Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Matahari pagi menyapu halaman rumah Nullok dengan sinarnya yang hangat. Angin semilir menari-nari di antara daun kecombrang yang tumbuh subur di belakang dapur rumah mereka.
Istrinya, Lela, tampak sibuk mengulek bumbu di dapur, sesekali mengipas asap dari tungku yang mengepul.
“Bang, tolong beliin santan Kara di supermarket dekat rumah, ya. Aku lagi masak kecombrang buat sayur nanti siang,” kata Lela sambil menoleh sebentar dari ulekannya.
Nullok, yang sedang duduk bersila mengupas bawang, langsung mengangguk. “Oke, Le. Sekalian jalan-jalan biar nggak pegel duduk terus.”
Ia mengganti celana pendeknya dengan celana panjang, mengenakan kaos oblong, dan berjalan kaki menuju supermarket yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah mereka.
Jalan kecil di kampung itu cukup ramai pagi itu, dengan suara anak-anak bermain dan ibu-ibu menyapu halaman.
Saat melintasi rumah adik iparnya, Putri Busana, yang hanya berjarak sekitar 60 meter dari rumahnya, Nullok melihat sebuah pemandangan yang menarik perhatiannya.
Di halaman rumah Putri Busana, yang dikelilingi pagar semen bercat hitam legam, tampak seorang pria tua memanjat pohon mangga yang rimbun buahnya.
“Wah, Yusuf Becanang,” gumam Nullok pelan.
Yusuf adalah tetangga mereka, dikenal ramah meski kadang agak nekat. Di bawah pohon, beberapa orang lainnya tampak memunguti mangga-mangga yang jatuh, padahal semua itu jelas berada di dalam pagar milik adik iparnya.
Nullok tersenyum kecil sambil terus berjalan. Ia tidak ingin ikut campur. Mungkin Yusuf sudah izin. Atau mungkin memang diminta membantu memetik. Tapi tetap saja, dalam hati ia merasa sedikit heran.
Setibanya di supermarket, Nullok langsung menuju rak tempat santan Kara biasa dipajang. Namun, begitu melihat label harganya, ia mengerutkan dahi.
“Hah? Santan Kara sekecil ini dua puluh ribu?” gumamnya.
Ia mendekati penjaga toko dan bertanya, “Mas, ini beneran harganya? Kok mahal banget?”
“Betul, Pak. Harga naik. Kelapa lagi langka. Banyak petani sekarang nanem pohon Sawit,” jawab penjaga toko dengan santai.
Nullok hanya mengangguk dan membayar dengan berat hati. Uang bawaannya hampir habis hanya untuk sekotak santan. Sambil menghela napas, ia kembali berjalan pulang.
Saat melewati rumah Putri Busana lagi, ia melihat Yusuf dan kawan-kawannya masih di sana, masih sibuk dengan pohon mangga itu. Salah satu dari mereka menyapa saat melihat Nullok.
“Pak, itu mangga yang di dalam pagar ini punya siapa, ya?” tanya seseorang.
Nullok berhenti sebentar. “Itu punyanya adik ipar saya, Putri Busana.”
“Oh, gitu. Emangnya dijual nggak, Pak?”
Nullok mengangkat bahu. “Wah, saya kurang tahu. Tanya langsung aja, ya. Ini saya kasih nomor HP-nya.”
Ia menyebutkan nomor Putri Busana sambil menambahkan, “Tapi dia itu susah dihubungi kalau lagi kerja. Biasanya jam empat sore udah pulang. Tunggu aja sampai jam segitu.”
Setelah itu, Nullok kembali ke rumah dan menyerahkan santan Kara ke Lela. Lela juga agak terkejut melihat harga santan itu, tetapi karena memang perlu terpaksa dia menarik nafas saja.
Setelah kecombrang selesai di masak, mereka makan siang bersama. Setelahnya, Nullok mengambil palu dan paku untuk memperbaiki pagar samping rumahnya yang mulai lapuk.
Saat sedang asyik bekerja, matanya kembali menangkap gerak-gerik di rumah Putri Busana.
Dari balik pagar hitam itu, ia melihat Yusuf masih memungut mangga. Tapi kali ini, hanya anak Putri Busana yang tampak di teras. Nullok berhenti sejenak, lalu mendekat.
“Eh, Dek. Mama kamu ke mana?” tanya Nullok pada anak Putri Busana yang sedang bermain.
“Mama lagi kerja, Om,” jawab anak itu polos.
Nullok mengangguk dan kembali ke pekerjaannya. Namun, perasaan tak tenang mulai menggelitik hatinya. Ia pun mengirim pesan WhatsApp ke Putri Busana.
Nullok (13:20):
Tadi ada orang nanya soal mangga di rumahmu, Put. Aku bilang langsung tanya ke kamu. Aku kasih nomor kamu juga. Mungkin mereka nelpon.
Tak ada balasan. Nullok melanjutkan pekerjaannya. Namun sekitar sejam kemudian, ponselnya bergetar.
