia menuntun sepedanya. Bersamaan ketika Jamilah beranjak menuju rak depan, ia melihat laki-laki tua itu meludah tepat didepan gerobaknya, dan setelahnya ia naik kembali ke atas sepedanya dan berlalu. Jamilah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar, meskipun jorok.

Barulah ketika suatu hari dia bertemu seorang teman lama yang berhenti berjualan makanan oleh-oleh disebuah tempat wisata, ia bercerita jika di tempatnya banyak hal-hal aneh ditemukan. Kedainya yang dulu paling ramai mendadak ditinggalkan pembeli.

“Masa seminggu kemarin semua orang membeli berdesakan, tapi seminggu kemudian seharipun tak ada satupun pembeli,’” ujar temannya itu.

Menurutnya, keanehan itu ia mulai temukan, sejak di semua sudut kedainya ia temukan kembang-kembang melati yang telah layu. Sepertinya telah diletakkan disana dalam beberapa hari. Ia merasa aneh karena ia merasa sama sekali tak pernah meletakkan bunga-bunga itu. Ia ingat betul ketika pertama kali membuka kedai, seluruh area ruangan itu kosong, sehingga ia menambahkan ambal agar ruangan menjadi lebih bersih dan nyaman sehingga ia bisa mengingat semua detailnya, dan jika ada sesuatu yang berubah atau bertambah di dalam ruangan itu ia bisa lansung tahu.

Ketika bunga-bunga itu kemudian dibuangnya, ia lebih merasa heran karena seminggu setelahnya ia menemukan kembali bunga-bunga itu. Dan kali ini disembunyikan di semua sudut ambal.

Suatu hari seorang perempuan berbelanja di kedainya, sambil menunggu melayani ia bercerita.

“Aku merasa aneh, karena sepanjang menunggu saya membungkusi keripik-keripik itu, perempuan tua itu berkali-kali berdiri di depan kedainya dan komat-kamir, dan terakhir sebelum meninggalkan kedainya ia meludah. Saya pikir waktu itu cuma, ibu-ibu jorok yang aneh,” ujarnya mengulangi cerita yang menjadi sebab kedainya sekarang tutup.

Keanehan terjadi mulai seminggu setelahnya. Sepanjang hari selama seminggu setelah kedatangannya, kedainya mendadak sepi dijauhi para pelanggan dan pembeli.

Neneknya bilang jika dalam tradisi lama di kampung persaingan bisnis adalah hal biasa. Orang –orang tertentu yang merasa tersaingi akan menggunakan banyak cara untuk membuat saingannya melarat.

Salah satunya dengan meletakkan bunga sesajen di dalam kedai atau meludahi depan kedai yang menjadi sasaran agar, para pembeli melihat sesuatu yang buruk disana dan urung untuk berbelanja.

Mendengar itu barulah saya ingat tentang laki-laki bersepeda yang pernah dilihatnya.

“Berarti begitu ya, tapi aku tak percaya yang begituan,” ujar Jamilah.

“Percaya atau tidak, itulah yang sering terjadi ketika ada pedagang sirik yang tak mau disaingi. Apalagi kamu cantik Jam, bisa jadi daganganmu itu laku bukan cuma karena rasanya yang enak, tapi pembeli mau lihat kamu yang bohay dan cantik,’ kata temannya sambil tertawa.

“Ah, mbakyu bisa saja.”

“Ya bisa lah wong situ memang bohay kok,” ujarnya menimpali sambil beranjak naik ke motornya dan tak lama kemudian ia permisi pulang.

Tak lama setelahnya ibu yang pernah mengatakan akan menyewa kedainya tiba-tiba datang.

“Bagaimana masih mau lanjut? Ada rencana mau sambung sewa bulan depan?” meski pertanyaan itu aneh, dan sempat membuat Jamilah meyakini prasangka buruknya jika ibu itulah yang telah mengirimkan lagi-laki bersepeda yang meludahi depan kedainya dengan mantra atau apapun itu. Karena setelahnya kedainya menjadi sepi.

Tapi kemudian dengan mantap dan penuh nada perlawanan Jamilah bilang, “Tentu masih bu, pelanggannya juga tambah ramai kok.”

“Saya lihat tambah sepi belakangan ini,” balas ibu itu seolah tak percaya.

“Insya Allah, besok setelah kenduri kecil-kecilan baca Yasinan di kedai, pelanggan ramai lagi,” ujar Jamilah santai sambil memintanya datang.

“Terima kasih!,” katanya dengan ketus, langsung pergi dengan wajah jengah dan kesal.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
MANTRA LUDAH
Hans Wysiwyg
Skrip Film
Dendam kesumat(Skrip Film)
winda nurdiana
Cerpen
03 Rumah di Keabadian
Bima Kagumi
Skrip Film
The Crazy Headmaster
Maina Suryani
Cerpen
Bronze
A Little Bird
Lirin Kartini
Novel
Gold
Rahasia Nenek Piju
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Tragedi Kampus yang Terlupakan
elfrida romaganti pasaribu
Flash
ANOMALI
Deny Pamungkas
Novel
Bronze
Layang-Layang Putus Tak Pernah Salah
DMRamdhan
Novel
Sentinel of Truth
Maquia
Novel
[true-story] Misteri Telaga Pelangi
Firdaus
Novel
Who is the killer? [Celine]
I M A W R I T E
Cerpen
Pengertian yang Tak Mudah
Fazil Abdullah
Skrip Film
Revolve
Lisa Ariyanti
Cerpen
Bronze
Berlari dari Kematian
Andriyana
Rekomendasi
Cerpen
MANTRA LUDAH
Hans Wysiwyg
Cerpen
SYURGA YANG DILELANG
Hans Wysiwyg
Novel
TEDUH DALAM BARA
Hans Wysiwyg
Cerpen
THE CHOICE
Hans Wysiwyg
Cerpen
Harmonika Déjà vu
Hans Wysiwyg
Cerpen
Terjebak Rasa
Hans Wysiwyg
Cerpen
MESIN WAKTU
Hans Wysiwyg
Cerpen
Maybe Someday
Hans Wysiwyg
Flash
Laut Itu Luka
Hans Wysiwyg
Flash
CAFE LATTE MERAH
Hans Wysiwyg
Cerpen
SUNYI SEKALI
Hans Wysiwyg
Cerpen
Pacar Figuran
Hans Wysiwyg
Flash
Kafe Diatas Langit
Hans Wysiwyg
Novel
DI BAWAH LANGIT YANG TERLUKA Beneath The Wounded Sky
Hans Wysiwyg
Cerpen
Mencari Cinta Di Kelab Malam
Hans Wysiwyg