Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Diriku tak sadar menarik semakin kuat kalungku. Itu terasa mencekik. Dadaku sangat sesak. “Akh apa hari ini aku bakal mati saja?” Hanya tak mampu mencekik lebih lama lagi. Udara yang tak masuk kuhirup membuatku pingsan.
“Kau hidup hanya membuatku susah!”, kalimat pertama yang membuatku kecewa, marah, sedih yang berlarut-larut.
Mulai saat itu, hidupku berubah. Tak lagi ada kasih sayang, tak lagi ada tepukan tangan rasa bangga bahkan tak lagi ada senyuman hangat.
Tamparan? Pukulan? Bukan sekedar bualan tapi hampir tiap-tiap hari diriku menerima 2 hal tersebut.
Sakit? Tentu! Tapi bukan luka atau memar itu yang sakit. Hatiku. Hatiku tersayat berulang kali. Itu sangat sakit…sangat sakit bahkan menutupi rasa sakit dari memar yang ku dapat.
Banyak orang berkata, ‘ibu adalah surga bagi anak-anaknya.’
Tapi aku tak pernah lagi merasa ada surga disana. Tak ada lagi kenangan manis.
Ibuku melakukan 3 pekerjaan sehari. Tapi sebagian besar sisa uangnya ia gunakan membeli sebotol minuman untuk memabukkan dirinya.
***
“Anak sialan! Pergi kau dari sini.”
Hanya beberapa saat aku meletakkan makanan di meja, wajah dihadapanku menjadi merah padam.
Aroma alkohol yang begitu kuat sering membuatku tak tahan. Tapi aku menahannya dan terkadang aku memilih untuk menyendiri di gudang karena itu satu-satunya tempat tanpa aroma alkohol yang menyengat.
Tiap pagi pukul 4, aku selalu bangun dan memasak. Mungkin beberapa orang bertanya bagaimana anak seperti ku sudah bisa memasak. Aku bahkan diseret bila tak bangun. Hingga aku terbiasa bangun lebih awal dan seretan dari rambut menjadi alarm bangunku.
“Seharusnya kau tak sekolah dari awal.”
Sekolah? Aku tak pernah lagi menyebut hal itu didepan ibuku. Suatu saat ketika aku tak sengaja merengek kuat untuk pergi ke tempat penimbaan ilmu tersebut. Ibuku marah, menyeretku lalu membuang tasku.
“Kau sudah membuatku susah, malah kau merengek minta ke sekolah.”
Sejak itu bahkan menyebut kata sekolah pun aku tak kuasa.
***
Melihat anak-anak seusiaku berlari dan bermain membuatku sangat iri. Ya, aku juga bermain disini. Aku bermain dengan ibuku, cengkraman tangan yang kuat karena tak bangun lebih awal, bentakan karena kesalahan yang sepele. Itu…bisa disebut bermain juga kan? Mereka bermain bersama ibunya, aku juga bermain dengan ibuku jadi apa yang salah?
“Bersihkan rumah, jangan sampai ada sampah sedikitpun kalau kau tak mau tidur di lorong.”
Dari ibuku berangkat kerja, aku selalu membersihkan sampah-sampah dan merapikan ruangan di apartemen ini.
Tetangga? Yaa, aku punya!
Tapi mereka tinggal 1 lantai dari bawah, dan kanan kiri dari kami tinggal tak seorangpun ada. Dengan situasi tersebut, ibuku semakin leluasa memaki dan memukuliku hampir setiap hari.
Beberapa tetangga pernah menanyakan,
“Apakah ibuku tinggal sendirian?”
“Apakah ibuku tak berniat untuk pindah ke lantai yang lebih ramai?”
Tapi ntah bagaimana ibu berdalih dengan lihainya hingga tetangga itu percaya kepada ibu.
