Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dapatkah manusia mengubah takdir hidupnya? Jika dapat, sungguh aku ingin melakukannya. Terlahir dari benih seorang bajingan sungguh memuakkan. Bagaimana tidak? Darah yang mengalir di tubuhku sudah pasti mengandung inti darahnya. Itu membuatku merasa ada unsur ke-bajingan-an merasuki diriku.
Aku muak. Sekuat apapun menolak, nyatanya satu demi satu sifat bajingan itu kutemukan juga dalam diriku. Aku bahkan merasa betapa diriku seperti tengah bermetamorfosis perlahan menjadi dirinya. Nah, jika hal ini kubiarkan, bukankah pada akhirnya aku akan menjadi se-bajingan dirinya?
Sungguh aku tak mau. Cukup dia saja yang dilabeli sebagai bajingan. Sebagai bedebah. Sebagai sampah. Bramacorah. Aku sama sekali tidak ingin. Sebab selama ini, hanya dengan dikenal sebagai anaknya saja, aku kenyang disumpahserapahi orang-orang. Hanya pandang mata penuh hujatan dan hinaan yang kuterima.. Belum lagi perlakuan mereka padaku. Kau mungkin tak pernah tahu, bagaimana bacinnya bau liur orang-orang yang meludahi wajahmu, hanya karena mereka membenci bapakmu.
Kau tahu, sebagian besar hidupku nyaris kuhabiskan untuk memikirkan cara memutus takdir ini. Banyak rencana berkelindan di kepalaku. Banyak siasat terbesit di sana. Dan dari segala siasat yang pernah muncul, kurasa cara terbaik hanya ada satu: membuatnya tak lagi ada di muka bumi. Dengan begitu, aku tak akan terhubung lagi dengannya. Dan segala pengaruh buruknya dalam hidupku selesai.
Masalahnya, siapa yang pernah tahu kapan seseorang akan mati? Tak ada yang tahu kapan akhir hidup seseorang, bukan? Kecuali kau adalah malaikat maut yang datang membawakan kematian. Kematian. Ah! Baiklah. Sepertinya itulah yang harus kulakukan. Aku harus berpura-pura menjadi elmaut untuk melenyapkan bajingan itu.
***
Menurut cerita orang-orang kampungku, aku lahir saat purnama pucat bertengger tepat di pucuk langit. Katanya saat itu merupakan saat terkelam yang pernah ada, meskipun malam bermandikan cahaya bulan tapi malam itu penuh gelimang darah. Malam kematian, begitu mereka menyebutnya.
Malam itu, si bajingan menerjang masuk ke gubuk kecil tempat keluarganya tinggal. Napas dan tubuhnya menguarkan aroma kuat minuman keras. Konon, meski berbotol-botol alkohol telah habis dia tenggak, dia tak pernah menjadi terlalu mabuk seperti bajingan-bajingan lain, yang biasanya berakhir dengan terkapar di lantai lepau. Itulah mengapa orang-orang menyebutnya si kerbau gila. Sebab dia masih mampu untuk mengacau, bahkan mengamuk jika suasana hatinya buruk. Begitu juga malam itu, hanya akal sehat dan kewarasannya saja yang hilang. Sementara tenaga dan kebajinganannya tetap kuat melekat pada dirinya.
"Sarmi! Sarmi!" Teriakan parau meluncur dari mulutnya.
Perempuan berparas layu gemetar di tikar lusuh dalam gubuk itu. Ia mendongak. Keringat meluruh di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar mengusap perut yang membusung. Raut wajahnya jelas menggambarkan bahwa ia tengah sekuat tenaga menahan gelombang rasa nyeri yang merayap di sana.
Di sudut lain, masih di ruang yang sama, tiga bocah perempuan seringkih dahan kayu kering meringkuk ketakutan. Bocah termuda menangis dengan mata setengah terbuka. Bocah tertua mencoba menenangkan, sementara pandang matanya terus menghindari tatap ganas si bajingan.
"Kenapa monyet itu?" Gelegar suara si lelaki mabuk menciutkan nyali para bocah, kecuali yang termuda. Anak kecil itu terus saja menangis. Sepertinya perih yang terasa hingga ke ulu hatinya sejak siang tadi sudah tak tertahankan.
"Mau makan! Mau makan!"
"Diam kau, Bocah! Heh, Sarmi! Kenapa tidak kau bungkam mulut monyet itu?"
"Dengan apa?" Sarmi gemetar. Mungkin dia tengah menahan amarah, juga nyeri yang menjadi-jadi di perutnya. "Tak ada apa-apa lagi di rumah ini. Kau merampas semua upah yang kudapat siang ini hingga kami,"
"Hei, Jalang!" Lelaki itu menghambur ke arah Sarmi. Wajah perempuan itu kembali mengkerut saat tangan kasar si bajingan mencengkram bagian leher dasternya yang usang, lalu menariknya kuat. "Kusuruh kau membungkam monyet kecil itu, bukan malah mengoceh menyalahkanku, Perempuan!" katanya. Mata merahnya nyalang menikam.
