Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kami bukan keluarga, tapi ia satu-satunya orang yang mengisi separuh hidupku. Suka dan duka, kaya dan miskin, sakit dan sehat—semua sudah kami lewati bersama. Kami bahkan pernah berjanji, akan tetap menjadi sahabat sampai maut memisahkan.
Mungkin benar kata orang, keluarga memang tak selalu dibentuk oleh darah, tapi oleh kebersamaan yang bertahan melintasi waktu, dan segala kejadian yang kita bagi di sepanjang perjalanan hidup.
"Kamu dimana?"
"Makan siang apa kita?"
"Are you ok?"
"Aku mau cerita?"
Pesan-pesan itu dulu terasa seperti rutinitas sederhana yang tak pernah usang. Awalnya hanya kebiasaan, lama-lama menjadi candu. Tapi setiap hubungan punya pasang surutnya; seperti laut, kadang tenang, kadang bergejolak.
Ada masa ketika pesan-pesan itu tak lagi muncul menghiasi hari-hariku. Tak apa, pikirku. Wajar saja—kesibukan, perbedaan pandangan atau perubahan nilai-nilai hidup yang mulai berubah seiring waktu memang membutuhkan ruang untuk dicerna.
“Apa pun jalan hidupmu, apa pun pilihanmu, yang terpenting kamu bahagia”, batinku pelan.
Pesan-pesan singkat yang dulu terasa seperti denyut harian tiba-tiba lenyap begitu saja. Setelah itu, kehadirannya pun secara fisik juga ikut menguap terbawa oleh angin kemarau yang gersang. Semuanya seperti sinyal yang pelan-pelan meredup di antara jarak dan waktu.
Awalnya aku masih menunggu, sambil menenangkan diri bahwa setiap orang punya fase untuk menyendiri. Tapi lama-kelamaan, ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh logika: semacam luka kecil yang terus terasa, meski ketika aku sedang tertawa bersama orang lain.
Aku percaya pada satu hal, setelah awan kelabu, akan ada saatnya matahari kembali menyinari. Tapi saat mimpi buruk datang, seperti malaikat maut mendatangiku, aku bingung harus bercerita pada siapa.
"Apa ini pertanda dari Tuhan?" tanyaku lirih pada diri sendiri. "Bagaimana kalau waktu tidak banyak lagi?"
Tuhan, jika itu benar, jika aku bisa menggambarkan surga versiku, aku ingin berkumpul lagi bersama mereka.
Sampai pada akhirnya, di suatu sore yang biasa saja, aku melihatnya lagi. Ia berdiri membelakangiku, menatap papan menu kafe, saat wajahnya menoleh ke arahku, aku masih ingat pandangan itu—masih sama seperti dulu, tajam, tapi hangat. Tak banyak yang berubah darinya, masih cantik seperti sebelumnya, aku selalu mengaguminya.
Aku hampir memanggilnya, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Ada semacam jarak yang aneh di antara kita, padahal nyatanya hanya beberapa meter dari tempatku duduk.
Saat ia menoleh ke arahku, mata kami bertemu sesaat—sekilas, tapi cukup untuk mengguncang seluruh ketenangan yang kupupuk selama ini.
"Nala," sapanya akhirnya, seolah tidak ada waktu yang pernah berlalu di antara kami.
Aku tersenyum, mencoba terlihat biasa. "Lama nggak ketemu."
Ia tertawa kecil, lalu menjawab, "Kita memang pandai hilang tanpa benar-benar pergi, ya?"
Aku tersenyum canggung kali ini. Ia duduk di hadapanku. Pesanan kita datang, dan kita memesan minuman yang sama seperti dulu. Tapi kali ini tak ada percakapan yang mengalir seperti dulu. Hanya diam yang berputar antara secangkir kopi dan kenangan yang berkelebat.
Dalam diam itu, aku sadar: kadang yang paling menyakitkan bukan kehilangan seseorang, tapi menyadari bahwa waktu telah mengubah cara kita saling memahami. Padahal banyak sekali yang ingin kuceritakan, tapi aku juga bingung harus memulai dari mana, dan bagaimana mengejar ketertinggalanku saat tak bersamanya.
Tapi kami akhirnya berbicara sedikit sore itu. Tentang kabar, pekerjaan, tentang cuaca, dan tentang hal-hal remeh yang sebetulnya tak perlu dijelaskan. Aku tahu, sadar betul, ada sesuatu yang berubah di antara kami.
Mungkin begitulah hidup. Pernah ada orang yang kita anggap sebagai "rumah", perlahan berubah menjadi tempat singgah yang hanya bisa kita datangi dalam ingatan. Saat ia pamit, aku hanya mengangguk. Tidak ada pelukan, tidak ada janji akan bertemu lagi. Ia berjalan menjauh, dan entah kenapa langkah itu terasa seperti garis akhir yang tenang tapi pasti.
Seandainya tak ada yang memberitahuku pun, aku tetap berpikir, bahwa tak apa untuk merindukannya, meski tahu bahwa ia tak lagi merasa cocok denganmu. Di perjalanan pulang, aku kembali memikirkan tentang arti keluarga. Bahwa ternyata, keluarga bukan tentang siapa yang tetap tinggal, tapi juga tentang siapa yang pernah membuat kita merasa punya tempat untuk pulang, meski hanya untuk waktu yang tak lama.
Untuk beberapa waktu, aku tidak merasa sedih tanpa kehadiranmu di hidupku. Aku masih bisa melanjutkan hidupku seperti biasa. Tapi ternyata, datang juga perasaan itu—rasa sepi, rasa ingin menuntut jawaban mengapa semua berakhir seperti ini, rasa kecewa yang tak bisa dijelaskan.
Hati ini meraung-raung karena rindu, kepalaku terasa berat, dan dadaku pun ikut sakit, rasanya seperti kehilangan udara.
Ternyata benar, kita memerlukan waktu untuk memproses rasa sedih akibat kehilangan seseorang yang dulu kita percaya akan selalu memegang janjinya akan tetap bersahabat sampai maut memisahkan.
Di malam yang sepi, aku menatap layar ponselku yang kini tak lagi ramai oleh pesan-pesan darinya. Jari-jariku perlahan mengetik sebuah pesan yang menurutku cukup sederhana.
"Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidupku."
Pesan itu terkirim. Dan entah kenapa, kali ini aku merasa sudah cukup. Bukan karena kehilangan itu jadi terasa lebih mudah, tapi karena akhirnya aku bisa berdamai—dengan waktu, kenangan, dan dengan perasaan yang pernah terjalin di antara kita.
Mungkin begitulah caranya takdir bekerja—membiarkan seseorang datang untuk mengajarkan kita arti perasaan cinta yang indah. Pada saat yang tepat, kita akan terbang bebas, seperti kupu-kupu di langit yang tak bisa kita kejar.