Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Makam Keramat
0
Suka
17
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Malam itu dingin menelusup masuk ke setiap celah gubuk kecil kami. Angin menggesek genteng rapuh, seakan ikut menyuarakan getir yang sedang kurasakan. Di dalam gubuk sederhana itu, aku dan suamiku bertengkar untuk pertama kalinya… dan mungkin paling hebat sepanjang delapan tahun pernikahan kami.

Anak kami—satu-satunya, laki-laki kecil berusia tiga tahun—terbaring lemah, panas tinggi membakar tubuh mungilnya. Tak ada uang untuk berobat, tak ada obat di rumah. Yang bisa kami lakukan hanya mengompresnya dengan air hangat seadanya. Hatiku remuk.

“Mas, aku capek… capek jadi miskin. Kita nggak punya apa-apa, bahkan untuk menyelamatkan anak kita sendiri,” isakku pecah di udara yang sudah sesak. “Adil kah ini? Sampai kapan kita harus begini?”

Suamiku, yang selama ini tenang dan jarang bicara, menatapku dengan mata yang merah menahan emosi. Ia menggenggam tanganku, menarikku menjauh dari anak kami yang tidur di atas karpet tipis, hanya berbalut selimut dari kain sholat.

“Kamu boleh marah, kamu boleh kecewa,” katanya lirih namun tegas. “Tapi jangan pernah berputus asa. Kita sudah melalui banyak hal, dan Allah selalu kasih jalan, meski perlahan. Aku tahu kamu takut, aku juga. Tapi aku berjuang, Dek, untuk kalian.”

Aku menunduk, gemetar menahan sesak di dada.

“Mas, aku bisa tahan lapar, aku bisa tidur di lantai. Tapi saat anak kita sakit… dunia seakan runtuh. Dia satu-satunya pelipur lara dalam hidup kita yang seperti ini. Kalau Tuhan ambil dia juga… mana janji-Nya? Mana bahagianya, Mas?”

Tak ada jawaban. Hanya keheningan. Hanya mata suamiku yang berkaca-kaca, menyimpan luka yang sama. Mungkin ia ingin menangis, tapi tak bisa. Mungkin ia ingin marah pada dunia, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Di gubuk kecil itu, kami tak bicara lagi. Hanya duduk berdampingan, diam dalam duka yang tak terucap. Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya aku merasa... kami benar-benar bersama dalam kesulitan.

Aku menatap anakku yang terbaring pucat. Bibirnya kering, tubuh kecilnya menggigil pelan menahan demam tinggi. Perlahan, kusentuh tangannya—dingin, rapuh, dan terasa begitu jauh dari kehidupan. Tanpa kusadari, air mataku mengalir deras. Aku bisa menahan diri untuk tidak mengeluh demi hidupku sendiri, tapi tidak saat menyangkut anakku. Semata wayangku. Satu-satunya alasan aku masih bertahan di dunia yang keras ini.

Andai bisa, ingin rasanya kutukar rasa sakitnya dengan tubuhku. Biarlah aku yang demam, asalkan dia sehat kembali.

Dari sudut ruangan yang remang, kulihat Mas Aris duduk membisu. Wajahnya pucat menahan resah, dan matanya menyimpan kekhawatiran yang dalam. Cahaya obor yang menempel di dinding gubuk kami menerangi sebagian wajahnya, memantulkan bayang-bayang duka di sekeliling. Di tengah keheningan itu, perutku merintih. Bunyi kosong yang menyakitkan. Tapi aku diam. Di meja kecil yang biasa kami pakai untuk makan, tak ada apa-apa. Hampa. Bahkan remah pun tak tersisa.

Malam itu terasa begitu panjang.

Malam di mana kami diuji oleh rasa lapar, rasa takut, dan rasa kehilangan—semuanya dalam waktu bersamaan.

Mas Aris terbangun dari duduknya. Tanpa suara, ia membuka lemari kayu tua yang sudah mulai lapuk. Aku mengamatinya dari kejauhan, diam-diam, sambil terus mengusap kening Dimas yang masih menggigil.

Tangannya meraba dalam-dalam, hingga akhirnya menarik sesuatu yang dibungkus kain hitam. Ia membawanya mendekat, lalu duduk di hadapanku.

“Dek…” suaranya lirih, nyaris patah. “Mas punya ini. Barangkali bisa kita jual di kota. Besok mas akan jual barang ini, ya. Kamu dan Dimas tunggu di rumah, mas akan bawa obatnya.”

Kain itu ia buka perlahan, dan di dalamnya tergeletak sebuah keris kecil berukir indah. Aku tertegun. Nafasku tercekat. Keris itu bukan benda sembarangan. Itu satu-satunya peninggalan keluarga Mas Aris. Bukan hanya berharga, tapi juga sakral—konon diwariskan turun-temurun untuk menjaga keselamatan keluarga dari marabahaya.

