Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Luna: Jiwa yang Hilang
1
Suka
164
Dibaca

Alarm berbunyi nyaring, memecah keheningan di Ruang Istirahat. Lampu yang menempel di dinding berkedip merah, sebuah peringatan yang jarang terjadi.

"Ada jiwa yang kabur," ucap seorang petugas berpapasan denganku, suaranya dipenuhi urgensi.

Aku adalah petugas dari Divisi Lapangan, turun ke Bumi untuk menangani anomali, masalah yang tidak bisa diselesaikan di sini. Jam di tanganku menampilkan notifikasi. Tugas baru: menemukan jiwa yang hilang.

Aku menghela napas panjang, "Benar, ini menjadi tugasku."

Aku bersiap untuk turun ke Bumi, mencari jiwa bernama Luna. Dia adalah jiwa yang mengakhiri hidupnya, memutus kontrak secara paksa. Jiwa seperti ini paling sulit. Lukanya begitu besar hingga mereka menolak untuk bereinkarnasi. Aku berdiri di peron, menunggu kereta bernomor 909.

Kereta itu tidak kasat mata, meluncur perlahan menembus dimensi. Seorang rekan di sampingku bertanya, "Hari ini kamu dapat tugas apa?"

"Mencari jiwa yang hilang. Kamu?"

"Aku menjemput jiwa baru," jawabnya, suaranya terdengar lelah.

Tidak lama kemudian, kereta berhenti. Aku dan rekan-rekanku turun, bergegas ke tempat masing-masing.

Bumi. Tempat yang dulu pernah kutinggali. Dahulu aku adalah manusia, hidup dan mati berulang kali. Tapi, kebosanan bereinkarnasi membuatku memilih menjadi petugas di Divisi Lapangan. Aku ingin mengamati, bukan lagi menjalani. Ini bukan kali pertamaku datang, melainkan kali ke-161 aku mencari jiwa yang hilang.

Aku menekan jam di tanganku, menampilkan radar yang menunjukkan posisi Luna. Aku segera menuju ke sana. Waktu di Bumi terasa sangat lambat. Aku bahkan masih melihat petugas parkir yang sama seperti yang kutemui saat mencari jiwa ke-150. Jalanan tidak banyak berubah, tapi kini banyak manusia menatap benda segi empat. Cahaya layarnya menerangi wajah mereka. Aku tak tahu apa nama benda itu. Pada masaku, benda itu belum ada.

Dari kejauhan, aku melihat Luna. Gumpalan kabut abu-abu itu berada di dekat seorang perempuan tua. "Mungkin itu ibunya?" gumamku.

Sayangnya, Luna merasakan kehadiranku. Gumpalan kabut abu-abu itu tiba-tiba berlari menjauh. Sialan. Gumpalan kabut itu merayap di antara manusia yang sedang berjalan. Aku merasakan jejak energi negatif darinya. Keberadaan Luna mulai mengacaukan kondisi Bumi. Seorang ibu tiba-tiba menjatuhkan belanjaannya, tatapannya kosong. Anaknya yang duduk di gerobak dorong mulai menangis tanpa sebab. Di tengah jalan, dua mobil yang tadinya melaju normal tiba-tiba saling serobot, rem berdecit nyaring. Pengemudinya saling berteriak, amarah yang terasa asing di udara yang biasanya tenang.

Aku harus menghentikannya sebelum semuanya menjadi lebih buruk.

Aku menelusuri jejak Luna dan sampai di depan sebuah rumah. Rumah lamanya. Aku bisa merasakan energi aneh dari jendela dapur yang terbuka. Aku mengintip. Aroma dupa menyeruak. Di atas meja, sebuah foto tua, selembar kertas yang terbakar, dan lilin yang meneteskan air mata parafin. Seorang perempuan tua duduk di hadapan seorang laki-laki yang wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Laki-laki itu mengucapkan mantra, suaranya menggerus udara seperti pasir yang bergesekan. Aku merasakan energi Luna, seperti anak kecil yang ketakutan, ditarik paksa ke dalam pusaran gelap.

"Ini tidak bisa dibiarkan," bisikku.

