Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Lucid Dream
1
Suka
1,094
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku sedang duduk-duduk di sofa indekos yang kutinggali bersama teman-temanku, di luar langit gelap gulita, semua temanku sudah tidur di kamarnya masing-masing, hanya aku yang terjaga karena insomnia. Aku berdiri untuk mengambil ponselku di kamar, namun tiba-tiba aku mendengar seseorang mengetuk pintu.

Aku berlari kecil menghampiri pintu. Aku cukup terkejut saat ada seorang pemuda yang datang, pasalnya, indekos ini khusus untuk perempuan, jika ibu kos tahu ada laki-laki yang masuk, kami bisa diusir.

Pemuda itu tersenyum, menyapaku sekilas—yang mana membuatku terkejut, karena bagaimana dia tahu namaku sedangkan aku tidak mengenalnya. Menurut perkiraanku, pemuda itu sepertinya empat tahun lebih tua dariku.

“Bagaimana kautahu namaku?” tanyaku.

Pemuda itu terlihat terkejut, walau tampak dibuat-buat. “Kau melupakanku? Aku ini temanmu, hatiku terluka.”

Dia menyentuh dadanya daramatis lantas terkekeh. Sepertinya dia pemuda yang menyenangkan.

Aku hanya tersenyum sebagai tangapan, mungkin aku yang lupa, bisa saja dia teman masa kecilku. Aku menampar diri secara mental, aku yang khilaf, akhir-akhir ini aku memang pelupa.

“Oh iya, apa yang lakukan malam-malam begini?” tanyaku setelah basa-basi menanyakan kabarnya.

“Aku ingin mengembalikan barangmu yang tertinggal di rumahku, kau selalu melupakan hal-hal kecil seperti ini,” ucapnya.

Aku berpikir sejenak, sejak kapan aku berkunjung ke rumah pemuda itu hingga barangku ketinggalan di sana? Aku terlalu malas untuk berkunjung ke rumah teman, kalau beli sesuatu di warung depan rumah saja, aku menyuruh adikku untuk membeli. 

Dan sejak kapan aku punya teman yang berjenis kelamin laki-laki?

Pemuda itu menyodorkan barang dalam kantung kertas berwarna cokelat, aku menerimanya dan menyuruhnya cepat pulang, agar teman-temanku tidak mengataiku yang tidak-tidak, mereka pasti akan berpikir macam-macam.

“Baiklah, aku pulang dulu.” Pemuda itu melambaikan tangannya dan tersenyum manis.

“Rain! Bangun! Hei, cepat bangun!”

Aku merasakan ada yang menguncang tubuhku, kubuka mataku perlahan, ada seorang gadis yang sepantaran denganku, sepertinya dia berusaha membangunkanku. Aku mengedarkan pandangan, kami berada di kamar yang sama.

“Siapa kau?” tanyaku sembari berusaha bangun.

Dia cekatan membantuku bangun. “Ish, kau keterlaluan sekali melupakan teman sendiri, kau memang harus ke dokter, kau sepertinya amnesia.”

Aku berani bersumpah, aku tidak mempunyai teman seperti dia. Dan apa katanya tadi? Amnesia? Jangan bercanda, kepalaku tidak terbentur apapun, atau aku tidak mengalami sesuatu yang bisa membuatku mengalami amnesia. Daripada debat dengannya, jadi kuputuskan untuk percaya saja.

“Kenapa kau membangunkanku?” tanyaku sembari berjalan gontai ke luar kamar.

Dia membuntutiku di belakang, tidak menjawab.

Aku melihat sekeliling, aku terkejut dengan indekos yang kutinggali. Aku baru menyadari kamar yang kugunakan ada di lantai dua, dan rumah ini ... terlalu mewah untuk sekadar indekos. Aku menuruni tangga, menuju dapur yang terletak di lantai satu. Aku tidak mendengar teman-temanku yang lain, mungkin mereka tidur lebih cepat karena lelah seharian bekerja, ini kan hari pertama kami magang.

Tapi anehnya, kenapa indekos yang kami tinggali sangat mewah? Seperti hotel, padahal di grub chat kami sibuk berdebat tentang indekos yang murah, tidak mewah, yang penting bisa ditempati selama magang. Kalau indekos semewah ini, berapa harga sewanya dalam sebulan? Aku bisa-bisa bangkrut.

Dan anehnya lagi, kenapa aku baru menyadari rumah itu mewah, apa dari pagi aku tidak terlalu memperhatikan rumah ini karena terlalu semangat untuk magang? Tapi rasanya tidak mungkin, aku tidak sebodoh itu dengan tidak melihat-lihat rumah.

Aku menggeleng, yang penting aku dapat indekos, dan bisa tidur, persetan dengan mewah atau tidaknya rumah ini. Aku mengambil air dingin di kulkas, meneguk perlahan.