“Tapi mas… ini barang…”

“Iya, mas tahu,” potongnya cepat, matanya menatapku dengan getir. “Nggak ada pilihan lain, Dek. Mas minta maaf… karena sampai hari ini mas belum bisa bawa uang untuk beli beras, untuk beli obat… bahkan buat sekadar bikin kamu merasa aman.”

Aku hanya bisa mengangguk pelan. Lidahku kelu. Ada amarah kecil yang menggumpal, bukan pada Mas Aris… tapi pada keadaan.

Dalam hati, aku tahu: uang hasil penjualan itu takkan utuh sampai ke tangan kami. Pasti sebagian akan melunasi utang kami yang menumpuk—terutama pada Mbah Joko, penjual beras yang sudah terlalu sering memberi kami pinjaman tanpa jaminan. Dan seperti sebelumnya, mungkin tak akan ada sisa untuk kami bertahan hidup besok.

Namun malam itu, dalam keterpurukan dan pengorbanan, aku sadar… bahwa cinta sejati tak selalu bisa dibayar dengan kenyamanan. Kadang, ia diuji lewat kehilangan—bahkan kehilangan yang paling menyakitkan.

Tak lama setelah keheningan yang sunyi, tubuh kecil Dimas mulai menggigil lebih hebat. Ia mengigau pelan, memanggil, “Bu... Bu…” dengan mata yang masih terpejam. Suaranya lemah, nyaris tak terdengar, namun cukup membuatku tergetar.

Aku mendekapnya erat. “Iya, Nak… ini Ibu. Sabar ya, Nak. Besok pagi Ibu dan Ayah belikan obat,” bisikku dengan suara parau yang susah payah kutahan agar tetap tegar.

Mas Aris segera duduk di sampingku. Tangannya menyentuh kening Dimas, dan matanya membelalak. “Dek… makin panas.”

Aku hanya mengangguk sambil menahan tangis. Jam dinding tua di dekat pintu menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih terlalu malam. Tapi juga terlalu lama untuk menunggu pagi datang.

“Mas…” aku menoleh padanya dengan suara gemetar. “Adek nggak bisa nunggu lama. Gimana kalau Adek saja yang ke kota jual keris itu? Adek nggak tahan lihat Dimas seperti ini…”

Mas Aris menggeleng cepat. “Tapi Dek, ini sudah larut. Bahaya. Kamu tahu sendiri…”

“Aku tahu, Mas,” potongku, mataku lurus menatapnya. “Tapi rasa takutku kehilangan Dimas jauh lebih besar daripada rasa takutku menghadapi malam di luar sana.”

Ia terdiam. Wajahnya bimbang, penuh keraguan.

“Tolong ya, Mas. Izinkan aku. Aku janji akan cepat kembali. Mas tunggu di sini…”

“Aku saja, Dek. Mas yang akan ke kota. Mas tahu tempatnya.”

Aku menggeleng pelan. “Jangan, Mas. Kamu tahu di perbatasan desa ada makam keramat. Tempat itu tidak boleh dilewati laki-laki. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu.”

“Dek...”

“Percaya sama aku, Mas. Aku kuat. Aku akan kembali. Demi Dimas.”

Setelah hening sejenak, ia menyerahkan keris itu ke tanganku. Matanya berat, penuh kekhawatiran yang tak bisa diucapkan. Aku mengambilnya perlahan, lalu meraih obor di dekat pintu sebagai penerang satu-satunya.

“Dek, hati-hati. Mas nggak mau kamu kenapa-kenapa…”

“Iya, Mas. Percaya padaku.”

Aku pun melangkah keluar, meninggalkan gubuk kami yang redup, meninggalkan anakku yang masih menggigil dalam tidur yang tak tenang, dan seorang suami yang hatinya tertinggal bersamaku di malam yang tak pasti.

Aku berjalan perlahan menuju kota, menyusuri jalan setapak yang sepi, hanya berteman obor kecil di tanganku dan suara gesekan dedaunan yang ditiup angin malam. Desa kami memang jauh dari keramaian, dikelilingi oleh kebun-kebun liar dan deretan pohon bambu yang mendesak di sepanjang jalan. Cahaya obor dari gubuk satu ke gubuk lainnya terlihat samar, berjauhan, seolah memberi jeda antara satu kehidupan dengan yang lain.

Sesekali kulihat bayangan manusia—warga yang berjaga malam. Tapi semua itu hanya sampai di rumah Mbah Westu, guru kunci pemakaman desa. Rumahnya menjadi batas tak kasat mata, titik akhir bagi para ronda yang memilih tidak melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan.