Pekikan Sarmi mengalahkan teriakan marah si lelaki, saat tubuhnya kembali dihempaskan ke lantai. Nyeri yang lebih dalam menyergapnya. Ia melolong sambil menghamburkan caci maki pada si bajingan. Ketiga bocah perempuan menangis ketakutan, apalagi saat melihat darah mulai menggenang dari balik selangkangan ibu mereka, kemudian membanjiri lantai.
Si bajingan semakin liar. Kebisingan itu memacu amarahnya hingga memuncak, membuat akal sehatnya semakin terkapar. Membabi buta di hajarnya bocah-bocah yang menangis keras. Tanpa ampun. Tak dipedulikan pekik dan lolongan Sarmi yang mencoba menyelamatkan anak-anaknya, sekaligus menahan tikaman rasa sakit yang terus menerus menyerang perutnya. Di puncak kalapnya, lelaki itu menghantamkan satu tendangan ke arah Sarmi yang sedang bersusah payah mengejan. Seketika, Sarmi tersungkur diam. Tangis ketiga bocah sudah lebih dulu terbungkam. Hening sempat singgah sejenak sebelum pecah oleh suara tangis lain yang lebih kuat membelah malam. Itulah tangisku.
Ya, konon seperti itulah caraku dilahirkan. Mungkin tarikan napas pertamaku saat itu, seiring dengan hela napas penghabisan ibu dan tiga saudaraku. Sialnya, tarikan napas pertama dalam hidupku itu, harus disambut dengan engah napas si bajingan di puncak kebajinganannya.
***
Mataku perih, ketika bertahan membalas tatap matanya. Mata dengan bingkai keriput di sudut-sudutnya itu masih tetap bergeming. Tetap tajam menusuk tepat ke mataku. Tikaman pandang mata itu tak berubah meski senyum miring terbentuk di sudut bibirnya. Lalu bibir yang menghitam itu membuka perlahan, menyemburkan asap yang sebelumnya ia sesap dalam-dalam.
"Jadi?" Bajingan tua itu melempar puntung rokok di tangannya ke arahku. "Kau ingin melawanku, Jagoan?"
Ludah pahit meluncur dari sela bibirku yang kering. Tak kupedulikan pertanyaannya. Sebab aku tahu itu bukan pertanyaan. Itu hinaan lain seperti hinaan-hinaannya terdahulu padaku.
"Bajingan kecil tak tahu diri," katanya sambil menyeringai.
"Jangan sebut aku bajingan! Kaulah bajingan, bukan aku," desisku menahan geram.
Bahu bajingan tua itu berguncang liar seiring gelegar tawanya yang membahana. Air mata bahkan menetes di pipi keriputnya yang memerah. Sepertinya puas sekali dia menertawaiku.
"Kau," katanya di sela sisa tawanya kemudian. "Bagaimana mungkin berkata begitu? Kau sebut aku bajingan, tapi mengapa kau menolak kusebut bajingan juga? Padahal aku adalah asal muasalmu. Sebab aku ada, maka kau pun ada. Kau berutang kehidupan padaku sejak tarikan napas pertamamu malam itu."
"Cih! Kau bukan Tuhan. Aku tak pernah berhutang apa pun padamu. Kehidupan? Memangnya kehidupan macam apa yang kau berikan? Kau bahkan membuatku terenggut dari orang yang harusnya memberiku sari-sari kehidupan dan rasa nyaman. Kau membuat orang-orang menyulam jaring-jaring kebencian di sekitarku. Karenamulah maka setiap hari aku harus menelan kepahitan-kepahitan. Kau menutup semua peluang yang kumiliki. Jika kau anggap yang semacam itu adalah utang, aku akan mengembalikannya padamu sekarang juga, lengkap dengan bunganya!" kataku sambil menghunus belati di genggaman.
***
Dapatkah manusia mengubah takdir hidupnya? Jika kau bilang dapat, sungguh aku ingin sekali memercayainya. Aku sudah pernah mencoba mengubah takdir hidupku yang kelam. Namun, alih-alih berubah, sepertinya ia malah memelukku lebih erat dari sebelumnya.
Jika dulu orang-orang merendahkanku karena aku anak seorang bajingan, maka setelah kupaksakan dinginnya belati menembus dadanya dan menghentikan detak jantungnya malam itu, orang-orang malah menyematkan kata itu padaku. Ya, kini mereka malah menyebutku bajingan. Bahkan para bajingan di balik jeruji-jeruji itu juga menyebutku demikian.