Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi yang hangat. Beberapa anak manusia memenuhi jalan menuju tujuan masing-masing. Wira melirik dari balik kaca spionnya, seorang perempuan—anak SMA, naik ojek online sedang memoles sesuatu ke wajahnya. Entah apa, mungkin sunscreen, lalu membubuhi gincu di bibirnya. Yang benar saja! Di atas motor? Wira tersenyum geleng-geleng kepala, sungguh keahlian khusus yang hanya dimiliki oleh perempuan.
Deru mesin mobil memelan, Wira memarkirkan mobilnya di basement hotel bintang lima tempatnya bekerja, di kawasan Nusa Dua, Bali. Menarik tuas rem tangan, meraih jaket jeans biru mudanya yang ia taruh di kursi penumpang—memakainya, lalu turun dari mobilnya. Berjalan sekitar sepuluh meter memasuki lift basement, menekan tombol lantai 45—lantai teratas di mana restoran santap mewah, Blue Sky berada. Berbekal hidangan Italia sebagai menu andalan mereka, Restoran yang tahun lalu mendapat bintang satu dari Michelin itu tidak pernah sepi pengunjung.
Seperti namanya, Blue Sky menyajikan pemandangan birunya langit di atas ketinggian 70 meter yang memuaskan indera penglihatan manusia. Mengundang takjub siapa saja yang bertandang ke sana. Terlebih, hidangan-hidangan kelas atas yang mampu menggugah selera yang ditawarkan pada buku menu.
Wira menggeser pintu masuk ruangan khusus menuju dapur utama. Melepas jaket jeansnya, membuka pintu loker. Memasang jaket chefnya, mengendik perlahan menahan sakit di bahunya tatkala melicinkan pakaiannya. Bukan main pukulan Ayahnya di Puri tadi—selalu seperti itu ketika mereka tidak sepaham dalam suatu persoalan. Atau ketika Wira enggan menuruti perintahnya, Ayahnya itu tidak segan-segan mendisiplinkannya dengan cara yang dianggapnya benar. Bahkan dengan kekerasan sekalipun.
Ayahnya itu, selalu menganggapnya seperti bayi yang belum tahu apa-apa, padahal Wira minggu lalu sudah menginjak usia 32 tahun. Yang benar saja! Dia bukan lagi anak SD yang harus didikte ini dan itu. Bahkan, anak SD pun sudah punya pemikirannya sendiri.
Wira merutuki ceramah panjang Ayahnya di Puri tadi karena hampir membuatnya terlambat bekerja. Sebenarnya sudah terlambat jika berkaca pada jam-jam kedatangan Head Chef itu sebelum-sebelumnya.
“Pagi, Chef!” sapa dua anak magang yang hari itu menjadi hari kedua mereka magang di Blue Sky.
Wira mengangguk sopan, “ya, pagi.” Balasnya, berusaha menyembunyikan getir kesakitan dari nada bicaranya.
Dalam hati Wira berdo’a agar detik pertama ketika mereka akan beradu di dalam kitchen hingga mengisi fingerprint kepulangan, berjalan dengan lancar. Karena sungguh, Wira tidak ingin mengamuk di dalam sana. Di dalam hot kitchen yang akan panas pagi ini karena mereka akan mengerjakan 200 pax paket wedding dan juga menu khusus yang sudah direservasi oleh tamu di web restoran mereka.
“Hendra, CDP pesanan saya kapan datang?” Wira bertanya ketika menangkap siluet seorang pemuda di belakangnya yang juga sibuk memakai perlengkapan sebelum memasuki dapur utama. Dia bisa menebak itu Hendra karena pagi ini mereka yang in charge. Wira Head Chefnya sedang Hendra sebagai Sous Chef—orang nomor dua setelah Wira.
Demi Tuhan, Blue Sky belakangan ini sedang ramai, ditambah reservasi pesta pernikahan turut membludak. Kalau Chef de Partie mereka yang dulu tidak berkasus sampai di penjara, Wira tidak perlu sepusing ini mencari pengganti. Mereka kewalahan jika satu orang saja yang kurang di Kitchen.
“Katanya, dua hari lagi, Chef.” Hendra menjawab sembari memasang jaket chefnya.
“Lusa kita juga ada intimate wedding. Jangan lupa kirimkan surel ke calon CDP supaya dia bisa membaca resep kita dan juga bersiap di hari pertamanya sebelum berjibaku dengan 150 pax, dan juga wedding cake.” Wira berujar seraya melirik ke arah post it yang menempel di station board. Blue Sky sebenarnya tidak menerima paket intimate wedding di atas 75 pax. Namun karena kerabat dekat General Manager mereka yang menikah, maka kali ini bisa diloloskan.
