Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
LUKA BERNAMA ZEA
0
Suka
12
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di antara bayang-bayang malam dan kabut yang menggantung rendah, seorang gadis dengan tatapan kosong terlihat melangkah sendirian. Payung hitam di tangan tak benar-benar melindunginya dari guyuran air hujan. Ia melintasi jalan setapak menuju pemakaman tua yang tak jauh dari halte bis. Pintu gerbang besi yang berkarat mengerang pelan saat ia membukanya. Aroma tanah basah dan bunga yang membusuk pun menyergap.

Di antara nisan-nisan tua berlumut, gadis itu berhenti. Diam. Ia menunduk di depan satu-satunya nisan yang tampak bersih. Lalu, ia berbisik pada sesuatu yang tak terlihat.

"Sebentar lagi. Aku janji."

Dan di sekitarnya, hujan tiba-tiba jatuh lebih deras, seolah langit ikut menyaksikan pertemuan di malam itu.

***

Denting jam di meja belajar menunjukkan sudah lewat tengah malam, namun hiruk-pikuk kota masih saja tak ada bedanya. Hidup di kota yang tak pernah tidur terkadang membuat Mina merindukan suasana di Arunika, sebuah panti asuhan kecil nan asri yang terletak di desa. Di sana lah tempat ia pertama kali bertemu Harin, seorang gadis yang bersanding dengannya dalam foto yang tengah ia pandangi.

Masih tampak jelas dalam ingatan Mina saat tangan kecil Harin menghapus air matanya dengan lembut. Kala itu Mina menangis tanpa henti ketika wanita yang ia panggil ibu dengan tega meninggalkannya di sana.

Keduanya berpisah ketika Mina dijemput oleh ayahnya setelah satu bulan berada di Arunika. Tak ingin merasa kesepian, Mina selalu berkirim surat dengan Harin, bahkan menyempatkan untuk mengunjunginya tiap akhir pekan.

Komunikasi keduanya terjalin dengan baik, hingga suatu hari Harin mengatakan dirinya akan diadopsi dan untuk sementara tak bisa mengirim surat pada Mina. Kesepian yang melanda Mina berlangsung cukup lama, sampai tujuh tahun kemudian—tepat ketika memasuki bangku SMP—keduanya dipertemukan kembali.

"Mina, kan? Aku tidak percaya kita akan bertemu lagi. Kau sama sekali tidak berubah," ucapnya ketika pertama kali bertemu Mina di depan gerbang sekolah. "Tunggu! Jangan bilang kau tidak mengingatku."

Mina sempat mengernyit memandangi gadis itu. Hanya selang beberapa detik, senyum lebar pun menghiasi wajahnya begitu gadis itu menyebut Arunika. "Harin? Mana mungkin aku melupakanmu."

Sejak saat itu, mereka kembali bersama. Hari-hari dihabiskan dengan percakapan panjang, belajar bersama, obrolan ringan saat pulang sekolah, dan tak lupa untuk saling berkunjung ke rumah satu sama lain. Momen-momen yang menyenangkan itu membuat waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa hampir lima tahun mereka bersama, tak terpisahkan.

Mina masih memandangi foto di depannya, dan saat itulah ia ingat mereka pernah memiliki gelang yang sama. Selama di Arunika, Mina suka membuat kerajinan tangan yang salah satunya adalah gelang. Ia membuat tiga gelang yang sama, untuk dirinya sendiri, Harin, dan...

"Zea?" tiba-tiba Mina teringat nama yang sekian lama tak pernah ia sebut ataupun dengar lagi. "Bagaimana kabarnya sekarang?" gumamnya.

Untuk pertama kalinya, Mina mengingat sosok lain dalam kehidupan Arunika-nya. Kali ini bayangan Zea kecil mulai berputar di kepalanya.

"Harin!" Mina menoleh pada Harin yang tengah berbaring di tempat tidur. Kedua mata gadis itu tak terpejam, hanya menatap kosong langit-langit kamar. "Kau masih ingat Zea?" tanyanya pelan, hampir seperti pertanyaan yang tak benar-benar ia harapkan jawabannya.

Harin menoleh sebentar, kemudian kembali menatap langit-langit kamar. "Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya?"

