Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Musim semi tahun 1932 di Paris membawa aroma hujan tipis yang bercampur dengan wangi roti panggang dan kopi dari kafe-kafe pinggir jalan. Lampu-lampu gas berkelap-kelip di sepanjang Rue des Martyrs, memantul di trotoar basah seolah menari mengikuti langkah orang-orang yang berlalu-lalang. Di ujung jalan itu berdiri sebuah toko musik tua bernama “Maison de Mélodie”. Bangunannya kayu tua, jendela besar berdebu, dan papan kayu yang bergoyang pelan ketika angin malam berhembus.
Amélie, gadis berusia 19 tahun dengan rambut cokelat gelap yang diikat rapi, sedang menyapu lantai toko. Matanya cerah dan selalu penasaran, siap menyambut siapa pun yang datang. Pakaian vintage sederhana, blus krem dan rok biru tua, memberinya kesan klasik, seperti gadis dari lukisan-lukisan Paris lama. Toko itu milik kakeknya, seorang pianis yang mengajarinya membaca musik sejak kecil.
Kunci tua berderit di pintu. Masuk seorang pemuda berambut gelap, mengenakan jas lusuh tapi rapi, sepatu kulit berdebu, membawa biola tua dengan etui retak. Ia menatap Amélie sejenak, lalu tersenyum.
“Bonjour,” katanya dengan suara lembut tapi penuh percaya diri. “Aku dengar kau bisa menilai instrumen yang… istimewa.”
Amélie mengangkat alis. “Siapa kau?”
“Aku Lucien,” jawabnya sambil mengusap biola itu perlahan. “Dan biola ini... punya cerita.”
Biola itu tampak biasa saja, tapi ketika Lucien mengusap senarnya dan memetik nada pertama, sebuah melodi lembut terdengar. Nada itu membuat Amélie terdiam. Suara itu kaya, penuh rasa, seolah menyimpan nostalgia yang dalam. Paris yang pernah merana dan bangkit kembali setelah perang, dengan anak-anak menari di trotoar dan musisi jazz mengiringi pasangan yang menari di bawah lampu gas malam hujan.
“Kau bisa memainkannya?” tanya Amélie, setengah tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Lucien menggeleng. “Aku bisa merasakannya, tapi aku ingin kau mendengarnya. Rasakan, biarkan musiknya bicara sendiri.”
Amélie menatapnya dengan heran. “Bicara sendiri?”
“Ya,” jawab Lucien. “Musik ini menyimpan cerita yang belum selesai. Cerita tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Kau yang akan menuntunnya kembali ke dunia ini.”
Lalu, Lucien mencondongkan kepala, matanya penuh ingin tahu. “Ngomong-ngomong… namamu siapa?” tanya pemuda itu. Amélie menunduk sebentar, lalu menjawab, “Amélie.”
Lucien mengangguk pelan. “Amélie… nama yang cocok untuk tempat seindah ini.”
Hari-hari berikutnya, Lucien sering datang. Ia bercerita tentang komponis yang menciptakan biola itu dan tentang bagaimana setiap nada memiliki makna tersendiri. Ia menggambarkan Paris sebelum perang: Montmartre yang dipenuhi pelukis jalanan, kafe-kafe kecil dengan musik jazz yang menggema di sore hari, dan lorong-lorong berbatu yang seolah menahan waktu.
Amélie mulai merasakan bahwa Maison de Mélodie bukan sekadar toko musik. Toko itu menjadi jendela ke masa lalu, tempat di mana musik dan sejarah bertemu. Ia mulai memperhatikan detail yang sebelumnya tak ia sadari: piano tua yang diukir dengan nama kakeknya, lembaran musik yang sudah memudar di rak kayu, dan aroma kayu tua yang bercampur wangi lilin.
Suatu sore, hujan turun lebih deras. Amélie sedang membersihkan meja ketika Lucien datang membawa kotak kayu kecil. Ia meletakkannya di meja dengan hati-hati.
“Ini milik komponis itu,” katanya. “Aku menemukannya di pasar barang antik. Kau harus melihatnya.”
