Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hanya ada sebuah makam sederhana, tanpa batu nisan, tak bernama.
Satu-satunya di puncak Gunung Kapur di Desaku, dahulu tak ada yang peduli, bau belerang semerbak dengan asin tumpukan sampah bekas pengunjung, yang ingin mandi gratis menghilangkan kudis. Membuat makam itu bukanlah apa-apa.
Barangkali abu di dalamnya telah meresap menjadi inti terkecil di dalam tanah, sang empunyapun telah lupa menaruh jasad siapa, atau bahkan orang terbuang tak punya siapa-siapa.
Makam itu rata dengan tanah, hanya dikelilingi batu sekepal tangan membentuk makam. Tak ada yang mengganggu.
Barangkali, itulah ingatanku pada makam di atas Gunung Kapur. Tapi semua berubah pada saat emakku lari tergopoh masuk ke rumah, didapatinya aku dan bapak sedang menonton televisi malam itu.
"Pak, Yung, makam di atas gunung keluar cahaya!" Aku dan bapak masih tak mengerti, menatapnya penuh tanya.
"Iya itu, Mbah Retno yang bilang."
"Lihat sendiri?" Tanya bapak, sambil menonton TV.
"Katanya tiga kali berturut-turut dalam mimpi."
"Cih!" Seru bapak, tak lama tertawa.
"Ngelindur. Jangan percaya! Musyrik."
Emak terdiam.
"Terus, Mak?" Tanyaku yang sedikit penasaran.
"Katanya itu petunjuk dari khodam leluhurnya Mbah Retno."
"Petunjuk apa?"
"Sedang dicari tahu, banyak orang pintar lagi di gunung, tirakat minta petunjuk."
"Minta petunjuk siapa?"
"Entah."
Barangkali kalau bukan Mbah Retno sesepuh desa dan orang terpandang, orang-orang takkan peduli dengan mimpinya yang tiga kali berturut-turut itu, didatanginya orang pintar, dan dukun sakti untuk bertelepati dengan penghuni makam, tak lupa pula ahli arkeologi yang katanya juga didatangkan untuk meneliti.
Entah benar atau bohong, itu terjadi pada malam hari, dan tak ada yang ikut menjadi saksi.
"Benar, itu makam keramat Ratu Cendana Arum, dari satu kerajaan di Ujung Kulon." Kata Mbah Retno.
"Ini masih daerah kekuasaannya, Sang Ratu memang suka bertapa di gunung itu, hingga akhir hayatnya."
Banyak orang-orang desa yang percaya, sebagian lagi tak peduli, sedang aku ragu sekali. Siapa Cendana Arum? Kerajaan apa yang ada di Ujung Kulon? Bagaimana mereka membuktikannya?
Semua tak ada jawaban.
Namun cerita demi cerita baru berdatangan, tentang Pak Sonhaji yang sudah lama pincang, akhirnya bisa sembuh setelah datang ke makam dan mandi air belerang, tentang bocah remaja yang melihat penampampakan wanita cantik dengan mahkota, dan masih banyak lagi.
Orang semakin berbondong datang, penasaran. Desaku dipenuhi mistisme dan tahyul. Pada akhirnya makam itu dikeramatkan.
Emakku tak mau ketinggalan, isu Sang Ratu yang cantik jelita membikin para wanita menyimpulkan bahwa makam tersebut bisa mendatangkan kecantikan serupa pada mereka.
Kamis malam, Emak dan beberapa wanita lain hendak berkunjung. Malam-malam sekali hampir Tengah malam!
Bapakku naik pitam.
“Sudah keterlaluan! Jangan ikut-ikutan, kau kan tahu itu perbuatan musyrik?”
“Apa salahnya mencoba?”
“Salah. Kau percaya saja itu sudah salah!”
“Tapi bagaimana dengan mereka?”
“Biarkan! Kau jangan!”
“Aku kepalang janji.”
Keduanya saling diam.
“Mak!” Seruku hendak menengahi. “Lagi pula memang Emak tahu? Siapa Cendana Arum? Kerajaan apa yang ada di Ujung Kulon itu?”
“Dia Ratu, Yung!”
“Emak tahu dari siapa? Pak Lurah? Mbah Retno? Di buku sejarah tidak ada, Mak!”
“Tidak semua orang dulu ada di buku sejarah, Buyung! Sudah adat kita, toh diperbolehkan juga berziarah tak ada larangan.”
“Memang tak salah berziarah mengunjungi makam. Tapi niat kau itu yang salah!” Timpal bapak.
