Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebelah lutut Alberto berdarah. Dia baru saja mendapat luka itu setelah terjatuh dari sepeda. Wajar, ini pertama kalinya Alberto menaiki sepeda—bahkan, ini pertama kalinya dia bermain keluar rumah bersama teman-temannya. Watak Alberto memang seperti itu. Dia keluar rumah hanya pada saat bersekolah. Di tempat itulah Alberto mendapatkan teman—sebenarnya, Alberto tidak menganggap ikatan ini sehangat yang bisa kita sebut teman, tetapi, agar memudahkan penceritaan, mari kita sebut saja gerombolan anak kecil itu sebagai teman-teman Alberto.
Perlu diketahui juga, sebelum kita berlanjut ke cerita ini, dulunya, Alberto adalah anak yang sangat periang pada saat masih bayi. Dia akan tertawa riang kepada siapapun. Terlebih saat paman atau kenalan orang tuanya bermain Ci-Luk-Ba, Alberto akan tergelak sampai kepalanya mendengak. Ya, begitulah, sikap riangnya itu sirna saat Alberto mulai mengenal benda bernama gawai. Orang tuanya, akan memberi Alberto sebuah tontonan apapun untuk menghentikan tangisnya secara instan. Sejak saat itu, Alberto kehilangan fokus dan gairah kepada dunia luar.
“Bu Guru, mohon untuk memaklumi sikap anak saya. Kalau tidak memegang gawai, Alberto enggan untuk bersekolah,” tutur Ibu Alberto kepada wali kelas. Penjelasan itu ia sampaikan saat Alberto pertama kali masuk ke Sekolah Dasar. Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya, wali kelas itu pun menyetujui permintaan ibu Alberto.
“Ya, namanya juga anak zaman sekarang, ya, buk ...,” ratap wali kelas itu sambil menghela nafas panjang.
Bukan hanya itu, Alberto juga adalah seorang pemalas ulung. Kembali, sebab-akibat segala sikap yang menurut pandangan umum negatif itu disebabkan karena Alberto tidak bisa lepas dari gawai. Untuk urusan makan, mandi dan berganti baju, bocah umur tujuh tahun memang masih banyak yang dibantu oleh orang tuanya, akan tetapi, sikap Alberto sangat berlebihan. Untuk buang air Alberto harus dibantu oleh orang tuanya. Dia enggan beranjak dari shofa tempatnya berleha-leha dengan gawainya itu, jadi, Sang Ibu harus menggendong Alberto ke kamar mandi, membukakan celana dan bahkan memegang burung kecil Alberto agar pipisnya tidak membasahi celana. Di setiap kegiatan yang disebutkan tadi, si gawai itu tidak perlah lepas sedikit pun.
Saat memasuki kelas dua SD, barulah, Si Ibu merasa menyesal telah mendekatkan Alberto dengan gawai. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta kepada wali kelas baru untuk membujuk Alberto lepas dari gawainya. Agar tidak bingung, kita sebut saja wali kelas baru ini dengan nama Bu Nira. Sebenarnya, tanpa Si Ibu meminta pun, karakter Alberto merupakan buah bibir di antara para guru. Ada yang mendukung dan ada juga yang menentang. Bahkan ada yang menyalahkan semua itu karena orang tuanya yang tidak bisa mendidik anak. Bu Nira termasuk orang yang moderat. Dia sudah berencana untuk menuturkan sebuah kisah agar Alberto tidak bersikap seperti itu lagi.
Singkat cerita, tahun ajaran baru telah tiba. Semua murid kelas dua bergembira, saling bercerita tentang liburan semester. Bu Nira pun datang, mendengar antusiasme dari muridnya, Bu Nira menyuruh mereka mengulang bercerita di depan kelas. Dan, mereka pun bercerita: Ada yang menceritakan liburan ke rumah kakek dan nenek di desa dan ada juga yang pergi taman hiburan di Ibu Kota. Semua senang. Hanya Alberto. Ya, tinggal Alberto saja yang belum maju ke depan. Ia masih tertunduk menatap gawainya.
Suasana kelas berubah gaduh. Para murid menyoraki perilaku Alberto. Bu Nira tersenyum dan mencoba menenangkan suasana. Setelah semua diam, Bu Nira segera menghampiri muridnya yang memakai kaca mata karena terlalu sering terkena radiasi layar itu. Bu Nira mengelus pundak Alberto sambil memanggil namanya, “Albeto ... Oh, Alberto.”
“Alberto dengarkan ibu ... Alberto ... Ah, Alberto ... Alberto ... Sungguh Alberto, kamu tidak akan ibu paksa bercerita. Alberto, Ibu sudah menyiapkan tontonan untukmu, coba kamu lihat ini!”
Bu Nira menyerahkan gawai miliknya. Dia sudah sigap dan menyiapkan sebuah video animasi yang menceritakan Monogusa Taro. Dia membuatnya sendiri. Dan, sepertinya video itu khusus untuk Alberto. Ajaib. Alberto mau mengalihkan pandangannya ke gawai milik Bu Nira. Dia mencermati dan juga menikmati penuturan dan suara Bu Nira yang lembut dalam video itu. Setelah selesai, Alberto bertanya, “apakah Aku mirip seperti Si Taro, Bu?”
