Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
MALAM ALUNA
1
Suka
4,623
Dibaca

Untuk pertama kalinya, sebuah pertahanan runtuh di dalam jiwa seorang perempuan. Cinta tidak datang. Nafsu pun tak sempat menyentuh. Yang menjatuhkannya adalah hidup itu sendiri—keras, tanpa ampun. Serupa langit yang turun setiap hari, menekan sedikit demi sedikit ubun-ubunnya. Semakin hari, semakin berat.

Namanya Aluna. Usianya dua puluh dua tahun, angka yang, katanya, masih menyisakan harapan dan cinta. Tapi malam itu, ia tidak sedang jatuh cinta. Ia bahkan tidak merasa dirinya cantik. Namun, ia tetap memoles bibirnya dengan lipstik merah murahan yang tidak ia sukai, mengenakan gaun pinjaman yang membungkus canggung tubuhnya, dan berdiri sangat lama di depan cermin retak di kamar kosnya. Ia tak sedang berdandan mengagumi diri. Bukan juga demi siapa pun. 

Ia berdiri di sana hanya untuk berdebat dengan bayangannya sendiri. Dengan versi lama dari dirinya, yang masih percaya dunia ini masuk akal. Dunia masih adil.

Ia menatap pantulan matanya—kosong, buram, jauh. Seperti seseorang yang pernah ia kenal, tapi sudah lama hilang arah.

Lalu, perlahan, dengan suara lirih, ia membisikkan satu-satunya hal yang masih masuk akal malam itu.

“Yang penting besok masih bisa makan.”

Sebuah mantra. Pembenaran. Sekaligus vonis.

Lelaki yang menunggunya di lobi hotel—ia bisa saja menjadi ayahnya, atau bahkan lebih tua. Mereka tidak pernah saling mengenal, kecuali melalui serangkaian pesan yang dingin, dan transaksional, lebih menyerupai kontrak diam-diam antara dua makhluk yang kehilangan arah ketimbang percakapan dua manusia. Namun Aluna tetap datang.

Ia tidak datang karena kebodohan, dan bukan karena mata hatinya tertutup pada dosa. Ia paham. Terlalu paham, justru. Ia melihat kebusukan itu dengan terang benderang dan tetap melangkah masuk. Sebab kadang, pengetahuan yang terlalu tajam justru mengikis nurani lebih dalam dari kebodohan. Seolah kesadaran yang terus-menerus dipikul lama-lama berubah menjadi racun; dan pada titik tertentu, jiwa berhenti menjerit karena sudah terlalu terbiasa mendengar dirinya sendiri terluka.

Ada malam-malam ketika jiwa manusia menyerah karena sudah terlalu kenyang menelan moralitas yang tak pernah mengenyangkan. Dan dalam kekosongan itu, bahkan dosa pun tampak seperti satu-satunya pelarian yang masuk akal.

Aluna tidak sedang menjual tubuhnya. Tidak, itu terlalu sederhana, terlalu vulgar. Ia sedang melelang martabatnya dalam sebuah pelelangan gelap yang hanya disaksikan oleh Tuhan bersama iblis yang bertengger di bahunya. Ia berharap seseorang bisa membayar sewa kos yang sudah tiga bulan tertunggak, menebus ijazahnya yang ditahan, dan mungkin, jika Tuhan masih berbaik hati, menyisakan sedikit nasi hangat untuk adiknya di rumah.

Di dalam kamar hotel yang steril dan berbau pengharum ruangan yang menusuk, waktu seolah membeku. Udara terasa padat, sulit untuk dihirup. Ia duduk di tepi ranjang yang seprainya putih bersih, menanti dosa yang akan tumpah menjadi noda. Ia mendengar suara air dari kamar mandi, tempat lelaki itu—makhluk itu—sedang membersihkan diri. Tangan Aluna gemetar hebat. Pergulatan di dalam dirinya begitu dahsyat hingga tubuhnya tak mampu lagi menahannya.

Ia menatap ponselnya, membuka galeri foto. Di sana ada wajah adiknya, tertidur pulas sambil memeluk boneka beruang kumal. Dunianya masih murni, kepolosan yang harus ia lindungi dengan mengotori dirinya sendiri. Lalu ia mematikan layar dan menatap langit-langit kamar yang pucat.

“Tuhan,” bisiknya dalam hati, melemparkan percakapan yang terdengar seperti gugatan. “Jika Kau memang ada di atas sana, jika Kau memang melihat ini semua… tolong, untuk malam ini saja, palingkan wajah-Mu. Jangan nilai aku. Atau jika Kau tetap ingin menilai, maka nilailah juga dunia yang Kau ciptakan ini, yang memaksa domba-domba-Mu menjadi serigala untuk bertahan hidup.”

Malam itu tak punya nama. Tak ada mimpi, tak ada cinta, tak ada gairah. Hanya ada daging, uang, dan keheningan yang mencekik di antara napas dua orang asing. Di lubuk hatinya yang terdalam—di sudut tergelap yang bahkan cahaya pun enggan menyentuh—suara kecil terus meratap, seperti seorang anak yang kehilangan induknya: “Ini bukan aku. Ini bukan aku. Ini bukan aku…”

Dan justru karena suara itu masih ada, ia tahu jiwanya belum sepenuhnya mati. Ia hanya sedang disalib, di antara langit pengampunan dan tepi jurang yang menatapnya dengan wajah ibunya sendiri.

Aluna tidak menangis setelah semuanya selesai. Air mata adalah kemewahan bagi mereka yang masih merasa berhak untuk berduka. Ia hanya diam. Membiarkan tubuhnya telentang di ranjang yang kini terasa seperti meja otopsi. Lelaki itu sudah tertidur, napasnya berat, separuh berdengkur. Terdengar mirip dengan suara binatang yang terpuaskan.

