Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari yang cerah memasuki bulan baru. Masa karantina mandiri belum berakhir. Sejak sebulan yang lalu kota selalu sepi. Pagi terasa senyap, dan malam seakan pengap oleh kesunyian yang merayap di seluruh penjuru kota.
Di dekat alun-alun kota, terdapat sebuah studio kecil berlantai tiga. Studio itu milik seorang pelukis. Walau dekat, namun dari alun-alun kota, studio itu hampir tak terlihat sama sekali. Seseorang harus berjalan sedikit ke arah Barat, dan menyusuri gang-gang yang diciptakan oleh gedung-gedung tinggi untuk mencapai tempat itu. Jika sudah maka akan terlihat sebuah tempat dengan nama Studio Lukis Mas Jo. Jika kesulitan, seseorang bisa mengakses peta digital untuk menemukan lokasi studio itu, karena terakhir kali lokasinya sudah didaftarkan untuk bisa dijangkau melalui peta digital itu.
Studio lukis ini memang milik Mas Jo. Walau namanya Mas Jo, namun sebenarnya usianya sudah tidak muda lagi. Baru saja kemarin umurnya sudah mencapai tujuh puluh dua tahun. Kemarin ia terlihat hanya merayakan ulang tahunnya yang luar biasa dengan sekaleng kecil minuman bersoda, sebotol bir dengan gambar dewa-dewa Asia Timur dan ingatan mengenai pertemuan juga kepergian teman-temannya satu demi satu. Di sela-sela menenggak minuman, Mas Jo beberapa kali menyinggung karya-karya milik teman-temannya yang sudah berpulang. Ia merindukan saat-saat dirinya dan teman-temannya itu berpameran bersama.
Di studio itu, Mas Jo membuka pelatihan melukis bagi siapa saja yang ingin belajar melukis. Setiap hari, studio ini selalu ramai. Penyebab ramainya studio itu, karena setiap harinya banyak lukisan-lukisan yang sangat indah di pajang di sana. Studio itu juga sering didatangi kolektor-kolektor yang ingin merasakan, juga mengapresiasi lukisan-lukisan ada. Terkadang mereka terlihat sangat antusias berbincang-bincang bersama Mas Jo. Terkadang membicarakan perihal lukisan-lukisan yang dipajang, dijual, dan terkadang juga berbicara mengenai pameran seni lukis, dan rupa yang akan datang. Bahkan sering para kolektor menyarankan Mas Jo kembali berpameran.
"Kalau tidak bisa di galeri, bisa pameran online Mas," kata mereka. Namun Mas Jo hanya terkekeh mendengar usul mereka.
Tidak hanya itu, karena ramain bukan main, bahkan beberapa anak-anak sekolah kadang terlihat membolos, dan malah memilih belajar di tempat ini. Mas Jo hanya tertawa lirih ketika dirinya melihat hal itu. Tentu saja, Mas Jo juga tidak bisa menolak permintaan anak-anak in. Melihat mereka, ia teringat mata pelajaran menggambar di sekolahnnya dulu.
Masa karantina mandiri masih berlangsung. Belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Kota sepi. Alun-alun sepi. Gedung-gedung tinggi sekitar alun-alun juga sepi. Studio Lukis milik Mas Jo apalagi? Sudah jelas sepi sekali. Di lantai tiga, tepat di sebuah ruangan yang khusus untuk melukis, terdapat sebuah jendela. Dari ruangan, kita bisa melihat ada cabang pohon dan deretan jendela-jendela yang posisinya terlihat di belakang cabang pohon. Di sana sering kali bertengger burung-burung gereja.
Akhir-akhir ini, Mas Jo selalu memeriksa persediaan makanan dan minumannya di kulkas. Semenjak karantina mandiri, para tetangga sekitar studio, dan alun-alun memutuskan pulang ke kampung halaman. Demikian juga, tetangga yang membuka warung kelontong tempat Mas Jo biasa memenuhi kebutuhannya. Mereka sekeluarga juga memutuskan pulang kampung.
Pagi ini, masih tersedia sebungkus roti tawar, dan beberapa selai buah. Masih aman untuk beberapa hari ke depan, pikirnya. Ia sarapan sebentar, kemudian bergegas ke lantai ketiga seperti yang ia lakukan setiap hari selama masa karantina mandiri. Biasanya, ia di lantai tiga ketika sore atau malam hari guna mencari inspirasi untuk melukis.
