Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Manifesto Seorang Pemancing Sungai Kecil
1
Suka
211
Dibaca

Nama saya Ones.

Orang-orang di kampung bilang saya pengangguran, tapi bagi saya, itu istilah yang tidak ilmiah. Saya lebih suka disebut peneliti mandiri bidang perikanan darat berskala rumahan. Sungai kecil di belakang rumah sudah saya jadikan laboratorium sejak tiga tahun lalu. Di sanalah saya meneliti tingkah laku mujair, lele, dan kadang… sandal jepit yang hanyut.

Bagi sebagian orang, mancing cuma cara ngisi waktu. Tapi bagi saya, mancing adalah ilmu pasti campuran antara kesabaran, perhitungan, dan sedikit intuisi yang biasanya muncul setelah dua teguk kopi hitam. Saya sudah mencatat lebih dari 47 jenis umpan berbeda dalam buku riset saya: mulai dari cacing tanah sampai bekas gorengan yang sudah melempem. Setiap percobaan saya beri nama, misalnya Eksperimen Terasi Jilid Dua atau Proyek Ikan yang Tak Pernah Datang.

Saya percaya, suatu hari nanti saya akan menemukan teknik mancing paling efisien di dunia sebuah metode yang bisa merevolusi cara manusia memandang sungai kecil. Bukan sekadar melempar kail, tapi menggabungkan teori aerodinamika, filosofi kesabaran, dan doa ibu sebelum subuh.

 

Bab 1: Awal dari Sebuah Teori

Semua berawal dari satu pertanyaan sederhana:

Kenapa ikan tidak makan umpanku padahal saya sudah menatapnya dengan niat baik?

Pertanyaan itu muncul pada pagi yang mendung, ketika saya duduk di tepi sungai dengan posisi sempurna tangan mantap, sendal aman, dan umpan cacing premium. Tapi hasilnya nihil. Ikan-ikan cuma melintas seolah menertawakan saya dari dalam air. Sejak saat itu, saya bersumpah tidak akan mancing secara asal lagi. Saya akan mancing dengan ilmu.

Saya mulai mencatat suhu air, arah angin, bahkan pergerakan awan. Saya belajar dari YouTube tentang “psikologi ikan air tawar”, meski koneksi sering buffering di tengah kalimat penting. Saya konsultasi dengan tukang cacing di pasar, orangnya bernama Pak Lek Marno, yang bilang:

“Ikan itu, Nes, kayak manusia. Kadang lapar, kadang baper.”

Kalimat itu saya tulis tebal di buku riset. Saya menyebutnya Teori Marno Tentang Fluktuasi Nafsu Ikan.

 

Bab 2: Umpan sebagai Seni

Setelah berminggu-minggu gagal, saya sadar satu hal: umpan bukan sekadar makanan untuk ikan, tapi bahasa komunikasi lintas spesies. Jadi saya mulai bereksperimen.

Saya coba mencampur terasi dengan kopi sachet. Hasilnya, ikan memang nggak mau makan, tapi air di sekitar umpan jadi lebih wangi daripada dapur. Lalu saya coba varian baru: nasi aking dicampur mi instan mentah dan sedikit minyak wangi bekas adik saya. Itu saya sebut Formula 7.

Hasilnya mengejutkan. Seekor mujair datang mendekat, muter-muter, lalu pergi lagi dengan ekspresi bingung kalau ikan punya ekspresi. Tapi buat saya, itu sudah kemajuan: setidaknya dia berhenti untuk mikir. Artinya komunikasi sudah terbentuk, walau belum efektif.

Saya mulai percaya bahwa keberhasilan mancing itu bukan cuma soal rasa, tapi juga pesan emosional yang dikirim lewat umpan. Ikan harus merasakan niat baik kita. Maka setiap kali lempar kail, saya selalu bisikkan kalimat afirmasi:

“Makanlah, Nak. Aku ikhlas.”

Kadang-kadang tetangga ngira saya kesurupan. Tapi saya tidak peduli. Semua ilmuwan besar pasti pernah disalahpahami di awal kariernya.

 

Bab 3: Teori Sudut Lempar

Setelah meneliti 62 kali lemparan gagal, saya mulai sadar: mungkin masalahnya bukan di umpan, tapi di sudut lempar.

Saya pun mulai menghitung. Menggunakan busur plastik sisa sekolah dulu, saya ukur setiap sudut lempar dan catat jaraknya terhadap titik jatuh umpan.

Rumus awal saya tulis begini:

Hasil = (Kekuatan Lempar x Keikhlasan) ÷ Sudut 45°.

Itu belum valid secara akademis, tapi cukup untuk memotivasi diri.

Saya uji coba langsung di lapangan. Saat itu, Pak Marno lewat dan nanya,

“Nes, kok lemparnya sambil jongkok?”

Saya jawab, “Ini demi kestabilan lintasan parabola, Lek.”

Dia cuma ngangguk, lalu jalan sambil bisik ke orang lain, “Ones iki tambah parah…”

Tapi eksperimen itu berhasil! Lemparan saya jadi lebih presisi. Umpan jatuh tepat di arus lambat tempat ikan sering ngumpul. Dan di situlah untuk pertama kalinya dalam sejarah riset saya seekor mujair besar menggigit kail saya. Saya hampir nangis waktu itu.

Saya catat kejadian itu dalam buku riset dengan tinta merah:

Tanggal 14 Juni: Penemuan Besar. Ikan pertama dengan sudut 43°. Dunia harus tahu.

