Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun tanpa peringatan, membasahi bumi dalam bisikan samar yang menempel di kaca jendela, dingin, lirih, tak diundang.
Angin mengetuk jendela dengan gemuruh pelan, seolah ingin mengingatkanku akan sesuatu yang sudah lama kutahu, sesuatu yang seharusnya membuatku pergi.
Aku duduk di sudut kamar yang dingin, membiarkan keheningan menjalar seperti kabut yang perlahan menelan seluruh keberadaanku. Dinding-dinding kamar yang catnya mulai mengelupas, menyerupai luka-luka lama yang enggan untuk sembuh.
Di ruangan ini, aku dan dia selalu berhadapan seperti dua musuh yang berpura-pura berdamai. Wajahnya tampak akrab namun asing, seperti rumah yang dulu kupanggil tempat kembali, kini berubah menjadi gua yang menelanku perlahan.
“Kamu masih marah?” Suaranya mengalun pelan, seperti angin yang menyentuh permukaan air tanpa menimbulkan riak.
Aku berpaling, menahan diri agar mata ini tak menangkap sorotnya yang penuh harap. Jemariku terulur sejenak, tetapi suara yang keluar terdengar lebih lirih daripada yang kuinginkan.
“Jika aku membiarkan bara ini tetap menyala, apakah akhirnya akan ada cahaya, atau hanya abu yang tersisa?” tanyaku, memecah keheningan yang selama ini melindungi kami seperti dinding yang rapuh.
Dia terdiam, seolah mencari kata-kata di tengah kesunyian yang menggantung. Hingga akhirnya, dengan suara yang hampir tenggelam, dia berkata, “Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu.”
Aku terkekeh pelan, bukan karena lucu, tapi karena pahit. “Seperti dulu?” ulangku, separuh tak percaya. “Dulu pun kita seperti ini berjalan di atas pecahan kaca, berpura-pura bahwa kita tak berdarah.”
Sunyi kembali menyelimuti. Aku belajar bahwa setiap kata menciptakan retakan baru. Maka kubiarkan udara dingin meresap ke dalam ruangan. Angin kembali mengetuk jendela mungkin marah, mungkin mendesak.
Aku ingin pergi, aku ingin bebas. Tapi setiap kali aku berpikir untuk meninggalkannya, sesuatu dalam diriku berbisik, “Bagaimana jika aku tidak bisa hidup tanpa dia?”
Aku seperti burung yang kedua sayapnya terikat rantai emas, indah, berkilauan, tapi mengekang. Bersamanya, aku terkurung dalam sangkar kebahagiaan semu yang lebih mirip labirin tanpa pintu keluar. Tanpa dirinya, aku tercerabut dari rumah yang telah lapuk, terombang-ambing dalam sunyi yang lebih kejam daripada luka yang ia goreskan di dadaku.
Ia adalah badai yang datang tanpa aba-aba, menghantam segalanya hingga porak-poranda. Tapi anehnya, saat ia pergi, aku justru merindukan badai tersebut. Mungkin luka-luka yang ia tinggalkan telah menjadi bagian dari diriku. Terlalu akrab, terlalu nyaman, hingga perih itu perlahan menjelma menjadi candu.
“Aku sayang kamu,” bisiknya, suaranya mengiris udara seperti ujung pisau yang nyaris tak terlihat.
Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan mata yang dipenuhi tanya. “Sayang?” ulangku, nyaris hanya sebuah helaan napas.
“Sayang seperti apa? Seperti ranting yang menggenggam daun terakhirnya, enggan melepaskan, bahkan saat angin memaksanya pergi?”
Dia terdiam, tetapi sorot matanya berbicara lebih jelas dari kata-kata. “Aku tahu aku salah, tapi aku... aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”
Kalimat itu meluncur perlahan, seharusnya menjadi embun pagi yang menyejukkan. Tapi di bibirnya, kata-kata itu lebih mirip benang halus yang tak kasat mata mengikat tanpa terasa, menahan tanpa izin.
Hubungan kami seperti badai yang tak pernah reda, datang menggulung, pergi meninggalkan puing. Dia mencintaiku dengan pelukan yang hangat, tetapi setiap dekapannya menggores luka yang tak pernah sembuh.
“Kita bisa bahagia,” katanya dengan keyakinan yang mengalir seperti sungai yang tak pernah surut.
Aku menatapnya, mataku tajam seperti pisau yang mencari kebenaran di balik kata-katanya. “Bahagia?” ulangku, suaraku mengandung pahit yang tak bisa kusembunyikan.
