Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Silvan Fässler pastilah seorang lelaki yang amat populer di masa mudanya. Dengan tubuh jangkung, yang dua per tiga dari bagian tubuhnya adalah tungkai, ditambah kilauan biru laut di bola matanya itu, kurasa hampir tak ada perempuan yang mampu menolak pesonanya. Lelaki berusia—mungkin empat puluh—itu bahkan masih terlihat menawan, dengan wajah mulus serta hidungnya yang menjulang bagai pegunungan Alpen.
“Baiklah, Herr Assad ... Najeeb Assad. Kita sudah sepakat, kau hanya akan bekerja di sini dengan para pekerja yang telah kami pilih, kau juga akan menetap sampai proses restorasi selesai. Lalu, tidak boleh ada orang luar yang datang ke sini untuk mengunjungi Manor Adolstein sekalipun itu kebutuhan proyek. Sesuai?” ucap Silvan Fässler. Dia membalik lembaran dokumen tanpa menatapku. Caranya berbicara begitu tertata seolah setiap kalimatnya merujuk kepada kamus tatanan bahasa Inggris.
Aku pandangi map hitam yang disodorkan Silvan Fässler. Dia juga menyertakan sebuah pena. Kubaca setiap kalimat dalam dokumen itu. Silvan Fässler mengetiknya dalam dua bahasa, Jerman dan Inggris. Dia sepertinya tak tahu bahwa aku juga menguasai dua jenis bahasa itu.
“Satu lagi, Herr Fässler. Apakah para pekerja yang Anda sediakan adalah orang-orang Swiss?” tanyaku.
“Tentu. Kami punya yang terbaik di sini.”
Aku mengangguk paham. Dengan pikiran yang dipenuhi tanya, kutandatangani dokumen itu. Misalnya, mengapa mereka mengharuskan arsitek yang merestorasi bangunan ini adalah lelaki lajang yang bukan asli Swiss? Dia juga mengharuskanku menggunakan alat yang telah disediakan tanpa menggunakan alatku sendiri, termasuk juga pekerja. Terus terang saja, aku sebenarnya enggan bekerja dengan orang-orang Swiss. Selera humor mereka berbeda jauh dengan aku yang pribumi Arab.
“Jika sudah, mari kutunjukkan kamarmu. Kau boleh beristirahat.” Silvan Fässler melirik arlojinya. “Besok kita bisa memulai prosesnya jam delapan pagi.”
Segelas teh yang baru diseduh oleh Silvan Fässler baru sekali kuteguk. Biskuit-biskuit bundar yang dihidangkannya di atas wadah porselen cantik itu pun belum sempat kusentuh. Obrolan kami baru sebatas pada pekerjaan. Dia tak menanyakan asalku dari mana. Dia juga tak menanyakan bagaimana perjalananku. Padahal aku begitu ingin menceritakan tentang kisahku sebagai arsitek lulusan terbaik Zürich, yang cumlaude. Silvan juga pasti akan terpana jika kuberitahu bahwa firmaku adalah agen arsitek kenamaan di Zürich. Hampir semua orang tahu itu.
Segera setelah dokumen itu kutandatangani, Fässler lalu bangkit. Dia membetulkan posisi jasnya dan melangkah ke ruangan lain. Kuikuti langkah panjang Fässler. Derap sepatu pantofel hitamnya menggema di seluruh ruangan.
“Manor yang akan kita restorasi adalah bangunan besar yang ada di sebelah ruangan ini. Kau lihat?” tanya Fässler.
“Ya, gedung berfasad tinggi itu, kan?”
Silvan Fässler mengangguk. “Ruangan ini sebenarnya bukanlah bagian dari Manor Adolstein. Ini bangunan khusus bagi para tamu, pengunjung, tempat istirahat para pelayan juga pekerja. Dan, kamarmu ada di sini.” Fässler lalu membukakan sebuah pintu kayu tebal yang kelihatan kokoh.
Yang pertama kali kutangkap dari ruangan itu adalah nuansa serba putih dengan petak-petak keramik yang juga berwarna putih, menutupi seluruh dinding dan lantainya. Ada sebuah ranjang untuk satu orang yang berseprai putih bersih dan dirapatkan ke dinding. Lalu, sebuah nakas kecil, yang juga berperan sebagai meja. Kupandangi langit-langit kamar. Di atasnya menggantung lampu kecil yang sinarnya tak terlalu terang.
“Manor ini dibangun pada 1656 dan sudah tak digunakan lagi sejak 1981. Listrik di sini sangat mahal dan kami harus menghemat biaya pemeliharaan.”
Tenggorokanku baru saja hendak menanyakan perihal lampu itu kepada Fässler. Namun ternyata, Tuan Tak Ramah itu sudah mendahului niatku. Tampaknya dia paham bahwa kami orang-orang Arab cenderung sulit menahan lidah kami dari pertanyaan-pertanyaan sepele.
