Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Luna tersentak. Dia melihat sekeliling. "Mengapa aku di sini?" gumamnya. Dia melihat ke atas, merasakan kehadiran yang mengawasinya. Entahlah.
Dia berjalan pulang ke rumah. Dia masih ingat jelas. Beberapa saat lalu, air telah memanggilnya untuk turun.
Akhir-akhir ini, hidupnya terasa sulit. Ia menjadi korban perundungan di tempat kerjanya. Luna baru lulus SMA, tetapi kesulitan ekonomi memaksanya menunda impian kuliah.
Luna hanya tinggal bersama ibunya setelah ayahnya masuk penjara karena menggelapkan dana perusahaan. Hidupnya berubah drastis. Rumah mewah, mobil, dan seluruh harta keluarganya disita untuk ganti rugi. Ia harus bekerja di toko ritel. Ternyata, bukan hanya melayani pembeli, ia dikucilkan teman-temannya dan menjadi kambing hitam ketika uang toko hilang.
Luna harus mengganti uang itu dengan gajinya yang tak seberapa. Dia bingung, kehilangan arah. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk bertahan hidup.
Luna tiba di depan rumah tua yang disewa ibunya. Cat di dinding sudah mengelupas, atap seng berkarat. Rumah yang hampir tak layak huni, tapi masih bisa melindungi mereka dari hujan dan panas. Di dalamnya, hanya ada satu kamar kecil untuk Luna, sementara ibunya tidur di ruang depan yang juga berfungsi sebagai dapur.
Luna membuka pintu. Ibunya sedang memasak telur.
Mendengar langkah kaki, Ibu Luna menoleh dan tersenyum. “Selamat datang, Una,” sambutnya. “Bagaimana kerja hari ini?”
Luna terdiam. Dia hanya tersenyum. “Biasa saja, Ma.”
“Mama kok sudah pulang?”
Ibu Luna juga bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang profesor. Sanak saudara mereka seolah tidak mengenalinya lagi ketika mereka terjerat masalah, padahal ayah dan ibu Luna dahulu sering membantu mereka.
“Iya, tadi Prof izinin Mama pulang duluan biar bisa cepat ketemu kamu. Prof tahu kalau hari ini hari ulang tahunmu.”
Majikan ibunya memang sangat baik. Profesor itu bahkan sempat menawarkan Luna kuliah, tetapi Luna menolak, merasa lebih baik membantu ibunya mencari uang.
“Mama tadi beli kue untuk Una,” ucap Ibu Luna sambil membuka kotak putih berisi kue cokelat bertuliskan "Happy Birthday Una".
Ibu Luna menancapkan lilin dan menyalakannya, menyanyikan lagu ulang tahun untuk anak tercintanya. Sambil bernyanyi, air matanya tertahan saat teringat masa kecil Luna.
Hari ini Luna resmi berusia 19 tahun. Tahun lalu, ia masih merayakan di hotel bintang lima. Kini, hidupnya berubah secepat kilat, dan ia hanya merayakannya berdua dengan ibunya.
Luna meniup lilin. Mereka makan masakan sederhana yang telah disiapkan ibunya.
Setelah perayaan kecil itu berakhir, Luna masuk ke kamarnya. Ia menatap ruangan sepetak itu, bersyukur masih bisa tidur beralaskan kasur, meski tidak semahal dan senyaman yang dulu.
Luna melihat dirinya di cermin. Ia masih mencerna apa yang terjadi hari ini: ulang tahunnya, ia dijadikan kambing hitam di tempat kerja, kewajiban mengganti uang yang hilang, dan senyum tulus sang ibu yang menyambutnya pulang.
***
Sementara Luna bergulat dengan realitas barunya, aku menekan jam tanganku. Tugas telah selesai: Luna telah kembali.
Aku berdiri di peron, menunggu Kereta 909. Kereta itu meluncur tanpa suara. Rekan-rekan petugas masuk. Aku menunduk, merasakan sesuatu yang asing.
Rasa dingin yang menempel di tanganku kini menjalar lebih dalam. Ini adalah dingin yang kosong, beku seperti kabut abu-abu kehitaman yang sempat kurasakan dari jiwa Luna.
"Akhirnya kau kembali," sapa seorang rekan. "Aku dengar kasusmu cukup rumit."
Aku hanya mengangguk. Saat tanganku menyentuh pegangan di kereta, getaran samar kurasakan. Sebuah bisikan, bukan suara, melainkan perasaan keputusasaan yang bukan milikku. Itu adalah sisa dari energi Luna, energi negatif yang belum sepenuhnya hilang saat proses pemurnian.