Tak jauh dari rumah Mbah Westu, berdirilah pemakaman desa. Sebuah tempat sunyi yang dibatasi pagar kayu lapuk dan rimbun bambu tua yang menggantungkan bisik-bisik misteri. Meskipun pemakaman itu untuk umum, ada satu makam yang tak pernah sepi dari cerita menyeramkan: makam Ki Sukmo.

Warga desa menyebutnya dengan hormat sekaligus takut. Konon, semasa hidupnya, Ki Sukmo adalah orang yang disegani, ahli spiritual yang dikenal mampu menaklukkan makhluk tak kasat mata. Namun setelah wafat, auranya yang kuat masih terasa. Terlalu kuat, hingga para lelaki desa enggan melewati makam itu malam-malam, takut akan gangguan yang katanya kerap muncul dari sana.

Dan kini… aku harus melewatinya seorang diri.

Aku melewati jalanan desa perlahan, hingga akhirnya tiba di depan rumah Mbah Westu. Langkahku terhenti sejenak ketika tanpa sengaja mataku menangkap sosoknya—duduk tenang di kursi kayu depan rumahnya, diterangi cahaya obor kecil yang menggantung di teras. Tatapannya tajam, tenang tapi mengandung misteri yang membuat bulu kudukku meremang.

“Permisi, Mbah,” sapaku dengan suara setengah ragu.

Mbah Westu berdiri perlahan. Sosoknya yang renta tapi kokoh menghampiriku dengan langkah pelan.

“Mau ke mana?” tanyanya dingin, sorot matanya menembus gelap malam.

“Mau ke kota, Mbah. Saya ingin menjual barang untuk beli obat. Anak saya sedang sakit,” jawabku, mencoba tegar meski jantungku berdetak tak karuan.

Ia memandangku lama, lalu bertanya lagi, “Apakah kamu yakin akan melewatinya seorang diri?”

Aku tahu apa yang dimaksudnya. Makam Ki Sukmo.

Tenggorokanku terasa kering, tapi aku menelan ludah dan menggenggam obor lebih erat. “Yakin, Mbah. Saya permisi.”

Baru saja aku melangkah, suara beratnya memanggil, “Tunggu...”

Langkahku terhenti. Ia mendekat lagi, kali ini lebih lembut dari sebelumnya.

“Biar Mbah temani sampai melewati pemakaman,” ucapnya tenang.

Aku tercekat, tak menyangka. “Boleh, Mbah,” ucapku lirih, hatiku sedikit lebih ringan.

Aku tahu, malam ini belum tentu aman. Tapi ada seseorang yang berjalan bersamaku. Dan itu cukup… untuk saat ini.

Kami melangkah perlahan dalam diam, hanya ditemani bunyi dedaunan yang bergesekan dengan angin dan suara langkah kaki menyentuh tanah kering. Dua obor di tangan kami menjadi satu-satunya cahaya di jalanan yang seolah tak berujung itu. Di tangan kananku, keris kecil yang dibungkus kain hitam tetap kupegang erat—seolah itu satu-satunya harapan yang tersisa.

Sesekali aku menoleh ke arah Mbah Westu, mencoba menelaah sosoknya yang misterius. Keheningan ini membuat pikiranku penuh tanya.

“Mbah, aku mau nanya,” ucapku akhirnya, pelan, takut mengganggu.

Mbah Westu menoleh sekilas, memberi isyarat bahwa aku boleh melanjutkan.

“Apa Mbah aman mengantarku sampai melewati pemakaman? Bukankah katanya... berbahaya kalau laki-laki lewat sana malam-malam?”

Langkahnya tak terhenti, namun aku sempat melihat rahangnya mengeras. Suaranya kemudian terdengar lirih, tapi tegas, “Apa kamu tahu asal-usul makam Ki Sukmo?”

Aku menggeleng pelan. “Nggak, Mbah.”

Ia menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke depan.

“Ki Sukmo bukan sekadar tokoh spiritual biasa,” ucapnya perlahan. “Dulu... dia adalah penjaga desa ini. Bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Ia bisa membaca gelagat, mengusir marabahaya, bahkan konon bisa berbicara dengan arwah.”

Aku menelan ludah, bulu kudukku perlahan meremang.

“Tapi hidupnya berakhir tragis. Ki Sukmo dibunuh oleh orang-orang serakah dari luar desa yang mengincar warisan pusakanya. Mayatnya ditemukan terkubur di tengah hutan, lalu dipindahkan ke pemakaman itu. Sejak saat itu, arwahnya dipercaya tetap berjaga... tapi juga kadang menguji.”

“Menguji?” tanyaku nyaris berbisik.

“Iya... menguji siapa pun yang lewat dengan niat tak tulus, atau yang menyimpan amarah, dendam, bahkan keputusasaan terlalu dalam. Ia tidak akan mengganggu, tapi... dia bisa memperlihatkan sesuatu.”

