Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore di taman selepas hujan. Aku masih memeluk erat kenangan. Seperti tak ingin usai. Sesungguhnya sudah lama selesai.
“Kupu-kupuuu!” teriak seorang gadis kecil berambut keriting terkepang dua. Matanya membelalak terpesona. Seolah kupu-kupu adalah keajaiban luar biasa. Dia berlari berkejaran kemudian bersorak-sorak tiada lelah.
Sementara aku menatapnya jengah.
“Hei, gadis kecil, masih banyak hal lain yang lebih ajaib dari sekadar kupu-kupu terbang. Besok lusa kau bertemu lelaki muda yang berjalan ke arahmu tanpa senyum, tapi hatimu tiba-tiba berdetak kencang tanpa alasan. Itu lebih layak dianggap keajaiban dari sekadar kupu-kupu terbang. Tunggu suatu saat nanti, kau akan merasakan. Tapi seandainya aku boleh berpesan, ingin aku sampaikan. Jangan sampai hatinya kau hancurkan” dalam hati aku berbicara, seolah aku adalah si Tuan Paling Benar.
Anak kecil berambut keriting terkepang dua masih dengan pesona yang sama. Matanya menyiratkan rasa penasaran yang besar pada dunia. Selepas kepergian kupu-kupu yang membuatnya cukup berpeluh. Sekarang aku lihat, gadis kecil ini tengah mengagumi kubangan air yang berisi nyamuk dan beberapa jentik.
Aku dibuat heran, apa yang menarik? Kenapa gadis kecil ini begitu mudah tertarik?
“Wooow, jentik-jentiknya bergeraaak!” teriaknya sampai serak. Aku hanya melirik kubangan itu sekilas. Kemudian aku kembali berkubang pada cerita lama.
Sore di taman selepas hujan. Kali ini tidak ada Pelangi aku temukan. Padahal sudah lama kucari. Aku ingin bertemu lagi dengan Pelangi.
Beberapa tahun lalu. Di taman yang sama di pojok itu. Ada aku dan perempuanku. Kepalanya bersandar mesra di bahu. Tapi kalimat yang terucap dari mulutnya meluncur dingin selayaknya darah pembunuh.
Apa salahku?
Sebagai lelaki aku cukup bertanggung jawab. Aku tidak pernah membohonginya.
Oh, ada sih sesekali. Ketika dia mengajak pergi tapi aku sudah letih sekali. Boleh ‘kan aku ijin dari kewajibanku menemani, toh selama ini aku selalu meladeni.
Oh, ada satu lagi, ketika dia terlalu lelah aku ajak pergi. Aku memilih mengajak Mentari makan sore hari. Bukan hanya sekali. Tapi itu hanya cerita pelepas sepi, karena Pelangi sedang ingin sendiri.
Mentari menatapku dengan teliti, dia menyimak setiap cerita dengan hati-hati. Aku tahu Mentari ada hati, tapi aku memilih tidak peduli. Aku punya Pelangi. Hari itu Pelangi hanya sedang tidak ingin berbagi. Lalu aku ajak Mentari pergi. Mentari mengerti, di hatiku hanya ada Pelangi. Mentari sangat mengerti. Dia memberiku lebih dari yang Pelangi beri. Sebagai lelaki, aku tentu berpuas diri. Tapi sungguh Pelangi, aku tak ada rasa pada Mentari, celotehku dalam hati. Setiap aku menemui Mentari.
Yah, hanya itu bohongku pada Pelangi. Tepatnya bukan bohong, hanya cerita yang tidak aku bagi karena Pelangi tidak pernah ambil pusing.
Lalu kenapa di taman ini beberapa tahun lalu Pelangi memilih pergi?
Katanya, “aku mencintaimu hari ini.” Hatiku terbang ke tempat tertinggi.
“Tapi hanya hari ini, aku tidak tahu besok atau nanti,” tenggorokanku mulai tercekat kaku, mulutku mendadak bisu. Darahku cepat berdesir-desir. Bukankah semua pecinta sering mengobral kata-kata manis? Bohongi aku, Pelangi. Seperti aku sering berkata padamu dengan kalimat semacam ini:
Aku akan mencintaimu sampai mati.
Mungkin palsu tapi aku ingin mendengar Pelangi berkata seperti itu. Ditambah segaris bibir yang tersenyum manis. Seperti yang sering aku lakukan padanya dan sesekali pada Mentari jika dia berhasil membuatku berpuas diri.
Tapi Pelangi memilih kalimat datar dengan tatapan nanar yang membuat hatiku gusar.
