Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah negeri yang terletak di antara dua barisan keturunan dan satu lembaga peradilan sakti, hiduplah sebuah keluarga bernama Familia. Mereka bukan keluarga biasa. Kepala keluarganya, Pak Mah, pernah dipercaya rakyat untuk menjaga keadilan, tapi ia lebih suka bermain jurus rahasia peninggalan leluhur: Kameha Meha, serangan politik penuh cahaya dan pasal-pasal yang dibengkokkan dengan senyum. Anak sulungnya, Gib, sejak kecil sudah bisa membaca keputusan sebelum sidang dimulai. Adiknya, Bim, meski jarang bicara, konon bisa membuat semua lembaga diam hanya dengan mengangkat alis. Rumah mereka besar, berdiri megah di atas fondasi amandemen dan opini publik yang sudah dikubur sejak pesta demokrasi pertama. Tiap kali angin bertiup, terdengar sayup suara: “Konstitusi hanyalah saran… jika kau punya keluarga yang tepat.”
Setiap pagi, Pak Mah duduk di teras rumahnya, menyeruput kopi dari cangkir yang bertuliskan “Imparsialitas adalah ilusi”. Ia tak pernah membeli cangkir itu, katanya itu hadiah dari masa lalu, dari seseorang yang pernah percaya padanya. Di atas meja, berserakan dokumen-dokumen usang yang sudah tidak relevan dengan zaman, tapi masih dianggap suci oleh orang-orang yang berkacamata setebal kemunafikan. “Gib, sudah waktunya kau belajar jurus lanjutan,” kata Pak Mah suatu pagi, matanya menatap matahari seolah bisa membaca headline minggu depan.
Gib datang mengenakan jas yang terlalu besar untuk usianya, tapi pas untuk ambisinya. Ia duduk di sebelah ayahnya, membuka buku berjudul Konstitusi: Versi Khusus Keluarga. “Ayah, bagaimana caranya mengubah aturan tanpa terlihat mengubahnya?” “Itu gampang, Nak,” jawab Pak Mah sambil tersenyum. “Beri rakyat drama, beri mereka harapan, lalu ubah di saat semua sedang sibuk menonton sinetron.” Gib mencatat dengan teliti. Ia tidak mencintai rakyat, tapi mencintai cara rakyat mudah lupa.
Bim datang tanpa suara, membawa laporan hasil survei yang sudah dikondisikan. “Elektabilitasmu naik, Gib,” katanya pendek. “Tentu,” jawab Gib, “karena kita yang membuat pertanyaannya.” Mereka tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena dunia memang seperti itu sejak lama. Di luar pagar rumah, rakyat sudah mulai antri. Mereka membawa poster, spanduk, dan secuil harapan. “Pak Mah akan adil!” teriak seorang ibu sambil menggendong anaknya. “Pak Mah akan berpihak pada kita!” Tapi Pak Mah sedang sibuk menimbang-nimbang, bukan keadilan, melainkan posisi mana yang bisa ia berikan pada keponakannya yang baru lulus. “Kau mau jadi hakim, menteri, atau komisaris, Nak?” tanyanya pada keponakan itu. “Saya mau yang tak terlihat tapi berkuasa, Paman.” Pak Mah tersenyum, “Ah, kau memang darah Familia sejati.”
Hari itu langit mendung, seakan malu melihat apa yang sedang dipersiapkan di dalam rumah Familia. Gib berdiri di depan cermin besar yang dibingkai emas dan disorot cahaya buatan yang tak pernah padam. Di cermin itu, ia tidak melihat dirinya, tapi melihat versi terbaik dari ambisi ayahnya. Ia melatih pidato, menghafal jeda tawa, mengatur napas seolah sedang serius, dan mengulang-ulang kata “rakyat” sambil menyeringai. Di belakangnya, Bim mengatur kamera dan pencahayaan, memastikan semua terekam seperti yang mereka inginkan: natural tapi terkendali.