Putri Busana (14:33):
Nullok, kenapa kau biarkan orang masuk ke pagar rumahku, petik mangga, bahkan tentukan harga sendiri? Kenapa tidak bilang ke aku dulu?
Nullok terdiam membaca pesan itu. Ia merasa diserang padahal tidak merasa berbuat salah. Kebetulan Lela yang sedang menyapu halaman melihat ekspresi suaminya.
“Ada apa, Bang?” tanya Lela, mendekat.
Nullok menyodorkan ponselnya. Lela membaca pesan Putri Busana dengan alis terangkat.
“Lho, kok gitu? Emang Bang Nullok nyuruh mereka petik mangga, jual-jualin segala?” tanyanya dengan nada tinggi.
“Enggak. Aku cuma bilang tanya langsung ke Putri Busana. Mana mungkin aku menualnya, apa lagi tentuin harga segala, itu bukan mangga aku,” jawab Nullok tenang.
“Wah, ini nggak bisa dibiarkan. Sembarangan nulis WA marah-marah. Harus dijawab, Bang,” kata Lela sambil berdiri tegak.
“Udah, Le. Nggak usah. Marah dibalas marah nggak ada habisnya. Emosi sesaat bisa bikin ribut panjang,” ujar Nullok lembut.
“Tapi kita jadi kelihatan salah, Bang!” tegas Lela.
Nullok menggeleng. “Biar dia tenang dulu. Nanti kalau sudah adem, baru dijelasin. Kita tahu kebenarannya.”
Lela menghela napas, tapi akhirnya mengalah. Ia tahu suaminya tidak suka memperpanjang masalah. Namun diam-diam, hatinya masih geram.
Sore hari, saat langit mulai jingga, Putri Busana pulang dari kantor. Ia langsung menuju halaman dan melihat sisa mangga berserakan di tanah. Raut wajahnya masih tegang. Ia masuk ke rumah, mencari anaknya, dan bertanya.
“Siapa yang biarin orang-orang itu masuk tadi?”
“Enggak tahu, Ma. Aku main aja tadi. Mereka datang sendiri, katanya udah dapat izin,” jawab si anak.
“Izin dari siapa?” geram Putri Busana.
“Aku nggak tahu...”
Hari berikutnya, kebetulan libur
Di tengah terik matahari siang, Putri Busana duduk di beranda rumahnya yang megah, mengipas dirinya dengan tangan kosong karena kipas elektrik di pojok ruangan mati akibat pemadaman listrik.
Ia mengenakan daster mahal dari kain satin yang mencolok, wajahnya dikerutkan oleh amarah yang tak terbendung.
"Memang tidak tahu diri!" gerutunya sambil berdiri dan melangkah mondar-mandir. "Berani-beraninya dia jual mangga milikku, tanpa izin, tanpa sopan santun, seolah-olah itu pohon warisan dari leluhurnya."
Tangannya mengepal. Nafasnya naik-turun cepat.
"Dasar miskin! Tidak punya pekerjaan, hidup dari belas kasih, eh sekarang malah menjual hasil kebun orang!"
Putri Busana adalah sosok perempuan yang keras kepala, tegas, dan terkenal karena tutur katanya yang tajam. Ia adalah adik dari Lela, istri Nullok.
Rumahnya berdiri megah di seberang jalan, dan di halaman rumahnya yang luas berdirilah sebuah pohon mangga besar yang setiap tahun berbuah lebat. Namun, ia sangat protektif dengan pohon itu. Baginya, setiap buahnya adalah harta yang harus dijaga.
Sementara itu, di rumah kecil seberang jalan, Nullok dan Lela sedang duduk santai di ruang tengah sambil menonton televisi. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah begitu tenang.
Lela tertawa kecil melihat acara komedi, sedangkan Nullok termenung sesaat, matanya tidak benar-benar menatap layar TV.
“Aneh ya, Le…” gumam Nullok.
“Apa yang aneh, Bang?” tanya Lela sambil menyodorkan keripik singkong.
“Aku merasa... kayaknya ada yang marah sama aku. Tapi aku nggak tahu siapa. Rasanya kayak... tiba-tiba orang menatapku sinis, atau enggan menyapa.”
Lela mengerutkan dahi. “Siapa yang marah? Emangnya Bang Nullok bikin salah apa?”
“Entahlah. Tapi sejak aku kasih nomor adek ipar, HP Putri Busana, ke orang yang nanya soal mangga, kayaknya suasana jadi beda. Tapi aku nggak pernah bilang pohon itu dijual. Cuma suruh nanya langsung.”
Lela meletakkan keripik ke piring dan menatap suaminya serius.
“Jangan-jangan... Putri marah?” bisiknya.
Nullok menoleh cepat. “Hah? Kenapa dia marah?”
“Kalau yang ditanya tentang mangga itu adalah pohon di halamannya, bisa jadi dia pikir Bang Nullok yang nyuruh orang jualin.”