Aku bergegas kembali ke meja kerja. Aku harus membersihkan energi ini sebelum terdeteksi. Saat aku meraih cangkir kopi, tanganku bergetar tak terkendali. Kopi itu tumpah. Panasnya sesaat menghilangkan rasa dingin, tetapi keputusasaan itu tetap ada, merayap naik.
Aku menatap tanganku yang basah. Energi gelap itu terasa seperti benang tipis yang mengikatku. Selama 161 kali turun ke Bumi, aku hanya mengamati. Sekarang, aku merasakan. Emosi yang sangat manusiawi, yang dulu kutinggalkan—rasa putus asa, sakit, dan kelelahan.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” bisikku pada diriku sendiri. Rasa dingin itu adalah pengingat bahwa tugas kali ini tidak seperti 160 tugas sebelumnya. Tugas ini telah mengubahku.
Aku tahu satu hal: jiwa Luna mungkin sudah kembali ke tubuhnya, tetapi bayangan gelapnya telah ikut bersamaku. Dan bayangan itu, perlahan-lahan mulai mengancam untuk menenggelamkanku.
***
Keesokan harinya, aku mendatangi ruang konseling. Ruangan kecil dengan dinding berwarna krem dan aroma lavender yang menenangkan. Ironis, karena aku merasa apa pun kecuali tenang.
Seorang konselor duduk di hadapanku, menatapku dengan mata yang terlalu tajam. "Ceritakan apa yang kau rasakan."
Aku menatap tanganku. "Ada... sesuatu yang tertinggal. Dari kasus terakhirku. Energi negatif dari jiwa yang kucoba selamatkan."
"Itu wajar. Energi negatif kadang menempel pada petugas lapangan. Biasanya akan hilang dengan sendirinya."
"Tapi ini berbeda." Aku mengangkat wajah. "Ini bukan sekadar energi. Aku merasakan... emosinya. Keputusasaannya. Seolah itu adalah milikku."
Konselor terdiam, menuliskan sesuatu di catatannya. "Berapa lama kau sudah bekerja di Divisi Lapangan?"
"161 tugas."
"Dan ini pertama kalinya kau merasakan emosi dari jiwa yang kau tangani?"
Aku mengangguk.
Konselor menatapku lebih lama. "Aku curiga, energi negatif itu memancing memori lamamu. Sesuatu yang kau kubur jauh di dalam diri. Sesuatu yang memiliki resonansi emosional yang sama dengan jiwa Luna."
Aku tersentak mendengar nama itu. "Apa maksudmu?"
"Mungkin kau pernah merasakan hal yang sama. Di kehidupan lamamu, sebelum kau menjadi petugas. Keputusasaan. Kehilangan. Kesepian."
Aku menggeleng. "Aku tidak ingat. Semua memori lamaku sudah dikubur saat aku memilih jadi petugas."
"Memori bisa dikubur, tapi emosi tidak pernah benar-benar hilang." Konselor menutup catatannya. "Aku sarankan kau ke ruang Arsiparis Semesta. Minta mereka membuka memori lamamu. Jika ada kaitan emosional dengan kasus Luna, kita bisa melakukan pemurnian bersama konselor senior."
Aku meninggalkan ruang konseling dengan perasaan tidak nyaman. Membuka memori lama. Aku sudah meninggalkan itu semua. Aku tidak ingin kembali ke masa lalu.
***
Ruang Arsiparis Semesta adalah tempat yang membuatku tidak nyaman. Terlalu luas, terlalu sunyi, terlalu banyak rahasia yang tersimpan di rak-rak tanpa ujung itu. Setiap jiwa yang pernah hidup memiliki arsip di sini. Catatan lengkap tentang setiap kehidupan, setiap pilihan, setiap emosi yang pernah dirasakan.
Aku berjalan melewati lorong panjang, sepatu ku bergema di lantai emas. Seorang petugas arsiparis menyambutku di meja panjang yang penuh dengan buku tebal.
"Aku butuh mengakses memori lamaku," ucapku. "Untuk keperluan pemurnian."
Petugas itu mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. "Ikuti aku."
Kami berjalan melewati rak-rak tinggi yang penuh dengan gulungan cahaya—bentuk lain dari catatan jiwa. Akhirnya, kami berhenti di sebuah ruangan kecil dengan satu kursi dan sebuah proyektor holografik.
