Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Lovely Family
0
Suka
1,931
Dibaca

“Keindahan Dalam Kegelapan”

Chocho Yucho

“Bu, lagi buat apa?” tanyaku penasaran yang melihat ibu sedari tadi berdiri di dapur sibuk bergelut dengan tepung.

Ibu menoleh ke arahku, “buat pisang goreng. Mumpung panen pisang dari kebun. Tadi sore ayahmu yang memetiknya,” ucap ibu sembari tersenyum.

Keluargaku keluarga sederhana namun berkecukupan. Setidaknya, kami memiliki rumah tahu milik sendiri, di tanah sendiri. Ku sebut rumah tahu karena rumah kami kotak seperti tahu dan di cat warna putih. Tidak ada atap genteng, karena atap rumah kami semen yang di cor. Rencananya dulu, ayah dan ibu berencana membuat rumah bertingkat. Namun, karena suatu hal tidak jadi diteruskan. Hingga akhirnya jadilah rumahku yang sekarang ini, rumah tahu.

Setelah beberapa lama aku memperhatikan ibu, aku baru sadar kalau ayah tidak kelihatan batang hidungnya. Biasanya ayah akan datang menghampiri ibu kalau ibu sedang masak. Tapi, sekarang ayah nggak kelihatan.

“Bu, Ayah mana?” tanyaku sembari menaikkan alis kiriku.

Biasanya ayah bakal muter-muter disekitar ibu kalau ibu lagi masak. Bukan untuk bantuin, tapi nungguin masakan ibu selesai, lalu dicomot satu per satu.

“Di atas. Mungkin sedang menggelar tikar,” jawab ibu singkat.

“Nih, bawa pisang gorengnya ke atas. Jangan dimakan dulu masih panas,” ibu menyodorkan pisang goreng berbentuk kipas yang tersusun rapi di nampan bundar berdiameter tiga puluh sentimeter.

“Siap, Laksanakan!” ucapku bergaya ala abdi negara yang mendapat komando.

Satu per satu anak tangga ku naiki hingga anak tangga ke lima aku baru tersadar bahwa sekarang sudah malam. Segera ku periksa jam di HP ku, benar saja, ternyata sekarang pukul sepuluh lewat lima menit. Ku turuni anak tangga dengan cepat.

"Tunggu, yang berada di bawah ibuku beneran kan? Bukan hantu kan?" Otak ku mulai berpikir liar karena ketakutan.

Tanpa babibu aku langsung berlari sembari berteriak berharap yang ada di bawah adalah ibu ku yang asli.

“Bu- Ibu! Bu! IBU!” teriakku.

“HUSH! Jangan teriak-teriak sudah malam! Ganggu tetangga istirahat saja,” omel ibu.

Hah, akhirnya aku bisa bernafas lega. Aku lega karena hatiku sudah yakin bahwa ibu yang di dapur adalah ibuku yang sesungguhnya. Aku bisa yakin karena omelan ibu yang begitu fantastik dan merdu di dengar di telinga tidak akan bisa di tiru siapapun, bahkan hantu sekalipun.

“Kenapa teriak-teriak?” tanya ibu kesal.

Ku garuk kepalaku yang tak gatal, “hehehe... aku takut. Di atas gelap,” jawabku cengegesan.

Sebenarnya aku memang sedikit tidak berani untuk melewati lorong tangga yang gelap. Meskipun diatas ada ayah dan disana terang karena lampu teras rumah dan lampu jalanan.

Ibu menghela nafas dalam, “anak siapa... ini? Kok bisa punya anak penakut.” Gerutu ibu.

“Yaudah, tunggu ibu buat teh dulu. Kita naik bersama.” ucap ibu menyeduh teh hitam cap 999 teh favorit keluarga.

Beberapa menit kemudian ibu mengajakku naik ke atas.

“Bentar, ibu lupa matiin lampu rumah.” Ibu bergegas turun setelah meletakkan teh di dekat ayah berbaring santai di atas tikar.

Aku duduk menikmati pisang goreng dan teh hangat yang dibuat ibu bersama ayah.

“Kenapa tadi teriak-teriak? Suara kamu tadi kedengeran kencang sampai sini loh?” tanya ayah dengan suara rendahnya.

Gara-gara ketakutan jadi kena omel ibu dan kena tegur ayah. Hadeh... nasib ya nasib.

“Maaf, aku takut naik sendirian soalnya di atas gelap nggak ada lampu,” jawabku tertunduk lesu.

“Lihatlah, di sekeliling terangkan?” tanya ayah sembari tersenyum hangat.

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Meskipun, sebenarnya aku ingin mengelak karena lorong tangga gelap.

“Sebentar lagi akan ayah tunjukkan pemandangan yang indah. Satu... Dua... Tiga!”.

Ketika ayah selesai menghitung, semua lampu rumah padam dan suasana semakin gelap. Aku spontan menutup mata karena ketakutan.