Suara ketukan pintu terdengar. Ah, pasti pemuda yang mengaku temanku itu datang mau mengembalikan barangku yang tertinggal di rumahnya.

Temanku menarik tanganku saat aku hendak keluar dapur, wajahnya terlihat ketakutan dan memucat.

“Apa kau mendengar suara itu?” tanyanya.

Aku mengangguk, siapapun bisa mendengar ketukan pintu yang keras itu.

“Sudah lebih dari lima menit dia terus mengetuk pintu,” ujarnya.

Aku menepuk kening. “Kenapa kau tidak membukannya? Pemuda yang di luar itu temanku, dia hanya ingin mengembalikan barangku yang ketinggalan.”

“Bagaimana kau tahu kalau yang di luar itu seorang pemuda? Lalu bagaimana kautahu kalau dia mengembalikan barang milikmu?” tanyanya sedikit terkejut, namun dia mengubah ekspresinya menjadi mengintimidasi.

Aku terdiam, memang aneh rasanya kalau seseorang baru bangun tidur dan mengatakan kalau dia tahu orang yang di luar itu seorang pemuda, temannya pula.

“Dan setahuku, kau tidak punya teman laki-laki, bagaimana dia bisa mengembalikan barangmu, kalau kau saja tidak pernah bertemu dengannya?” tanyanya, matanya menatapku intens.

 Benar juga. Apa aku harus mengatakannya kalau aku meihat pemuda itu di mimpiku? Dia pasti tidak akan percaya dan menganggapku gila—bisa melihat masa depan melalui mimpi. Orang waras mana yang akan percaya?

“Aku sudah mengecek rekaman cctv yang ada di luar dan pemuda itu bukan tipe-tipe orang yang akan kau jadikan teman. Ayo ikut aku! Kita harus bersembunyi,” ucapnya.

Dia menarikku ke salah satu ruangan—aku tidak tahu kalau ada ruangan seperti itu di indekos ini, ruangan itu kosong, benar-benar tidak ada apa-apa di sana, sepertinya ruangan ini baru saja dibangun.

Wajah temanku itu kentara sekali sedang ketakutan, tangannya yang menggenggam tanganku bergetar, namun dia masih menyempatkan diri untuk mengunci pintu.

“Kenapa kita harus bersembunyi? Dia tidak berbahaya, kalau dia bukan teman yang mau mengembalikan barangku, bisa saja dia orang tersesat yang mau menanyakan alamat,” ucapku bersikeras.

Gadis itu membekap mulutku. “Mana ada orang yang akan berkeliaran di atas jam dua belas malam, aku rasa hanya pocong dan teman-temannya yang akan melakukannya.”

Seketika dia membuatku merinding. “Jangan membuatku ketakutan!”

“Jangan berisik, dia tidak tahu kalau kita di sini,” katanya sembari membekap mulutku yang hampir saja meneruskan teriakanku kalau saja tangannya tidak menghalangiku.

“Memangnya apa yang kau lihat di cctv?” tanyaku dengan suara pelan.

“Kau tahu drakor yang kita tonton semalam? Blood, pemuda itu seperti vampire dalam cerita itu, dia seperti Park Ji Sang.”

“Berarti dia tampan,” ucapku spontan yang membuatku dihadiahi delikan mata kesal.

Seingatku, semalam aku melihat drakor While Were You Sleeping, sedangkan Blood sudah selesai kutonton minggu lalu sebelum magang dan tinggal di indekos ini, namun aku memilih diam daripada dia semakin kesal.

“Pria itu ... yang kulihat di cctv, dia membawa pisau di tangannya, pisaunya penuh dengan darah, juga di sekitar mulutnya, wajahnya pucat, benar-benar seperti vampire. Dia mengetuk-ngetuk pintu menggunakan tangannya, sangat keras sampai tangannya berdarah.”

Aku menelan ludah gusar, bagaimana ini? Tidak ada orang dewasa di rumah ini, hanya ada para anak magang yang tidak mengerti apa-apa soal bela diri, dan sialnya, aku tidak menemukan ponsel di saku celanaku, aku tidak bisa meminta tolong polisi atau ketua RT.

Kami terlonjak kaget ketika pria yang katanya mirip Park Ji Sang, yang kami bicarakan dari tadi—tiba-tiba mendobrak pintu. Pria itu tersenyum mengerikan, seperti senyum malaikat maut—walau aku tidak pernah melihat malaikat maut yang tersenyum.

Dia lebih tepatnya seorang pemuda, empat tahun lebih tua dariku, dia sama persis seperti di mimpiku sebelumnya, bedanya kalau di mimpiku dia tersenyum manis dan menyenangkan, kalau sekarang, dia terlihat ... menakutkan.