“Siap, Chef. Segera saya kirimkan.” Ujar Hendra, mengaminkan perintah Head Chefnya.
“Oh, Dewa Bathara...,” Wira memijat keningnya yang terasa berdenyut nyeri. Belum mulai memasak saja kepalanya sudah begini, berdo’a saja semoga segalanya berjalan dengan lancar.
Wira buru-buru memakai perlengkapan, mereka akan mulai briefing pagi sebelum memulai hari dengan api yang dibesarkan, bunyi gemerincing alat dapur yang beradu, derap langkah kaki yang ke sana-sini, ketukan mata pisau di atas talenan yang memotong sayuran, bau amis di seluruh section yang sulit hilang karena seafood—oh ya Tuhan, Wira sudah bisa menghidu bau amisnya. Syukurnya, menjadi juru masak adalah pekerjaan yang memang digemarinya. Karena di sanalah, Ayahnya itu tidak bisa memerintahnya seenaknya saja. Karena di sanalah, Wira merasa bebas dari kekangan dan dikte-dikte serta kekerasan dari Ayahnya.
Wira memakai trousers lalu memasang apron. Sejurus kemudian tangan kanannya yang bebas meraih necktie dan mengikatnya ke lehernya melingkar, kemudian memasang side towel di sisi kanan pinggangnya, dengan segera memasang hat cook di kepalanya—menjaga agar rambutnya tetap di dalam sana. Barang-barangnya kemudian ia masukkan ke dalam loker dan menguncinya setelahnya. Lalu memakai safety shoes dan mengayun langkah memasuki dapur utama.
Derap langkah di belakangnya mulai berdatangan—sibuk. Semua berfokus pada pekerjaannya masing-masing. Wira memulai briefing lima menit, karena ketika dirinya melirik jam di pergelangan tangan kirinya itu, mereka diburu waktu. Sebentar lagi sesi breakfast akan selesai berganti menjadi brunch lalu mereka akan bergelut dengan menu wedding. Memikirkannya saja sudah cukup membuat kepala Wira pening, karena sungguh—tangannya sesakit itu namun ia harus tetap profesional demi kelancaran dapur mereka hari ini.
Di usia 32 tahun, bagi Ayahnya adalah usia yang seharusnya sudah berumah tangga. Anak sudah dua, katanya. Itu yang dinamakan berhasil di dalam dunia Ayahnya. Tak peduli Wira meraih gelar Head Chef di usianya yang masih muda—tidak, bagi Ayahnya dia sudah tua. Sudah cukup tua untuk melajang. Ya, Tuhan. Ayahnya itu, mungkin akan menganggap anak sulungnya sebagai anak yang akan selamanya merengek ingin dipotongkan buah, diperintah segala tetek-bengeknya—bahkan sampai urusan pernikahan sekalipun. Padahal Wira sudah bisa menciptakan menu sendiri di dapur.
Terlahir sebagai anak sulung dari kasta bangsawan di Bali, menjadikannya harus mewarisi takhta itu. Ayahnya menaruh beban di pundaknya yang terasa ringkih, kehidupan yang dijalaninya sebagai keturunan bangsawan selalu saja berhasil membuatnya ingin muntah. Patriarki yang masih saja kental membuatnya ingin lari dari Bali kadang-kadang. Dia tidak suka melihat perempuan tunduk bahkan mungkin akan menyembah lelaki jika diperintah. Sepanjang hidupnya menyaksikan bagaimana Ibunya yang lembut itu selalu tak bisa apa-apa di bawah perintah Ayahnya. Termasuk jika Wira tidak menuruti perkataan Ayahnya—Ibunya itu bisa dikunyah mentah-mentah oleh Ayahnya.
“I hate royal blood. So much.” Begitu kata temannya tatkala menginap di Puri Wira ketika mengerjakan tugas kuliah beberapa tahun silam. Orang luar Puri saja bisa merasa muak, lalu bagaimana dengan dirinya yang harus terjejal di dalam sana sepanjang usianya—sepanjang nyawanya enggan beringsut pergi dari tubuh payah itu.
Semua sibuk di section masing-masing. Meninggalkan semua masalah yang bercokol di kepala masing-masing di basement—di tempat di mana mereka mulai menjejakkan langkah menuju ruang kerja. Memberi makan ego mereka, memeras keringat demi menyambung hidup dalam keadaan dewasa. Daftar tagihan menunggu di bayarkan pada tiap akhir bulan—menguras segala digit angka dalam rekening mereka. Maka meski masalah datang bertubi-tubi tanpa ampun, mereka memilih membuang pikiran sampah itu dulu. Menyimpannya di dalam bagasi kendaraan mereka. Karena tidak ada namanya menenteng masalah ke dalam ruang kerja.
