Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore hari itu, hujan turun dengan lebat. Langit Jakarta tampak tumpah, mengguyur atap-atap beton dan jendela yang berembun. Di dalam sebuah kamar berukuran empat kali empat meter, seorang gadis duduk merenung, menatap kanvas besar yang belum selesai dia lukis.
Gadis itu bernama Aruna, dia adalah seorang mahasiswi seni rupa tingkat akhir, yang dikenal dikampus sebagai gadis aneh dan pendiam. Selain jarang bicara dan sering melukis pemandangan langit, Aruna selalu menatap kosong ke arah jendela setiap kali hujan turun.
Namun, sore itu berbeda. Jari-jarinya mengepal karena hujan menebal, sampai-sampai tak seorang pun menyadari cahaya biru yang tiba-tiba mulai bersinar bercahaya dari kanvas besar tersebut. Semula hanya lukisan menara bercahaya yang tampil sebagai siluet hitam di tengah pemandangan padang rumput hijau, namun kini semuanya bercahaya menyilaukan seperti kumpulan asap biru.
Aruna masih menatap lukisan besar tersebut sambil mengerak-gerakkan matanya dengan tidak percaya, mengira sudah melewatkan jam tidurnya yang malam karena Tugas Akhir. Tapi cahayanya tersebut semakin bercahaya mengkilap, biru seperti aurora. Udara di sekeliling Aruna begini terasa bergetar.
“Eh—apa ini…” bisiknya.
Sebelum sempat berdiri, angin menyapu tubuh Aruna dengan sangat kuat. Cat minyak di kanvas tersebut berhamburan, dan dunia di sekelilingnya berubah menjadi pusaran cahaya.
Ketika Aruna membuka matanya, ia tidak lagi berada di kamarnya. Melainkan, ia berdiri di tepi danau luas yang berkilau bagai kaca, dikelilingi padang bunga berwarna ungu. Di kejauhan, tampak menara tinggi dari batu putih yang menjulang ke angkasa biru.
Angin berhembus dengan lembut, membawa aroma manis seperti madu. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada teriakan manusia, hanya kicauan burung yang asing terdengar di telinganya.
Aruna memegang dadanya. “Ini… bukan mimpi, kan?”
Sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Kau akhirnya datang juga.”
Aruna berbalik dengan cepat. Seorang pemuda berdiri di dekatnya. Rambutnya pirang, matanya hijau emerald, seorang pemuda dengan pakaian yang seakan akan keluar dari negeri dongeng, mantel panjang dengan bordiran matahari di punggungnya dan pedang tergantung di pinggang.
“Siapa....kau?” tanya Aruna dengan gemetar.
Pemuda itu tersenyum samar. “Aku Lucien,” katanya. “Penjaga Gerbang Cahaya. Dan kau, Aruna dari dunia lain, telah melangkah melewati lukisan sakral.”
Aruna diam. “Dunia lain? Lukisan sakral?” ia melihat sekelilingnya, merasa pernah melihat pemandanganya, ia mundur perlahan, dan akhirnya menyadari. Semuanya akurat sama dengan lukisan di kanvas besar miliknya.
“Tidak mungkin!” kata Aruna dengan nada tidak percaya.
“Sungguh,” kata Lucien dengan lembut. “Setiap seratus tahun, dunia kami memanggil seorang pelukis manusia, dan lukisan kanvas besarmu adalah Gerbang. Tanganmu lah yang bisa membukanya kembali.”
Aruna memandangnya ragu. “Kembali? Aku bisa pulang?” tanyanya.
“Bisa,” jawab Lucien lirih. “Tapi itu hanya dapat terwujud jika kau menyelesaikan bagian terakhir lukisan dunia ini yang belum selesai. Masalahnya… bagian terakhir dari dunia ini telah hilang. Tertelan kegelapan.”
Aruna menelan ludah. Ia tidak tahu apakah harus merasa takut atau kagum. Tapi tatapan Lucien yang jujur membuatnya percaya.
Hari-hari berikutnya Aruna tinggal di menara putih itu bersama Lucien. Ia belajar tentang dunia lukisan bernama Aethralia, sebuah negeri yang diciptakan dari warna, di mana setiap perasaan manusia bisa menjadi bentuk nyata. Angin bisa bernyanyi, bunga bisa mengeluarkan cahaya, dan air bisa berubah menjadi kaca bila disentuh kesedihan.
