Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gadis itu sendirian, duduk di tepi laut yang nampak sepi dan malam gelap. Pandangannya kosong, entah apa yang ia pikirkan. Tangannya meremas erat gulungan kertas yang ia genggam. Menahan amarah yang ingin menggeram. “aku harus bagaimana?” gumamnya lirih.
Gadis itu bernama Rania. Gadis yang baru saja berusia 22 tahun. Rania adalah gadis manis yang ceria. Namun jika dilihat lebih jauh nyatanya Rania tak seceria itu. Rania hanyalah seorang gadis yang pandai menyimpan lukanya. Hidup berdua dengan ayahnya yang temperamen membuat hidup Rania sengsara. Ibunya telah meninggal sejak Rania berusia 12 tahun. Sejak saat itu ayahnya jarang pulang, jika pulang selalu dalam keadaan mabuk. Ketika mabuk ayahnya selalu memukul Rania, ayahnya menganggap bahwa Rania lah penyebab istrinya meninggal. Rania yang menjadi sasaran kemarahan ayahnya hanya bisa diam menahan isak tangisnya. Bukan, bukan karena sakitnya bukulan Ayah yang membuatnya menangis, melainkan karena perkataan Ayahnya yang menembus ulu hati. Ayahnya selalu mencaci maki Rania.
“dasar anak sialan, gara-gara kamu istri saya meninggal! Seharusnya yang mati itu kamu, bukan istri saya. Pergi kamu! Pergi dari sini, tidak sudi saya melihat wajah mu”.
Rania bekerja disebuah kafe sederhana milik ibu Marlin. Beruntungnya ibu Marlin sangat baik pada Rania. Ibu Marlin sudah menanggap Rania seperti anaknya sendiri. Ia suka melihat Rania yang ceria dan ramah pada pelanggan-pelanggannya. Kini Rania sedang berada di kafe, ia sedang sibuk melayani pelanggan. Di kafe ada 4 karyawan lainnya, namun Rania paling dekat dengan Dewi. Nasib Dewi mungkin hampir sama dengan Rania, bedanya orang tua Dewi telah tiada dan dia hanya berdua dengan adik laki-lakinya yang berusia 10 tahun
. “hari ini rame banget ya Ran” kata Dewi. Mendengar itu Rania tersenyum simpul.
“iya Wi, semoga rame terus ya, siapa taukan nanti kita dikasih tip sama Ibu”.
“hahaha semoga deh, aku mau beli baju buat adekku”. Mereka melanjutkan pekerjaannya sampai selesai.
Sore menyapa dengan langit indah berwarna jingga, Rania pulang. Sampai rumah ia tak langsung membersihkan diri, ia harus membersihkan rumah dan memasak untuk makan malam ia dan Ayahnya. Baru setelah itu, ia begegas membersihkan diri. Rania duduk termenung di teras rumah sendirian menunggu ayahnya pulang. Meski ayahnya kerap kali memukuli, namun Rania tak pernah menyimpan dendam pada ayahnya. Ia memandangi ribuan bintang di langit sambil membayangkan wajah ibunya. Ah, ia sangat rindu pada Wanita baik hati yang telah berkorban melahirkannya ke dunia. Ia rindu bersenda gurau dengan ibunya. Ia rindu suasana rumah yang dulu. Tanpa sadar Rania menangis, ia mungkin merasa sendirian tak ada tempat untuk berkeluh kesah. Semua lukanya ia simpan sendiri.
“seandainya ibu disini, Rania pasti tidak akan merasa kesepian” gumam Rania.
Lama menunggu, Rania menyadari bahwa ayahnya tidak akan pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rania masuk lalu makan sendirian. Sebenarnya ia merasa sedikit lega karena ayahnya tidak pulang, dengan begitu malam ini lebam di tubunya tidak akan bertambah.
Hari ini adalah hari Minggu dan kafe milik ibu Marlin tutup. Jika libur kerja, Rania menggunakan waktu senggangnya untuk mengunjungi perpustakaan. Rania sebenarnya gadis yang pintar, saat SMA dia selalu menjadi juara kelas. Namun sayangnya Rania tidak dapat lanjut ke Perguruan Tinggi karena terhalang biaya, lagipun ayahnya tidak mengizinkan Rania melanjutkan sekolah. Namun Rania tidak menyerah, menurutnya tak apa ia tak melanjutkan Pendidikan ke Perguruan Tinggi. Ia masih bisa mengunjungi perpustakaan dan membaca puluhan buku di sana.
Rania juga suka menulis, alasan ia suka menulis karena ia tak punya tempat untuk berkeluh kesah. Jadi ia melampiaskan semua perasaannya pada tulisan. Apapun yang ia rasakan, semuanya ia tuangkan pada tulisan. Pernah suatu hari Rania sedang menulis di kamarnya, lalu dengan tak sengaja ayahnya melihat. Ayahnya seketika murka, mengambil dan merobek semua tulisan itu, bahkan Rania tak sempat menyelamatkan kertas-kertas itu.
“Sedang apa kamu? Menulis? Tak guna, tak bisa mengembalikan istri saya” mendengar itu hati Rania kembali pilu. Rania kadang merasa dunia tak adil, mengapa pula ia yang disalahkan atas kematian orang lain? Bukankah kematian itu memang sudah takdir tuhan? Lalu mengapa dia yang disalahkan.