Bu Nira hanya tersenyum. Dia kembali ke depan kelas. Kemudian menceritakan kisah Monogusa Taro kepada semua muridnya. Dia juga membeberkan pesan moral yang terkandung di cerita itu dengan gamblang dan mudah dimengerti oleh anak-anak.
“Jadi, lihatlah, nasib mujur Taro, ketika dia mau berusaha dan tidak malas, ternyata Taro adalah orang yang sangat berbakat dan rajin. Coba, andai saja memilih jalan seorang pemalas, dia tidak akan mewujudkan mimpinya untuk tinggal di istana!”
*
Begitulah, karena Alberto tidak ingin dijuluki Si Taro oleh teman-temannya, dia pun akhirnya mau bermain dengan mereka. Ibunya gembira mendengar niat si anak. Pada hari minggu yang cerah. Awan beriak tersapu angin. Burung berkicau dan bertengger di salah satu dahan pohon kersen di taman. Seekor kucing hitam sedang mengintainya dari bawah. Rantingnya menjulur seperti payung raksasa. Menghalau terik dan silau cahaya matahari. Alberto dan teman-temannya bermain di bawah pohon kersen. Ada yang membawa buku gambar. Ada yang membawa mobil-mobilan. Ada yang membawa kelereng. Ada yang membawa bola. Ada juga yang membawa sepeda.
Alberto tengah diajarkan untuk bermain kelereng. Dia tampak kesulitan menggenggam kaca bening berbentuk bulat itu. Sehingga dia merasa kesal. Tidak lama datanglah anak perempuan. Mereka membawa boneka dan juga kain batik. Alberto melemparkan kelerengnya dan menghampiri anak perempuan yang tengah menimang-nimang boneka. Dia duduk sambil bersandar kepada batang pohon kersen. Membelakangi mereka. Si anak perempuan itu seperti sedang mendongeng kepada bayi sungguhan. Seperti seorang ibu yang menceritakan kisah Monogusa Taro yang baru diketahuinya agar si bayi boneka tertidur pulas.
“Tapi, kau tahu? Kau tahu tidak, Sarah? Menurutku, kisah itu ganjil,” sergah Ayumi kepada Sarah yang tengah menggendong boneka itu. Alberto memasang telinganya. Mencoba mendengarkan percakapan mereka.
“Ganjil bagaimana?”
“Ya, ganjil. Aneh tahu. Bukankah tetangganya Taro itu terlalu baik? Memangnya ada orang seperti itu? Terlebih, Si Taro itu orang tidak berguna bukan? Seharusnya biarkan saja, biar tahu rasa.”
“Hush, justru Bu Guru mengajarkan kepada kita untuk berbuat baik kepada siapa pun!”
“Terlebih, memangnya ada orang yang merubah sikapnya secepat itu. Dari malas menjadi rajin. Bahkan Si Taro pandai membuat puisi. Sejak kapan dia belajar itu? Bukankah selama ini dia adalah seorang pemalas? Ah, andai saja aku keturunan raja, apakah aku juga bisa membuat puisi yang indah, Sarah?”
“Kau ini memang orang yang aneh Ayu, aku saja tidak bisa berpikir sejauh itu, tetapi sepertinya kamu seperti itu juga karena orang tuamu bukan? Mereka seorang dosen. Pasti kamu belajar banyak dari mereka.”
“Mungkin ... Papa ku hanya pernah bercerita bahwa anak kecil adalah filsuf sejati ... Papaku sering membacakan Dunia Shopie sebelum aku tidur ... Aku tidak mengerti apa itu filsafat ... Sungguh, saat aku bercerita tentang kisah Monogusa Taro kepadanya, dia menjelaskan kepadaku ... aku sebenarnya tidak mengerti ... Tapi, kata Papa, andai saja Taro tetap menjadi seorang pemalas, mungkin dia sudah mencapai tingkat seorang stoik tertinggi,”
“Stoik? Apa itu? Ayu, berbicara denganmu selalu saja ada kata-kata aneh,” dengus Sarah.
“Entahlah, aku juga tidak tahu, apa artinya. Tapi, sungguh, Sarah, Bu Nira telah berhasil—setidaknya--membuat Alberto mau keluar rumah dan tidak pegang HP terus. Huh, andai dia tinggal di rumahku, mungkin Papa akan memarahinya. Sarah, bayangkan, jangankan bermain HP terus, menonton Tv saja hanya boleh di hari libur.”
“Ah, Ayu, jika Alberto adalah Taro, apakah menurutmu dia bisa mengendarai sepeda?”
“Entahlah, aku pikir dia tidak akan bisa, sih.”
