Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dosa, sebentuk masa lalu yang tak ingin kita ingat.
Kabut asap kian pekat menguning, hujan mungkin sudah jadi khayalan di negeri dongeng. Siapalah Zulai ini di mata seorang pemuda perfeksionis yang namanya tersohor seantero kota. Ramlan. Tanyakanlah pada setiap wanita, maka ia rela menggadaikan jiwanya untuk berdampingan dengannya. Dan hebatnya, akulah yang membuatnya rela menyerahkan segala yang ia miliki tanpa perlu diminta. Siapa aku? Kalian akan tahu cepat atau lambat.
Sendiri di tanah rantau, bukan perkara mudah. Berjuang menghidupi keluarga nun jauh. Berdiri di tepian jalan, satu dua mobil memberi klakson genit. Aku tak semurahan dalam pikiran orang mesum.
“Hei manis, mau ikut bersama abang tak?” tawar seorang pria dari mobil sedan mewah.
“Maaf, aku bukan pelacur.”
“Ah tak usah malu-malu. Berapa kau mau, aku bayar.”
Aku berjalan, berpindah tempat. Mobil itu terus mengikuti,
Dan aku terselamatkan bus yang sedari tadi sudah kutunggu. Mobil menyuarakan klakson sekeras-kerasnya, kecewa, mala mini ia telah salah memilih gadis. Gadis? Aku bukan gadis lagi, tapi teman-teman di tempat kerja ku selalu meminta resep awet muda entah itu saat rapat, di lift ataupun di bilik kerja.
“Lai, kasih aku resep biar cantik dong.” pinta Nuni karyawan senior kantorku.
“Mana ada aku resep biar cantik, yang ada resep buat kue. Mau?”
“Ah, aku tahu kok, biar kamu tidak tersaingi.” gerutunya sambil lalu, menuju ruangan bos. Memenuhi jadwal rutin hubungan gelap.
Aku menatap jauh ke jendela. Tidak ada yang terlihat, tidak ada satupun. Semua diselimuti kabut asap. Andai saja tiket pesawat ke luar negeri murah, mungkin aku sudah pindah. Tapi setidaknya ada hal yang membuatku tak bisa beranjak dari kota ini. Dan aku masih mencarinya.
Malam selalu larut saat aku keluar dari kantor. Berdiri di tepian jalan, jengah mendengar klakson genit berkali-kali berteriak. Kala itu jalanan memang benar-benar sunyi, hampir tengah malam. Bis terakhir tentu saja sudah berlalu dua jam yang lalu. Aku mulai berpikir untuk pulang jalan kaki, namun saat hendak melangkah. Sebuah mobil keluaran terbaru berhenti di depanku. Kaca jendel diturunkan. Sang pengemudi tidak memalingkan wajah. Tatapannya lurus ke jalan.
“Tidak ada bis yang akan lewat. Naiklah. Aku tidak akan macam-macam.” Pengemudi acuh itu berbicara, tetap tak mengalihkan pandangan. Tetap ada rasa takut yang menyelinap, di kala ia berkata demikian secara dingin.
“Tidak, terima kasih. Saya jalan saja.”
Ia menaikkan kaca jendela. Menekan pedal gas perlahan-lahan. Aku mulai berjalan menyusuri jalanan lengang. Manusia-manusia lain kian terlelap, telah menjalani letih harinya. Mobil yang menawariku tumpangan tadi hilang di ujung jalan. Dan aku baru menyadari, sekilas aku tak asing dengan wajah pengemudi tadi.
Aku penasaran, sambil berjalan aku mengetik satu nama di mesin pencari internet. Ramlan. Akhir-akhir ini, orang-orang sering membicarakannya di jam kerja. Anak saudagar perusahaan minyak di negeri ini. Beritanya tersebar di segala media. Di halaman pencarian pertama, foto dan namanya disebut dalam judul berita. Benar, dia Ramlan. Berjalan dengan sepatu hak kadang menyakitkan, untunglah aku sudah berhenti di sebuah rumah atau lebih tepatnya kamar kontrak di gang sempit di tengah hingar bingar kota. Percayalah, kalau kalian mencari pasangan wanita yang tampilannya aduhai, kalian tidak akan percaya dengan bentuk rumah yang mereka tempati. Satu hari lagi berlalu, artinya dosa-dosa itu tertinggal di belakang. Atau malah aku sedang menjumpainya kembali?
Nuni tak henti-hentinya berkoar tentang si milyuner muda, Ramlan. Bibirnya yang merah merona karena lipstick pemberian si bos sampai maju-maju. Yang lain manggut-manggut terima, aku hampir muntah. Muak mendengar ocehannya.
“Lai, walau aku sudah bersuami. Aku rela jadi janda demi si Ramlan.” Ujar Nuni, terdengar menjijikkan di telinga.
“Aku baru bertemu dengannya tadi malam.”
Ia terdiam, yang lain ikut menoleh seolah menunggu kelanjutan apa yang kubicarakan. Gosip, bumbu kehidupan yang paling laku dimanapun kalian berada. Di warung, di terminal, di restoran. Jika kalian bertemu dengan orang yang tertawa lepas bersama kawan-kawannya lalu melihat ke kiri ke kanan bukan karena malu, tapi takut ketahuan sama si bahan gosip.