Tanpa salam perpisahan, Silvan Fässler meninggalkanku sendirian bersama barang bawaanku yang tidak seberapa. Aku kemudian berjalan perlahan, memaksakan diriku dalam dingin, lalu berusaha tertidur. Cukup bayangkan kontrak senilai 1 juta franc, aku akan bermimpi indah.
Perbaikan Manor Adolstein adalah proyek restorasi gagasan pemerintah Seengen. Kawasan pelosok yang berdampingan dengan Lembah Liore ini mirip daerah yang tak tersentuh oleh teknologi seolah seluruh areanya masih bertahan di era Renaisans. Sungguh berbeda dengan kawasan Zurich yang megah. Bahkan ketika pagi datang, yang kulihat hanyalah pepohonan dan rerumputan serta lanskap basah nan lembab.
Usai sarapan, Silvan Fässler mengeluarkan semua peralatan untukku. Di atas meja dia meletakkan meteran, pensil, penggaris, serta kamera untuk memotret setiap bagian manor.
“Bagaimana tidurmu? Nyenyak?”
“Senyenyak di surga.”
Silvan Fässler tersenyum tipis, sejenis senyuman yang tak sampai ke matanya.
“Kau tinggal sendirian di sini?” tanyaku berbasa-basi.
“Sudah bertahun-tahun. Aku meneruskan pekerjaan ayahku di sini.”
“Kau punya keluarga? Istri dan anak?” tanyaku lagi.
“Hampir jam delapan. Sebaiknya kita bersiap-siap ke manor.” Fässler lalu mengemasi peralatan dan berjalan menuju pintu keluar. Aku lalu mengekorinya.
Sebuah bangunan yang seluruh dindingnya dibiarkan tanpa plester berdiri angkuh di hadapanku. Atap-atap hitamnya menjulang tinggi, mengerucut dan runcing. Sesuai dengan kontrak, tugasku adalah merestorasi bangunan ini agar bernuansa klasik yang kekinian. Pemerintah Schengen ingin menjadikannya kawasan ramah pengunjung.
Kelihatannya mudah. Aku hanya perlu mengukur ini-itu, memotret, lalu mengolah gambaran keseluruhan di komputerku. Dengan bantuan para pekerja, semuanya akan selesai. Aku pulang dan berjaya menghidupkan firmaku kembali.
“Herr Assad, aku akan menjemput para pekerja. Agak jauh dari sini. Jadi, kau bisa melanjutkan pengukurannya,” ucap Silvan Fässler tergesa-gesa.
“Baik. Akan kukerjakan sendiri.”
“Lakukan secepat mungkin karena waktu bekerja kita benar-benar terbatas.” Silvan Fässler melirik arlojinya lagi. “Dan ... jangan membangunkan sesuatu yang sedang tertidur.” Dia lalu tersenyum lebar.
Aku mengangguk lagi. Mengenai kalimat terakhirnya yang mengandung makna ganda itu, aku sesungguhnya tak terkejut. Bukankah itu sudah menjadi rahasia umum di tempat tua seperti Manor Adolstein?
Setelah Silvan Fässler melajukan mobilnya, aku cepat-cepat memasuki manor dan memulai ekspedisi yang sesungguhnya. Pintu utama yang terbuat dari kayu tebal itu segera kututup perlahan. Sinar matahari mendung yang tak seberapa terang menerobos celah jendela dan menciptakan suasana redup. Siang itu, hawa di Danau Härtwill masih dingin dan berkabut.
Bermenit-menit melakukan pengukuran di sana sini, aku sudah terbiasa dengan suasana gelap dan bau apak. Aku berjalan makin jauh ke dalam manor. Kuarahkan senter ke bagian-bagian utama, ruang tamu, aula pesta, jendela-jendela tinggi dan gorden menggantung, tangga marmer putih yang berbentuk spiral, deretan kamar-kamar, serta langit-langit yang berbentuk kubah dan dihiasi lukisan-lukisan indah.
Sedang asyik mengamati, hidungku tiba-tiba menangkap sebuah aroma unik dan semerbak. Wanginya sangat kontras, berbeda dengan apak di dalam manor dan benar-benar mengganggu nyaliku. Aku berjalan makin dalam dan menduga sumbernya ada di balik ruangan bergerendel besar, di salah satu kamar paling ujung. Gerendel itu penuh karat. Sebuah gembok besar menggantung di sisinya. Mungkin sudah bertahun-tahun.
Aku lalu berbalik, mencari alat yang bisa kugunakan untuk merusak kunci. Mungkin kapak, pisau, atau apa saja. Sayangnya, Silvan Fässler seperti sudah mencium niatku. Dia tak menambahkan alat-alat tajam itu. Aku memaki dan mondar-mandir demi mendapatkan sesuatu.
“Kau kelihatan makin menarik dan menantang!”