Lucien sendiri ternyata bukan manusia biasa. Ia adalah Penjaga Cahaya, makhluk abadi yang menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia lukisan. Tapi karena kegelapan mulai menyelimuti Aethralia, ia mulai kehilangan kekuatannya.
Suatu malam, saat Aruna sedang melukis ulang lukisan pemandangan danau, Lucien datang dengan membawa lentera kecil. “Kau tahu,” katanya, “warna yang paling kuat bukanlah biru atau merah. Tapi warna yang berasal dari hati seseorang.”
Aruna tertawa pelan. “Aku bahkan tidak tahu warna hatiku sekarang. Semua terasa…campur aduk.”
Lucien menatapnya lembut. “Mungkin karena kau mulai merasa di rumah di sini.”
Aruna terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya. Dunia ini memang indah, terlalu indah sampai rasanya enggan untuk ditinggalkan.
Namun, keesok paginya, langit Aethralia menjadi gelap, awan hitam menggulung, dan menara tempat mereka tinggal mulai retak. Dari dalam bayangan muncul sosok besar seperti kabut hidup, berwujud tangan raksasa yang melahap segala warna di sekitarnya.
“Kamu tahu...,” Lucien berbicara serius, “bayangan itu adalah void. Itu muncul dari rasa kehilangan, dari pelukis yang sebelumnya gagal kembali.
Aruna menggenggam kuasnya lebih erat. “Jadi....jika aku tidak menyelesaikan lukisan ini, dunia ini akan lenyap, ya?”
Lucien melihatnya dengan tatapan yakin. “Ya. Tapi tenang saja kau tidak sendiri.”
Lucien menepuk dadanya, cahaya biru yang memenuhi tubuhnya, mengalir keluar ke kanvas Aruna tanpa henti. Dalam sekejap, Aruna melihat kilasan masa lalu Lucien, Ia adalah manusia, pelukis yang tinggal di dunia lain, tetapi dia memilih tinggal untuk membuat Aethralia tetap hidup.
“Jadi, kau…” Air mata saja mengalir dari wajah Aruna. “juga…sepertiku....”
Lucien tersenyum lembut. “Aruna, sekarang giliranmu memilih.”
Void terus mendekat, menghancurkan bunga dan langit. Aruna berdiri didepan kanvas besar, memegang kuas terakhir dengan kedua tangannya. Ia menutup matanya, membiarkan perasaannya benar-benar mengalir, rasa takut, cinta, kehilangan, kerinduan.
Ketika dia membuka matanya, warna keluar dari ujung kuasnya. Bukan dari cat, melainkan dari cahaya murni yang muncul dari puncak kepalanya. Dia melukis langit biru, menara utuh dan wajah Lucien yang tersenyum ditengah cahaya yang bersinar.
Void menjerit, lalu hancur menjadi ribuan serpihan hitam yang terserap ke dalam lukisan. Aethralia kembali terang, dan angin membawa wangi bunga ungu yang lembut.
Tapi Lucien mulai memudar. “Lucien!” Aruna merintih. “Jangan pergi—aku belum selesai membuat desa-” Lucien tersenyum.
“Kamu sudah melakukannya, Aruna. Kamu telah menghidupkan kembali dunia ini. Dan kamu berhasil, kamu telah… membuka jalan pulang.”
Sebelum menghilang sepenuhnya, ia menyentuh pipi Aruna perlahan lalu memeluknnya untuk terakhir kali.
“Lanjutkanlah melukis di mana pun kau berada. Karena setiap warna yang kau buat …akan selalu menghubungkan kita.”
Aruna menutup matanya, dan sekali lagi cahaya biru menyelimuti dirinya.
Ketika ia membuka kembali matanya, ia telah berada kembali di kamarnya, di Jakarta. Hujan masih terus turun, tetapi lukisan kanvas di hadapannya telah selesai sempurna. Danau ungu, menara putih … dan Lucien tersenyum padanya di bawah langit biru.
Air mata jatuh di pipinya tanpa sadar.
Aruna menatap kanvas itu, dan berkata dengan perlahan, “Terima kasih...untuk dunia yang indah ini.”
Di luar jendela, udara angin itu membawa aroma madu yang samar. Di sudut lukisan, sehelai bulu pirang jatuh ke lantai, dia menggenggamnya dengan lembut. Dunia Aethralia benar-benar ada.
~Tamat~