“Ah, mana mungkin Lai. Memangnya kau ini putri kerajaan minyak mana? Bisa-bisanya ketemu si ganteng Ramlan malam-malam?”
Aku tak menghiraukan pertanyaannya, “Dia menawariku pulang naik mobilnya.”
Bos tiba-tiba keluar dari ruangan, memberi kode pada Nuni. Ia masih tak terima aku bertemu dengan Ramlan. Tapi aku tak sedang berbohongkan? Beberapa saat kemudian yang artinya berjam-jam kemudian, Nuni keluar dari ruangan bos. Rambutnya sedikit kusut. Ia memberikan memo kecil, si bos tukang selingkuh itu memintaku lembur lagi. Nuni memberi senyum sinis, ini pasti berkat idenya.
Dan lagi-lagi aku harus jalan kaki menuju rumah. Datang sorot cahaya lampu dari belakang. Mobil yang sama, pengemudi yang sama dan cara yang sama, lagi-lagi Ramlan hadir malam itu. Dan tanpa berpikir dua kali, aku menerima tawarannya.
Mobilnya beraroma pinus. Sayup-sayup suara music mengalun. Lagu-lagu sendu. Menumpang dalam kendaraan orang asing itu jadi serba canggung. Rumah masih jauh berjarak dari arah kami berkendara.
“Perkenalkan namaku Ramlan. Nama kamu siapa?”
“Eh, saya Zulai. Panggil saja Zu.” Aku kaget ia tiba-tiba bertanya.
“Dimana alamat rumahmu?”
Aku menyebutkan alamat lengkap, ia memutar kendaraannya. Tahu bahwa kami sudah salah arah terlalu jauh. Lampu jalanan membias kuning, hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Itupun dengan suara musik keras-keras, merasa mereka penguasa jalanan. Mobil melaju pelan.
“Kenapa malam ini pulang larut lagi?” tanyanya.
“Biasa, pekerjaan lembur yang tak masuk akal.” Aku membenarkan kancing kemejaku yang tersingkap. Ia sempat menoleh, tapi aku segera menutup dengan tangan.
“Tenang saja, aku tidak akan macam-macam. Dan baru kali ini aku menemukan orang yang lebih memilih diam di hadapan orang asing, yang sebelumnya mereka terlalu berisik.
“Tentu saja mereka berisik bertemu orang sehebat kamu.”
“Tidak ada yang hebat dariku bahkan aku merasa ada yang kurang. Dan aku sedang mencari sesuatu.”
“Pasangankah?” Aku menyeletuk.
Ia tertawa tanpa suara, menampilkan sederet gigi putih sempurna.
“Bukan, aku hanya ingin tahu bagaimana kehidupan jalanan malam hari. Aku terlalu miris dengan gadis zaman sekarang. Rela menjual dirinya demi harta yang tak bisa mereka bawa mati. Oh iya, aku sedang mencari kebenaran.” jelasnya tak berhenti.
Sebelum aku bertanya kembali, kami sudah sampai di depan gang arah rumahku. Tidak muat dilewati mobil. Aku turun, mengucapkan terima kasih kepadanya. Berdiri menunggu nya selesai memutar kendaraan dan menghilang dari pandangan.
Dan tiba-tiba dadaku rasanya sesak, dirundung rindu dan pilu bersamaan. Aku ingin menangis sekaligus tertawa. Bahagia bercampur luka. Benar, aku semakin mendatangi dosa-dosa laluku.
Siang itu, secara mengejutkan tanpa dinyana. Ramlan hadir di lobi kantor. Dan meminta resepsionis memanggilku turun menemuinya. Orang-orang kantor sibuk, terutama Nuni. Ia terus mengikuti sampai lobi. Berpura-pura membaca koran agar bisa menguping pembicaraan kami.
“Tebak kenapa siang ini aku menemuimu disini?”
“Apa?” Aku tak pandai menerka.
“Kamu menjatuhkan buku agenda kerjamu di dalam mobil. Untung saja di dalamnya ada alamat kantormu ini.” Ujarnya seraya menyerahkan buku bersampul hitam kepadaku.
Astaga betapa bodohnya aku, aku baru sadar kehilangan buku itu. Untung saja hari itu tak ada rapat dadakan. Nuni masih mengintip. Aroma parfum Ramlan menggugah suasana lobi. Bak wewangian surga.
“Terima kasih. Bagaimana aku harus membalasnya?”
“Malam ini aku akan menjemputmu. Temani aku makan malam.”
“Oke baiklah.” Jawabku singkat, tentunya membuat kesal wanita di lobi saat itu. Terutama Nuni, tenggelam dalam lipatan koran yang dibacanya.
Pukul 8 malam, Ramlan telah menunggu di depan kantor. Duduk di depan kap mesin mobilnya. Dan bergegas membukakan pintu saat aku hendak masuk. Sopan.
“Kemana kita malam ini?” tanyaku tanpa basa basi.
“Ke sebuah restoran sekaligus ada tempat clubbingnya.”