 

Bab 4: Revolusi Mancing Sungai Kecil

Setelah keberhasilan itu, saya mulai menyusun teori komprehensif:

Teori Dinamika Perilaku Ikan dalam Ekosistem Terbatas.

Nama boleh ribet, tapi isinya sederhana: kalau ikan lapar dan kamu sabar, maka semesta akan berpihak.

Saya tulis semua hasil riset dalam map tebal, lengkap dengan diagram aliran air dan tabel jenis umpan. Lalu saya bikin pamflet:

“Pelatihan Mancing Ilmiah Bersama Ones Bawa Kail, Pulang Ilmu.”

Awalnya nggak ada yang daftar. Tapi setelah saya janjiin kopi gratis, tiga orang datang: Pak RT, anaknya, dan satu bocah yang katanya cuma mau lihat. Di depan mereka saya pidato:

“Hari ini, saya akan buktikan bahwa sains bisa hidup di tepi sungai kecil!”

Saya demonstrasikan teori saya dengan penuh percaya diri. Saya lempar kail dengan sudut 43°, memakai Formula 7 versi revisi. Tapi sebelum kail menyentuh air, seekor bebek lewat, nyamber umpannya, dan lari ke arah sawah sambil narik joran saya.

Anak Pak RT ketawa sampai jatuh ke lumpur. Saya tetap tenang, karena setiap revolusi pasti mengalami hambatan. Saya tulis di buku:

Catatan: Faktor eksternal bebek perlu dipertimbangkan dalam teori berikutnya.

 

Bab 5: Krisis Eksistensial Seorang Pemancing

Sejak hari bebek itu, semangat saya agak turun. Sungai terasa sepi, dan saya mulai mempertanyakan banyak hal:

Apakah semua riset saya cuma buang waktu?

Apakah mujair benar-benar ada, atau cuma konsep sosial yang diwariskan turun-temurun?

Saya mulai jarang mancing. Kadang saya cuma duduk di tepi sungai, nonton arus mengalir, sambil mikir hal-hal besar: tentang hidup, usaha, dan kenapa sandal jepit selalu mengapung berpasangan.

Suatu sore, datang bocah kecil anak Pak RT yang dulu nonton pelatihan gagal itu. Dia duduk di samping saya dan nanya polos:

“Pak Ones, kalau mancingnya susah, kenapa nggak beli ikan aja di pasar?”

Saya diam lama.

Pertanyaan itu menghantam lebih keras dari kail yang nyangkut di batu. Tapi dari situ saya sadar: mungkin bukan soal hasilnya, tapi perjalanan mencari cara terbaik untuk mendapatkan sesuatu yang sederhana.

 

Bab 6: Penemuan Akhir

Malam itu saya kembali ke sungai.

Saya bawa kail tua, senter kecil, dan satu bungkus terasi. Tanpa rumus, tanpa catatan, tanpa teori. Cuma saya dan arus air. Saya lempar kail dengan hati tenang, tanpa perhitungan.

Beberapa menit kemudian, joran saya bergerak pelan.

Seekor mujair kecil tersangkut. Tidak besar, tapi cukup untuk mengembalikan seluruh semangat saya. Saya pandangi ikan itu lama, lalu saya lepas lagi ke sungai.

Saya tersenyum. Bukan karena berhasil mancing, tapi karena akhirnya saya paham: selama ini, yang saya tangkap bukan ikan tapi arti sabar itu sendiri.

 

 

 

Epilog: Manifesto

Sekarang saya masih sering ke sungai. Kadang mancing, kadang cuma duduk. Tapi saya selalu bawa buku catatan. Di halaman terakhir, saya tulis kalimat penutup manifesto saya:

“Hidup ini seperti mancing di sungai kecil.

Tidak semua kail akan menggigit, tidak semua umpan akan berhasil.

Tapi setiap kali lemparan dilakukan dengan niat baik, semesta pasti mencatat percobaannya.”

Dan entah kenapa, sejak hari itu, ikan-ikan di sungai seperti lebih ramah.

Atau mungkin, saya saja yang akhirnya berhenti terlalu banyak menghitung.

 

~ Tamat ~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Manifesto Seorang Pemancing Sungai Kecil
KusumaBagus Suseno
Komik
Gold
Abu Sule
Kwikku Creator
Flash
Tawa Tiwi
Binar N
Komik
Bronze
Petualangan Athan dan Detektif Mammo
Andy widiatma
Cerpen
Akew yang Menyakiti
E. N. Mahera
Flash
Bronze
The End of Joni Oblong
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
Kopi
syaifulloh
Flash
Bronze
BANDEL
Onet Adithia Rizlan
Komik
Bronze
YATO & IATO
Animarska
Komik
Gold
KOMIK RETJEH
Kwikku Creator
Flash
What A Thrilling Night!
hyu
Komik
BOCAH LANANG
Eternal Comics
Flash
Keran
Mata Panda
Flash
Kucing Rese!
Tri Wulandari
Cerpen
Takhayul
Normal Temperature
Rekomendasi
Cerpen
Manifesto Seorang Pemancing Sungai Kecil
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Tugas Akhir Mahasiswa Sastra Mancing
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Mangkuk Sakti Penjual Bakso Keliling
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Ada Nastar Di Kulkas
KusumaBagus Suseno
Cerpen
Naskah Orang Mabuk
KusumaBagus Suseno
Cerpen
The Jhony : Antara Nasi Kucing dan NASA
KusumaBagus Suseno