“Jangan lupa sedikit kesalahan kecil di awal,” bisik Bim. “Agar terlihat manusiawi.” Gib mengangguk. Ia memang bukan manusia biasa. Ia adalah hasil terbaik dari kompromi panjang antara kekuasaan dan kemunafikan. Pidatonya dimulai. Ia berbicara tentang masa depan, tentang harapan, tentang kesetaraan, dan tentang betapa ia percaya pada hukum. Di luar layar, Pak Mah tersenyum, memegang remote yang bisa mematikan siaran kapan saja jika keadaan tidak sesuai rencana.
Sementara itu, di ruang bawah tanah rumah Familia, ada perpustakaan khusus yang hanya boleh dimasuki oleh anggota berdarah murni. Di sana tersimpan kitab-kitab tua, bukan tentang moral atau sejarah, tapi tentang strategi mempertahankan kuasa dengan cara yang terlihat konstitusional. Di rak paling atas, ada buku berjudul How to Manipulate Legally: A Gentleman’s Guide. Pak Mah menulisnya sendiri, dulu, saat ia masih dianggap netral.
Hari pengumuman pencalonan tiba. Gib berdiri di podium megah, diapit oleh tokoh-tokoh yang dulu mengkritik dinasti, tapi kini tersenyum ramah seperti tidak pernah berkata apa-apa. Di barisan depan, rakyat bersorak, beberapa dibayar, sebagian bingung, sisanya hanya ikut karena takut kehilangan kuota bantuan. Di atas langit, kamera drone mengabadikan segalanya. Dan di layar televisi nasional, judul besar terpampang: “Putra Terbaik Bangsa, Harapan Baru dari Keluarga Lama.”
Seseorang di sudut panggung berbisik, “Bukankah ini jelas-jelas nepotisme?” Seorang lainnya menjawab, “Bukan. Ini regenerasi.” Dan semua orang tertawa, kecuali yang paham.
Malam harinya, keluarga Familia merayakan keberhasilan itu dengan pesta kecil. Mereka makan di meja panjang, dikelilingi lilin-lilin hukum yang sudah lama padam tapi tetap dibiarkan menyala karena simbolik. Gib mengangkat gelas. “Untuk rakyat.” Semua bersulang. Gelas-gelas kristal beradu, dan di balik suara itu, terdengar samar jeritan konstitusi.
Pak Mah berdiri dan memberikan bingkisan pada Gib. Sebuah jubah biru tua, dengan bordir lambang keluarga: sebuah tangan yang memegang palu, dikelilingi bintang lima dan pita bertuliskan Semua Bisa Diatur. “Pakai ini di pelantikanmu nanti,” ucapnya. “Jangan lupa, kau bukan hanya anakku. Kau adalah simbol bahwa hukum bisa dilipat seperti surat cinta.”
Keesokan harinya, seorang wartawan muda mencoba menulis opini berjudul Negara dalam Cengkeraman Familia. Tapi redaksinya menyuruh mengubah judul menjadi Keluarga Inspiratif dari Timur. Ia menolak. Ia dipecat. Tak lama, ia mendapatkan tawaran kerja sebagai staf ahli di lembaga yang sama yang dulu ia kritik. Gajinya bagus. Nurani bisa ditunda.
Di pinggir kota, seorang guru mengajar tentang demokrasi. Tapi ketika murid bertanya, “Kenapa pemimpin selalu dari keluarga itu?” ia hanya menjawab, “Karena mereka lulus ujian yang tidak pernah diberikan pada kita.”
Dan hari-hari berjalan seperti biasa. Sidang-sidang digelar. Putusan-putusan dibacakan. Rakyat bersorak. Lalu lupa. Lalu sibuk. Lalu lapar. Lalu berharap lagi.
Sementara itu, di langit yang semakin redup, sebuah tulisan raksasa tampak melayang di antara awan dan sinyal politik: Mah Kameha Meha Familia—kekuatan besar, tanggung jawab tidak wajib.