Aku tercekat, memandang Mbah Westu lekat-lekat. Tapi langkah kami terus berlanjut, mendekati batas desa... dan pemakaman Ki Sukmo mulai terlihat di kejauhan, gelap dan dikelilingi pohon bambu yang meliuk seperti hidup.

Mbah Westu menghela napas panjang. “Tak hanya itu, Ki Sukmo adalah seorang ahli spiritual yang sangat dihormati pada masanya. Ia meninggal dengan mewariskan energi besar yang tidak bisa sembarangan diteruskan. Karena itulah, makamnya dijaga oleh makhluk-makhluk astral... bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai penjaring.”

“Penjaring?” ulangku, bingung.

“Ya,” kata Mbah Westu pelan. “Mereka mencari tubuh baru... tubuh laki-laki yang bisa menampung warisan Ki Sukmo. Tapi yang paling diinginkan oleh mereka adalah jiwa—jiwa yang terlahir murni secara spiritual. Jiwa seperti itu menjadi pintu untuk kekuatan besar.”

Aku terdiam. Langkahku terhenti. Obor di tanganku bergoyang kecil karena jemariku mulai gemetar.

“Bu... bukannya yang mereka cari cuma tubuh laki-laki?” tanyaku, hampir berbisik.

Mbah Westu menatapku dalam. “Ya, tubuh laki-laki memang jadi wadah utama. Tapi jiwa murni... mereka bisa apa saja demi itu. Bahkan merasukinya... memanfaatkannya... memperdayanya.”

Aku menelan ludah. Tak kuasa menahan kegelisahan yang membuncah. Hawa di sekitarku terasa lebih berat, seolah udara malam membawa sesuatu yang tak kasat mata... dan aku menyadari, aku sedang berada di ambang dua dunia—antara duka seorang ibu... dan kegelapan yang menanti jiwa-jiwa terpilih.

"Aku harus ke kota, Mbah... Tapi aku juga tak ingin membahayakan diriku sendiri," kataku panik, suaraku nyaris gemetar.

Aku menggigit bibir, kebimbangan mencengkeram dada. "Tidak ada jalan lain selain melewati makam itu, Mbah?"

"Ada," jawabnya pelan. "Kau bisa lewat jalur sungai. Tapi Mbah tak bisa menjamin keselamatanmu di sana. Kau tahu, sungai itu dihuni buaya hitam... penghuni gaib yang menjaga batas air malam hari."

Aku terdiam. Pilihanku seperti dua ujung pedang. Satu mengiris tubuh, satu mengiris jiwa. Aku menarik napas dalam-dalam.

"Lalu... bagaimana cara menyelamatkan anakku tanpa jiwaku jadi korbannya? Apa Mbah punya mantra atau benda yang bisa melindungiku selama perjalanan?" tanyaku penuh harap. "Aku janji akan mengembalikannya setelah aku kembali."

Mbah Westu mengangguk pelan, dan mulai merogoh sesuatu dari balik jubah tuanya...

tangannya yang keriput mengeluarkan sebuah kantong kain kecil berwarna kelam, terikat benang merah yang sudah lusuh. Dari dalamnya, ia mengeluarkan seutas kalung dari benang ijuk yang ditengahnya tergantung sebuah batu kecil berwarna keunguan, tampak seperti batu biasa namun terasa hangat saat disentuh.

"Ini bukan batu biasa," ujar Mbah Westu pelan. "Batu ini berasal dari petilasan Gunung Rogo Sari. Di dalamnya tersimpan energi penjaga yang bisa menyamarkan jiwamu selama satu malam. Tapi ingat, jika fajar muncul dan kamu belum kembali melewati batas makam Ki Sukmo, perlindungan ini akan hilang."

Aku menerima kalung itu dengan tangan bergetar. Begitu kalung itu menyentuh kulitku, dadaku terasa hangat, seolah ada sesuatu yang menenangkan jiwaku meski rasa takut belum benar-benar pergi.

"Terima kasih, Mbah..." ucapku lirih, air mata hampir tumpah, bukan karena takut, tapi karena harapan kecil untuk menyelamatkan anakku akhirnya terasa mungkin.

"Pergilah," kata Mbah Westu sambil menyalakan kembali obornya. "Dan jangan berhenti di dekat makam, apapun yang kau dengar, apapun yang memanggil... jangan menoleh."

Aku mengangguk mantap, lalu menggenggam erat kalung pelindung itu. Dengan langkah perlahan namun tekad kuat, aku melanjutkan perjalanan... menyusuri jalur di antara bayangan pohon bambu dan desiran angin yang terasa seperti bisikan jiwa-jiwa lama yang belum tenang.