Seperti niatnya diawal, emak tetap pergi dengan teman-temannya. Menjelang subuh baru pulang, ia membawa oleh-oleh air doa, ditaruhnya di air bak kamar mandi, dipakai mandi dan cuci muka. Bapak hanya menggerutu.
Desaku mulai ramai, pak lurah sendiri yang paling sumringah, menggunakan dana desa ; diperbaikinya makam dengan sangat indah, dipasangkannya nisan dengan dibungkus kain putih, dan dibangunkannya sebuah pendopo dengan keramik.
Tak lupa wewangian bunga setumpuk di pusara makam, lampu dan kipas angin, serta kelambu putih diatas makam.
Jalan menuju puncak diperbaiki, tangga diganti dengan yang lebih kokoh, dan gapura bagai gerbang masuk kekuasaan Sang Ratu, dituliskan besar-besar : Makam Keramat Ratu Cendana Arum.
Tak lupa kotak amal besar, di pintu masuk, di pertengahan jalan, dan di dekat makam, lengkap dengan para penjaga. Air belerang yang dulu gratis kini berbayar.
Ibu-ibu yang dulu hanya mengurus rumah tangga beramai-ramai membuat warung kecil, berdagang. Dagang apa saja, mulai dari air bunga sampai kerajinan tangan, dari hasil bumi, hingga makanan ringan. Lihat itu! Desaku jadi desa wisata.
Desa ini menuju sejahtera, berita viral ke seantero negara, pengunjung semakin ramai, daya tarik air belerang yang memiliki banyak manfaat menambah eksotis dengan makam keramat, juga pemandangan dari atas gunung kapur sudah bukan lagi isapan jempol.
"Ini karomah yang dimiliki Sang Ratu, kita patut bersyukur." Kata Pak Lurah dan Mbah Retno pada saat musyawarah warga.
Aku lupa pada penasaranku, tak lagi aku bertanya siapa Ratu Cendana Arum? Kerajaan apa yang ada di Ujung Kulon itu? Bagiku Pak Lurah memang benar, keberadaan makam keramat itu telah banyak membawa kemakmuran dan perubahan perekonomian bagi desaku.
Dan... Aku merasakan kemakmuran itu. Aku ikut sibuk jadi ojek motor bagi pengunjung yang tak kuat naik tangga.
Tapi sial! Hanya tiga bulan kemakmuran itu, katanya ada serombongan orang dari sebrang pulau datang mengunjungi Pak Lurah, mengaku pemilik sah makam Sang Ratu.
"Bagaimana mungkin?" Pekik Pak Lurah. Masih ku ingat matanya membelalak terkejut.
"Bagaimana mungkin? Itu makam mbah buyut kami, Mbah Suliman. Bukan orang sakti, apalagi penguasa kerajaan, dulu sedang sakit kudis dan tinggal di gunung untuk mandi belerang.
...Dua puluh tahun yang lalu, saya masih kecil, dulu desa ini hanya ada beberapa rumah, mbah buyut kami mati di atas gunung, jalannya masih cadas, sulit membawa jenazahnya turun, apalagi harus pulang kampung dengan ongkos. Kami putuskan dikubur di atas saja."
"Mengapa tidak diurus makam ini sejak dulu?"
"Kami tinggal di sebrang pulau sana. Lagipula kalau sudah meninggal apanya yang harus diurusi?"
"Saya tidak percaya! Tidak mungkin orang pintar itu salah."
"Pak Lurah, kami punya bukti."
“Dan Mbah Retno adalah orang terpercaya di desa ini. Sesepuh yang dihormati.” Katanya seperti pada diri sendiri.
“Pak Lurah, pemakaman ini resmi. Kami punya bukti.”
Pak Lurah terdiam, terdesak, otot-ototnya kaku, wajahnya memerah, ada rasa malu bercampur sedih, seperti kesamber geledek di siang bolong, terlebih ia akan kehilangan kemakmuran desanya.
"Diam-diam kalian semua, jaga rahasia ini, sampai kalian sanggup menjaganya." Pada beberapa orang yang berkumpul.
"Dan kau," katanya pada pemilik makam "Kita akan bicarakan."
Setelah itu satu persatu orang meninggalkan pekerjaan barunya, merasa tak mau menipu, hanya sebagian yang bertahan.
Mbah Retno menghilang, tak ada yang tahu pergi ke mana. Pak Lurah sudah tak pernah kelihatan di atas gunung, hanya beberapa pedagang dan pengunjung yang makin sepi, juga makam Mbah Suliman yang tak juga melakukan apa-apa.
Aku memilih pulang dan kulihat Bapak sedang tertawa mengejek Emak.