Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Malam Itu
1
Suka
7
Dibaca

Hari mulai senja saat kami kembali dari tempat itu. Maksudku, rumah kawanku, yang berjarak sekitar lima kilometer dari tempatku naik motor. Tengkukku serasa dihujani bola-bola es, dingin dan sakit sekali. Ari malah bersenandung ria dengan earphone ditelinganya tanpa mempedulikan aku yang seperti ini.

“Jon? Masih jauh gak?’ tanyanya.

“Nggak, tinggal tiga persimpangan lagi.” Jawabku.

Sakit kepala mulai menyerangku. Perutku mual sekali. Seakan-akan aku berada di atas kapal yang penuh sapi bau yang sedang melewati samudra pasifik yang berombak hebat karena badai ganas. Dingin karena aku tidak memakai jaket, aku meninggalkanya di rumah kawanku.

Persimpangan pertama. Kami melewati deretan kayu jati yang berdiri kokoh dan tampak menyeramkan. Ranting-rantingnya seakan ingin mencengkeramku. Dan aku melihat wanita tua yang sedang melambai.

“Ri, ada nenek-nenek tuh.” Kataku.

“Jangan mau ditipu!” serunya.

Ia jauh di belakang kami, kemudian ia menghilang. Anehnya, ia berpindah ke depan kami. Ia masih melambai.

“Ri!” seruku.

“Sudah aku bilang jangan mau dikerjai Mbah Jati!” serunya lebih keras.

“Bagaimana kamu bisa yakin?” tanyaku.

“Lukman sudah memperingatkan, kamu lupa?”

Aku tidak melihatnya lagi. Kami masih berada di antara deretan pohon jati. Jalan begitu berlika-liku. Belok sana belok sini. Kepalalu semakin pening. Dingin semakin mengganas seiring bertambahnya waktu. Matahari sudah tidak nampak lagi, hanya sinarnya yang saja yang menembus daun-daun jati.

“Jon, cari mushola yuk.” Ujarnya.

“Oke, kamu nyetir aku tengokin jalan, siapa tahu ada mushola.” Jawabku.

Masih lama lagi waktu berkendara. Jika dihitung, kami akan sampai rumah selama dua jam. Dan ini sudah jam enam, ah tinggal satu jam lagi. Dan aku melihat mushola.

“Ri, ada mushola tuh! Turun yuk.”

“Oke.”

Kami menghentikan sepeda motor kami. Kami pun turun dan langsung mengambil air wudhu. Segar rasanya, dan kami segera masuk ke dalam mushola. Kami berdiri di barisan ketiga. Sholat pun dimulai. Beberapa menit kemudian, sholat pun usai dan dilanjutkan dzikir. Rasa peningku pun sedikit berkurang.

“Jon, lanjut yuk.”

“Nanti aja, nunggu isya’, kan enteng pulangnya.”

“Oke deh.”

Hanya kami dan seorang kakek di mushola ini. Ia sedang membaca Al-Qur’an yang sampulnya terlihat tua dan usang. Dari penampilannya ia memang orang baik-baik. Aku mendengarkan bacaannya sampai selesai. Indah sekali.

“Dasar anak jaman sekarang, sering menutup telinga saat orang membaca Al-Qur’an.” Ujar pak tua itu.

Yang dia maksud Ari.

Aku menyenggol lengan Ari, “Ri!”

Ia melepas earphonenya, “apa?!”

“Jika ada orang baca ini, kamu harusnya dengarkan. Jangan kamu sumpal telingamu itu!” seru pak tua itu.

“Bapak siapa?” tanya Ari sambil mengangkat alis.

“Orang desa.” Jawabnya.

“Saya tanya betul-betul!” seru Ari.

“Saya juga jawab betul-betul.” Jawabnya santai.

Ia kemudian meraih mikrofon dan menancapkanya di speaker. Ah ternyata muazin, kemudian ia mengumandangkan adzan. Aku sering melihat dan mendengar adzan di televisi, namun suaranya tidak sedalam dan seindah ini. Kami maju kebarisan paling depan. Dan jujur saja, selama ini aku belum pernah di depan. Kemudian orang-orang pun berdatangan. Satu per satu barisan dipenuhi, sampai mushola ini seakan tidak muat lagi menampung lautan manusia.