Setelah melewati pemakaman, Mbah Westu menatapku lekat-lekat, lalu berkata dengan nada tenang namun penuh makna, “Kalau ingin menyelamatkan anakmu, pergilah sekarang... dan kembalilah sebelum fajar. Tapi jangan sendiri. Bawalah seseorang—seseorang yang kuat secara spiritual. Ia bisa jadi tameng bagi jiwamu.”

Aku mengangguk, lalu bergegas melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di kota, aku langsung menuju kawasan pasar antik untuk menjual satu-satunya barang yang kuanggap bisa menyelamatkan anakku. Malam sudah larut, sebagian besar toko telah tutup. Aku terus berjalan menelusuri lorong pasar, hingga menemukan satu toko kecil yang masih terbuka. Lampunya temaram, tapi cukup memberi harapan.

Dengan napas lega, aku masuk dan menyerahkan keris warisan itu kepada pemilik toko. Ia memeriksanya dalam diam, sebelum akhirnya menyebutkan harga yang cukup besar—lebih dari cukup untuk membeli obat dan kebutuhan esok hari.

Meski berat, aku menyerahkan keris itu. Warisan suamiku, peninggalan turun-temurun. Tapi nyawa anakku jauh lebih penting.

Pemilik toko menyerahkan beberapa keping uang logam. Aku menerimanya dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Mbah,” ucapku sambil tersenyum lega.

Ia menatapku tajam. “Sama-sama. Tapi... apa kamu yakin ingin menjual benda ini, Nona? Ini barang yang sangat... berbeda. Tak seperti yang pernah Mbah lihat sebelumnya.”

Aku tersenyum paksa dan mengangguk. “Yakin, Mbah. Kalau begitu, saya permisi.”

“Tunggu dulu,” katanya. Aku berhenti. Suaranya lebih serius kali ini. “Pemilik asli keris ini... ia pernah berpesan. Benda ini tidak untuk dijual. Hanya boleh diwariskan, dijaga oleh keturunannya. Mbah merasa... kamu punya sesuatu yang belum kamu sadari. Maka dari itu, apa kamu tidak punya barang lain yang bisa dijual?”

Aku menggeleng. “Tidak ada, Mbah. Hanya itu.”

Ia menghela napas, tapi matanya tak lepas dariku—lebih tepatnya, dari sisi tubuhku. Seolah ada sesuatu yang ia lihat... sesuatu yang bahkan aku tak tahu.

“Baiklah. Kalau begitu... uang ini untukmu. Tapi bawa kembali keris ini. Simpan baik-baik.”

Aku tertegun. “Tapi, Mbah... keris ini tak ada apa-apa. Selama ini tak pernah terjadi sesuatu.”

Ia tersenyum samar, tapi sorot matanya tetap serius. “Nanti kamu akan merasakannya sendiri. Ingat, sesuatu yang sudah diberikan... akan punya makna untuk tuannya.”

Aku menatap kepingan uang di tanganku. “Tapi... Mbah, uang ini...?”

“Anggap saja sebagai penuntun,” katanya tenang. “Kadang, yang tak kau pahami hari ini... adalah hal yang akan menyelamatkanmu esok.”

Aku pun berjalan, meninggalkan rumah antik itu yang penuh misteri. Di sisi lain, hatiku terasa lega—benda berharga peninggalan Mas Aris tak jadi terjual, dan uang itu tetap kudapatkan untuk pengobatan Dimas.

Tanpa membuang waktu, aku segera mencari toko obat tradisional. Namun malam sudah begitu larut, dan sebagian besar toko telah tutup. Rasa frustrasi mulai merayap, tapi aku tak ingin menyerah. Aku terus menelusuri pasar, langkahku cepat, mataku meneliti setiap sudut jalan.

Hingga akhirnya, di pojok pasar yang remang, aku melihat secercah cahaya dari sebuah toko kecil yang masih buka. Toko obat tradisional. Dengan dada penuh harap, aku melangkah masuk.

Seorang nenek tua menyambutku. Aku menyebutkan keluhan anakku, dan ia segera menyiapkan ramuan: beberapa helai daun, bunga kering, dan biji-bijian yang aromanya menusuk hidung. Setelah membayar dengan koin yang kumiliki, ia menyerahkan bungkusan kecil itu padaku.

Kini, obat untuk Dimas ada di genggamanku.

Tanpa membuang waktu, aku bergegas kembali ke desa, langkahku cepat menembus malam. Jalan pulang terasa lebih panjang, tapi aku tahu... anakku menunggu di ujungnya

Aku semakin menjauh dari pasar dan kota, melangkah cepat menembus malam yang dingin. Perjalanan menuju desa tinggal setengah lagi, dan itu berarti aku akan kembali melewati pemakaman Ki Sukmo.