Kenapa ibu memadamkan lampu di seluruh rumah sih. Kan jadi makin gelap,” gerutuku dalam hati.

Tiba-tiba benda hangat mendarat di pipi kananku, karena terkejut aku spontan membuka mata. Ku lihat ayah terkekeh melihat reaksiku.

“Ayah!” dengusku kesal.

“Hehehe... kenapa? Takut? Kan ada ayah di sini. Nanti ibumu juga muncul,” jawab ayah enteng yang masih menahan tawanya.

Aku yang merasa kesal karena diusili saat aku ketakutan, merajuk memalingkan muka memunggungi ayah.

Sigapnya tangan ayah meraih dahiku dan menjatuhkanku yang terduduk hingga terbaring di atas tikar. Sempat kesal dan ingin ku pukul ayah tapi ku urungkan niatku karena mataku terpana melihat hamparan langit penuh bintang gemerlap.

“UWAH-,” Mataku terfokus pada keindahan langit malam.

“Bagaimana? Baguskan?” tanya ayah sembari melempar senyum lembut seorang bapak.

“Uhm!” Ku anggukan kepala dengan antusias. Baru pertama kali ini aku menyadari bahwa malam begitu indah dan menakjubkan.

Bintang bersinar memenuhi langit menjadi pesona malam. Adikarya yang menawan dan bercahaya saat bulan terlihat langsing. Eksistensinya yang tak bisa digambarkan hanya dengan sebatas kata membuat estetika fatamorgana yang menyilaukan mata.

“Tidak selamanya gelap itu menakutkan. Berkat gelap kamu bisa melihat keindahan bintang dan pendar cahaya bulan. Meski udara malam itu dingin, berkat dinginnya malam kita sekeluarga bisa berkumpul berbagi kehangatan menikmati malam.” Ucap ayah, suaranya menenangkan.

“Ketika suatu hari nanti kamu tumbuh dewasa, merasa bahwa duniamu begitu gelap karena berbagai hal, ingatlah hari ini. Tak perlu takut, ada ayah dan ibu di sini yang akan bersamamu melalui malam, menikmati keindahan seperti malam ini hingga esok mentari kembali bersinar.” Ucap ayah setelah meneguk segelas teh hangat.

“Benar apa yang dikatakan ayahmu. Habis gelap terbitlah terang. Jadi sesulit apapun hidup pasti akan tiba kebahagiaan setelahnya.” Tambah ibu yang ikut duduk menikmati secangkir teh hangat.

Malam itu kami bertiga begadang bergantian cerita tentang banyak hal sampai matahari mengintip dari ufuk timur. Bercerita tentang masalalu ayah dan ibu yang menyenangkan, bercerita tentang petuah dan nasehat tentang ketuhanan, bercerita tentang harapan dan omong kosong tentang masa depan. Seluruh malam habis tak terasa dengan berbagai cerita yang diselimuti dengan kehangatan dan kenyamanan bersama keluarga. Langit gelap perlahan berubah warna dari biru dongker menjadi keunguan dan perlahan warna orange menghiasi langit di sebelah timur.

 Ayah dan ibu ikut berdiri di sampingku dan menepuk pundakku, “ayo berdoa,” ucap ayah dan ibu bersamaan.

“Semoga hari-hari esok akan lebih indah dan masih diberi kesempatan untuk melihat, mengagumi dan bersyukur atas keindahan yang Alloh ciptakan,” ucap ayah khusyuk dalam berdoa.

Semoga seterusnya aku bisa melihat keindahan dalam kegelapan.” ucapku dalam hati.

"Semoga hari ini aku bisa makan ayam yang enak dan jalan-jalan ke tempat wisata bermain." Ku lirik nakal ayah dan ibuku.

Kami pun tertawa menertawakan tingkah konyolku.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Lovely Family
choiron nikmah
Cerpen
Revived.
Amalia Nurrahmah
Cerpen
Mati Itu Pasti; Lapar Itu Setiap Hari
Andriyana
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Cerpen
Gadis & Rongsokan
Raka Santigo
Cerpen
Kegaduhan Apa Lagi?
arunien
Cerpen
Jenazah
Rita Puspitasari
Cerpen
Seperti mati, hidup juga punya banyak alasan
tseasalt
Cerpen
Bronze
Tipu-Tipu Media Sosial
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Brownies Dalu
Hary Silvia
Cerpen
Bronze
Peneliti Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Bronze
Tukang Tipu
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Koridor-koridor yang Diisi Nyanyian Murai
Jie Jian
Cerpen
Bronze
Mimpi yang Dikubur Hidup-Hidup
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Durakim
Nada Niken Anggraeni
Rekomendasi
Cerpen
Lovely Family
choiron nikmah
Novel
Bronze
DISFORIA NASIB
choiron nikmah
Novel
Surtini : Gadis Anyelir
choiron nikmah
Novel
Gelembung
choiron nikmah