Mas Jo, berjalan menaiki anak tangga, bergegas ke lantai tiga. Dirinya sedang tidak mempunyai kegiatan apapun. Pagi yang cerah ini, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Sesampainya di lantai tiga, ia mengamati sekeliling lantai ini, sampai ke tiap-tiap sudunya. Ia juga menoleh ke arah jendela. Lalu, ia buka jendela itu. Udara, dan cahaya matahari pagi seketika bergegas masuk menyapa tubuh, dan jiwa Mas Jo.
“Kok makin ke sini, makin seger ya? Apa karena sudah tidak ada motor-motor yang lewat lagi?”
Suara-suara burung yang samar-samar dikenalnya tiba-tiba terdengar. Burung-burung tekukur hinggap lagi di ranting-ranting pohon yang tinggi.
“Tekukur-tekukur yang lucu. Eh, tekukur? Sudah lama aku tidak melihat mereka,” Matanya sayu. Tekukur di kampung halamannya dulu sering ia jumpai. Bukan hanya tekukur, bahkan burung-burung lain seperti kutilang dan petet selalu bermunculan. Bisa dikatakan setiap hari adalah hari yang indah berkat kehadiran kicau-kicau burung.
“Kalau dipikir-pikir, semestinya di kota yang begini besar hanya ada burung gereja ya? Ah, iya. Sekarang sudah sepi. Apa mungkin mereka kembali?” Mas Jo tak bisa berhenti kagum melihat pemandangan langka ini. Segera ia bergegas turun dan mengambil kuas, cat, serta kanvas.
Ia dengan tenang, menyiapkan itu semua. Perlahan, sentuhan demi sentuhan cat ia ukir di kanvas dengan kuas. Perlahan-lahan, sebuah keindahan terbentuk. Sebuah pemandangan di mana burung-burung kutilang bertengger dengan dibingkai oleh sisi-sisi jendela.
Keringat-keringat mulai bercucuran, beberapa bulirnya mulai jatuh ke lantai. Mas Jo melukis dengan perasaan bahagia. Ia masih terus membentuk lukisan hingga selesai. Hingga akhirnya, lukisan itu benar-benar selesai.
“Nah, sepertinya ini sudah cukup bagus.” Katanya bangga.
Sore hari telah tiba, namun keadaan sekitar studio masih saja sepi. Karantina mandiri sepertinya akan berakhir tidak dalam jangka waktu yang sebentar. Di depan pagar studio, berdiri seorang pria. Namanya Sanusi.
Sanusi, entah siapa nama lengkapnya. Orang-orang di sekitar studio selalu memanggilnya begitu tanpa pernah menyebut nama lengkapnya. Ia adalah salah satu kolektor yang sering mendatangi studio ini.
Di depan pagar, ia berkali-kali membunyikan bel, namun tidak ada tanggapan dari dalam. Sanusi panik, karena ia tahu betul bahwa Mas Jo tidak pulang ke kampung halaman. Ia sudah memastikan sendiri melalui telepon dengan Mas Jo semalam.
Karena khawatir dan cemas, Sanusi melihat-lihat sekitar, dan segera melewati atas pagar untuk menerobos. Beruntung, pintu studio tidak dikunci, ia bergegas masuk. Ditelusurinya lantai pertama, tidak ada siapa pun di sana. Begitu juga di lantai dua. Lalu Sanusi memutuskan naik ke lantai tiga. Ia naik dengan tergesa-gesa, seperti memastikan sesuatu.
Badan Sanusi lemas. Ia melihat tubuh Mas Jo tergeletak di lantai dengan ekspresi puas di wajahnya. Sanusi dengan tubuh yang hampir jatuh, segera bangkit dan berjalan perlahan memastikan kondisi Mas Jo.
“Selamat Jalan, Mas.” Kata Sanusi lirih.
Sanusi yang masih terpukul hanya bisa duduk. Ia memandangi sebentar wajah Mas Jo sekali lagi. Ia akhirnya bangkit, dan terkejut bahwa di sampingnya berdiri sebuah lukisan yang amat indah. Lukisan burung-burung tekukur hinggap di cabang pohon, yang dibingkai oleh jendela di pagi hari yang cerah.
“Indah sekali, Mas. Terima kasih.” Katanya sambil mengusap kedua matanya dari air mata yang mengalir di wajahnya.