Beberapa bulan setelah pelantikan, Gib duduk di ruang kerjanya yang baru. Ruangan itu luas, ber-AC dua lapis, dan dindingnya dihiasi foto-foto lawas yang dipilih dengan cermat—foto saat ia memeluk anak kecil, saat ia berjabat tangan dengan petani, dan satu foto hitam-putih dirinya bersama Pak Mah, seolah kesuksesan itu bukan warisan, tapi hasil perjuangan kolektif dua pria dengan mimpi yang sama: mempertahankan status quo.
Ia memandangi layar komputer di hadapannya. Sebuah dokumen terbuka, judulnya Revisi Undang-undang. Ia membaca satu per satu pasalnya, lalu mencoret, mengganti, dan menyisipkan satu kalimat sakti: “dengan pertimbangan khusus.” Kalimat yang bisa membatalkan segala keberatan, menunda segala proses, dan membuka segala pintu bagi mereka yang membawa nama belakang yang tepat.
Di luar jendela, rakyat masih sibuk dengan rutinitas: bekerja, macet, menggantungkan harapan pada langit dan potongan-potongan pidato yang viral. Beberapa masih percaya. Beberapa sudah lelah. Sisanya tidak peduli, selama listrik menyala dan sinetron tetap tayang.
Pak Mah sesekali muncul di televisi sebagai narasumber. Ia bicara soal moral, soal regenerasi, soal pentingnya menjaga integritas lembaga. Setiap kalimatnya dikutip, dibagikan, dan dijadikan bahan motivasi oleh lembaga-lembaga yang dulu menolak, tapi kini tunduk. Ia menjadi legenda hidup. Bukan karena keteladanan, tapi karena berhasil bertahan di antara reruntuhan nilai yang pernah diagungkan.
Bim, seperti biasa, tetap di balik layar. Ia mengatur narasi, membungkus kenyataan dengan kata-kata manis, dan menghapus jejak-jejak kecil yang bisa jadi masalah besar. Ia adalah bayangan yang berjalan di samping kekuasaan. Ia tidak ingin dikenal. Ia hanya ingin segalanya berjalan sesuai rencana.
Suatu malam, listrik padam sejenak. Di kota, orang-orang menyalakan lilin. Di istana, genset langsung menyala. Di rumah keluarga Familia, tak ada yang berubah. Mereka tetap makan malam di meja panjang, membicarakan agenda minggu depan. “Kita butuh lembaga baru,” kata Gib. “Untuk apa?” tanya Bim. “Untuk membenarkan lembaga lama.” Semua mengangguk.
Malam itu, di langit yang bersih karena hujan, ada seorang anak kecil menatap ke atas sambil bertanya pada ayahnya, “Ayah, kenapa mereka selalu menang?” Sang ayah menatap anaknya, lalu menunduk pelan. “Karena kita selalu percaya mereka akan berubah.”
Dan di teras rumah Familia, Pak Mah tersenyum sendirian. Ia melihat ke kejauhan, ke arah masa depan yang sudah diatur rutenya. Di tangannya, sebuah buku baru sedang ia tulis: Demokrasi Dalam Genggaman: Panduan Lengkap Menang Tanpa Harus Dipilih. Ia mencoret judulnya sebentar, lalu menulis ulang: Mah Kameha Meha Familia – Bagaimana Mengubah Negara Menjadi Rumah Sendiri.
Lalu angin bertiup, membawa suara-suara yang tak pernah benar-benar hilang. Suara rakyat. Suara kecewa. Suara tawa. Semuanya bercampur, menyatu, lalu lenyap di langit yang gelap. Di antara bintang-bintang mati dan janji-janji yang tak lagi bercahaya, satu bintang merah menyala pelan, membentuk huruf-huruf samar: Ini bukan akhir. Ini hanya pengulangan.