Langkahku terhenti di tepi jalanan tanah yang mulai sepi, hanya bayangan pepohonan dan nyala obor kecil yang menari tertiup angin. Pesan Mbah Westu kembali terngiang di kepalaku: “Kalau ingin kembali ke desa, jangan sendiri. Bawalah seseorang yang kuat secara spiritual...”

Tapi siapa? Siapa yang bisa menemaniku sekarang?

Aku memutar badan, menatap ke sekeliling pasar yang sudah mati. Lengang. Sunyi. Hanya jejeran toko-toko yang tertutup rapat, barang dagangan ditinggal pemiliknya, dan bau dupa sisa pasar malam yang masih tercium samar. Tak ada satu pun orang di sana.

Aku memeluk kantong obat di dadaku, mencoba menenangkan napas yang mulai memburu. Hatiku cemas. Aku tahu tak bisa melanjutkan perjalanan sendirian. Tapi aku juga tak tahu harus mencari siapa.

“Ya Tuhan… siapa pun... tolong...” bisikku lirih, seperti anak kecil yang hilang arah.

Angin malam bertiup lebih dingin. Daun-daun beterbangan pelan di jalan tanah. Lalu dari kejauhan, samar-samar aku melihat sesosok bayangan berdiri di dekat gerobak tua. Aku sempat ragu, tapi sosok itu tak bergerak, hanya berdiri di sana... seolah menunggu.

Namun aku paksakan untuk melihat perlahan-lahan. Saat aku menghampiri bayangan itu, aku terkejut melihat sepasang kaki tergeletak di bawah cahaya lampu pasar yang temaram. Semakin kudekati, ternyata itu seorang perempuan—tidak sadarkan diri, tubuhnya menggigil kedinginan, dan perutnya tampak membuncit di balik pakaian tipis yang melekat.

Aku buru-buru menoleh ke kanan dan kiri, berharap ada orang lain yang bisa kumintai bantuan. Tapi pasar begitu sepi, nyaris tak ada tanda kehidupan selain suara angin yang menyeret debu dan daun-daun kering.

Dengan hati-hati, aku jongkok dan mencoba membangunkan perempuan itu. Tanganku menyentuh bahunya yang dingin, "Mbak... Mbak, kamu dengar aku?"

Kelopak matanya perlahan terbuka. Wajahnya pucat dan lemah. Ia mengerjap, mencoba memahami keberadaannya. Aku mendekat, memastikan ia bisa duduk bersandar pada tiang kayu di dekatnya.

"Aku nggak tahu kenapa kamu bisa di sini... Di mana keluargamu? Suamimu?" tanyaku panik, berusaha mengumpulkan kepastian di tengah kebingungan.

Dia hanya menggeleng pelan. Matanya kosong, seolah belum benar-benar sadar sepenuhnya.

"Kamu sedang hamil?" tanyaku pelan, lirih, takut menyentuh luka yang belum sempat disembunyikan.

Ia mengangguk lemah.

"Ya ampun... Kamu tahu jalan pulang? Mau aku bantu antar?"

Ia tetap diam, satu tangannya memegang kepalanya yang mungkin pening. Aku bisa melihat betapa rapuh dan ringkih dirinya.

Aku menghela napas panjang. Di tengah pikiranku yang kacau ingin cepat pulang demi Dimas, ada suara lirih di hatiku berkata: Mungkin... ini orang yang dimaksud Mbah Westu. Mungkin, dia yang harus kuajak pulang bersamaku malam ini.

Aku menatap langkahku dengan ragu.

Benarkah keputusanku ini? Membawa pulang seorang perempuan hamil ke rumah demi perlindungan saat kembali ke desa? Apakah aku tega menjadikan sosok rapuh ini sebagai tamengku? Sungguh, hati kecilku menjerit, tapi waktu terus bergulir dan malam semakin menelan cahaya.

Aku hanya tahu satu hal: aku harus segera pulang malam ini.

Dengan lembut, aku bantu perempuan itu berdiri. Wajahnya pucat dan tubuhnya lemas.

"Aku akan tunjukkan jalan pulang," bisiknya lirih. Aku mengangguk, lalu menuntunnya perlahan menembus dinginnya malam.

Tak jauh dari pasar, sebuah rumah tampak ramai. Beberapa orang berkumpul di depan, wajah-wajah mereka tampak cemas. Saat salah satu dari mereka menoleh ke arah kami, dia terkejut, lalu berteriak,

"Lia pulang! Lia ketemu!"

Orang-orang langsung berhamburan keluar. Mereka menyambut perempuan itu, memeluknya, dan menuntunnya masuk. "Darimana saja kamu, Nak? Ya ampun... kandunganmu tidak apa-apa, kan?" Seorang wanita—mungkin ibunya—menyentuh perut Lia dengan penuh kasih. Lia hanya menggeleng lemah, memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.