“Menikah denganmu bukan tujuan hidupku, tujuanku hanya ingin bahagia dan aku tidak yakin apa aku akan bahagia kalau aku putuskan menjadi istrimu, aku bingung.” Pelangi mengangkat kepalanya dari pundakku.
Ingin aku berteriak di hadapan muka cantiknya, “kau tidak akan tahu kalau kau tidak pernah mencoba! Siapa yang tau soal hari esok? Persetan dengan kebahagiaan!” tapi kalimat itu kembali tertelan.
Aku hanya mengangguk pelan. Selayak kekasih yang pengertian. Padahal hatiku hancur berantakan. Adegan ini jauh dari bayangan. Tidak pernah terlintas apalagi terpikirkan. Tapi Pelangi memang kekasih paling menawan. Dia paling tahu apa yang dia cari di kehidupan.
Akhirnya hari itu aku tahu, aku tidak termasuk dalam daftar panjang resolusinya. Ketika di awal tahun, kami menghabiskan malam tahun baru di sebuah hotel berbintang. Pengeluaran termahal sepanjang sejarah kencan. Sialan!
Sialan! Rutukku dalam hati, ketika punggungku dikagetkan oleh sundulan bola pasir. Masih gadis kecil berambut keriting terkepang dua di taman yang sama dengan gairah yang sama, seperti gairahnya pada kupu-kupu, kubangan dan jentik nyamuk yang bergerak-gerak. Sementara aku sudah lupa apa rasanya bergairah.
“Maaf,” katanya takut-takut ketika mengambil bola pasir dari tanganku. Aku hanya tersenyum basa basi, sambil ku tepuk sedikit kepalanya tanda aku tidak marah padanya.
Seperti beberapa tahun lalu, di taman ini, di pojok itu.
“Maaf,” kata Pelangi dengan tatapan menerawang tinggi.
Aku mencoba tersenyum basa basi tapi tidak berhasil. Getir.
Aku selalu ketagihan dengan kopi buatan Pelangi. Yang sering dia sajikan di cangkir bergambar kepala babi berwarna merah muda. Katanya serasi. Sekarang aku baru mengerti. Aku hanya kepala babi yang disuguhkannya kopi. Pahit. Bukan lelaki yang dia bawa sampai alam mimpi. Ah, babi!
Tapi aku enggan untuk menahan langkahnya. Aku sangsi apakah aku bisa berdamai dengan gengsi dan meminta Pelangi untuk tidak pergi.
Jadi kupilih diam dalam berisiknya hati. “Kenapa begini akhirnya, Pelangi?”, dalam sudut hati aku merintih perih. Sementara Pelangi bergegas, mengemasi sisa-sisa perasaannya, kemudian berlalu, pergi.
“Pelangi!” teriakku parau. Dia menoleh, menatapku dari balik bahunya, senyum mengembang, matanya berkubang.
Hei! Dia menangis. Dia tidak ingin pergi. Saatnya aku menghentikan langkahnya dan membuat dia yakin. Aku tarik pergelangan tangannya.
Dia lepaskan perlahan. “Lepaskan”, pintanya pelan. Aku tatap matanya. Dia buang jauh, entah kemana.
“Aku mohon,” kulupakan segala harga diri, aku hanya tidak ingin Pelangi pergi.
“Aku juga mohon, lepaskan,” Pelangi mengulang kalimatku dengan kalimatnya membuatku merasa di persimpangan.
Aku mulai meragu. Ku menangkan harga diriku, lalu ku lepaskan? Atau ku menangkan hatiku, lalu aku bertahan? Tidak sempat aku menimbang. Pelangi yang mengambil keputusan. Dihempaskannya tanganku. Kasar. Dengan langkah besarnya, dia berlalu gusar. Aku tak kalah dibuat gusar. “Wanita bukan hanya kamu di dunia ini!” dalam hati aku bersumpah serapah. Parah.
Nyatanya sekian tahun berlalu. Aku masih sering kembali ke taman ini sekadar membunuh waktu. Membuka cerita lalu. Sambil menunggu. Siapa tahu Pelangi sedang ingin bernostalgia dengan kenanganku. Lalu memilih duduk di salah satu bangku. Kemudian dia dan aku kembali bertemu.
Ah, khayal semu!
Sore di taman selepas hujan. Aku masih memeluk erat kenangan. Seperti tak ingin usai. Sesungguhnya sudah lama selesai.