Setelah usai, kami langsung tancap gas. Sebelumnya, pak tua di mushola itu berkata, “hati-hati kalau sudah lewat kuburan tua, jangan sampai dijahili, ingat Tuhan!”

Ari berhenti dan berbalik, “apa itu benar pak?!”

“Saya pernah bohong?” tanya pak tua itu.

“Nggak tau sih pak, emm, makasih pak, assalamualaikum.” Ucapku.

“Waalaikumsalam, jangan lupa! Ingat tuhan!” serunya.

Kami pun melanjutkan perjalanan dengan Ari yang bergantian menyetir. Beberapa belokan telah kami lalui. Dan akhirnya sampailah pada tempat keramat itu, kuburan tua. Yaampun, luas sekali tempat ini seolah kami terus masuk kedalamnya, dan seakan tempat ini tanpa ujung. Ya Allah! Aku mulai takut!

“Ingat tuhan Jon! Kamu tahu ayat kursi?” tanyanya.

Aku mengangguk dengan bodohnya tanpa menyadari jika Ari tidak menghadap kebelakang.

“Tahu tidak?!” tanyanya lebih keras.

“T..tahu.” jawabku.

Aku pun melantunkan ayat kursi dengan gemetar diikuti Ari yang juga membaca dengan setengah terbata. Oh, jalan ini sudah berakhir, kami keluar dari kuburan tua. Dan aku menengok ke belakang. Hanya ada lima makam saja di sana, lalu kenapa seakan-akan luas sekali? Untung kami baca ayat kursi, kalau tidak, mungkin kami hanya berputar-putar di sana sampai pagi.

“Kita dikerjain ya?” tanya Ari.

“Pake nanya lagi! Udahlah! Terus aja!” seruku.

Kami melanjutkan perjalanan panjang ini tanpa percakapan. Akhirnya sampailah di ladang tebu. Tingginya batang tebu membuat suasana makin seram. Penerangan hanya dari lampu sepeda motor yang kami naiki saja, selebihnya tidak ada.

“Jon, aku kebelet nih.” Ujar Ari.

“Ha? Pake kebelet lagi!” seruku marah.

“Udah aku mau turun!” seru Ari.

Ari menghentikan motornya dan langsung berlari ke tengah ladang. Sebelum itu ia berteriak, “tunggu di situ!”. Lalu ia berlari ke sana.

Dan sekarang aku sendirian di pinggir jalan. Motornya kunyalakan agar mendapat cahaya, persetan dengan aki drop yang penting tidak gelap lagi. Parahnya ponselku mati. Dan ponsel Ari? Tentu ia bawa.

“Lama banget!” gerutuku.

Kakiku sudah tidak kuat lagi. Ingin rasanya pergi dari sini dan tidur di atas kasur empuk di rumah. Lagian Ari juga yang salah, sudah aku bilang pulang siang malah pulang sore. Beginikan jadinya.

Srek. Srek. Srek. Oh, suara apa itu?

“Apaan tuh?” tanyaku entah pada siapa, “Ri?”

Srek, srek, srek! Suara makin cepat. Aku pingin pipis dicelana, dan..

“Hoa!”

“Gyaaaa!!” teriakku.

Ari tertawa terbahak-bahak. Dan semakin terpingkal saat melihatku.

“Dasar! Udah jalan!” seruku.

Kami melanjutkan perjalanan. Aspal di ladang ini berkelok-kelok dan seperti di tempat keramat tadi, tempat ini makin lama makin luas. Oh tidak! Kami berada di tengah ladang, dan kemana jalan beraspal tadi? Seingatku kami ada di sana. Kami terjebak!

“Jon kok aneh ya?” ucap Ari sambil bergidik.

“Tadi kita lewat jalan kan? Jalannya mana?” tanyaku lebih bergidik.

“Jalannya kok ilang ya?”

Mesin motornya tiba-tiba mati. Ari berkali-kali menghidupkannya, tapi masih mati.

“Cari orang yuk Jon.” Ujar Ari tiba-tiba.

“Orang? Kita aja nggak tahu jalan! Jalannya ilang nih!” seruku.

Dan terdengar suara bayi menangis. Spontan kami berpelukan. Makin lama makin keras suara itu. Dan tiba-tiba sunyi lagi. Kami masih berpelukan, kemudian kami menutup mata dan membaca ayat kursi sambil gemetar. Dari bacaan Ari aku tahu ia sudah bisa membacanya dengan lancar.