Seorang pria tua berjalan mendekat dengan tongkat kayu di tangannya.

"Terima kasih sudah menolong cucuku. Siapa namamu, Nak? Dari mana asalmu?" tanyanya ramah.

"Saya Dewi, dari desa sebelah. Saat hendak pulang dari pasar, saya melihat perempuan ini pingsan di sudut jalan. Saya hanya mencoba menolong."

Wajah lelaki tua itu melembut.

"Terima kasih, ya. Malam sudah larut, menginaplah di sini dulu."

Aku menggeleng pelan, "Terima kasih, Mbah. Tapi anak saya sedang menunggu. Saya harus segera pulang. Obat ini... dia sangat membutuhkannya."

Lelaki tua itu mengangguk paham. Tapi sebelum aku melangkah pergi, ia berseru, "Tunggu!"

Aku menoleh.

"Biarkan ponakan Mbah mengantarkanmu pulang dengan delman. Terlalu jauh kalau harus jalan kaki malam-malam begini."

Senyumku merekah, rasa letihku sedikit terobati. Tawaran itu bagai angin sejuk di tengah kelelahan yang menggumpal.

"Terima kasih banyak, Mbah," ucapku tulus.

Tak lama, seorang pemuda bernama Tomo datang dengan delman tua tapi kokoh. Kami pun memulai perjalanan pulang, menyusuri malam yang dingin dengan perasaan lega.

Perjalanan kami semakin mendekati perbatasan desa. Tak jauh di hadapan, pemakaman keramat itu mulai tampak samar di balik kabut malam. Degup jantungku semakin terasa—beradu dengan suara roda delman yang berderit pelan.

Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Aku sengaja tak membahas pemakaman keramat yang akan kami lewati, dan Tomo pun tak menanyakan apapun. Keheningan kami seperti perjanjian tak tertulis.

Tanganku menggenggam obor erat-erat. Di tas selempang kecilku, obat-obatan untuk Dimas dan benda pusaka peninggalan Mas Aris bergoyang lembut mengikuti langkah delman. Kalung pemberian Mbah Westu pun kupegang erat—seolah menjadi pelindung terakhirku malam ini.

Delman melambat saat melewati pemakaman. Suara langkah kaki kuda menggema di antara batu nisan dan bayang-bayang gelap yang menjulang. Tomo masih diam, tubuhnya tegak, namun aku bisa merasakan ketegangannya dari cara ia menggenggam tali kendali kuda.

Saat akhirnya kami melewati pemakaman itu, dadaku terasa sedikit lebih lapang. Rumah Mbah Westu muncul di kejauhan, tampak sunyi dan gelap. Sepertinya beliau sudah masuk ke dalam. Aku menghela napas lega. Kami pun terus berjalan, menyusuri jalan setapak menuju rumahku yang berada di ujung desa.

Setibanya di depan rumah, aku nyaris menangis lega. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam, langsung mencari Dimas dan Mas Aris. Di dalam, kulihat Mas Aris tertidur dalam posisi duduk di sisi ranjang, tangannya menggenggam tangan kecil Dimas yang juga masih tertidur pulas.

Aku mengembuskan napas panjang, menahan emosi yang meledak-ledak. Aku kembali. Aku berhasil membawa obat untuk anakku.

Segera aku keluar menemui Tomo dan mengucapkan terima kasih.

"Mas Tomo, menginaplah malam ini. Sudah larut, istirahatlah dulu sampai fajar."

Namun Tomo menggeleng pelan.

"Terima kasih, Mbak. Tapi saya harus segera kembali."

"Jangan. Malam terlalu gelap, dan perjalanan melewati pemakaman itu... berbahaya," ucapku, mencoba membujuk. Padahal dalam hati, aku tahu alasanku lebih dalam dari sekadar waktu dan jarak. Ada pantangan yang tidak boleh dilanggar—seorang pria tidak seharusnya melintasi makam keramat dua kali dalam satu malam.

Perdebatan kecil kami berlangsung hingga suara pintu rumah terbuka perlahan.

Mas Aris terbangun. Ia berdiri di ambang pintu, menatapku dan Tomo dengan tatapan lelah, tapi penuh tanya.

"Ada apa?" suaranya serak, masih dibalut kantuk.

Aku terdiam sejenak. Malam ini terlalu panjang... dan jawabannya tak sesederhana yang terlihat.

Aku menoleh ke Tomo, mencoba menjelaskan, tapi kata-kataku menggantung di ujung lidah. Delman di belakangnya tampak gelisah—kuda itu meringkik pelan, lalu tiba-tiba berhenti bergerak. Angin malam berembus aneh, membawa aroma tanah basah dan bunga melati yang menusuk hidung.

"Aku tadi di antar oleh Mas Tomo lalu aku memintanya untuk menginap sebentar," ucapku akhirnya. Kalimat itu terdengar rapuh, melayang-layang di udara yang dingin.

