Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di tengah kesunyian malam ini, Gio kembali terbangun dengan jantung yang berdegup kencang. Keringat dingin pun terlihat mengalir membasahi dahinya. Dalam mimpi buruk yang telah terjadi berkali-kali itu, ia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam. Berbeda dengan kemarin yang hanya ada dirinya dan beberapa pria yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk, di mimpi yang terasa nyata itu kini juga ada seorang wanita dengan pakaian yang lusuh. Wanita itu tengah terikat di sebuah kursi kayu. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya samar-samar. Namun yang pasti Gio yakin wanita itu adalah wanita paruh baya dan matanya tertutup dengan sehelai kain yang tak kalah lusuhnya.
"Apa lagi ini?" Gumamnya seraya meraih segelas air di meja kecil di samping tempat tidurnya. Diteguknya air putih yang kini mengaliri kerongkongannya yang kering itu.
Alih-alih kembali tidur, Gio memilih turun dari tempat tidurnya dan melangkah ke meja kerjanya yang ada di dekat jendela. Kota yang terhampar di depannya terlihat masih hidup.
Ditengoknya jam kecil berwarna hitam mengkilat yang ada di atas meja. Masih beberapa jam lagi sampai fajar tiba.
Tak tahu harus melakukan apa, Gio akhirnya memutuskan untuk menuliskan mimpi anehnya itu ke dalam buku catatan bersampul coklat dengan gambar seekor kucing yang tengah mengacungkan jari tengah.
***
"Aku yakin itu adalah kehidupanmu sebelumnya," ucap Nino setelah Gio menceritakan mimpi yang berkali-kali muncul dalam tidurnya.
"Sudah kubilang aku tidak percaya reinkarnasi," Gio kembali mendengus. Sejenak Gio menyesal menceritakan mimpinya itu pada Nino, karena pemuda yang telah lama bersahabat dengannya itu sangat fanatik dengan hal berbau reinkarnasi. Bahkan ia selalu mengatakan kalau dirinya di kehidupan sebelumnya pernah menjadi pelayan keluarga bangsawan, menjadi dokter, pengangguran, guru, juga penulis.
"Dan sekarang aku adalah mahasiswa. Entah aku bisa melanjutkan hidupku atau mati saat masih menjadi mahasiswa."
"No!" tiba-tiba Gio terpikirkan sesuatu. "Kalau memang reinkarnasi itu ada, kenapa aku tidak ingat apapun? Padahal kau saja ingat profesimu di kehidupanmu sebelumnya."
Nino menggeser posisi duduknya. Kini ia duduk menghadap Gio dengan ekspresi wajah yang penuh semangat.
"Aku mengingatnya karena urusanku belum selesai. Jika di kehidupan sekarang aku meninggal sebelum urusanku selesai, aku akan terlahir kembali entah berapa tahun lagi dan mengingat semuanya."
"Jadi menurutmu aku tidak bisa mengingatnya karena urusanku sudah selesai?"
"Atau kau menganggapnya sudah selesai."
"Ah, omong kosong."
Belum sempat Nino membalasnya, seorang gadis berambut ikal datang menghampiri keduanya. Gio menyambut gadis itu dengan senyuman lebar hingga membuat kedua matanya menjadi hanya sebatas garis melengkung.
"Apa pembahasan hari ini?" selidiknya.
"Apa lagi kalau bukan..."
"Reinkarnasi?"
"Sudah pasti." Sepertinya Gio sudah lelah dengan pembahasan yang itu-itu saja.
"Kemana kalian hari ini?"
"Apartemenku," jawab Jihan. "Akan ada orang lain di sana," imbuhnya ketika Nino mulai memperlihatkan senyum nakalnya.
"Ayo berangkat! Dia akan mulai dengan ceramah reinkarnasinya kalau kita tidak segera pergi." Gio langsung berdiri dan meraih lengan Jihan.
Keduanya kemudian berjalan menjauh, sementara Nino terus mengawasi mereka hingga keduanya menghilang dari pandangan.
***
"Tunggu sebentar ya. Aku lupa mengambil paketku di bawah." Jihan meletakkan tasnya di sofa dan kembali keluar, meninggalkan Gio yang mulai melihat-lihat isi ruang tamu apartemen gadis itu.
Sebagian besar benda yang mengisi ruang tamu itu adalah foto berpigura dengan berbagai ukuran. Pigura yang ada di hadapan Gio menampilkan lukisan seorang gadis yang mirip dengan Jihan, yang tengah memakai baju bangsawan Eropa abad pertengahan. Gaun kuning keemasan yang Jihan kenakan itu terlihat cocok di kulitnya. Lukisan itu nampak usang, seolah benar-benar dilukis di masa itu.