Kami membuka mata. Kami ada di pinggir jalan dan sudah keluar dari ladang tebu entah bagaimana caranya. Bahkan Ari saja tak percaya.

“Jalan yuk.” Ujar Ari.

“Oke. Udah hampir persimpangan kedua nih. Ayo naik!” seruku.

Dan kami terus berkendara hingga persimpangan kedua. Seperti yang kami perkirakan saat di rumah Lukman, bensin habis di persimpangan kedua. Untungnya, di sana ada penjual bensin eceran, persis seperti kata Lukman.

“Pak, bensin satu liter!” seruku.

Sementara bapak itu mengisi bensin, Ari sibuk mencari uang di dalam dompetnya. Ia tersenyum kecut. Lagi-lagi uangku melayang. Dasar! Utang Ari sudah banyak, mau ngutang lagi.

“Jadi totalnya dua puluh ribu Ri.” Ujarku.

“Waduh, kapan-kapan aja Jon. Aku lagi kanker kantong kering hehehe..” jawabnya.

“Hmmmm, sudah kuduga.” Kataku sambil memegang dagu.

“Hahahah... bisa aja kamu Jon!” serunya.

Kami melanjutkan perjalanan lagi. Sepanjang jalan tak henti-hentinya kami mengobrol. Dan sampailah kami di persimpangan terakhir. Di sana kami melewati jembatan gantung. Karena kecapean, kami menghentikan motor kami di sana.

“Jam berapa Ri?” tanyaku.

“Ha?!” seru Ari.

“Kenapa Ri?!” tanyaku panik.

“U..udah jam sebelas.” Jawabnya.

Aku menganga tak percaya. Bagaimana mungkin perjalanan dua jam bisa menjadi sangat lama sekali? Dan jam sebelas? Pasti orang rumah sedang mencariku sekarang. Dan aku tidak pernah keluar malam sampai jam sebelas sebelumnya.

“Kok bisa ya Jon?” tanya Ari bingung.

“Aku juga nggak tahu Ri.” Jawabku.

Kami memutuskan untuk melanjutkan lagi. Dan ketika akan naik motor, kami dicekal puluhan orang yang entah datang darimana. Sepertinya itu begal. Begal yang berkelompok.

“Serahkan motor kalian!” seru mereka.

Kami saling beradu punggung untuk melindungi satu sama lain.

Aku berujar lirih, “kita serahin aja motornya.”

“Nggak bisa! Ini motor kesayangan aku!” serunya.

Tampaknya begal-begal itu mendengar perkataan Ari. Kemudian mereka mendekat dan mulai melayangkan senjata masing-masing. Kami berhasil menghindar.

“Bandel ya?” ujar seorang dari mereka.

“Cari mati nih.” Lanjutnya.

Dan mereka mulai menyerang. Kami sekali lagi bisa menghindar. Tiba-tiba kami memisah secara spontan. Dan pertarungan menjadi dua bagian antara aku dan Ari. Mereka mengeroyok masing-masing dari kami. Aku mendengar suara jeritan Ari dari arah lain, kemudian jeritan itu hilang begitu saja. Ari sudah mati?

Aku masih balas menyerang. Begal-begal itu seolah tanpa ujung. Akhirnya salah seorang dari mereka tanpa sengaja menjauhkan senjata mereka. Kesempatan! Aku mengambil samurai itu. Bats! Bats! Bats! Aku menumpas kepala mereka satu per satu.

Semua lebih jelas. Lautan darah tampak menyelubungi jembatan ini. Masih tersisa satu orang lagi. Ia masih bugar. Tampak jelas ia tidak bertarung tadi. Dan ia di samping Ari. Ia meraih tubuh Ari kemudian menjatuhkannya ke jurang sungai.

“Temenmu itu lho, ngerepotin.” Ujarnya tanpa belas kasihan.

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mengambil samuraiku dan langsung berlari ke arahnya. Ia masih di sana. Dan ia sama sekali tidak merubah posisinya. Bagus! Bodoh sekali ia!

Bruk! Aku terjatuh. Aku menengok ke belakang. Begal-begal tadi berjalan layaknya zombie dan mereka menahan tubuhku. Oh, ini lebih buruk dari segala hal. Dan pria yang membuang Ari mendekatiku. Ia mengacungkan samurainya pada leherku.