Sebelum semuanya menjadi lebih parah, aku mencoba menarik jiwa Luna. Aku mengirimkan energi murni, cahaya keemasan dari tanganku untuk menariknya kembali. Tapi laki-laki itu melawan. Dia memancarkan gelombang energi gelap, seperti pusaran air yang menenggelamkan cahayaku. Tanganku bergetar, energinya menusuk. Aku tahu aku akan kalah.

Dengan sisa energi yang kumiliki, aku mencoba menariknya. Tapi dia terlalu kuat. Laki-laki itu berhasil menarik jiwa Luna sepenuhnya. Jiwa Luna yang tadinya abu-abu kini berubah menjadi abu-abu kehitaman. Jiwanya telah tercemar. Aku bisa mendengar bisikan kemarahan dan penderitaan darinya. Ia bukan lagi jiwa yang hilang. Ia sekarang adalah jiwa yang tercemar.

Jam tanganku berkedip merah. Tiga petugas lainnya, bertugas memusnahkan jiwa berenergi negatif, sudah tiba di sektor ini. Aku harus mendapatkan Luna sebelum mereka tiba. Jika mereka berhasil menemukannya, maka jiwa Luna akan dimusnahkan dan menghilang selamanya.

Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Aku berusaha mencari jiwa Luna yang sudah kabur lagi. Setelah menelusuri jejak kegelapan yang ia tinggalkan, akhirnya aku menemukannya. Sayangnya, dia sudah ditemukan oleh tiga petugas lainnya. Mereka mengelilingi Luna, yang kini terlihat seperti gumpalan asap hitam yang bergetar ketakutan.

Namun, ada yang aneh. Mereka tidak langsung memusnahkannya. Tampaknya ada satu petugas yang menghalangi.

"Kita bisa membawanya pulang dahulu untuk dimurnikan, jangan langsung dimusnahkan!" ucap petugas itu, suaranya dipenuhi urgensi.

Dua petugas lainnya menolak. "Mengapa kau menghalangi kami? Jiwa yang sudah tercemar energi negatif harus segera dimusnahkan! Aturan kita jelas!"

Saat itulah aku memutuskan untuk menyela. "Mungkin kita bisa membawanya pulang dahulu," ucapku, menampakkan diri. "Kita bisa melakukan persidangan."

Semua mata tertuju padaku. Aku menjelaskan, "Jiwa dengan kasus Luna dapat memiliki kesempatan baru. Kesempatan yang akan dipertimbangkan oleh juri."

Dua petugas yang menolak itu tampak ragu. Salah satu dari mereka akhirnya bertanya, "Juri? Siapa yang akan jadi juri?"

"Juri adalah kumpulan Supervisor dari berbagai divisi," jawabku. "Merekalah yang akan menimbang permasalahan ini dengan adil."

Petugas yang melindunginya mengangguk setuju. "Ini satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa jiwa Luna masih bisa diselamatkan. Kita harus meyakinkan mereka bahwa dia adalah korban, bukan penjahat."

Kami berempat pulang dengan membawa jiwa Luna yang sudah tercemar. Setelah sampai, kami segera membawa Luna ke ruang persidangan. Ruangan itu masih kosong. Aku membantu mengunci jiwa Luna agar tidak bisa kabur lagi. Kemudian aku mencoba mengajukan persidangan di sistem. Tidak lama, para juri tiba.

Persidangan dimulai. Satu dari tiga petugas yang bertugas memusnahkan ternyata mengenali jiwa Luna di kehidupan sebelumnya. Jiwa Luna ternyata memang membawa banyak luka dari kehidupan sebelumnya.

Persidangan berakhir. Para juri akhirnya membuat keputusan. Keputusan yang mengejutkan.

Luna akan mendapatkan pemurnian. Dan hal yang lebih tidak terduga, dia diizinkan untuk mengulangi hidupnya. Kembali ke masa sebelum dia memutus kontraknya.

Rasa lega yang dalam memenuhi Ruang Sidang. Petugas yang membela Luna menghela napas panjang. Bahkan dua petugas yang tadinya menolak tampak menerima keputusan itu.

