Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Lunatic
1
Suka
52
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

--Ketika cinta yang disangka diam ternyata menyimpan kerinduan yang membuat mereka berdua gila--

Lampu-lampu jalan, gedung-gedung, dan pantulan hujan yang turun semalaman membuat malam terlihat seperti fajar yang tak selesai-selesai. Langit kota tidak pernah benar-benar gelap.

Elian menikmatinya seperti kanvas lukisan dan ia seperti tokoh yang bersembunyi di dalamnya. Tenang, tak bergerak, tapi pikiran dan hatinya bergejolak, berlarian bebas.

Entah mengapa ia selalu memilih Jumat malam, selalu di meja pojok, dan selalu sendirian. Pelayannya bahkan sudah hafal pesanannya, espresso, tanpa gula, dan sepotong tart lemon yang jarang disentuh hingga ia pulang.

Dan seperti Jumat malam lainnya, Elian mampir ke sana lagi, mencari kursinya seperti biasa. Ketika sosok yang Elian kira telah ia kubur dalam diam bertahun-tahun. Lira, muncul seperti bayangan.

Wajahnya tak banyak berubah. Mata itu masih sekelam kenangan, bibirnya masih merah tanpa lipstik, dan gerak tubuhnya... masih menyuarakan irama yang Elian kenali lebih dari musik apa pun.

“Elian?” suaranya seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut. Tak diundang, tapi meresap.

Elian berusaha berdiri gamang. Tubuhnya membeku, bukan karena cuaca, tapi karena kerinduan yang ia kira telah mati ternyata tumbuh diam-diam seperti ingin melompat dari ruang hatinya.

Lunatic, ia menyebut dirinya sendiri begitu rupa. Gila. Siapa yang berpikiran waras bersedia menunggu seseorang yang tidak jelas kapan akan datang atau kembali selama tujuh tahun, tanpa kabar, tanpa alasan, tanpa kata putus?

“Kau masih suka lemon tart?” tanya Lira, senyumnya tipis.

Elian hanya mengangguk. “Dan kau masih suka datang tanpa aba-aba?”

Mereka tertawa. Garing, gugup. Seperti dua orang asing yang pernah menjadi segalanya, lalu tak tahu harus mulai dari mana.

“Aku kembali,” ucap Lira. “Dan... aku minta maaf.”

“Kau pergi tanpa alasan,” Elian menatap tajam. “Kau membuatku mempertanyakan setiap hal tentang kita. Tentang aku.”

Lira menghela napas. “Aku harus pergi, El. Ayahku sakit, dan ibuku... tidak bisa sendiri. Aku pikir aku kuat tidak menghubungimu, supaya kau bisa lanjut. Aku pikir itu bentuk sayang.”

“Cinta bukan tentang siapa yang bisa melepaskan lebih dulu, Lira,” bisik Elian. “Cinta adalah tentang siapa yang tetap tinggal, meski itu menyakitkan.”

***

Mereka terdiam. Hujan di luar menggila, seolah ikut meledakkan emosi yang selama ini dipendam.

“Aku menulis untukmu,” kata Lira tiba-tiba. Ia mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya. Kulitnya sudah lusuh, beberapa halaman robek.

Elian membukanya. Halaman demi halaman dipenuhi puisi. Tentang rindu. Tentang malam yang panjang. Tentang seseorang bernama Elian yang ia sebut sebagai bintang yang ia pandangi dari balik jeruji waktu.

“Aku juga menulis,” Elian mengeluarkan sketsa dari dompetnya—potret Lira dari ingatan. Tujuh tahun, tujuh gambar. Satu tiap ulang tahun Lira.

Lira menutup mulutnya. Matanya basah. “Kita gila, ya?”

“Ya,” jawab Elian. “Tapi kadang... gila itu satu-satunya cara bertahan dari cinta yang terlalu dalam.”

***

Hujan mereda. Kafe sepi. Waktu seolah berhenti untuk mereka.

“Elian, bolehkah aku mencintaimu lagi? Bukan sebagai penyesalan, tapi sebagai permulaan baru?” tanya Lira, pelan. Nyaris seperti doa.

Elian meraih tangannya. Menggenggamnya lama. “Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Cinta ini diam, tapi ia tidak pernah mati. Ia menunggu. Menjadi gila sendiri. Tapi tetap setia.”

Dan malam itu, di antara lemon tart yang akhirnya habis, dan espresso yang dingin, dua orang yang pernah terluka saling menatap. Mereka sadar, bahwa cinta yang diam bukan berarti mati. Ia hanya menunggu waktu. Menunggu keberanian.

Kadang, cinta memang membuat orang gila. Tapi justru dalam kegilaan itu, kita menemukan versi paling jujur dari hati kita sendiri.

***

Malam itu mereka tak bicara banyak. Tapi yang tak terucap justru menjadi paling nyaring.

Elian mengantar Lira pulang. Hujan tinggal sisa rintik. Kota pun seperti ikut merestui pertemuan itu, lampu jalan lebih hangat, suara kendaraan lebih pelan, dan waktu berjalan lebih lambat.

Mobil berhenti di depan bangunan tua yang dulu pernah jadi saksi malam-malam mereka berdebat, tertawa, dan diam bersama. Lira menatap Elian sejenak sebelum membuka pintu.

“Aku takut,” katanya.

Elian menoleh. “Takut apa?”

“Takut kamu berubah. Atau aku. Takut kita hanya jatuh cinta pada kenangan, bukan pada kita yang hari ini.”