“Mampus!” serunya.

Sret! Kepalaku menggelinding ke jurang sungai. Aku, aku mati? Dan aku, aku akan kemana?

“Jon! Joni!”

Aku membuka mataku. Dan tampaklah Ari dan Lukman dengan wajah panik. Mereka menepuk-nepuk pipiku.

“Jon! Bangun!” seru Lukman.

Spontan aku langsung duduk. Apakah itu mimpi? Dan apa yang terjadi sebenarnya?

“Kamu jangan bikin aku panik dong!” seru Ari.

“Apaan sih?” tanyaku.

Ari menganga, ia menjawab, “ tadi kamu pingsan, kamu teriak-teriak deh.”

“Ha?” aku menganga tak percaya.

Pingsan? Tunggu! Jadi itu hanya mimpi saja?

“Aku mimpi aneh.” Kataku.

“Mimpi apa?” tanya Lukman.

“Ari..” aku berhenti sejenak.

“Apa? Aku apa?” tanya Ari.

“...mati.” sambungku.

“Ha!” seru Ari.

“Pfff-tt hahahaha!!!!” Lukman tertawa terpingkal-pimgkal.

Ari mengguncangku, “heh! Enak saja! Berani sekali kamu!”

Kami berhenti sejenak. Napas kami terengah-engah. Lukman memperbaiki duduknnya. Ia kemudian sedikit bercerita kepada kami. Cerita yang membuat kami terkejut.

“Itu memang benar, pengalaman pribadi sih. Mimpi aneh gara-gara nabrak pohon keramat, serem, tapi seru.” Jelas Lukman.

“Jadi?” tanyaku meminta kepastian.

“Ya, gitu deh. Kamu nabrak pohon, terus pingsan.” Jawab Lukman.

“Jadi kita pulang sekarang Jon?” tanya Ari.

Lukman berdiri, “udah mau magrib nih, nginep aja di sini, ati-ati, mimpi tadi bisa deja vu.”

“Deja vu?” tanyaku.

“Nggak ngerti deja vu?” tanya Ari.

“Ngerti kok!” seruku.

Kami pun masuk ke rumah Lukman. Untung cuma mimpi, pantas saja rasanya absurd. Aku membayangkan jika mimpi mengerikan itu akan menjadi kenyataan. Mungkin lebih baik kami menginap saja.

Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Malam Itu
Noer Eka
Cerpen
Bronze
Diteror 2 Hantu
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Bronze
'sompral'
anindira
Cerpen
Bronze
Tulang Kelinci
Imajinasiku
Cerpen
Bronze
BURUNG HANTU BERMATA IBLIS
Sri Wintala Achmad
Novel
Rajah Hitam
Fasihi Ad Zemrat
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Cerpen
Bronze
Mereka Yang Tak Terlihat
Dewi Hana
Cerpen
wajah kedua
Syahroni Abu Hanif
Skrip Film
Yang Tak Kembali
Herumawan Prasetyo Adhie
Cerpen
Bronze
Suara Penyiar Radio
Christian Shonda Benyamin
Flash
SEBUAH LUKISAN TENTANG ORANG-ORANG YANG KELAPARAN
Reiga Sanskara
Flash
The Puppet Master
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
JERAT ILMU WARISAN
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Rumah Sunyi Saksi Bunuh Diri
Siti Nashuha
Rekomendasi
Cerpen
Malam Itu
Noer Eka
Cerpen
Penguasa Lautan
Noer Eka
Flash
Blog Misteri
Noer Eka
Cerpen
Dalam Tidur
Noer Eka
Cerpen
Menunggu Hukuman Mati
Noer Eka
Flash
Rekaman
Noer Eka
Cerpen
Tentara Yang Sendirian
Noer Eka
Cerpen
Insomnia
Noer Eka
Cerpen
Menggantikan Tukang Takjil
Noer Eka
Cerpen
LARI!
Noer Eka
Cerpen
Telepon Iseng!
Noer Eka
Cerpen
Thalasophobia
Noer Eka
Cerpen
Masculine Woman
Noer Eka
Flash
Kecoak Terbang
Noer Eka
Flash
Hantu Kesepian
Noer Eka