"Aku tidak pernah mendengar kabarnya. Kurasa kita juga tidak pernah membahasnya di surat, kan?"

Harin mengangguk pelan. "Tapi dia juga ikut membaca suratmu. Kadang juga dia ada di sampingku saat aku menulis balasan suratmu."

"Benarkah? Tapi kenapa dia tidak ikut menulis untukku?"

Meski di antara cahaya remang lampu kamar Harin, Mina bisa melihat Harin baru saja mengangkat bahunya.

"Bagaimana kabarnya ya? Kira-kira dimana dia sekarang?"

"Kau benar-benar tidak pernah mendengar kabarnya?" Mina menggeleng, kemudian Harin bangun dari tempat tidurnya dan menatap Mina dengan tatapan serius. "Apa aku lupa memberitahumu?"

"Apa?"

"Dia sudah meninggal," ucap Harin dengan lirih.

"APA? SEJAK KAPAN?" Harin langsung meletakkan jari telunjuknya di atas bibir. Ia tidak ingin ibunya terbangun atau mereka berdua akan tidur di jalanan.

"Dia meninggal dua hari setelah aku diadopsi."

"Lalu kenapa kau bisa lupa memberitahuku kabar penting ini?" desak Mina, alisnya tampak berkerut.

Harin berusaha menghindari tatapan itu. "Entahlah. Mungkin karena terlalu banyak hal yang terjadi. Terutama soal ibuku."

Mina terdiam. Ia tahu benar kondisi ibu Harin. Kadang terlihat normal, namun di lain waktu berubah agresif, melukai Harin secara fisik maupun emosional. Luka-luka kecil yang Harin tutupi dengan jaket panjangnya sudah menjadi rahasia yang tak perlu diucapkan.

"Aku bisa mengajakmu ke makamnya kalau kau mau," lanjut Harin pelan.

***

Hari baru kembali menyapa. Setelah keluar rumah di pagi buta dan menaiki bis pertama, keduanya berhenti di halte yang masih diselimuti kabut. Mereka berjalan menyusuri trotoar menuju pemakaman tua yang dikelilingi pohon-pohon besar. Suasananya tenang, bahkan bisa dikatakan sunyi.

"Kita sudah sampai." Harin tiba-tiba bersuara setelah mereka berjalan dalam diam menembus kabut. Ia menunjuk satu batu nisan sederhana namun paling bersih di antara yang lain.

Mina melangkah mendekat. Namun sedetik kemudian, ia langsung berbalik. "LELUCON MACAM APA INI!"

Berbeda dengan Mina yang marah karena merasa dipermainkan, Harin justru mulai tertawa lepas. Tawa di antara sunyinya pemakaman tua itu terdengar seperti sesuatu yang seharusnya tak ada. Burung-burung yang semula bertengger damai di atas pohon pun langsung berhamburan terbang, menghilang di tengah kabut yang masih menggantung pekat.

***

Kabut mulai menghilang, tawa Harin tak terdengar lagi, dan Mina kembali memandangi batu nisan di hadapannya. Tulisan nama HARIN IMORA terasa seperti lelucon kejam yang entah siapa pelakunya.

"Kenapa?" suara lirih Mina nyaris seperti gumaman. "Kenapa kau lakukan ini?"

Untuk sesaat, tak ada jawaban yang terdengar. Namun kemudian, suara tawa Harin pun kembali. Kali ini pelan. Tawa getir yang lebih terdengar seperti bisikan luka lama yang tak pernah benar-benar mengering.

"Kenapa?" ulang Harin, dengan suara yang naik satu oktaf lebih tinggi. "Aku tidak salah dengar? Kau benar-benar menanyakan hal itu padaku, Mina?"

Mina hanya mampu menatapnya dengan mata berkaca, namun masih tak mengerti situasi macam apa yang ia hadapi kini.

"Harusnya kau sadar kalau kau adalah salah satu alasan mengapa aku membunuh diriku sendiri, Zea, bocah yang tak pernah diharapkan kehadirannya di dunia ini." Suaranya bergetar. Napasnya terdengar memburu, seolah semua yang ia pendam selama ini harus ia luapkan saat itu juga. Tangannya yang mengepal membuat buku jarinya mulai memutih. "Kau tahu rasanya jadi aku? Rasanya seperti… aku tak pernah ada, atau mungkin... tak pernah diharapkan keberadaannya. Bahkan Arunika tak pernah benar-benar menerimaku."