“Bahagia seperti apa? Seperti bunga yang mekar di tanah tandus, hanya untuk layu lebih cepat? Seperti senyum yang ditorehkan di wajah penuh luka?”
Dia terdiam sesaat, tapi tak menyerah. “Aku tahu aku belum sempurna,” katanya lirih, suaranya nyaris menghilang di antara jarak yang semakin melebar di antara kami. “Tapi aku benar-benar ingin kita mencoba lagi.”
Aku tertawa kecil, getir. “Mencoba lagi?” ulangku, seakan mengecap rasa pahit dari kata-kata yang terlalu sering kami ucapkan. “Entah sudah berapa kali kita melangkah dengan harapan baru, hanya untuk kembali ke jalan yang sama”
Dia menatapku sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tidak ada jawaban. Tidak ada usaha membantah atau menjelaskan. Hanya keheningan yang menggantung di antara kami, semakin berat, semakin dingin.
Aku ingin percaya. Aku ingin berpura-pura bahwa semua ini hanyalah badai yang akan berlalu, bahwa suatu hari, kami bisa menjadi seperti pasangan dalam cerita-cerita yang berakhir bahagia.
Tapi aku tahu itu bohong.
Karena setiap kali aku mencoba melihat masa depan bersamanya, bayangannya selalu kabur, terlalu dipenuhi dengan ingatan tentang luka yang terus ia tinggalkan.
Aku pernah berulang kali untuk mencoba pergi. Kuselipkan secarik surat perpisahan di bawah bantalnya. Lalu melangkah hingga berada di ambang pintu, membiarkan udara luar menyentuh kulitku seperti sapaan lembut dari dunia yang tidak mengenal kesakitan ini. Namun, setiap kali bayangannya kembali menyelinap di benakku, langkahku goyah, hatiku melemah.
“Kamu nggak akan bisa bahagia tanpaku” ucapnya tiba-tiba seperti ranting yang menahan daun terakhirnya, enggan melepaskan. Kata-katanya berdesir, merayap seperti bayangan senja yang menolak tenggelam, menyusup pelan ke dalam pikiranku, membekas lebih dalam dari yang kusadari.
Aku menatapnya lama, membiarkan kata-katanya bergema di ruangan itu.
“Kenapa kamu selalu berpikir aku tak bisa berjalan tanpa bayanganmu? Seolah aku hanyalah daun yang tak bisa bertahan tanpa rantingnya, terombang-ambing tanpa arah begitu kau pergi.” tanyaku akhirnya, suara penuh campuran rasa sakit dan keinginan untuk mengerti.
“Karena aku tahu kamu,” katanya, cepat seperti angin yang berhembus sebelum badai datang. “Aku tahu kamu takut melangkah sendirian, takut menghadapi dunia tanpa pegangan. Aku... aku adalah tempatmu bersandar, bukan?”
Sorot matanya kelabu, seperti langit yang menggantung mendung tanpa hujan. Suaranya merayap di antara kami, mengisi celah-celah hening yang semakin menyesakkan.
Aku menarik napas, mencoba meredakan gelombang di dadaku. “Mungkin kamu benar,” kataku, nyaris hanya sebuah bisikan. “Aku memang takut sendirian. Tapi lebih menakutkan lagi hidup dengan seseorang yang terus-menerus membuatku percaya bahwa aku tak cukup kuat untuk berdiri sendiri.”
Dia membuka mulut, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian menutupnya lagi. Matanya mencari-cari sesuatu di wajahku, mungkin harapan terakhir yang bisa ia genggam.
Dan aku percaya.
Aku percaya bahwa tanpa dirinya, aku hanyalah kapal yang kehilangan arah, terombang-ambing dalam lautan yang sunyi. Ia pernah menyelamatkanku dari badai masa lalu atau setidaknya begitu yang kupercaya dulu. Tapi kini, justru dia menjadi badai itu sendiri.
Aku tahu aku harus pergi. Aku tahu bahwa jika aku terus bertahan, aku akan berubah menjadi kapal karam yang semakin jauh dari daratan. Tapi setiap kali aku mencoba melangkah, bayangan dirinya menyeretku kembali, menjebakku dalam pusaran yang sama, dalam lingkaran setan yang tak berujung.
Kadang aku hampir memeluknya lagi, hanya karena takut. Kadang aku meyakinkan diriku bahwa cintanya masih bisa berubah. Tapi itu hanya tipuan yang kubuat sendiri, ilusi yang kubangun dari serpihan harapan yang sudah lama mati.
Namun, malam ini berbeda.
Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku bertanya, “Apakah aku benar-benar mencintainya, atau aku hanya takut sendirian?”