“Aku juga. Tapi mungkin, kita perlu mencoba mencintai bukan seperti dulu. Tapi seperti sekarang. Dengan luka, dengan jeda, dengan semua yang telah kita lewati.”

 Lira menutup pintu mobil perlahan. Sebelum berjalan masuk, ia berbalik dan berkata, “Besok, jam 10 pagi. Aku di tempat biasa. Kalau kamu datang... kita mulai dari awal. Kalau tidak... anggap ini penutup yang manis.”

Elian hanya tersenyum. Tak menjawab. Tapi hatinya bergetar hebat. Sering kali, cinta tidak perlu janji, hanya langkah kecil menuju keberanian.

***

Keesokan Paginya

Jam 9.50. Elian sudah duduk di bangku kayu taman dekat jembatan kecil itu. Tempat biasa mereka. Tempat di mana Lira pernah bilang, “Kalau aku harus menikah dengan dunia, aku ingin taman ini jadi altar, dan kamu yang menunggu di ujungnya.”

Ia menunggu.

10.05. Tak ada tanda-tanda.

10.10. Angin mulai dingin. Ia mulai cemas, tapi menahan diri untuk tidak menelepon.

10.15. Elian bangkit berdiri. Ia menatap danau buatan di depannya. Daun-daun kuning berguguran perlahan. Apakah ia terlalu percaya?

10.17. Sebuah suara dari belakang, “Maaf, aku membawa bunga tapi bunganya ketinggalan. Jadi aku balik lagi. Tapi kayaknya... senyummu lebih cukup dari bunga.”

Elian menoleh. Lira berdiri dengan senyum yang sama seperti tujuh tahun lalu. Tapi matanya lebih dewasa. Lebih... yakin.

***

Dua Bulan Kemudian

Mereka tak memulai dengan “kita pacaran, ya?” atau “ayo balikan.” Mereka memulai dengan mengobrol soal hal remeh, tentang siapa yang lebih cepat menyeduh kopi, siapa yang suka film bisu, dan siapa yang lebih sering ngambek saat lapar.

Setiap pertemuan seperti terapi. Tidak ada drama. Hanya kejujuran. Mereka tahu, cinta yang pernah rusak tidak bisa dibangun dengan emosi semata. Tapi dengan ketenangan. Dengan keberanian mengakui bahwa masing-masing pernah salah, pernah takut, pernah menyakiti.

***

Pada suatu sore, di balkon apartemen Elian, Lira mendadak berkata, “Kamu tahu? Kita ini seperti langit malam.”

“Elaborate, please,” jawab Elian tertawa kecil.

“Indah, tapi kadang gelap. Tapi kita tetap menatapnya, berharap bintang. Dan saat bintang muncul, rasanya semua gelap itu pantas.”

Elian menatapnya lama. “Kamu tahu kenapa aku tetap menunggumu dulu?”

Lira menggeleng.

“Karena meski aku terlihat diam... aku tidak pernah selesai mencintaimu. Aku tidak lunatic karena cinta ini membuatku gila. Tapi karena aku tetap waras, meski kehilanganmu waktu itu.”

Lira menggenggam tangan Elian. Ia menatap pria yang dulu ia tinggalkan karena situasi, dan kini ia perjuangkan kembali karena keyakinan.

“Dan aku kembali... bukan karena rasa bersalah. Tapi karena aku ingin memastikan bahwa kita benar-benar masih kita.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Lunatic
Hans Wysiwyg
Novel
Gold
Luka Dalam Bara
Noura Publishing
Novel
Kamu Jangan Overthinking
i dont need you
Novel
Another Cinderella Story
Mustika Nur Amalia
Cerpen
Jangan Takut
Steffi Adelin
Cerpen
Bronze
Mungkin di Semesta Lain
Yuli Harahap
Novel
Kisah Zaheera dan Tuan Milyader
Vie Rabbani
Skrip Film
Independent Marriage (Script)
Sweetstory
Cerpen
Wonder Blossom
Adinda Amalia
Novel
Slice Of Life Masachika
Muhyii
Cerpen
Aku Kamu Dan Cinta
blank_paper
Novel
Cinta di Langit Istanbul
nayla shafiyah
Novel
Bronze
S O U L
mr. putri
Cerpen
Nama yang Aku Samarkan
AkuOsa
Novel
BYSTANDER
Ralali Sinaw
Rekomendasi
Cerpen
Lunatic
Hans Wysiwyg
Flash
Sebelas-Duabelas
Hans Wysiwyg
Novel
DI BAWAH LANGIT YANG TERLUKA Beneath The Wounded Sky
Hans Wysiwyg
Cerpen
MESIN WAKTU
Hans Wysiwyg
Novel
TEDUH DALAM BARA Dua Perempuan Teluk Naga
Hans Wysiwyg
Flash
PAMIT
Hans Wysiwyg
Cerpen
FAKE PSIKOPAT
Hans Wysiwyg
Cerpen
Jalan Tikus
Hans Wysiwyg
Flash
SEMANGKUK NASI UNTUK AYAH
Hans Wysiwyg
Cerpen
THE CHOICE
Hans Wysiwyg
Flash
CAFE LATTE MERAH
Hans Wysiwyg
Flash
RUMAH SUNYI TANPA AKU
Hans Wysiwyg
Flash
Perahu Langit
Hans Wysiwyg
Cerpen
Mencari Cinta Di Kelab Malam
Hans Wysiwyg
Flash
MAKLAR
Hans Wysiwyg