Di hadapan pintu bergerendel itu, aku tertawa sinis. Lalu, cepat-cepat berbalik ke pintu utama saat kudengar suara mobil Silvan Fässler memasuki halaman.
Lelaki itu membawa lima pekerja yang semuanya laki-laki. Aku memperkenalkan diri dan mengamati satu per satu barang bawaan mereka. Sebuah barang berhasil menarik perhatianku.
“Mereka semua akan membantumu hari ini. Kerjakan secepat mungkin sebelum senja tiba. Aku akan ke luar. Ada hal lain yang harus kulakukan,” ucap Silvan Fässler terburu-buru. Aku sempat melirik ke arah mobilnya yang terparkir. Dari jendela beningnya, aku menangkap siluet perempuan pirang berkacamata duduk menatap ponsel. Mereka semua tak menyadari bahwa aku tahu apa yang mereka tak tahu.
Di malam yang sudah kurencanakan, diam-diam aku menyelinap keluar dan berjalan tanpa suara. Berbekal sebilah pisau tipis dan sebatang obeng, kucuri dari peralatan milik enam pekerja Silvan Fässler, kumasuki manor itu seorang diri.
Tanganku bercucuran keringat menghadapi gerendel yang berkilauan ditimpa sinar lentera. Jika bukan karena penasaran, barangkali sudah kutinggalkan manor itu dan lebih baik tidur. Aku nyaris menyerah ketika gerendel terlepas dan pintu terbuka lebar. Di hadapanku terpampang berpot-pot tanaman berbunga dan berdaun lebat. Daun koka, ganja, black henbane, dan beberapa tanaman lain yang aku tak tahu namanya.
Hatiku bersorak. Misteri ini adalah kejadian luar biasa dalam hidupku. Apa pun yang terjadi, penemuan ini harus dipublikasikan. Kurasa inilah waktunya kepahlawananku mendapat pengakuan Swiss. Sudah saatnya mereka tahu bahwa kastil ini dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Segera kuambil kamera. Semua ini akan kujadikan liputan khusus. Nantinya juga akan kutulis sebagai bahan novelku yang hebat.
Pagi harinya, kutemui Silvan Fässler dengan amarah dan kebanggaan. Lelaki itu benar-benar harus kuberi peringatan. Seolah sudah memperkirakan apa yang terjadi, Silvan Fässler malah menungguku di ruang duduk, tempat pertama kali dia menjamuku.
“Herr Fässler ... aku tahu apa yang sedang kau sembunyikan di dalam kastil!”
Silvan Fässler terdiam. Dia menatapku serius. Barangkali di pikirannya terlintas tanya mengapa aku bisa secepat itu membongkar kejahatannya.
“Kau yang menanam semua herbal terlarang itu, kan, di ruang bawah tanah?”
“Herr Najeeb. Tenangkan dirimu!”
Aku mendesis. Lelaki itu mencoba menetralisir situasi. Otakku penuh oleh amarah hingga tak menyadari di samping Silvan Fässler berdiri seorang perempuan dengan toples-toples bening berisi kapsul berwarna di tangannya. Itu adalah perempuan pirang yang terlihat di dalam mobil.
“Siapa dia? Pesuruhmu yang lain lagi?”
“Ini Margrith, asistenku.”
“Dan, semua obat-obatan itu? Kau benar-benar memproduksi obat terlarang dari herbal-herbal yang kau tanam di dalam Castle Württenberg?”
Silvan Fässler tertawa kecil. “Herr Najeeb, obat-obatan apa yang kau maksud? Margrith memang telah mengatur semua pengobatanmu selama ini.”
Tak salah lagi, lelaki tua itu benar-benar penjahatnya.
“Sekarang duduk dan tenanglah. Dengarkan aku! Kau Najeeb Assad atau Najeeb Hakim?” ucap Silvan Fässler.
“Najeeb Hakim. Hakim itu nama ayahku.”
Lelaki itu, dia mencoba untuk berkelit dariku, mengalihkan pikiranku dengan pertanyaan-pertanyaan.
Silvan Fässler menggeleng. “Aku Zidan Füehrer. Kau ... Najeeb Khalili.”
“Berani-beraninya kau mengganti namaku. Akan kutuntut kau di pengadilan!” Amarahku kian memuncak.
Silvan Fässler tersenyum lagi. “Kali ini, aku berhadapan dengan Bachelor Architektur dari Zürich ... atau Bologna?”
Aku terdiam sejenak. “Tentu saja Bologna! Nama kota itu lebih ramah di lidahku.”
Entah apa yang mereka berdua rencanakan, Silvan dan asistennya itu. Yang kutahu pasti adalah mereka membawaku ke ruangan serba putih, ke kamarku, lalu menyuruhku berbaring dan tertidur. Anehnya, aku pun tertidur. Tak jadi melampiaskan kemarahanku. []