Pigura berikutnya masih menampilkan sosok yang sama dengan gaun sama, bedanya ada seorang wanita paruh baya berdiri di sampingnya. Kedua mata Gio menyipit, pasalnya sosok itu tampak tidak asing, namun Gio tak yakin dimana ia pernah melihatnya.
Gio bergeser ke pigura berikutnya. Jihan versi abad pertengahan masih terlihat. Kali ini tanpa wanita paruh baya tadi. Justru yang terlihat adalah seorang pemuda di belakang Jihan. Pemuda yang mirip seseorang yang ia kenal.
"Nino?" gumamnya.
Meski terheran dengan apa yang ia lihat, Gio tak berhenti. Ia berpindah ke pigura berikutnya. Berbeda dengan pigura sebelumnya, pigura yang ada di hadapannya kali ini menampilkan foto Jihan yang mengenakan jubah putih seperti jubah dokter.
Gio masih terus mengamati setiap foto yang ada di sana, hingga tak menyadari kehadiran Jihan yang telah mengacungkan sesuatu ke arahnya.
"Akhirnya aku bisa mati dengan tenang," ucap Jihan.
Gio berbalik. Ia terkesiap melihat kekasihnya telah mengacungkan pisau ke arahnya dengan tatapan tajam penuh kebencian.
"Jihan!"
"Ratusan tahun aku mencarimu, bertahun-tahun aku menahan diri untuk mencari saat yang tepat. Akhirnya aku bisa melakukannya sekarang."
"Apa maksudmu?" Bukannya beringsut ketakutan, Gio justru berusaha mendekat dengan langkah pelan.
Di tengah situasi yang mencekam itu, terdengar seseorang menerobos masuk. Jihan berbalik dan sempat berontak. Berkali-kali ujung pisau yang dipegang Jihan hampir mengenai Nino. Gio berniat mendekat, namun Nino melarangnya sambil terus berusaha menghindari serangan Jihan. Gadis itu terus berusaha menyerang seperti tengah kesetanan.
Ada saat ketika Nino lengah, ujung pisau Jihan langsung mengenai lengannya. Jihan terdiam sesaat sambil memandangi darah yang mengalir dari lengan Nino. Tanpa sadar ia menjatuhkan pisau di tangannya, hingga menimbulkan dentingan keras ketika beradu dengan lantai. Momen itu dijadikan kesempatan oleh Nino untuk membekap mulut Jihan. Hanya dalam waktu singkat, Jihan pun jatuh ke lengan Nino. Gadis itu tak sadarkan diri.
"Apa yang kau lakukan?"
"Tentu saja menyelamatkanmu. Apa lagi?"
Nino langsung mengisyaratkan agar Gio membantunya membopong Jihan ke kamarnya.
Meski banyak pertanyaan yang muncul di kepala Gio, ia memutuskan untuk menahan diri. Diangkatnya tubuh Jihan dalam dekapannya, kemudian ia berjalan ke ruangan yang ditunjuk Nino. Gio meletakkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur dengan hati-hati.
Nino duduk di ujung tempat tidur sambil terus memandangi Jihan. Gio tampak tidak suka dengan tatapan Nino yang dianggapnya terlalu berlebihan, namun ia mencoba mengabaikan rasa cemburunya.
"Aku tidak mengerti."
"Tapi aku tidak akan menjelaskannya. Karena ini berkaitan dengan topik yang paling kau benci."
Gio mengernyit. "Reinkarnasi?" Kemudian ia mendesak Nino begitu pemuda itu mengangguk.
"Aku tidak ingin buang-buang waktu."
"Lalu apa yang selama ini kau lakukan? Hampir tiap hari kau selalu berbicara tentang reinkarnasi, tapi kenapa sekarang kau malah diam."
Nino menatapnya ragu, kemudian memandang Jihan yang masih belum sadarkan diri, sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Kira-kira aku harus mulai dari mana, ya?" gumamnya.
"Tadi aku melihat lukisan yang mirip Jihan, tapi memakai gaun kuno."
"Ah, oke. Baiklah. Aku mulai dari situ. Dan ya, itu memang Jihan."
"Tapi kenapa..."
"Dengarkan aku dulu!" potong Nino tak sabar. "Aku akan mencoba menceritakannya dari awal." Nino berdeham, kemudian mulai melanjutkan kisahnya. "Jadi, berabad-abad yang lalu, keluarga Jihan adalah keluarga bangsawan. Dulu namanya adalah Joanna. Aku tahu kau pasti bertanya-tanya kenapa tadi Jihan berusaha menyerangmu. Itu karena dulu keluargamu dan keluarga Jihan adalah musuh. Kalian bersaing hampir dalam semua bidang."