"Duduk," perintah petugas itu. "Proses pembukaan memori akan dimulai. Ini mungkin tidak nyaman."
Aku duduk, tanganku mencengkeram sandaran kursi. Proyektor menyala, cahaya biru menerangi ruangan.
"Aku menemukan emosi yang cocok dengan energi Luna," ucap petugas itu sambil membaca data di layar. "Keputusasaan. Kehilangan. Kesepian mendalam." Ia menatapku. "Kau pernah merasakan ini di kehidupan terakhirmu, sebelum menjadi petugas."
"Aku tidak ingat."
"Karena kau memilih melupakan." Petugas itu menekan tombol. "Tapi memori tidak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya tertidur."
Cahaya holografik berubah, menampilkan serangkaian fragmen memori yang buram. Aku melihat wajah seseorang, tapi tidak jelas. Aku mendengar suara tawa, tapi teredam. Lalu, tiba-tiba gambar berubah. Sebuah garasi. Tali. Tubuh yang tergantung.
Rasa sakit menusuk dadaku. Bukan sakit fisik, tapi sakit yang lebih dalam. Kehilangan yang begitu besar hingga dunia terasa berhenti berputar.
"Pasanganmu," ucap petugas arsiparis pelan. "Dia meninggal bunuh diri di garasi rumahmu. Kau yang menemukan tubuhnya."
Aku tidak bisa bernapas. Rasa dingin di tanganku kini menjalar ke seluruh tubuh, membeku. Aku ingat sekarang. Aku ingat semuanya. Wajahnya. Senyumnya. Dan hari terakhir saat aku pulang dan menemukan pintu garasi terbuka.
Aku ingat kekosongan yang mengikuti. Aku tidak bisa hidup setelah itu. Aku menjalani hidup seperti zombie. Bangun, bekerja, tidur, berulang tanpa makna. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk tidak bereinkarnasi lagi. Aku memilih jadi petugas. Aku ingin lupa. Aku ingin lepas dari rasa sakit itu.
Tapi sekarang, rasa sakit itu kembali. Dan lebih buruk lagi, aku menyadari mengapa energi Luna terasa begitu akrab. Karena itu adalah energi yang sama. Keputusasaan yang sama. Kesepian yang sama.
"Aku sudah buatkan rujukan ke konselor senior," ucap petugas arsiparis. "Semoga ini membantu."
Aku berjalan keluar dari ruangan itu dengan langkah goyah. Setiap langkah terasa berat, seolah aku menyeret beban yang tak terlihat. Rasa dingin tidak lagi hanya di tanganku, kini menjalar ke tulang, ke jantung, ke setiap sudut diriku.
Aku mencoba mengabaikannya. Aku mencoba fokus pada tugas lain, pada rutinitas yang aman. Tapi kekosongan itu tidak pergi. Malah, ia tumbuh. Seperti lubang hitam yang perlahan menelan cahaya.
Dan di tengah kekosongan itu, satu nama terus bergema. Nama yang belum sepenuhnya kutangkap, tapi terasa begitu dekat di ujung lidah.
***
Sesi konseling dengan konselor senior berlangsung lebih lama. Ruangannya lebih besar, lebih hangat, dengan jendela besar yang menghadap ke taman cahaya. Tempat di mana jiwa-jiwa yang sudah dimurnikan bermain sebelum bereinkarnasi.
Konselor senior adalah sosok yang lebih tua, lebih bijak. Matanya penuh pengertian, tapi juga tegas.
"Kau sudah membuka memori lamamu," ucapnya, bukan sebagai pertanyaan.
Aku mengangguk. "Aku ingat sekarang. Pasanganku. Dia bunuh diri. Aku tidak bisa menyelamatkannya."
"Dan sekarang kau membawa rasa bersalah itu."
Aku terdiam. Apakah ini rasa bersalah? Ataukah hanya kesedihan yang tidak pernah selesai?
"Apakah kau masih merasakan kesedihan dan kerinduan pada pasanganmu?" tanya konselor.
"Iya." Suaraku serak. "Sangat kuat. Seperti luka yang baru saja terbuka."
Konselor menatapku lama. "Bagaimana jika kau mencoba mencarinya sebelum konseling selanjutnya?"
Aku mengangkat wajah, bingung. "Mencarinya? Untuk apa? Itu sudah masa lalu."