***
Sewaktu dulu ibuku bersikap selayaknya ibu pada umumnya. Menyayangi anaknya, menghibur dan tertawa bersama. Ayahku juga sangat mencintai ibu dan diriku. Ia kerja sangat keras, tak peduli siang maupun malam, tak peduli hujan maupun sengatan terik matahari. Iapun selalu membawa foto keluarga kami bagai bahan bakar dari semangat kerja ditiap-tiap hari.
Sangat indah. Pandangan hangat keduanya sangat ku rindukan.
Semua berubah, segalanya tak lagi sama. Pertengkaran hebat, dua suara saling menguat.
“Ibu, ayah kenapa ya? Aku gak suka suara-suara itu.”
Dari pertengkaran itu aku menangkap sedikit masalahnya. Dua bulan terakhir, setiap malam sering ada laki-laki menyapa dan bertemu ibu di luar. Terkadang pun banyak sekali bingkisan yang ibu terima. Aku yang tak mengerti sering memakan atau menerima bingkisan yang dibawa ibuku.
Sering ayahku bertanya, “Ini dari siapa sayang?”
Ibu hanya menjawab, “Teman-teman sekolahku sering datang dan bawa apapun itu kesini.”
Hingga suatu hari ibu yang merasa kepergok ayahku mulai bertengkar hebat. Inu yang tak merasa bersalah berusaha tetap membela dirinya.
“Kamu gak kasihan dengan anakmu?!”
“Kamu maunya apa sekarang?”
Cukup lama pintu kamar itu tertutup.
Yang akhirnya terbuka, kulihat ibuku dibelakang ayah dengan wajah merah namun dengan pipi yang basah.
Ayahku datang ke arahku dengan wajah sayu sedih, berlutut dan memeluk diriku. Sangat hangat. Aku ingin sekali merasakan itu lagi.
“Maafkan ayah ya sayang. Ayah udah gagal jadi seorang ayah yang baik untukmu. Temani ibumu ya. Jangan buat ibu sedih lagi.”
Ayahku menangis, tak pernah dirinya sedih terlarut begini.
Pelukan itu terlepas dan ayah pergi. Tak pernah lagi aku melihat wajahnya, tak ada lagi pelukan hangat untukku.
Ayahku memilih pergi dan ibuku sangat ingin mengambil diriku walaupun ayah berulang kali ingin membantu membawa dan membesarkan diriku.
Ibu. Ibu mulai membawa seseorang yang sering ditemuinya akhir-akhir ini. Ia memperkenalkan diriku ke orang tersebut. Hanya manis diawal, terselubung sisi jahat.
Sebulan terakhir ibuku frustasi, tak ada lagi ayahku datang. Ayahpun sudah sangat kecewa dengan ibuku dan memilih menghindarinya. Laki-laki yang baru-baru ini ku sapa juga tak pernah datang lagi dan menghindari sepenuhnya ibuku.
Tinggalah aku dan ibuku.
Seusai itu, ibu mengambil 2 hingga 3 pekerjaan diluar. Sering memabukkan dirinya. Sangat kasar. Tak pernah lagi berbelas kasih.
***
Ketukan pintu yang berulang kali membangunkanku. Energiku masih terasa habis dari merapikan rumah.
Tak sadar diriku malah akan membukakan pintu.
“Akh memarku. Aku harus tutupi.”
Anak itu menggunakan baju yang lebih panjang dan masker. Sebab luka memar ditangan dan pipinya belum hilang.
“Kamu siapa? Tapi bener kok ini apartemennya.”
Wanita itu kembali melihat nomor apartemenku.
“Kamu anaknya? Katanya dia tinggal sendiri?”
Diriku mengangguk pelan. Itulah kesalahan besarku.
“Oh iya, kenalin aku dari pemilik apartemen. Nanti bilangin ibumu aja kalau sewa bulan ini bakal naik.”
“Akh hanya itu aja. Tolong sampaikan saat ibumu datang.”
Aku mengangguk sekali lagi.
Pukul 22.00 ibu datang dengan wajah merah padam. Bukan lagi dengan wajah datar…itu wajah yang sangat marah.