"Tunggu! Aku tadi juga melihat lukisan seseorang yang mirip denganmu."
"Ya karena itu memang aku. Kau ingat kan aku pernah mengatakan kalau aku pernah hidup sebagai pelayan keluarga bangsawan? Ya itu adalah keluarga Jihan."
"Ah, baiklah. Jadi, kenapa Jihan tadi menyerangku?"
Nino kembali menghela napas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya. Ia menjelaskan tentang bagaimana keluarga Gio, yang saat itu namanya adalah George, berhasil menjatuhkan keluarga Joanna, bahkan sampai membuat keluarga gadis itu jatuh miskin. Dendam Joanna dimulai ketika satu per satu keluarganya diculik, bahkan adik laki-laki satu-satunya harus kehilangan nyawa di tangan keluarga George. Keluarga George terkenal sadis. Mereka tidak akan segan menyiksa wanita maupun anak-anak.
"Wanita yang kau ceritakan padaku itu..."
"Aku melihatnya di salah satu lukisan di ruang tamu." Gio merasa satu per satu teka-teki mimpinya mulai terpecahkan.
"Ya, itu ibunya Joanna. Kau masih ingat mimpimu kan? Kau ada gambaran kan betapa kejamnya George memperlakukan keluarga Joanna?" Gio diam. Meski tak ingat pernah melakukan hal jahat semacam itu, namun anehnya ada rasa bersalah dalam dirinya. "Joanna bersumpah dia akan membunuh George untuk membalas perlakuan kejamnya pada keluarga Joanna, dan aku sebagai pelayan keluarga pun bersedia untuk membantu."
"Apa kalian berhasil?" Tiba-tiba Gio terlihat bersemangat mendengar setiap kata yang Nino ucapkan.
"Jihan tidak akan menyerangmu kalau rencana kami berhasil. George berhasil membunuh Joanna dan Nathan."
"Nathan?"
"Aku." Gio mengisyaratkan agar Nino kembali melanjutkan ceritanya. "Di saat terakhir hidupnya, Joanna bersumpah akan membunuh George di kehidupan selanjutnya. Berkali-kali kami mendapatkan kehidupan baru, namun selalu gagal untuk bertemu dengan reinkarnasi George."
"Bukankah rupa setelah reinkarnasi tidak harus selalu sama?" tanya Gio yang sesekali menoleh pada Jihan yang masih tak sadarkan diri.
"Mungkin sebagian orang seperti itu, tapi Jihan meyakini sebaliknya. Karena selama ini kami selalu terlahir kembali dengan wajah yang sama."
"Kau bilang seseorang tidak akan ingat kehidupan sebelumnya jika urusannya sudah selesai kan?"
"Atau menganggapnya sudah selesai. Jika memang tujuan terakhir George adalah menghabisi semua anggota keluarga Joanna, berarti urusannya benar-benar selesai."
Nino kembali melanjutkan ceritanya. Ia berkali-kali mengeluh karena harus selalu mencari keberadaan Jihan untuk membantunya mencari musuhnya itu.
"Di kehidupan yang sekarang aku kaget dia bisa bertemu denganmu lebih dulu sebelum bertemu denganku."
"Kira-kira, apakah dia benar-benar akan membunuhku?" Gio meraih tangan Jihan dan menggenggamnya. Tak pernah terpikirkan sebelumnya dirinya akan mati di tangan gadis yang sangat dicintainya itu.
"Bisa tidak, bisa ya." Gio kembali menoleh, memandang Nino dengan tatapan pasrah. "Dia sangat mencintaimu. Jika perasaan cintanya yang menang, dia tidak akan melakukannya. Tapi jika keinginan balas dendamnya lebih besar, kau harus mempersiapkan diri."
***
Nino melangkah masuk ke kamar Jihan setelah berhasil memaksa Gio pulang. Ketika sayup-sayup ia mendengar suara isak tangis, bergegaslah ia menyalakan lampu kamar dan menghampiri gadis itu. Benar saja, meski tak menghadap ke arahnya, ia tahu Jihan benar-benar menangis, masih dalam keadaan berbaring di tempat tidurnya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Jihan dengan suara bergetar.
"Bisakah kita akhiri ini tanpa melukai siapapun?" Nino berusaha berbicara dengan nada selembut mungkin.
Mendengar hal itu, Jihan bangkit duduk dan menatap Nino dengan tajam.