Setelah melewati hari minggu dengan membaca puluhan buku, kini Rania kembali masuk kerja. Pelayani para pelanggan dengan senyuman yang bertengger di bibirnya. Hari ini juga ia gajian, rencananya Rania akan membeli buku dengan uang tersebut. Selesai dengan semua pekerjaannya kini Rania dan karyawan lainnya tengah beristirahat sejenak sambil membereskan barang-barangnya. Dari pintu sebelah ibu Marlin datang “semuanya sudah beres?” tanya buk Marlin pada mereka. “sudah buk” jawab salah satu karyawan. “kalau begitu, ini gaji kalian bulan ini”. Rania dan karyawan lainnya lalu menerima gaji yang telah diberikan oleh ibu Marlin.
Sampai di rumah Rania beristirahat sebentar, lalu seperti biasa dia akan menyiapkan makanan untuk ia dan ayahnya. Meski Rania tak tau ayahnnya akan pulang atau tidak malam ini. Setelah selesai menyiapkkan semuanya, dengan langkah gontainya ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Malam itu, malam dimana Rania menunggu Ayahnya pulang untuk kesekian kalinya, ia tetap pada posisi biasa duduk termenung sendirian sambil menatap gemerlapnya bintang-bintang di langit. Pikirannya selalu tertuju pada sang Ibu. Lama ia termenung, dari ujung Lorong sana terlihat siluet seseorang, Rania yakin bahwa itu adalah Ayahnya. Ia hafal betul perawakan sang Ayah. Rania tersenyum kecil, ia merasa senang karena ayahnya pulang malam ini. Namun tak lama, senyum itu memudar. Ia melihat ayahnya jalan sempoyongan sambil membawa botol yang Rania yakini bahwa itu adalah botol minuman haram yang ia benci.
Malam itu, menjadi malam yang penuh penyesalan. Seumur hidupnya, bahkan Rania bawa sampai akhir. Hari dimana Ayahnya pulang dengan keadaan mabuk sambil memaki Rania. Entah karena apa, malam itu amarah di hatinya membuncah. Selama ini ia masih bisa bertahan atas segala makian, namun malam itu berbeda. Ia menggeram, mencoba melawan. Ia tak tahu salahnya dimana, tapi mengapa seakan-akan dia yang telah membunuh Ibunya?
“apa Ayah tuhan? Atas dasar apa Ayah menuduhku membunuh Ibu?” suaranya lantang menggema.
“wah wah wah, apakah ini Rania? Anak sialan yang telah membunuh istriku? Hahah seharusnya dulu istriku tidak usah bersusah payah melahirkan anak kurangajar seperti kamu. Pembawa sial”
Rania ciut, suara lantang tadi menghilang seketika. Sebenci itukah Ayahnya padanya?
“dengar Rania, saya membencimu, sangat membencimu. Kenapa kamu harus lahir ke dunia?” di tengah hening malam, kata-kata itu mengalun pelan menikam hatinya. Rania roboh, jatuh tersungkur. Ia menangis dalam diam. Rania memandangi wajah Ayahnya dalam, sangat dalam ia menyelami mata yang selama ini menatapnya benci. Rania bangun, tubuh ringkihnya ia angkat perlahan lalu tangannya mengambil sebuah vas besar di atas meja. Bibirnya bergetar, begitu pula dengan tangannya. Rania, gadis manis yang selama ini menyimpan lukanya sendiri, menangis sendiri tanpa ada bahu untuk bersandar memutuskan mengakhiri semuanya. Rania mengerahkan seluruh kekuatannya mengayunkan vas hingga membentur kepala sang Ayah. Seketika Ayahnya jatuh bersimbah darah, Rania diam memandangi Ayahnya dengan tatapan kosong. Sejenak ia merasa hampa, lalu ia luruh dengan tangisan kecil.
Rania bingung, ia hilang arah tak tahu harus apa. Ia kini menatap Ayahnya yang tergelatak di atas lantai bersimba darah. Bingung, ia kemudian membawa langkah kakinya menuju kamar Ayahnya. Ia duduk di atas kursi dan mencoba menenangkan pikirannya.
“tenang Rania tenang” ia bergumam mencoba menenangkan diri.
Rania kemudian berdiri dan berjalan memutari ruagan itu, ia tatap satu-satu benda-benda yang ada di dalamnya, sampai matanya jatuh pada sebuah kotak yang terletak di bawah meja milik Ayahnya. Rania mendekat mencoba melihat isi kotak tersebut. Ia membukanya perlahan dan menemukan sebuah buku. Buku itu sudah usang, mungkin sudah lama. Rania terdiam dengan isak tangis yang mulai terdengar. Ayahnya yang sering memukulinya ternyata menyimpan luka yang sama dengan Rania.
Malam tiba, di sebuah patai yang sepi dengan angin sepoi dan auman ombak. Rania duduk termenung, sambil meremas buku itu. Pandangannya kosong, ia linglung, tak tau arah. Sudah hampir 3 jam ia duduk di sana, membiarkan tubuhnya kedinginan diterpa angin.
“Ayah, maafkan aku, maafkan Rania” gumamnya kecil
Rania bangun, memandang ke arah langit sambil tersenyum. Menatap bintang yang terbaran di atas sana. Ia yakin, diantara ribuan bintang itu, ada ibunya yang memandanginya. Perlahan kakinya melangkah maju, auman ombak yang ganas tak membuatnya takut. Rania membawa dirinya tenggelam ke dalam laut, tak hanya dirinya, semua rasa sakit yang dia rasakan juga tenggelam ke dalam gelapnya laut malam.