Aku mencoba bilang ke ibu atas pesan dari pemilik apartemen.
“Ibu…tadi ada yang datang dar…”
“Kamu keluar? Kamu bukain pintu?”
Suaranya semakin meninggi.
“Maaf bu, maaf…aku gak sengaja bukain pintu tadi…maaf.”
Ibuku yang tak perlu lagi menanggalkan pakaian kerjanya. Ia membawa paksa tubuhku, cengkramannya sangat kuat. Diriku sadar, kali ini ibu sangat marah. Dirinya tak pernah semarah ini…cengkramannya tak pernah lebih kasar dari ini.
“Ampunn bu…ampunn..maafin aku bu..aku minta maaf.”
Mata yang bak kerasukan setan. Sangat marah.
“KAU MAU APA HAH! DASAR SIALAN YANG GAK TAHU DI UNTUNG!”
“KAU KUBiARIN TINGGAL DISINI AJA UDAH BAGUS.”
“KAU MAU MATI HAH! KAU MAU LAPORKAN AKU?”
“Gak bu, gak ada aku niatan begitu. Aku minta maaf bu…aku minta maaf.”
Cengkraman ibu yang tak lepas. Terasa sangat sakit. Ibu melepasku dan mendorong diriku ke sudut.
“ATAU KAU MEMILIH IBU YANG MATI?!”
“Jangan buu, jangan. Ibu jangan tinggalin aku bu.” Diriku memohon kuat agar hal itu jangan sampai terjadi.
Lama sekali ibu memarahiku. Hingga cukup mereda dan aku memaksa tubuhku untuk masuk ke dalam gudang. Markas kecilku.
Kulihat kotak putih didepanku.
Kalung pemberian ayah. Disaat aku merindukan masa-masa kasih sayang itu, terkadang aku memakai kalung tersebut beberapa saat dan menyembunyikannya kembali.
Tapi malam ini mungkin terasa beda. Mungkin malam ini jadi malam terakhir aku bersama kalung kesayanganku.
Aku memasangnya kembali ke leherku.
Diriku tak sadar menarik semakin kuat kalungku. Itu terasa mencekik. Dadaku sangat sesak. “Akh apa hari ini aku bakal mati saja?”
Hanya tak mampu mencekik lebih lama lagi. Udara yang tak masuk kuhirup membuatku pingsan.
***
Sayup-sayup kudengar seseorang mencoba membangunkanku.
“Ramai sekali?” Dalam hatiku berkata.
“Siapa?”
“Ayah?”
Aku berusaha menggerakkan tubuhku kembali. Ayahku. Ya. Ini ayahku. Pelukan hangatnya terasa sama sejak dulu. Tak pernah berubah.
Dalam setengah sadar ku lihat ibuku tergeletak lemah di lantai.
Ah aku ingat, sesaat sebelum pingsan kudengar ibu menangis kuat.
“Maafin aku jadi ibu yang buruk, maafin ibu gak pernah jadi orang tua yang baik. Aku sangat sayang tapi sikap emosionalku justru yang melukaimu. Aku menyesal maafin aku sayang. Tidak. Kau bahkan tak perlu memaafkanku.”
“Halo…kamu ada dimana? Tolong datang malam ini dan jagain anak kita sayang. Maafin aku udah jadi istri yang buruk. Bahkan diriku tak pantas disebut seorang istri.”
Itu lah yang ku ingat. Penyesalan? Ya tentu aku sangat marah dan menyesal atas sikap kasar ibuku. Luka pukulan ibu dan memar mungkin dapat hilang. Tapi perasaan sakit hatiku tak pernah bisa kulupakan.
Aku tak menyesal memiliki ibu, aku tak menyesal memiliki ayah walau hilang beberapa saat. Aku tak menyesal dengan kesendirianku. Aku tak menyesal dengan tangis tiap-tiap malam.
Disaat aku merindukan masa-masa kasih sayang itu, terkadang aku memakai kalung tersebut beberapa saat dan menyembunyikannya kembali.