Wajah Alberto memerah mendengar itu. Dia mendengus sambil beringsut dari posisi duduknya. Kemudian dengan amarah yang membara dia mengambil salah satu sepeda yang sedang tergeletak. Sekonyong-konyong, Alberto mengayuh pedal. Membuat sepeda itu melaju. Alberto tertawa lalu berteriak, “lihat, aku juga bisa sialan!”
Sepeda yang ditumpangi Alberto melaju sangat cepat. Alberto semakin girang. Dia mengayuh sepedanya itu semakin cepat. Semakin cepat. Anak-anak perempuan berteriak, “hati-hati, Alberto!”
Tiba-tiba seekor kucing hitam yang tadi mengintai burung, berlari di depan lintasan Alberto. Sontak dia terkejut dan mencoba sekuat tenaga menghentikan laju sepeda itu. Tanpa ia ketahui, ia menekan tuas rem depan secara mendadak. Membuat roda belakang terangkat dan mementalkan tubuh Alberto.
Alberto tehempas cukup jauh. Dia seperti terbang di udara. Mirip sugar glider—ah, sialan aku kesusahan mencari kata dalam bahasa Indonesia yang tepat, karena jika menggunakan kata tupai terbang, akan memboroskan kata belaka. Tetapi, sungguh ungkapan ini sangat tepat. Alberto merentangkan kedua tangan dan kakinya lebar-lebar, baju baru yang berukuran lebih besar dari tubuhnya itu menggelambir terkena hempasan angin persis seperti parasut dari sugar glider.
Sayangnya, dia tidak mendarat dengan mulus. Saat hendak menyentuh tanah, salah satu kakinya itu menekuk. Sehingga, membuat gaya gesek antara permukaan tanah yang kasar dengan epidermis. Sontak beban yang terpusat di salah satu tumpu itu membuatnya terluka cukup dalam. Ia berguling-guling. Kaca matanya terlepas. Alberto menahan sakitnya sambil mencengkeram erat lututnya yang terluka itu. Tak lama ia meringis, kemudian meraung seperti orang sedang kesurupan. Teman sebayanya datang menghampiri Alberto.
Teman-temannya, membantu Alberto untuk duduk. Anak-anak itu mengucapkan rasa simpati sambil melihat luka di lutut Alberto, menanyakan kronologinya, Alberto tidak menjawab. Sarah menuturkan kronologinya. Tetapi sesaat kemudian dia disalahkan oleh semua orang.
“Kamu, kenapa? Gara-gara si Sarah, ya?” Alberto tetap meraung. Anak-anak semakin yakin bahwa semua ini salah Sarah. Kemudian mereka mengolok-olok dengan menyebut-nyebut nama Sarah: “Huuuh, Sarah, Huuu!”
“Diam! Sarah gak salah!” bela Ayumi.
“Hey, udah jangan gitu, ayo bantu Alberto ke bawah pohon kersen,” tengah Vincent—jika di sekolah, dia adalah ketua kelas. Semua orang mendengarkan perkataannya dan merasa malu. Mereka pun membantu Alberto berdiri dan berjalan. Dia mengangkat dan menekukan sebelah kakinya seperti seekor bangau yang sedang berdiri di rawa. Meski begitu Alberto tetap meraung. Semakin kencang. Ada beberapa anak yang menutup telinganya karena merasa bising.
Setelah berteduh, mereka saling menatap. Vincent menyuruh seorang anak di antara mereka untuk membeli plester dan air minum. Untuk jarak warung dan taman tidak jauh, jadi, luka di lutut Alberto dapat segera diatasi. Vincent dengan kepala dingin, tidak ragu untuk membersihkan luka itu. Alberto semakin menjerit. Dan, selesailah penanganan pertama pada kecelakaan bersepeda.
Alberto mulai bisa tenang. Matanya masih sembab. Dia masih memegang lututnya sambil melihat anak-anak yang lain tengah asyik bermain di taman. Matahari perlahan naik dan berada tepat di puncak kepala. Tiba-tiba Alberto teringat Ibunya. Dia merasa sedih kembali dan berteriak sangat kencang, “Ibu jemput aku! Aku tidak mau lagi bermain di luar rumah! Ibu! Ibu! Sudah benar aku ingin HP saja! Aku tidak ingin terluka lagi!”
Sarah dan Ayumi yang berada di dekat sana saling melirik. Kemudian Sarah berkomentar, “hanya karena terluka!?” Vincent datang dan menimpali, “Hush, luka tetaplah luka. Alberto, baru saja terluka. Wajar merengek terus. Tunggu saja sampai lukanya sembuh.”
Dua minggu telah berlalu. Sejak Alberto jatuh dari sepeda di taman itu, dia tidak pernah bersekolah kembali. Alasannya karena sakit. Tetapi, dua minggu adalah waktu yang terlalu lama untuk ukuran luka luar. Ibunya sudah tidak bisa membujuk Alberto. Bahkan untuk keluar kamar. Akhirnya, Vincent, Sarah dan Ayumi berinisiatif menjenguk Alberto. Mereka disambut hangat oleh ibu Alberto, tetapi, dari dalam terdengar suara, “JANGAN BIARKAN MEREKA MASUK, BU!”