Aku terhenyak. Jangan, pintaku dalam hati. Tapi semua sudah terlanjur, kami tiba di restoran yang tak asing lagi bagiku. Dulu aku pernah bekerja sebagai pelayan di sana. Semoga tidak ada yang mengenaliku. Dan terpujilah, para pekerjanya telah berganti. Tentu saja sudah belasan tahun silam.
Kami menyantap makanan, dan mulai berbincang.
“Kamu sudah menikah?” tanyanya santai.
Hampir saja aku tersedak potongan kentang dari sup yang kusantap.
“Sudah.”
“Eh, maaf kalau begitu. Sepertinya aku lancang telah mengajakmu kesini.” Ia menjadi kikuk.
“Ah tidak apa. Suamiku sudah pergi, mungkin tak akan kembali.”
“Benarkah?”
Aku mengangguk pelan, mengaduk sup yang mulai dingin. Kami segera menyudahi acara makan malam. Ramlan bersikeras mengajakku pergi ke tempat clubbing di belakang restoran. Aku akhirnya menurut. Orang-orang sepertinya begitu akrab dengannya, tentu saja. Siapa yang tidak mendekati mesin uang berjalan. Ia mengajakku ke sebuah ruangan lebih tepatnya kamar berukuran kecil.
Ramlan mondar-mandir di hadapanku. Gelas bir yang kandas diteguknya pecah menghantam dinding. Ia sepertinya memang pemabuk yang payah. Padahal itu baru gelas pertamanya. Aku menyisiri rambut dengan jari. Membenarkan posisi duduk.
“Aku bukan wanita murahan Ram.”
“Siapa yang menganggapmu wanita murahan Zu?”
Mungkin dia benar, aku saja yang terlalu berprasangka buruk.
“Aku mengajakmu ke sini karena satu maksud.”
“Apa maksudmu Ram?”
Ia terdiam sejenak, badannya yang terhuyung-huyung segera di hempaskan ke sofa.
“Aku ingin menikahimu. Sejak pertama kali bertemu malam itu, aku tak bisa terlepas dari bayangan wajahmu Zu.”
Aku tersentak kaget, “Kau tak akan bisa menikahi ku Ram. Kau tahu kenapa?”
“Tidak, jelaskan kenapa?”
Ia mendengus kesal, kewarasannya telah direnggut oleh minuman keras. Pengecut sekali melamar seorang wanita dalam keadaan mabuk dan di tempat yang tidak sewajarnya.
“Aku ibumu.”
“Kau bohong!” bentaknya.
“Tidak. Buat apa aku berdusta?”
“Buktikan kalau memang benar kau ibuku!” Ia menunjuk ke arahku. Dari matanya, aku tahu dia amat marah.
“Oke, kapan terakhir kamu bertemu dengannya?”
Mata Ramlan membelalak ke atas, berusaha mengingat-ingat di tengah ketidaksadarannya. Jarinya menempel di bibir, seolah berpikir keras. Tidak ada lagi aku menemukan sosoknya seperti pertama kali berjumpa. Ia menjadi berbeda karena minuman haram yang ditenggaknya.
“Dia sudah mati.”
“Darimana kau tahu dia sudah mati?”
Ia menoleh, memberi tatapan menyuruhku agar diam.
“Aku yang membunuhnya.” jawabnya asal.
“Dengan cara apa?”
Tampaknya ia mulai kesal melayani pertanyaan bertubi-tubi dariku dan mulai kehabisan kata-kata. Ia mulai menenggak bir lagi. Langsung dari botolnya. Ia minum kesetanan.
“Aku mencintaimu Zulai, aku tak peduli darimana dirimu berasal.” ujarnya lepas dari minuman itu.
“Kau tidak akan pernah bisa memindahkan rasa cinta pada orang tua menjadi rasa cinta kepada seorang kekasih. Sungguh tidak akan bisa Ramlan.”
Suara hujan mulai terdengar sayup-sayup jatuh di atap ruangan. Memainkan suara yang lama aku rindukan. Dimana kala itu mengiringiku berjuang melawan takdir seorang diri. Melahirkan Ramlan tanpa seorang ayah. Demi menutup aib, setelah lahir aku mengantarkannya kepada sebuah panti asuhan, demikian adanya bahwa akulah yang mengarang semua cerita jika ibunya mati saat melahirkan dirinya. Aku memberi nama palsu kepada pihak panti jadi mereka tak tahu namaku sebenarnya. Sebelum pergi aku juga berpesan kepada mereka untuk menamai bayi itu Ramlan. Sama dengan ayahnya. Yang sekarang tak tahu rimbanya.
Ramlan mengindahkan perkataanku. Ia kalap, mendekatkan tubuhnya kepadaku. Dengus nafsu yang dipancarkan, seolah hendak melahapku malam ini.
“Maaf aku bukan seorang pelacur.”
“Kamu memang bukan pelacur, tetapi setidaknya aku telah menemukan kebenaran malam ini.” Ramlan membelai pelan pipiku. Ada tangis yang tak tercurah, pun pilu yang tertahan. Dan aku telah bertemu kembali dengan dosa masa lalu itu.