Mina melangkah mendekat, tapi Harin—yang ternyata adalah Zea—mundur satu langkah. Berusaha menjauh.

"Lalu datang si Harin itu," suaranya mulai meninggi. "Entah mengapa semua orang menyukainya. Semua orang mau bicara dengannya. Kemudian kau datang. Aku yang pertama kali mengulurkan tanganku, tapi kau... yang kau ingat justru saat Harin menghapus air matamu."

Mina tercekat. Ia tak bisa mengeluarkan suaranya. Hanya berusaha mendekat, namun Zea kembali melangkah mundur.

"Kita bertiga selalu bersama. Aku, kau, dan Harin. Tapi hanya dia yang kau lihat. Hanya dia yang kau ajak bicara. Aku… bahkan aku tidak yakin apakah kau ingat namaku saat itu." Wajah Zea memucat, matanya kosong. Tapi suaranya pecah saat melanjutkan apa yang selama ini ia pendam. "AKU ADA DI SITU, MINA! AKU LIHAT KALIAN! AKU DENGAR APA YANG KALIAN BICARAKAN! TAPI TAK SATU PUN DARI KALIAN YANG MELIHATKU!”

Tiba-tiba, ia terdiam. Pandangannya menunduk dan tubuhnya seolah telah kehilangan tenaga, seakan semua kemarahan itu menguap dan meninggalkan tubuhnya dalam kekosongan. Napasnya tersengal pelan, seperti baru saja berlari tanpa henti.

Untuk sejenak, dunia menjadi senyap. Hanya suara dedaunan yang terguncang angin dan kepakan sayap burung yang tak peduli dengan ketegangan di antara dua sahabat itu. Namun di detik berikutnya, suara Zea kembali muncul. Kali ini lebih kasar, lebih tajam, seperti bilah yang sudah terlalu lama disarungkan.

"Lalu Harin diadopsi, dan kemudian kudengar dia mati karena kecelakaan dua hari setelahnya. Di hari berikutnya mereka kembali, memohon-mohon untuk mengizinkan mereka mengadopsi salah satu anak panti lagi, tanpa dokumen resmi. Gilanya, orang-orang di Arunika menyerahkanku dengan senang hati. Mereka seperti lega karena menemukan tempat untuk membuangku." Harin berhenti sejenak, ia terlihat menghela napas kecewa sebelum melanjutkan kalimatnya. "Akhirnya aku punya keluarga, tapi dengan syarat aku harus membunuh diriku sendiri dan hidup sebagai orang lain." Ia menatap Mina, kali ini dengan tatapan lelah, hampa, sekaligus pasrah.

"Tapi kenapa kau mau melakukannya?" suara Mina bergetar saat ia mencoba bicara di tengah dinginnya angin pemakaman yang senyap.

"Kenapa tidak? Itu adalah satu-satunya cara agar aku terlihat, dianggap. Bahkan akhirnya kau melihatku setelah aku hidup sebagai Harin, kan? Aku lelah menjadi orang yang tak pernah ada, Mina." Suara Zea kini seperti ratapan. Amarahnya tak lagi terdengar. Nada getir itu pecah di tengah sunyinya pemakaman. "Katamu waktu itu, kau pasti akan langsung mengenaliku saat kita bertemu lagi. Kau satu-satunya orang yang ingin kuberitahu tentang rahasia ini. Tentang semuanya. Tapi begitu nama yang pertama kali kau sebut adalah Harin, aku sepenuhnya yakin tak ada yang benar-benar mengharapkan kehadiranku."

"Bukan begitu..."

"Aku tidak pernah berniat merahasiakan hal ini selamanya. Aku sudah berjanji pada Harin kalau sahabatnya harus tahu dirinya telah tiada. Tapi tak kusangka akan secepat ini."

"Kau... menyesal memberitahuku sekarang?"

"Lumayan." Nada bicaranya yang sendu penuh ratapan kini tak lagi terdengar. Suara yang dingin dan kaku tiba-tiba menyergap. "Karena aku belum ingin mati dua kali."