Menjadi dewasa memang terkadang semenyebalkan itu. Memaksamu tetap kuat padahal telapak sudah nyaris habis dicacah tiap kerikil kehidupan.
Bunyi dari piring yang dilempar ke dinding dan pecah berserakan di lantai memekakkan telinga, menjadikan tiap pasang mata saling berpandangan, “kalian belajar apa saja di sekolah?” Wira pelakunya. Matanya biram menahan amarah.
“For God’s sake! Kalian mau menyajikan rambut di buffet? Serius?” Wira mengamuk pada semua orang di dapur, mengangkat dua helai rambut yang terjalin di dalam sup. Dua anak magang mencicit di tempatnya—takut. “Kalian mau memberi makan siapa dengan potongan daging seperti ini?!” Wira lagi-lagi membanting piring yang berisi daging sebagai taster yang sudah dipotong dadu dan diberi bumbu—siap dimasak banyak jika mendapat persetujuan Wira selaku Head Chef.
“Ulang!” perintahnya penuh penekanan. Dia tidak sudi menyajikan makanan yang tidak sesuai dengan standar restoran dan berakhir dengan mendapatkan komentar buruk dari para tamu di laman web mereka. Jangan sampai.
Di dalam hot kitchen memang akan selalu terasa panas. Entah karena api yang menyala dari kompor di bawah panci, atau karena amukan Head Chef yang buas itu. Tidak. Wira tidak selalu dalam suasana hati buruk, dan Ayahnya berperan besar dalam pengendalian emosinya. Jika ingin mengajari Wira tentang menahan amarah, maka beri sesi terlebih dahulu kepada Ayahnya yang kerap menjadikannya samsak bernyawa atau sasaran amukan paling empuk.
“Mungkin habis putus?” entah siapa yang berbisik di sana, namun Wira masih bisa mendengarnya.
“Demi Tuhan, masak!” matanya menyala, memandang semua orang satu per satu di dalam ruangan. Menjadikan semua orang terdiam dan mengerjakan tugasnya dengan baik.
Ayahnya harus bertanggung jawab untuk hari ini. Karena siapa yang bisa menduga, bahwa, kehidupan Wira yang begitu diidam-idamkan semua orang ternyata seperti berada di neraka. Begitulah kehidupannya di balik layar. Ayahnya itu, sekonyong-konyong menyodorkan anak lulusan SMA padanya untuk dijadikan Istri. Wira tidak bisa membayangkan seumur hidup akan dihabiskan mengurus gadis yang usianya terpaut jauh darinya. Dia akan dicap sebagai pedofil oleh orang-orang.
Terkadang Wira juga bingung. Ayahnya itu, apa pernah sekali saja memikirkan tentang dirinya? Dan jawabannya tentu saja tidak. Karena di dalam pikiran Ayahnya hanya kehormatan dirinya sendiri yang berada di urutan teratas. Seolah menenggelamkan anaknya ke dalam lubang buaya bukanlah masalah besar selama namanya akan terus dihormati.
Suatu saat nanti Wira mungkin akan hengkang dari Puri. Memberikan tanggung jawab yang dipikulnya kepada adiknya—anak kebanggaan Ayahnya, karena selalu menuruti perintahnya. Tidak seperti Wira yang tidak suka diatur. Mungkin suatu saat, kalau-kalau permintaan Ayahnya itu terlampau tidak masuk akal. Atau jika Ayahnya terus memaksakan kehendaknya agar Wira menikahi gadis bergelar Ida Ayu—gadis yang 15 tahun lebih muda darinya. Sinting.
“Servis!” Seru Wira tatkala selesai melakukan finishing pada hidangan yang akan disajikan.
“Jangan sampai kejadian ini terulang kembali. Silakan beristirahat. Jangan lupa ambil jatah makan siang kalian di EDR jika mau.” Titah Wira ketika makanan sudah dibawa keluar. Semua orang mulai clean up sebelum beristirahat dan melahap makanan di Employee Dining Room sebelum kembali berkutat di dapur.
Untuk segala jenis sakit kepala yang mencabik-cabik kewarasannya, Ayahnya sendiri yang menciptakannya—demi anak sulung yang katanya harus mewarisi segalanya. Termasuk pengendalian emosi? Wira tersenyum getir memikirkannya.
Panjang umur Ayahnya. Sehat sentosa sekalian.
***