Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Maaf, aku terlambat tahu.
0
Suka
40
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku selalu melihatnya duduk di kursi kayu, samping jendela besar seukuran 2 meter. Wanita paruh baya itu senantiasa menatap keluar gerbang dengan pandangan sendu, ia seolah menunggu seseorang datang dan membuka pintu besi tersebut. Kegiatan itu selalu beliau lakukan saat jarum jam menunjukkan angka 4 sore, dia akan dengan suka rela -terkesan terburu- meninggalkan aktivitas yang sedang dilakukan. Entah itu bebersih, mencuci, memasak, menonton TV, bahkan saat ia di kamar mandi sekalipun -entalah apa yang dilakukannya di sana- dengan tergesa wanita itu berjalan kearah singgasananya.

Namun akhir dari penantiannya selalu sama seperti hari lalu, setelah ditunggu hingga adzan magrib berkumandang. Gerbang besi itu tak bergeser sedikitpun, eksistensi yang mungkin sedang ditunggunya tak datang, lagi. Binar mata yang sebelumnya tampak berkilat, sekarang kian meredup seiring dengan langit yang semakin menua. Kau tahu apa? Hebatnya saat pagi menjelang, dia akan terlihat baik-baik saja. Seolah mendung wajahnya yang kulihat kemarin tidak pernah ada, lagi-lagi topeng sempurnanya kembali terpasang.

Sungguh jika aku bisa bicara, sudah pasti aku akan meneriakinya, akan kubilang jika apa yang dilakukannya tidaklah benar. Sebab itu sama saja dengan menikam diri sendiri, perlahan dia akan kehilangan warasnya -atau memang sudah tak bersisa-, dan aku tidak ingin itu terjadi. Melihat topeng serta kepura-puraan di wajah ayu yang telah lapuk dimakan usia, sebenarnya membuatku muak! Aku selalu bertanya tentang siapa yang sedang ditunggunya, berapa lama lagi penantian ini berakhir, berapa banyak lagi isak dan air mata yang harus didengar sang malam.

Aku rindu melihatnya tersenyum, aku rindu dengan tawa renyah yang dulunya selalu terdengar, apalagi dengan binar sewarna angkasa yang selalu ia pamerkan saat bercakap. Namun aku tak bisa mengatakannya, sudahkah kubilang jika aku adalah salah satu dari tumpukan buku di dalam rak? Belum ya, maaf. Aku serta semua barang di ruang tengah ini adalah saksi bisu dari segala hal yang dilakukan pemilik rumah. Meskipun aku baru datang ke sini 3 tahun lalu, belum lama, tapi dulu saat pertama kali datang ke sini. Dia adalah sosok yang menyenangkan.

Hanya saja setahun belakangan, wanita itu berubah menjadi muram, sosoknya selalu diselimuti sendu. Yang mungkin lebih besar dari bayangannya sendiri, pemilikku yang malang. Apakah yang sebenarnya terjadi, Puan? Suaramu sudah jarang terdengar lagi, isak tangis lebih sering memenuhi seisi rumah, jangan... Tolong jangan seperti ini.

Karena penasaran dan frustasi, aku memutuskan untuk bertanya pada yang lain. Pertama kutanyai buku lain dalam rak, tetang alasan kenapa pemilik rumah menjadi muram, namun para kawanku enggan menjawabnya. Tak menyerah, aku kembali bertanya pada lemari kaca di samping rak buku, lagi-lagi hanya diam respon yang kuterima. Di hari-hari berikutnya aku coba bertanya pada engsel pintu depan, sofa dekat TV, lampu ruang tengah, tanaman hias, jendela, gorden, kursi kayu -sang singgasana-, bahkan pada karpet yang selalu dijadikannya pengganti kasur saat lelah menangis.

Ternyata semua kompak untuk bungkam, tidak ingin menjawab tanyaku. Seolah apa yang kutanyakan adalah kalimat terlarang di dunia, atau mungkin jawaban yang mereka beri, akan membuka luka lama dari borok yang kian mengakar. Aku semakin penasaran sekaligus kebingungan, meski begitu tanyaku tak pernah menemui ujung. Waktu terus berlalu, dia masih setia dengan kegiatan sorenya di kursi kayu. Ditengah rasa putus asaku mencari petunjuk, jam dinding di atas rak akhirnya bersuara -mungkin karena dirinya sesepuh diantara semua benda yang ada di sini, atau mungkin dia bosan melihat raut kusutku-. Ia menjawab semua tanya yang kupunya.

"Puan malang itu, telah kehilangan cahayanya, satu hal paling berharga yang dipunya telah meninggalkan ke-fana-an. Apa kau tidak menyadarinya, nak? Tuan Putri kita telah lama tak berkunjung, lebih tepatnya dia tak akan pernah datang lagi."

Saat itu pukul 12 tepat tengah malam, detik jam terhenti saat ia mulai bercerita. Benda lainnya sedang tidur, hanya kami berdua di sini, wanita pemilik rumah sedang ada di kamarnya.

"Bukankah Tuan Putri memang jarang pulang, aku masih tak mengerti maksud Nek Jam."

Memang setahuku anak pemilik rumah ini sangat jarang terlihat, katanya ia sedang menempuh pendidikan di kota nan jauh. Makanya aku tak menangkap maksud dari perkataan Nek Jam.