“Kalian membuatku menunggu,” ucap pemuda itu sembari menodongkan pisaunya yang penuh darah.

Dia berjalan mendekat, kami mundur perlahan hingga membuat kami benar-benar terpojok, punggung kami mentok di dinding, kami tidak bisa bergerak maju atau mundur.

Saat merasa pemuda itu sudah menang, dia tertawa keras. Dalam hati aku mengutuki teman-temanku yang tidur seperti kebo, kenapa mereka tidak ada yang bagun untuk memanggil polisi? Padahal pemuda itu tertawa cukup keras dan teriakan kami tadi juga keras. Kumohon teman-teman! Selelah apapun kalian, bangunlah! Panggil bantuan!

Pemuda itu menodongkan pisaunya, mengarahkannya padaku. Buru-buru temanku itu menarikku hingga membuat kami terjatuh. Pemuda itu marah.

Aku menyadari sesuatu, kenapa aku tidak merasa sakit saat terjatuh?

Aku berusaha duduk, lantas mencubit lenganku, aku tidak merasakan sakit apapun, seharusnya aku bisa menyombongkan diri, bukankah ini keren? Aku tidak akan merasakan sakit. Namun situasi tidak mendukungku, bukankah tadi aku sudah terbangun dari mimpi saat melihat teman laki-lakiku yang mengembalikan barangku? Lalu kenapa aku masih bermimpi.

Aku sudah bangun dari mimpi kan? Atau ... aku sama sekali tidak bangun dari mimpi ini, apa aku akan terus terjebak dalam mimpi-mimpi aneh seperti ini. Siapapun dari dunia nyata, bangunkan aku! Aku tidak ingin di sini!

Untuk pertama kalinya, aku merindukan teriakan ibuku yang menyuruhku untuk bangun dan segera mandi.

“Seharusnya aku tidak di sini,” gumamku.

“Ya, kau seharusnya tidak di sini, kau seharusnya sudah lenyap, kembali ke penciptamu bersama teman-temanmu yang lain.” Pemuda itu mendekati kami.

Gadis itu menarikku untuk berdiri.

 Aku tidak sanggup menggerakkan kakiku. Itu artinya ... teman-temanku yang lain, teman yang baru hari ini magang bersamaku ... sudah tidak ada? Tidak. Tidak. Aku hanya bermimpi.

Pemuda itu menodongkan pisaunya menuju mataku.

 Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi, semuanya menjadi gelap. Semuanya menjadi sunyi, tidak ada lagi suara tawa pemuda itu ataupun suara jeritan teman yang tidak kuketahui namanya itu.

Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa beruntung saat mendengar suara yang terkadang kubenci dan kini sangat kurindukan.

“Rain! Bangun, Nak! Ini sudah setengah empat, kita harus cepat sahur, nanti keburu imsak,” ucap Ibu, beliau duduk di tepi ranjangku.

Aku langsung terbangun, memeluk ibuku erat.

Kami keluar kamar, aku mencubit pipiku, rasanya sakit. Aku menghela napas lega, kini aku tahu ... aku sudah benar-benar bangun.   

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Lucid Dream
Varenyni
Novel
Bronze
Kisah Ulat Kupu-Kupu
🕯Koo Marko✨
Novel
The Copycat
Claresta Elysia
Flash
Temuan, ambil atau tinggalkan?
Rizal Syaiful Hidayat
Flash
Tak Ingin Tidur
Ejas Intan
Novel
Gold
In A Dark, Dark Wood (Indonesian Edition)
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Please
IguanaTertawa_
Komik
RECREATE
Zhafirah Dhiya Ulhaq
Novel
Bronze
The Last Blow
Amirullah Bandu
Novel
Traumatic Incident
Harits Arwan
Flash
Pengantin
Arzen Rui
Novel
Bronze
Help me brother!!
Siti Hawa
Flash
Chat Terakhir
Lady Mia Hasneni
Novel
LET US HIDE
Yuniar Riska Herdianti
Novel
Bronze
(S)uicide
Gldseya
Rekomendasi
Cerpen
Lucid Dream
Varenyni
Flash
Bingkisan Hitam
Varenyni
Novel
Tyaz Gamma
Varenyni
Novel
Bronze
After Ecstasy
Varenyni
Novel
Bronze
Penjelajah Waktu
Varenyni
Cerpen
Last Sunday
Varenyni
Novel
Bronze
Euforia
Varenyni
Cerpen
Suatu Hari di Bulan Juli
Varenyni
Flash
Chaos
Varenyni
Flash
Lima Permintaan
Varenyni
Cerpen
Paradoks
Varenyni
Novel
Farel's Side
Varenyni
Flash
Sweet Rendezvous
Varenyni