Mas Aris menatap Tomo lama sekali. "Kau tadi melewati pemakaman itu?"

Tomo mengangguk. "Iya."

"Berdua?"

Tomo melirikku. "Iya."

Hening.

Mas Aris menarik napas panjang, lalu bertanya, nyaris berbisik, "Kalian benar-benar melewati pemakaman keramat itu malam ini?"

Aku mengangguk pelan. Sesuatu dalam suara Mas Aris membuat dadaku sesak. Tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, ia berkata tegas, "Dek, kamu masuk dulu. Istirahat. Biar Mas bicara dengan Mas Tomo."

Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Namun dari balik pintu yang sedikit terbuka, aku masih bisa mendengar percakapan mereka.

"Terima kasih, Mas, sudah mengantarkan istriku pulang," ujar Mas Aris tenang. "Tapi malam ini... sebaiknya Mas menginap di sini dulu."

"Ada apa, Mas?" Tomo terdengar bingung. "Saya cuma mengantar. Lagi pula, saya terbiasa di jalan malam."

"Justru karena itu. Demi keselamatanmu, tolong... untuk kali ini, ikuti saja permintaan kami."

Suara angin berembus pelan. Tidak ada jawaban dari Tomo. Hening.

Pagi harinya, kabut masih menggantung tipis di antara pepohonan. Aku terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhku lelah tapi pikiranku terusik. Aku melihat kondisi Dimas kian membaik, obat itu bekerja dengan baik, demamnya kian berkurang, pemulihanya terus membaik.

Langkah kakiku ringan saat keluar rumah, niatnya hanya ingin menghirup udara pagi setelah perjalanan malam tadi… tapi yang kulihat membuatku membeku.

Delman itu masih terparkir di depan rumah.

Tapi... tanpa Tomo.

Tak ada jejak langkah, tak ada suara kuda. Hanya delman kosong yang diam, seperti tak pernah bergerak semalam.

Aku panik, mencarinya ke sekeliling halaman. Bahkan memanggil Mas Aris, tapi ia hanya menatapku lama, seperti sudah tahu jawabannya.

"Lewat pemakaman itu... tidak semua yang ikut kembali benar-benar kembali," gumamnya pelan.

Aku mematung. Kalung dari Mbah Westu yang tadinya ada di tas selempangku... kini tak lagi ada.

Saat aku menoleh sekali lagi ke delman, aku melihatnya. Di bangku kusir... ada sesuatu yang tertinggal. Sebuah topi jerami tua, basah oleh embun. Tapi yang membuatku tercekat—di dalamnya, tergeletak keris kecil milik mas Aris, dengan helaian rambut panjang... milikku.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Makam Keramat
adinda pratiwi
Cerpen
AAAAAKKKKKHHHHH
Hary Silvia
Novel
Red Umbrella
Citra Wardani
Novel
Bronze
Rama's Story : Gita - Death Sentence
Cancan Ramadhan
Flash
MUSTIKA ULAR
Wiji Lestari
Flash
Bronze
Kepala Amspoker Dibawa Lari Badai Salju
Erena Agapi
Novel
Gold
The Good Neighbor
Noura Publishing
Komik
RECREATE
Zhafirah Dhiya Ulhaq
Novel
Gold
Fantasteen: Kutukan Naskah Drama
Mizan Publishing
Novel
Died In The Secret Room
Adine Indriani
Cerpen
Lucid Dream
Varenyni
Flash
Bronze
Silent love
Eva yunita
Flash
Bronze
Perpustakaan yang Tidak Pernah Ada
Penulis N
Novel
Bronze
Red Shoes Murderer
Cathalea
Flash
Bronze
Ujung Kegelapan
FeyQueen_1538
Rekomendasi
Cerpen
Makam Keramat
adinda pratiwi
Novel
The Hidden
adinda pratiwi
Cerpen
Temani Aku Malam Ini
adinda pratiwi
Cerpen
Sisi Lain Dimensi Mimpi
adinda pratiwi
Cerpen
Reuni di Villa Angker
adinda pratiwi
Cerpen
Persahabatan dan Obsesi
adinda pratiwi
Cerpen
Pesan Cinta dari Semesta
adinda pratiwi
Cerpen
Rahasia Tumbal Ayah
adinda pratiwi
Cerpen
Rantai Dendam
adinda pratiwi
Cerpen
Penumpang Tak Diundang
adinda pratiwi
Cerpen
Pertarungan Dua Darah
adinda pratiwi
Cerpen
Pesan Antar Dimensi
adinda pratiwi
Cerpen
Tenggelam di Ombak Kematian
adinda pratiwi
Cerpen
Firasat
adinda pratiwi
Novel
Dinara
adinda pratiwi