Aku mengangkat wajah, menatapnya.
Untuk pertama kalinya, aku melihatnya bukan sebagai seseorang yang harus kucintai, tetapi sebagai seseorang yang telah lama membuatku tenggelam. Sorot matanya yang dulu membius, kini tampak kosong dan menuntut.
Aku tahu jika aku tetap bertahan, aku akan perlahan larut seperti tinta yang melebur dalam hujan semakin samar, semakin kehilangan bentuk. Aku tak lagi menjadi diriku sendiri, hanya bayangan yang merayap di sudut yang kian gelap.
Tangannya terulur, menyentuh wajahku seperti biasa. Tapi kali ini, aku mundur. Gerakanku mengejutkannya.
Aku merasakan nafasnya yang tertahan, melihat matanya yang mulai dipenuhi rasa takut. Bukan takut kehilanganku. Tapi takut kehilangan kendali atas diriku.
Dan aku tahu, ini saatnya aku pergi.
Aku berdiri, membiarkan langkahku bergerak tanpa ragu. Lantai kayu di bawahku berderit pelan, seperti turut menyaksikan keputusanku yang selama ini tertunda.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tangannya mencoba menghentikanku, "Tolong, jangan pergi," pintanya dengan suara bergetar. Aku menatapnya sejenak, membiarkan kata-katanya meluncur seperti angin yang tak mampu menghalangi langkahku. "Aku sudah terlalu jauh dalam keberanian yang selama ini aku abaikan,” jawabku tegas sebelum melangkah pergi.
“Aku berubah, sungguh,” katanya, nyaris seperti bisikan dari jurang yang dalam. Tapi aku sudah tak bisa lagi mendengar janji-janji yang selalu dibungkus indah, hanya untuk kembali melukai.
Aku melangkah ke luar pintu, membiarkan hujan menyambutku dengan pelukan dingin.
Hujan semakin deras, mengguyur tubuhku hingga aku nyaris tak merasakan dinginnya lagi. Jalan setapak yang becek di depan rumah menjadi saksi atas setiap jejak yang kutinggalkan. Aku melihat cahaya lampu jalan dari kejauhan, memantul di genangan air seperti serpihan harapan yang bersinar dalam kegelapan.
Aku tahu, di luar sana ada dunia baru yang menungguku, dunia yang tidak dipenuhi janji-janji palsu, tetapi keberanian untuk hidup sebagai diriku sendiri.
Tetesan hujan yang membasahi wajahku terasa seperti sapuan lembut seorang ibu pada anaknya, memberiku keberanian yang tak pernah kumiliki sebelumnya. Pohon-pohon di pinggir jalan bergoyang diterpa angin, seperti memberi isyarat bahwa mereka tahu tentang pilihanku malam ini.
Aku memandang ke langit. Meski gelap, aku bisa merasakan bintang-bintang di atas sana, tersembunyi di balik awan, namun tetap bersinar. Aku ingin seperti mereka, tetap bercahaya meski tersembunyi oleh luka-luka yang pernah ada.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak takut.
Aku membiarkan air hujan menyapu setiap jejak yang pernah ditinggalkannya dalam diriku, membiarkan angin membawa pergi rasa sakit yang selama ini selalu menemani. Aku seperti tanah kering yang akhirnya menelan deras hujan, bukan untuk mati, tapi untuk tumbuh kembali.
Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi.
Aku tidak tahu bagaimana rasanya hidup tanpa luka yang selama ini selalu menempel di kulitku. Tapi aku tahu, luka itu bukan lagi sesuatu yang harus kupelihara.
Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar bebas.
Aku berjalan tanpa menoleh. Langkah-langkahku tak lagi ragu. Aku membawa tubuhku yang basah kuyup, tetapi hatiku terasa ringan, seolah beban bertahun-tahun ikut hanyut bersama air hujan.
Aku tahu perjalanan ini tak akan mudah, bahwa kesepian mungkin akan menyelinap ke dalam setiap sudut hidupku. Ada malam-malam yang akan sunyi, ada pagi-pagi yang dingin tanpa pelukan. Tapi setidaknya, itu sunyi yang kupilih, bukan dipaksakan.
Aku juga tahu, kebebasan adalah harga yang layak untuk diperjuangkan.
Dan malam ini, aku memilih menjadi hujan yang jatuh tanpa ragu membasuh, menghapus, lalu mengalir pergi.
Bukan lagi sebagai bayangan dari cinta yang memenjarakan, tapi sebagai diriku sendiri yang akhirnya tahu cara berdiri.