Amélie membuka kotak perlahan. Di dalamnya ada lembaran musik lusuh dan beberapa surat dengan tinta biru pudar. Surat-surat itu menceritakan kisah seorang wanita yang menjadi inspirasi komponis, cinta yang hilang selama perang, musik yang tak sempat dimainkan, dan janji untuk suatu hari melanjutkan karya itu.
Amélie menunduk, menyentuh lembaran musik itu dengan jemari yang gemetar. “Kau ingin kita menyelesaikannya?” tanyanya.
Lucien tersenyum dan mengangguk. “Ya. Tapi bukan hanya untuk kita. Untuk semua yang akan mendengar.”
Hari-hari berikutnya mereka bekerja keras. Amélie memainkan piano tua toko, sementara Lucien memainkan biola. Mereka mencoba menggabungkan nada lama dengan inspirasi baru. Maison de Mélodie kini berubah menjadi studio kecil: aroma kayu, kertas musik, lilin yang menyala di malam hari, suara tetesan hujan di jendela, dan tawa kecil mereka ketika nada tidak sesuai.
Yang membuatnya lebih ajaib, setiap kali mereka memainkan melodi itu, Amélie dan Lucien sering melihat bayangan kecil kota Paris muncul di sekitar mereka: pedagang di pasar, pasangan menari di trotoar, lampu gas berkelip. Musik itu seakan menghidupkan kenangan kota.
Beberapa malam kemudian, saat latihan terakhir sebelum konser, hujan rintik-rintik turun di jendela Maison de Mélodie. Amélie dan Lucien duduk di lantai kayu yang berderit, lilin menyala lembut di meja. Lampu gas dari luar memantul di jendela, menciptakan bayangan yang menari.
Lucien menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Amélie dengan mata serius. “Ada yang ingin kau katakan?” tanya Amélie lembut.
Lucien menunduk, memegang biolanya. “Ada dua hal yang harus kuberitahu padamu malam ini,” katanya. “Pertama… biola ini, yang selama ini kau mainkan bersamaku, milik keluargaku. Komponis yang kuceritakan adalah kakek buyutku. Aku mencari biola ini bertahun-tahun untuk menyelesaikan melodi yang tak sempat ia mainkan.”
Amélie menelan ludah, menatap Lucien dengan campuran kagum dan terkejut. Suasana hening sejenak, hanya suara hujan yang mengetuk jendela.
Lucien melanjutkan, suara sedikit bergetar. “Kedua… di dalam kotak itu ada sesuatu yang aku belum ceritakan.”
Lucien menarik lembaran musik paling tua, membuka lipatannya, dan memperlihatkan sebuah peta kecil yang digambar tangan, dengan tanda-tanda jalan Paris dan simbol biola di satu titik.
“Ini peta menuju biola kedua, yang kakek buyutku tinggalkan. Beliau membuat dua biola yang saling melengkapi. Yang satu sudah kutemukan, tapi yang kedua lebih tua, lebih berharga, dan hilang. Aku ingin kita menyelesaikannya bersama, tidak hanya untuk musik, tapi juga untuk sejarah keluargaku. Tapi aku takut… ini terlalu berat untukmu.”
Amélie menatap peta itu, kemudian menatap Lucien. Ia bisa merasakan beratnya rahasia itu, sekaligus kehangatan kepercayaan yang Lucien berikan padanya. Ia menghela napas panjang, “Lucien... kenapa baru memberitahuku sekarang?” tanya Amélie dengan suara lembut.
Lucien tersenyum tipis, sedih. “Karena aku takut. Takut kau menganggapku gila mengejar masa lalu, takut kau pergi sebelum kita menyelesaikan semuanya. Tapi saat aku dengar kau memainkan lagu itu… aku tahu, hanya kau yang bisa bantu aku menyempurnakannya.”
Amélie menatap Lucien lama, lalu memegang tangannya pelan. “Lucien… aku mau,” katanya akhirnya. “Aku mau membantu, bukan hanya untuk musik, tapi juga untuk cerita keluargamu. Kita akan menyelesaikannya.”