"Sayangnya itu sudah terlanjur terjadi." Tiba-tiba sebuah suara lain terdengar. Seorang wanita berjalan pelan di antara nisan dengan seikat mawar mewar dan putih di tangan kanannya. Wajah wanita itu pucat, matanya sayu, namun bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang aneh. "Yang artinya semua telah selesai."

"Mama..."

"Mulai detik ini, aku bukan lagi mamamu dan kau tak bisa lagi tinggal di rumahku." Suaranya kini dingin. "Mestinya kau tidak lupa perjanjian kita di awal. Kau bukan Harin, dan aku… tidak pernah menginginkanmu sebagai Zea."

Kata-kata itu jatuh seperti hujan es, menghantam dada Zea tanpa ampun. Ia mundur selangkah, lalu dua, sebelum akhirnya tertunduk. Pundaknya bergetar hebat. Matanya kini kosong lagi, ditelan perasaan lama yang kembali mengikat: perasaan tak diinginkan. Tak dianggap.

"Mama…" bisiknya parau.

Tapi wanita itu mengabaikannya. Ia melangkah melewati keduanya dan berhenti di depan nisan Harin. Diletakkannya seikat bunga yang sedari tadi ia genggam, kemudian ia membelai nisan di hadapannya seolah tengah membelai rambut gadis kecilnya.

"Semua telah berakhir, Sayang. Maaf, Mama tidak berdaya. Maaf, Mama harus mengikuti sandiwara konyol yang menyakitkan ini. Zea sudah mengembalikan namamu. Berbahagialah disana, Sayang." Setelah membelai nisan untuk terakhir kalinya, wanita itu melangkah pergi, tanpa menoleh pada Zea atau pun Mina.

Zea akhirnya jatuh berlutut di tanah basah pemakaman. Tangisnya pecah, tersedu-sedu hingga tubuhnya terguncang hebat. Mina tak sanggup lagi hanya berdiri menatap. Ia segera merunduk, merangkul tubuh rapuh itu dengan kedua lengannya. Pelukan itu erat, seakan ingin menahan Zea agar tidak hancur berkeping-keping.

"Aku ada di sini," bisik Mina, suaranya parau. "Kau tak sendirian lagi. Aku janji… aku takkan meninggalkanmu."

Dalam pelukan itu, Zea menangis semakin keras. Tapi di balik isakan yang memilukan, ada sesuatu yang berbeda, seolah udara di sekitar mereka bergetar pelan, hangat, tak lagi sebeku tadi.

Mina pun merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sebuah kelembutan lain, seperti tangan kecil yang turut melingkar di sekitar bahu Zea. Hangat, penuh kasih, begitu familiar. Seolah ada sosok lain yang hadir di antara mereka.

Air mata Zea semakin deras, tapi kali ini bukan hanya karena luka, melainkan karena untuk pertama kalinya ia benar-benar merasa dipeluk, dianggap, dan diterima.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
WOLFDADDY (SCRIPT)
Jonem
Skrip Film
AKSATRIYA (Script)
Desi Restiana A
Skrip Film
Musim Semi dan Kisah yang Hilang dalam Mimpi
Arini Putri
Flash
Avenoir
Atika Salsabila Zahra
Cerpen
LUKA BERNAMA ZEA
Bie Farida
Novel
Outlier
Alvi Zainita
Skrip Film
A HEAVEN JUST FOR YOU
Nurul Aini
Flash
Bronze
AKU MENCINTAI PEREMPUAN ITU dengan NYAWAKU
Onet Adithia Rizlan
Flash
a Thousand Years
Desi Ra
Flash
PERJAMUAN PENAGIH HUTANG
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
REINKARNASI
Maldalias
Cerpen
Marbot mesjid
E.P.Wirawan
Novel
Bronze
Buku Harian Alana
Nur Chayati
Skrip Film
Message from nowhere... shameless
Array Hanzen
Skrip Film
Senyum Kiara, Pergi ke Mana?
Dewi Anjani
Rekomendasi
Cerpen
LUKA BERNAMA ZEA
Bie Farida
Flash
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Cerpen
LOVENGE
Bie Farida