"Kau benar tentang Tuan Putri yang jarang pulang. Begini, apa kau ingat setahun lalu, saat kau dipindahkan ke kamarnya Puan malang itu? Tidakkah kau bisa mendengar riuhnya suara manusia diluar?" Tanya Nek Jam padaku, tentu saja aku ingat. Sebab sepanjang yang kutahu, rumah kami tak pernah seramai saat itu.

"Hari itu adalah kepulangan terakhir Tuan Putri ke rumah, ya, kau memang tak melihatnya. Meski setiap kali datang ke sini, ia tak akan pernah melewatkan untuk membacamu. Tapi kala itu, bukan mobil trevel yang mengantarnya, bukan pula tukang ojek yang biasa bantu mengangkat barang. Tuan Putri diantar dengan mobil polisi dan ambulan, nak kau tahu... Hatiku tersayat melihat dia yang ditandu; dengan tubuh kaku, wajah pucat pasi, tanpa sedikitpun rona kehidupan."

Napasku tercekat mendengarnya, firasat burukku benar terjadi. Wajah Nek Jam terlihat mendung, detiknya kembali berdetak, meski sekarang terdengar menyayat kalbu.

"Saat itu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami semua mendengar lagi raungan memilukan sang Puan. Deras sendu air matanya, tangis yang tak bisa ia sembunyikan. Sang Puan kehilangan cahayanya hari itu, dan kita kehilangan dua orang sekaligus di hari yang sama. Sekarang kau tahu, alasan mengapa tak ada satupun yang menjawab tanyamu," tutur Nek Jam dengan suara yang kian lirih.

Aku paham Nek. Aku sungguh menyesal mengorek luka kalian, maaf. Andai saat itu aku ada di rak buku, mungkin ucapan selamat tinggal bisa kuutarakan.

"Maaf, Nek Jam. Seharusnya aku tak usah menyuarakan tanya itu, maaf membuat kalian mengingat hal menyakitkan. Tapi terima kasih, sudah memberitahuku. Sekarang aku jadi paham, tentang kenapa wanita itu selalu menangis tersedu setiap membacaku. Aku paham, mengapa rautnya kian menyendu saat kami bersi-tatap, maaf."

Aku menyesal sekaligus berterima kasih, karenanya aku jadi tahu jika Tuan Putri telah berpulang pada Sang Ilahi. Nek Jam tersenyum samar mendengar ucapanku, kemudian membunyikan detiknya dua kali untuk mengatakan iya. Dia lantas memintaku untuk segera tidur. Sedang aku hanya bergumam tak jelas untuk meresponnya.

Apa kalian pikir, aku bisa tidur setelah mengetahui fakta menyakitkan tadi? Tidak! Aku tidak akan bisa tidur, mata ini bahkan tak kunjung mengering, jejak basah masih membekas di halaman depanku. Hingga sekelebat ingatan yang terlupa, tentang percakapan singkat Sang Puan dengan saudaranya, membludak keluar hingga semakin menekan sembilu kalbu.

***

"Mbak, sudah ya. Jangan terlalu banyak menangis, aku ndak melarang mbak. Hanya saja sudah dulu ya, kita perlu mengantarkan si cantik ke rumah barunya. Aku dan Imas akan menemani mbak menangis, tapi nanti, ayo hapus dulu air matanya. Si cantik pasti tak suka, jika wanita kesayangannya mengantar dengan derai hujan yang menghiasi wajah."

Suara itu meski samar, dapat juga kudengar dari dalam. Walaupun begitu, aku tak mengerti dengan maksud dari saudara beliau.

"Gus, yang tadi di depan beneran dia, kah? Gus, mbak harus gimana Gus... Kesayangan mbak lebih milih nyusul Bapaknya, kenapa? Kenapa, Gus..."

Apalagi perkataan wanita itu yang lebih tak kumengerti, siapa yang ada di depan? Kemana pula si Bapak itu membawa kesayangan pemilikku ini.

***

Potongan memori tersebut menamparku dengan telak, seharusnya aku bisa menghubungkan ceceran puzle yang kudapat. Apalagi saat keesokan paginya, pemilik rumah membawaku ke rak buku. Saat itu aroma kapur barus yang menyengat di ruang tengah begitu menusuk penghidu. Ketika seri diwajah beliau kian meredup, apalagi dengan kesedihan yang selalu membumbung di rumah ini selama 40 hari. Hingga sekarang. Selamat jalan Tuan Putri kami, maaf aku terlambat tahu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Maaf, aku terlambat tahu.
Fianaaa
Cerpen
Bronze
Malu
Khairul Azzam El Maliky
Cerpen
Bronze
Rindu Gaharu
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Copper Miss
Ratna Arifian
Cerpen
Bronze
Memecat Bos
Ravistara
Cerpen
Work for Home
Khairunnisa
Cerpen
Bronze
Bukan Tentang Nominal
Alifa abda khlq
Cerpen
Catatan Harian Pak Treng
Rafael Yanuar
Cerpen
Mimpi Kolong Langit
Trippleju
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Cerpen
Rumah Tangga Tetangga
Priy Ant
Cerpen
Bronze
Keajaiban Dokter Risna
Syaa Ja
Cerpen
Arwah Kunang-Kunang
Rafael Yanuar
Cerpen
Messi, Jangan Pindah!
Serenade
Cerpen
Refleksi
rdsinta
Rekomendasi
Cerpen
Maaf, aku terlambat tahu.
Fianaaa
Novel
SEGARA
Fianaaa
Cerpen
Afeksi Sang Rasi Phoenix
Fianaaa