"Untuk menuntaskan." Konselor berdiri, berjalan ke jendela. "Rasa sedih dan kerinduan tidak akan hilang hanya dengan dikubur. Mereka butuh penutupan. Mungkin jika kau melihatnya lagi, entah dia sudah bereinkarnasi atau masih menunggu, kau bisa melepaskan beban itu. Dan energi negatif yang menempel padamu akan lebih mudah dibersihkan."
Aku meninggalkan ruang konseling dengan pikiran kacau. Mencari pasanganku yang sudah mati? Apa gunanya? Dia sudah tiada. Mungkin sudah bereinkarnasi berkali-kali. Atau mungkin masih terjebak di suatu tempat, menunggu.
Tapi konselor senior benar. Aku tidak akan pernah sembuh jika aku tidak menuntaskan ini.
***
Masa cutiku seharusnya kupakai untuk istirahat. Tapi sekarang, aku malah kembali bekerja mencari jiwa. Bukan jiwa yang hilang, tapi jiwa yang pernah kucintai.
Aku kembali ke ruang kerja, mengaktifkan sistem pencarian. Aku memasukkan data memori lamaku. Waktu kematian pasanganku, lokasi, energi emosionalnya. Sistem memproses, layar berkedip-kedip.
Lalu, hasilnya muncul.
Aku membeku.
Nama di layar adalah nama yang sangat kukenal. Nama yang baru saja kudengar beberapa hari lalu.
Luna.
Jantungku berhenti. Tidak. Tidak mungkin.
Aku membaca ulang data itu. Tanggal lahir. Energi jiwa. Pola reinkarnasi. Semuanya cocok. Luna, jiwa yang baru saja kuselamatkan, jiwa yang energinya masih menempel di tanganku adalah pasanganku. Pasangan yang bunuh diri di garasi rumahku di kehidupan lampau.
Aku mundur dari meja, napas tercekat. Bagaimana bisa? Dari jutaan jiwa di dunia, bagaimana bisa aku mendapat tugas untuk menangani jiwanya? Apakah ini kebetulan? Atau takdir yang kejam?
Rasa dingin di tanganku kini berubah menjadi panas yang membakar. Aku tidak tahu apakah itu amarah, kesedihan, atau kerinduan yang begitu besar hingga menjadi sakit fisik.
Aku harus melihatnya. Aku harus tahu apakah dia baik-baik saja.
Aku kembali ke Bumi tanpa izin resmi. Ini melanggar protokol, tapi aku tidak peduli. Aku harus tahu.
Aku tiba di rumah Luna. Rumah tua yang hampir roboh, jauh berbeda dari rumah yang pernah kami tinggali bersama di kehidupan lampau. Aku berdiri di luar, menatap jendela yang remang-remang.
Di dalam, aku bisa melihat Luna duduk sendirian di kamarnya. Ia menatap cermin, wajahnya kosong. Ada tali di tangannya.
Jantungku berhenti.
Tidak. Tidak lagi.
Aku bergegas masuk, menembus dinding seperti hantu. Luna tidak bisa melihatku. Aku berdiri di depannya, tapi baginya, aku tidak ada.
"Luna," bisikku, meski aku tahu ia tidak bisa mendengar. "Jangan lakukan ini. Kumohon."
Tapi ia tidak mendengar. Tangannya gemetar, menggenggam tali itu erat. Air mata mengalir di pipinya.
Aku berusaha menyentuh bahunya, tapi tanganku menembus tubuhnya. Aku bukan manusia. Aku tidak bisa menyentuh apa pun di dunia ini. Aku hanya bisa mengamati.
Mengamati kehancuranku di masa lalu terulang dalam diri Luna saat ini.
"Kumohon," bisikku lagi, suaraku pecah. "Jangan tinggalkan ibumu. Jangan tinggalkan dunia ini. Kau masih punya waktu. Masih ada harapan."
Tapi ia tidak mendengar.
Luna berdiri, membawa tali itu ke balok kayu di langit-langit kamarnya. Aku berdiri di bawahnya, tidak berdaya. Rasa sakit di dadaku begitu besar hingga aku merasa tubuh etherial-ku akan hancur.
Aku sudah pernah kehilangannya sekali. Aku tidak sanggup kehilangan dia lagi.
Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdiri di sana, menunggu. Menunggu saat aku harus melakukan tugasku lagi. Mencari jiwa yang hilang. Jiwa Luna. Jiwa pasanganku.
Dan kali ini, aku tidak yakin aku bisa menyelamatkannya lagi.
Karena kali ini, aku sendiri tenggelam bersama bayangan gelapnya.