"Dia akan kembali ke saat terakhirnya," kata salah satu juri, suaranya bergema. "Dia akan melihat kembali pilihan yang ia ambil, dengan pengetahuan yang baru."

Setelah semua petugas pergi, aku dan Luna ditinggalkan berdua. Jiwa Luna, yang tadinya tercemar, perlahan-lahan mulai memudar. Warna abu-abu kehitaman terkikis, digantikan oleh cahaya yang redup. Namun, tidak semua energi negatif itu menghilang. Aku melihat sebagian kecilnya, seperti bayangan yang menempel, merayap ke arahku. Tiba-tiba, rasa dingin menjalar dari tanganku ke seluruh tubuhku. Bukan dingin yang menusuk, melainkan dingin yang kosong, seperti kesedihan yang tak terucap.

"Kau siap?" tanyaku pada Luna, suaraku sedikit serak.

Gumpalan cahaya itu bergetar lembut, sebuah 'ya' yang penuh harapan.

Aku mengaktifkan jam tanganku, membuat portal kecil, sebuah jalan pintas menuju gerbang ke Bumi. Aku harus mengawalnya, memastikan dia sampai di sana dengan selamat. Kami sampai di sebuah jembatan. Jembatan yang pernah menjadi tempat terakhir Luna di kehidupannya yang lalu. Di sana, seorang gadis, yaitu Luna di masa lalu, berdiri di tepi. Menghadapi pilihannya.

"Ini dia," bisikku pada jiwa Luna yang kini berada di sampingku. "Kau bisa kembali, dan membuat pilihan yang berbeda."

Jiwa Luna yang kini murni masuk kembali ke dalam tubuhnya. Dalam sekejap, gadis yang berdiri di tepi jembatan itu terkejut. Dia melihat ke langit, ke arahku. Aku tahu dia tidak bisa melihatku, tapi aku merasakan dia bisa merasakanku. Aku melihatnya perlahan berbalik, meninggalkan jembatan itu. Sebuah pilihan yang berbeda.

Tugasku selesai. Aku kembali ke meja kerjaku. Namun, ada yang berbeda. Rasa dingin dari energi negatif Luna masih menempel di tanganku. Saat aku memegang secangkir kopi, tanganku tiba-tiba bergetar dan kopi itu tumpah. Rasa dingin itu merayap naik, membawa serta bisikan keputusasaan yang tidak lagi asing bagiku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Penderma : Kebajikan Tanpa Pengharapan
Nurul Amanah
Flash
Bronze
Kucing Kelas
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Bronze
Mawar Terakhir Persidangan
Silvarani
Cerpen
Bronze
POLIGAMI ; WANITA WANITA YANG TERLUKA
Iman Siputra
Cerpen
Luna: Jiwa yang Hilang
Sekar Kinanthi
Novel
You Are Not My Lover
Imajiner
Novel
Kamu Seperti Waktu
Muyassarotul Hafidzoh
Skrip Film
Surya Kembar
Tinta Emas
Skrip Film
The Rising Legacies
Gadhinia Devi Widiyanti
Skrip Film
Halo Hala
Annisa Diandari Putri
Skrip Film
Pesan Dari Surga
Dewi sartika
Flash
Binar
Seto Yuma
Flash
Bronze
Menimang Senja
Arianto Pambudi
Cerpen
BU BENI MINTA MATI
Rian Widagdo
Cerpen
Gadis dan Waktu
RinkoPan
Rekomendasi
Cerpen
Luna: Jiwa yang Hilang
Sekar Kinanthi
Flash
77 Questions Before I Was Born
Sekar Kinanthi
Flash
Rumah yang Retak
Sekar Kinanthi
Cerpen
Halaman Pertama: Prequel Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Cerpen
Garis Luka: Prequel Ketika Langit Salah Dengar
Sekar Kinanthi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi
Cerpen
Ketika Langit Salah Dengar
Sekar Kinanthi
Cerpen
Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Flash
Di Balik Kamera
Sekar Kinanthi
Flash
Tirai Merah
Sekar Kinanthi
Flash
Kasus Terakhir Rissa
Sekar Kinanthi
Cerpen
The Unseen Hand: Prolog
Sekar Kinanthi