Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja itu, keping malam yang deras hujannya. Bintang tidak kelihatan wujudnya. Mendung hitam menutupi keindahan mega senja. Aku terduduk berantakan di ujung jalan seorang diri. Pecahan cermin yang kulempar berserakan di depanku. Tertimpa hujan, menimbulkan bercak bayangan aneh. Bayanganku yang aneh.
Aku meraih salah satu. Mengamati sisi-sisinya.
“Mama, terima kasih. Atas hidupku yang terlalu senyap.”
Crasss!
“Miauww … Miauww”
Buyar. Konsentrasiku terpecah. Nyaris saja pecahan kaca membelah nadiku. Telingaku mendengar suara itu. Suara yang sudah lama tidak kudengar. Suara White, bayi kucingku yang dibuang Mama sekaligus induknya.
Celingak-celinguk aku menajamkan telinga di tengah aliran hujan. Beringsut mengikuti suara White.
"Miauwww... Miauwww"
Suara itulah yang aku cari. Suara itu memanggil-manggilku sedari tadi. Tidak berhenti meskipun hujan kian membadai. Justru semakin kuat terdengar, menggema ke segala penjuru. Tapi aku kebingungan. Dari mana suara bayi kucing itu mencicit.
"Miauwww... Miauwww"
Setiap kali aku mendatangi suara itu berasal tiba-tiba aku mendengarnya dari arah yang lain. Seolah-olah tangis bayi kucing itu berpindah-pindah tempat. Aku sudah menyusurinya sepanjang kakiku lelah, tapi tangis kucing itu juga kian berlari.
"Miauwww…Miauwww..."
Diamlah wahai hujan. Biarkan aku mendengar jelas dari mana suara kucing itu menangis. aku kembali memejamkan mata, menajamkan telingaku lagi.
"Miauww… Miauwww"
Sepuluh detik. Oh, sekarang aku tahu suara itu semakin dekat. Tidak lagi menjauh berlari seperti tadi. Tapi aku masih bingung juga. Itu hanya suara. Tidak ada bayi kucing di sini. Tapi suara itu jelas sekali di depanku. Aku sama sekali tidak tahu.
"Miauww... Miauww"
Aku berjongkok. Menatap tumpukan sampah plastik di genangan selokan. Bau tidak nyaman menyerbu indra penciumanku tidak karuan. Membuatku pusing dahi. Aliran hujan mulai berubah menjadi gerimis kecil. Basah seluruh badanku tidak menyisakan kering sama sekali.
"Miauww… Miauww"
"Miauww… Miauwww"
Ternyata suara itu tidak satu tapi dua. Bersahut-sahutan saling menangis. Aku yakin bayi-bayi kucing itu ada di salah satu tumpukan plastik ini. Tapi yang mana?
Eh eh.
Di ujung sana ada satu plastik tebal menggeliat-geliat. Tersangkut di patahan ranting yang juga tersangkut karena sampah-sampah ini. Itu pasti si bayi-bayi kucing malang itu. Aku meloncat ke seberang tanah sekali loncatan.
"Hei"
Begitu mendengar suaraku, kucing-kucing itu diam sejenak. Untuk kemudian menjerit lebih keras. Melolong meminta tolong. Siapa pun yang mendengar tangis pilu itu niscaya akan ikut menangis. Tapi orang-orang berlalu lalang tidak peduli.
Aku sama sekali tidak kesusahan mengambil plastik berisi kucing-kucing itu. Lihatlah! Siapa gerangan bertindak setega ini.
"Miauww… Miauww"
"Miauww... Miauww"
Satu berwarna putih. White? Dan satu lagi berwarna hitam gelap. Kurus, kecil dan lemah sekali. Mereka langsung diam saat tanganku menyentuh kulit. Tidak ada lagi bulu, mereka kebasahan hampir mati tenggelam. Hanyut dibawa arus selokan dan tersangkut.
“Siapa yang berani dengan tega membuang kucing-kucing kecil ini”. Aku menangis sesenggukan. Ku peluk kucing-kucing itu sambil berbisik, "jangan mati, jangan mati." Lalu, Orang-orang berlalu lalang tidak peduli. Matahari benar-benar menenggelamkan diri. Menyisakan isak tangisku. Sendirian.
**
White.
Blacky.
Aku menyematkan nama itu. Memberi kalung inisial. Ku beri nama sesuai warna bulu mereka. Putih bersih dan hitam pekat. Lucu. Mataku berbinar menatap kedua kucingku. Iya kucingku yang dipungut dari tumpukan sampah seminggu yang lalu.
Lihatlah mereka bahkan hampir tidak kukenali. Mereka berubah 180 derajat. Bulu - bulu mulai tumbuh, matanya yang bersih, dan yang penting hidungnya tidak lagi pucat biru kedinginan. Aku tersenyum kepada dokter hewan yang merawat mereka, mengucap terimakasih. Dokter mengangguk-angguk. Setelah ini, aku tidak akan kesepian lagi. Aku sudah punya teman, Ma.
"White, Blacky, mari kita pulang."
Aku merengkuh mereka, menciumi pucuk telinga satu satu. Berbisik, “terimakasih sudah menyelamatkanku.”
Mama menyambutku di teras rumah. Memelukku erat.
“Ini teman yang kamu bilang, Na?”
Aku mengangguk kuat-kuat. Tersenyum lebar-lebar. Perasaan bangga menyeruak ke sela-sela hati. Rasanya menghangat. Tapi Mama melihatku sendu.
“Kenapa harus kucing, Na?”
Eh. Apa maksudnya itu? Mama tidak suka White dan Blacky? Senyumku pudar. Memangnya siapa lagi temanku selain mereka, Ma? Tidak ada kan!
Aku melewati Mama yang terhenyak dengan teriakanku. Membawa White dan Blacky yang mengeong tidak paham.
Di kamar aku menangis sesenggukan. Rasa sakit itu datang lagi. Kehampaan itu menyakitiku. Aku menatap kosong cermin di depanku. Juga menatap kosong cutter yang kupegang. Perlahan mengarahkannya ke atas nadi tangan kiriku.
Crasss!
“Miauww … Miauww”
White dan Blacky menjilat-jilat kakiku. Meminta aku memangkunya. Aku tersadar.
“Baiklah teman kecil, sini naik. Akan kuceritakan padamu, sakitku.”
Aku tidak punya teman. Aku hanya punya diriku. Dimanapun, aku selalu sendirian. Lihat dahiku, ini dijahit karena orang-orang jahat melempariku batu. Mereka selalu bilang, “Nana bocah aneh, Nana bocah aneh”, atau, “Nana orang gila, Nana orang gila”. Aku tidak aneh, bukan? Aku tidak gila. Aku selalu ingin punya teman. Tapi tidak ada yang mau berteman denganku.
“Miauww …”
White? Blacky? Kenapa suaramu jadi aneh sekali. Seperti sedang kesakitan.
“Kau baik-baik saja?”
Aku melihat Mama di pintu. Tangannya mengatup menutupi mulutnya yang menganga. Lemas. Mama terjatuh duduk di depanku. Aku menatapnya bingung. Dengan lembut, Mama meraih tanganku.
“Kenapa Mama menangis?”
“Berapa White dan Blacky yang harus Mama buang, Na.”
Mama mengelap tanganku yang berdarah dan juga cutter yang penuh bulu.