Aku tidak pernah mendengar kabar siapa lelaki yang akhirnya mendapatkan hati Pelangi. Padahal sudah kucari tahu ke sana ke mari. Tapi semuanya tanpa hasil. Nihil.
Pelangi masih sendiri.
Lalu kenapa dia tidak pernah mau kembali? Kenapa dia tidak mencoba menghubungi? Atau sekadar membalas pesanku dengan sebaris kalimat manis. Pelangi masih sendiri. Masih tidak peduli. Hatinya mendadak mati.
Kata sahabatnya, semua karena Mentari.
Hatiku gaduh. Di luar juga gaduh. Tangis gadis kecil berambut keriting terkepang dua memecah taman yang mulai sepi.
“Itu bola punya akuuuuu,” dia berteriak-teriak histeris. Seolah tidak ingin berbagi. Tidak ingin kehilangan yang sudah termiliki. “Kamu bisa main berdua,” suara wanita dewasa mencoba menenangkannya. “Aku tidak mauuu, punya aku yah punya aku, aku ga mau main berdua!” tangisnya meradang. Sampai akhirnya seorang lekaki dewasa membawakan bola-nya kembali.
“Nak, sudah Nak, jangan nangis lagi, ini bola punya kamu, jangan nangis lagi yah?” lelaki dewasa itu menepuk pundak sang gadis kecil berambut keriting terkepang dua.
Gadis kecil itu menatap sekilas. Diusap air matanya yang sempat membanjir deras. Ditegakkan kepalanya. Diambilnya bola itu dari tangan sang lelaki dewasa. “Terima kasih,” dia menjawab manis.
Aku perhatikan gadis kecil berambut keriting terkepang dua tidak lagi berlarian seperti sebelumnya. Di tangannya tergenggam bola pasir berwarna ungu yang sempat diambil oleh anak lain yang sebaya dengannya. Jalannya lunglai. Genggamannya tidak lagi kuat. Matanya semakin nanar. “Aku tidak suka berbagi”, masih kecil mulai membathin. Dilepaskannya bola pasir perlahan tapi penuh rasa yakin.
“Buat siapa saja yang mau!” teriaknya pelan sambil melempar bola pasir ke udara.
Aku teringat Pelangi!
Dia tahu aku sering menemui Mentari sembunyi-sembunyi. Tapi mulutnya terkunci. Bahkan tanpa aku sadari. Dia sudah bosan berbagi dengan Mentari.
Dia memilih pergi dan tidak termiliki daripada harus hidup dalam sakit hati.
Pelangi.
Tidak ada rasa apa-apa antara aku dan Mentari. Percuma aku berbisik. Pelangi sudah pergi. Keputusan sudah diambil. Aku yang bermain dengan hati. Hati Pelangi. Hati Mentari. Aku menyakiti. Aku tersakiti. Sendiri.
Aku beranjak dari taman, sore beganti malam. Pelangi tak pernah lagi ucapkan salam. Mentari sudah pamit dari langit.
Aku tergugu di dalam mobil dengan mesin yang masih mati, seperti hati Pelangi yang juga mati. Mungkin penyesalan yang aku rasa, atau ego yang tercabik karena merasa sudah berkuasa atas hati kedua wanita yang pernah ada. Masih di halaman parkir taman yang sama seperti beberapa tahun lalu. Aku teringat selembar kertas lusuh di dalam dasbor mobilku. Aku belum pernah benar-benar membacanya. Secarik kertas berisi coretan tangan Pelangi beberapa waktu lalu, sebelum dia memutuskan pergi meninggalkan kenangan.
Sepakat untuk saling terikat. Lalu terjerat. Terlalu melekat. Tidak ingat. Dulu mereka sabahat. Sekarang sekarat. Berdesak-desak. Sesak dalam satu kotak. Tak mampu sekadar merangkak. Sia-sia berteriak. Serak. Buatlah jarak. Supaya bisa bergerak. Redam hasrat ingin menggenggam. Ketika padam. Jangan memendam dendam. Memang perlu kelam untuk menikmati bintang malam. #bebas
Ketika kutanyakan, “apa yang kamu tulis?”Dia hanya tersenyum dan bergumam ringan, “orang paling bahagia itu orang yang tidak terikat pada apapun, tidak memiliki, tidak dimiliki, hidup seperti itu pasti bebas dari sakit hati.” Waktu itu aku belum mengerti.
Sore di taman selepas hujan. Aku masih memeluk erat kenangan. Seperti tak ingin usai. Sesungguhnya sudah lama selesai. Ketika aku tak peka luka.