Lucien terdiam sejenak. Ia menatap Amélie dengan mata berbinar, campuran lega, haru, dan syukur.
Perlahan ia tersenyum, lalu berkata lirih, “Terima kasih, Amélie. Kau tidak tahu betapa berharganya ini bagiku.”
Beberapa malam kemudian, malam konser tiba. Kafe jazz di Montparnasse dipenuhi orang-orang. Lampu gas berkelap-kelip, aroma kopi dan kue hangat memenuhi udara. Amélie di piano, Lucien di biola. Saat mereka memainkan melodi itu, nada demi nada mengalir, menembus hati setiap pendengar. Beberapa orang tua mengingat masa muda mereka, anak muda terinspirasi, dan semua merasa Paris hidup kembali. Bahkan beberapa penonton tampak seperti melayang dalam kenangan mereka sendiri, keajaiban kecil yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mau mendengar dengan hati.
Setelah konser selesai, Amélie menatap Lucien. “Kita menyambungkan masa lalu dengan masa kini.”
Lucien mengangguk lembut. “Dan sekarang, kita punya peta. Petualangan baru menunggu.”
Keesokan harinya, hujan tipis menyelimuti Paris. Mereka mulai mengikuti peta: lorong-lorong berbatu di Montmartre, toko-toko antik, dan gang sempit yang sepi dari orang. Wajah Amélie berseri meski sedikit cemas; Lucien tampak fokus tapi tersenyum setiap kali ia menunjuk simbol di peta.
Mereka berhenti di depan sebuah toko barang antik kecil, jendela dipenuhi patung miniatur dan jam tua. Tanda di peta menunjukkan tempat itu.
“Apakah kita harus masuk?” tanya Amélie.
Lucien mengangguk. “Sepertinya begitu. Tapi hati-hati. Biola ini sangat berharga. Bisa saja orang lain juga mencarinya.”
Di dalam, pemilik toko, seorang pria tua berjanggut putih, menatap mereka dengan mata tajam. “Aku tahu kalian akan datang,” katanya tanpa basa-basi. “Biola itu menunggu di tempat yang tepat, tapi kalian harus memecahkan teka-teki komponis dulu.”
Amélie dan Lucien menatap satu sama lain. Lucien tersenyum, “Teka-teki?”
Pemilik toko menyerahkan sebuah kotak kayu dengan kombinasi angka dan simbol musik. “Hanya mereka yang benar-benar mengerti musik dan sejarah Paris yang bisa menemukannya,” katanya.
Mereka bekerja sama. Amélie menatap not di kotak, sementara Lucien menyesuaikan nada biola dengan simbol di kotak. Nada demi nada terdengar, seakan peta itu hidup dan menuntun mereka. Lampu-lampu gas di luar memantul di jendela, bayangan pasar dan kafe Montmartre muncul samar di ruangan, memberi nuansa magis.
Setelah beberapa saat, kotak kayu terbuka, memperlihatkan biola kedua, lebih tua, ukirannya lebih rumit, dan senarnya tampak berkilau meski berdebu. Lucien tersenyum lebar, Amélie ikut bersorak kecil.
“Ini luar biasa,” bisik Amélie. “Musik ini benar-benar hidup.”
Lucien memetik senarnya, dan nada pertama terdengar mengalun lembut, menyatu dengan biola pertama. Kedua biola itu saling melengkapi, menciptakan melodi yang belum pernah terdengar.
Di malam itu, di ujung Rue des Martyrs, Maison de Mélodie tetap berdiri dengan hangat. Amélie menatap kedua biola itu, tersenyum, dan berkata, “Musik ini hidup, sejarah ini hidup, dan petualangan ini baru saja dimulai.”
Lucien menggenggam tangannya, “Dan aku senang bisa menemukannya bersamamu.”
Lampu gas berkelap-kelip, aroma kopi dan roti panggang menempel di udara, dan Paris terasa hidup, magis, dan penuh kemungkinan. Musik, cinta, dan petualangan kini bersatu, membentuk sejarah baru yang siap mereka jelajahi bersama.