“Lho, tapi kan aku nggak bilang begitu! Aku malah bilang tanya langsung ke yang punya.”
Lela berdiri, berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit dan menatap rumah besar Putri Busana. Tidak ada aktivitas di luar, lampunya sangat tera ng, tapi suasana rumah itu terasa panas.
Seolah-olah kemarahan sedang menari-nari di balik temboknya.
Di rumah seberang, Putri Busana kembali melanjutkan omelannya saat suaminya, Aji, pulang kerja. Ia baru menaruh tasnya ketika sang istri sudah membombardir dengan kata-kata.
“Kamu lihat ini!” kata Putri sambil menunjukkan chat WA dari seorang pembeli mangga.
“Orang ini bilang katanya harga mangga sudah ditentukan. Katanya Nullok yang bilang harganya sekian. Padahal aku nggak pernah suruh siapa pun jual!”
Aji mengerutkan dahi. “Tapi... bukannya kamu sendiri yang pernah bilang mangga itu banyak banget, sayang kalau busuk?”
“Ya, tapi tetap saja harus ada izinku. Ini orang malah main ambil dan jual seenaknya. Nullok itu sok sekali!” bentak Putri.
Aji menarik napas panjang. Ia tahu karakter istrinya yang mudah tersulut emosi. Tapi dia juga tahu Nullok bukan orang sembarangan. Walau hidup serba kekurangan, Nullok terkenal jujur dan tidak pernah cari gara-gara.
“Aku rasa ini cuma salah paham. Mungkin dia hanya dimintai info. Bukan berarti dia yang jual,” ujar Aji.
“Ya tetap saja! Dia seharusnya bilang ke aku dulu. Bukan kasih nomor, terus diam saja. Itu sama saja ikut terlibat!”
Beberapa hari berlalu, suasana di antara rumah Nullok dan Putri Busana menjadi dingin. Tidak ada sapa. Tidak ada senyum. Bahkan saat Lela mengantar sepiring kue ke rumah Putri, hanya asisten rumah tangga yang keluar menerima.
Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada senyum.
Suatu sore, Lela duduk bersama Nullok di beranda. Mereka memandangi langit jingga yang indah. Namun keindahan itu seakan tak bisa mengusir kegelisahan dari wajah mereka.
“Aku capek, Bang,” bisik Lela pelan.
“Capek apa?”
“Capek merasa bersalah atas sesuatu yang nggak kita lakukan. Rasanya, dunia ini nggak adil banget. Kita dihukum karena orang salah paham.”
Nullok memandang langit. Angin sore menyentuh wajahnya.
“Tapi kita nggak bisa memaksa orang mengerti. Yang bisa kita lakukan hanya menjelaskan, dan sabar. Selebihnya biar waktu yang jawab.”
Lela menatap suaminya, tersenyum tipis. Ia tahu, suaminya tidak punya pekerjaan tetap, penghasilan mereka tidak seberapa, dan mereka hidup jauh dari kemewahan. Tapi hati Nullok adalah tempat ternyaman yang pernah ia tinggali. Selalu tenang, selalu jernih.
Hingga akhirnya, seorang penjual buah datang ke rumah Putri Busana. Ia mengembalikan satu kantong plastik berisi beberapa mangga.
“Maaf, Bu Putri. Saya batal beli. Ternyata saya salah paham. Orang yang saya temui di jalan cuma kasih nomor, bukan yang jual. Saya kira sudah diizinkan.”
Putri Busana mendadak terdiam. Amarahnya selama ini seperti menghantam dirinya sendiri. Ia menatap kantong plastik itu lama. Lalu ia duduk di sofa, terdiam dalam pikiran.
Sore itu, ia mengetik pesan:
Putri Busana (16:58):
Nullok, saya minta maaf. Sepertinya saya salah paham. Terlalu cepat menilai. Saya pikir kamu yang jual manggaku. Ternyata kamu hanya kasih nomor. Maafkan saya ya.
Nullok membaca pesan itu dengan tenang. Ia menoleh ke Lela yang lalu memperlihatkan pesan itu.
“Lihat?”
Lela membaca. Matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka, akhirnya kebenaran datang juga.
“Aku bilang juga apa, Le. Sabar adalah jalan paling bijak,” kata Nullok dengan senyum tipis.
Lela duduk di sebelah suaminya. Ia menggenggam tangan Nullok erat. Hatinya lega.
Beberapa hari kemudian, Putri Busana datang sendiri ke rumah kecil mereka. Membawa sekarung mangga, sambil berkata pelan:
“Ini buat kalian. Maaf, ya...”
Dan di halaman kecil itu, di antara tawa dan aroma mangga masak, yang dulu adalah kemarahan kini berubah jadi pengertian. Kesalahpahaman tak lagi menjadi bara, melainkan pelajaran bahwa harga sebuah kejujuran dan kesabaran selalu akan dibayar lunas oleh waktu.
Meskipun itu memerlukan waktu dan kesabaran.
***