"Tanpa melukai siapapun, katamu? Lalu bagaimana dengan luka yang kudapatkan berabad-abad lalu? Bagaimana dengan rasa sakit yang keluargaku dapatkan atas ulahnya?" tangan Jihan mengepal, tubuhnya bergetar berusaha menahan agar amarahnya tidak semakin liar.
"Aku hanya tidak ingin kau melukai orang yang kau cintai. Aku tahu kau mencintai Gio." Jihan terdiam. Ucapan Nino tak sepenuhnya salah. Ia memang mencintai Gio, namun keinginan untuk membalaskan dendamnya pun sama besarnya.
"Ibuku datang ke mimpiku untuk pertama kalinya," ungkapnya lirih. "Katanya, dia tidak ingin anaknya menjadi pembunuh."
"Dan kau masih ingin membantahnya?"
"Ini semua juga demi keluargaku!" pekiknya.
"Apa keluargamu akan kembali begitu kau membunuh Gio? Apa mereka menuntut untuk balas dendam? Selama ini kita tidak pernah bertemu keluargamu kan? Mungkin saja mereka memang sudah bisa menerima takdir," balas Nino tak sabar. "Bayangkan betapa sedihnya ibumu saat kau tak mau mendengar nasihatnya. Ibumu tidak rela kau menjadi pembunuh kan?"
Jihan hanya bergeming. Hatinya terasa berat. Nada kesal Nino terasa melayang di udara, mengisi ruang dengan ketidaknyamanan. Setiap kata yang terlontar terasa seperti panah, menyasar langsung ke perasaannya yang tak karuan.
"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Lagipula kau terlalu egois untuk mau mendegar nasihat orang lain," pungkas Nino, yang kemudian melangkah keluar meninggalkan Jihan yang masih bergeming di atas tempat tidurnya.
***
Matahari baru saja muncul ketika Gio selesai menggulung kedua lengan kemeja hitamnya. Tak biasanya ia bangun sepagi ini, namun hari ini ia terbangun oleh gelisah yang mengganggu pikirannya.
Dengan langkah pasti, ia menyusuri jalan menuju apartemen Jihan, bertekad untuk menyelesaikan apa yang telah mengganggu tidurnya. Di depan pintu elevator, ia bisa mendengar dengan jelas suara detak jantungnya. Ia telah mempersiapkan diri, harus keluar dari apartemen ini dalam keadaan hidup atau mati.
Alih-alih menekan bel, Gio terpaku di depan unit apartemen Jihan. Pasangan paruh baya baru saja keluar dari sana. Gio sempat mengira itu adalah kakek-nenek Jihan. Ia menyapa mereka dan menanyakan keberadaan Jihan namun keduanya tampak kebingungan.
Gio kembali melangkah keluar dengan perasaan campur aduk. Belum sepenuhnya ia mencerna kisah reinkarnasi Jihan, sekarang keanehan yang baru tiba-tiba muncul.
Denting ponsel berbunyi ketika ia baru saja duduk di kursi taman yang tak jauh dari apartemen itu. Dengan hati-hati, dibacanya pesan yang rupanya dari Jihan itu. Tubuhnya mendadak terkulai lemas. Pasalnya pesan itu adalah pesan perpisahan yang tak pernah ia harapkan.
Keanehan lain muncul ketika Gio mencoba menghubungi nomor Jihan. Ada pemberitahuan yang menyatakan nomor itu tidak terdaftar. Padahal Jihan baru saja mengirim pesan padanya. Berbeda dengan nomor Nino. Gio tidak menemukan nomor sahabatnya itu di ponselnya, seolah keduanya tak pernah saling menghubungi satu sama lain.
"Apa-apaan ini," gumamnya penuh sesal. Banyak yang ia sesalkan, salah satunya adalah kenapa ia harus mengalah dan menuruti Nino semalam. Harusnya ia tidak pulang dan memastikan Jihan baik-baik saja.
Tak ingin berlarut-larut dalam penyesalan itu, kini Gio hanya bisa pasrah.
"Baiklah. Mari kita bertemu di kehidupan selanjutnya, dan kuharap kita bisa bersama lagi sebagai sepasang kekasih di kehidupan itu," tekadnya, persis seperti kalimat terakhir dari pesan yang Jihan sampaikan.
***
Aku minta maaf karena pernah berniat melakukan hal bodoh padamu. Aku terlalu emosi karena dendam yang menumpuk selama ini. Ibuku tidak ingin putrinya melakukan kejahatan, dan aku pun tak ingin melakukannya karena aku sadar aku mencintaimu. Aku minta maaf jika tiba-tiba harus meninggalkanmu seperti ini. Kuharap kita bisa kembali menjadi sepasang kekasih di kehidupan selanjutnya. Aku mencintaimu.
~Jihan~