Di jam seperti ini, biasanya Aluna sedang mendengarkan podcast motivasi. Tapi malam ini, suara-suara di kepalanya jauh lebih ramai. Suara ibunya, “Perempuan baik-baik jaga kehormatannya, Nduk.” Suara dosen filsafatnya, “Jangan pernah khianati idealismemu demi materi, itu adalah bentuk perbudakan paling hina.” Lalu suara dirinya sendiri lima tahun lalu, seorang gadis lugu dengan mata menyala, “Aku mau punya hidup yang berarti!”

Tawa getir nyaris lolos dari bibirnya. Berarti? Apa arti dari semua ini?

Ia berdiri, bergerak tanpa suara seperti hantu. Di atas meja, tergeletak delapan lembar uang. Uang yang cukup untuk menunda kematian selama seminggu. Mungkin dua. Ia mengambilnya. Tak ada rasa lega. Tak ada rasa bangga. Tak ada rasa jijik. Yang tersisa hanyalah kekosongan yang membekukan. Hampa seperti lift yang turun dari lantai paling tinggi ke dasar bangunan dengan kabel yang nyaris putus.

Di luar kamar, jam digital di lobi menyala merah darah: 2:34. Ia berjalan melewati cermin besar di koridor dan berhenti. Ia menatap pantulan dirinya. Perempuan itu tampak sama, tapi matanya… matanya seperti rumah yang penghuninya telah lama mati bunuh diri, dan tak ada satupun warga yang menyadarinya.

Udara malam menyambutnya dengan dingin yang menusuk. Kota ini tetap bising, tapi di dalam dirinya, segalanya senyap. Ia berjalan menyusuri trotoar tanpa tujuan. Satu kalimat yang berputar-putar di kepalanya: “Ternyata, hidup bisa seburuk ini.”

Tapi anehnya, justru saat kesadarannya datang, langkahnya terasa lebih ringan. Ia telah melewati batas. Ia telah jatuh ke dasar jurang. Tak ada lagi yang perlu dipertahankan. Tak ada lagi ketakutan untuk jatuh lebih dalam.

Sebelum fajar, ia tiba di kosannya. Bau tubuh lelaki itu masih menempel samar di kulitnya. Ia tak berniat mandi. Biarlah bau itu menjadi pengingat, menjadi stempel dari kehancurannya. Di depan cermin kecil yang kusam, ia menghapus lipstik merah dengan gerakan lambat dan hampir lembut. Seolah sedang memakamkan seorang gadis yang pernah ia kenal.

Teleponnya bergetar. Notifikasi tagihan listrik.

Ia hanya menatap layar, lalu membalikkan ponsel. Menidurkannya seperti mayat kecil. Langit di luar mulai membiru pucat. Ayam jantan dari gang sebelah mulai berkokok, menyambut hari baru yang tak ia harapkan.

Aluna merangkak ke kasur, menelungkupkan wajah ke bantal yang berbau apek, dan mulai berdoa dalam bahasa yang telah lama ia lupakan. Bukan kepada Tuhan yang telah memalingkan wajah-Nya.

Ia berdoa kepada Kekosongan. Kepada ruang hampa yang kini menjadi satu-satunya rumahnya. Kepada malam itu—malam yang akhirnya membuatnya berhenti percaya bahwa hidup ini punya makna selain penderitaan.

Dan sebelum kesadarannya lenyap ditelan kantuk, ia sempat berpikir.

Mungkin, entah nanti atau esok aku akan bangun dan menyesal. Mungkin juga tidak. Tapi malam ini… untuk pertama kalinya, aku merasa utuh dalam kehancuranku. Dan tidak ada satu pun dari kalian yang berhak memaafkan aku lebih dulu, sebelum aku sendiri sanggup melakukannya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
Holiday in Japan
Mizan Publishing
Novel
KEJORA
Lebah Bergantung
Cerpen
Bronze
Aku Ingin Mudik, Tapi Tidak Bisa
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
MALAM ALUNA
IGN Indra
Novel
Tak Semestinya Cinta
Mega Mahliani
Flash
A DAUGHTER'S LOVE
Reiga Sanskara
Flash
Sad Boy
Lusiana Adella
Flash
TAK BERANI BICARA
Almasarym
Cerpen
Mimah [yang Tersenyum di bawah Pohon Jambu]
E. N. Mahera
Novel
Mysterious Girl
cia
Novel
Catatan Kelam Sang Pendosa
Popy Novita
Novel
DAYRENT
Putri Amelia Solehah
Skrip Film
i want you to be fine (Script)
imajihari
Flash
Happy Birthday 24
Rumpang Tanya
Cerpen
Bronze
Happy Birth Day Our Queen
Daud Farma
Rekomendasi
Cerpen
MALAM ALUNA
IGN Indra
Cerpen
SEPERTI SALJU BULAN APRIL
IGN Indra
Novel
32 DETIK
IGN Indra
Flash
MANGKAT
IGN Indra
Cerpen
SATU HATI DUA CINTA
IGN Indra
Cerpen
LEIL FATTAYA
IGN Indra
Flash
HUJAN DI BALKON SEBELAH
IGN Indra
Cerpen
WARISAN KETIGA
IGN Indra
Flash
Cinta Pergilah, Hari Sudah Malam
IGN Indra
Cerpen
KAMAR 303
IGN Indra
Flash
PAJANGAN LEMARI KACA
IGN Indra
Novel
32 HAL TENTANG KAMU
IGN Indra
Flash
REBUSAN KOSONG
IGN Indra
Flash
PURA PURA WARAS
IGN Indra
Cerpen
CINTA TAK PERNAH SAMPAI
IGN Indra