Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di satu sekolah kala baru saja memulai semester awal di tahun ketiga sebagai anak SMA, mendadak kedatangan murid baru. Pemuda berparas terbilang mudah sekali untuk memikat hati kaum hawa, sayangnya minus dengan sifat. Dalam sekejap, semua orang di sana tahu pemuda yang sekarang menjadi murid baru. Tidak suka diganggu, meskipun tidak mengatakan sejak awal. Dari gelagat, secara tidak sadar mengatakan pada semua orang yang ada di sana.
Sepertinya, tidak dengan satu siswa perempuan bernama Asya. Sejak tadi, melamun tidak jelas ke arah luar jendela kelasnya. Mendadak ada murid baru, perhatiannya langsung teralihkan ke depan. Asya mulai mengamati sejenak, hingga merasakan sesuatu hal yang sudah lama dirindukan. Sayangnya, semua itu bukan kebenaran asli. Karena yang di hadapannya ini, adalah sosok amat berbeda dengan pribadi yang persis sekali.
Asya hendak kembali ke objek semula, terusik sejenak dengan perkenalan singkat yang dilakukan oleh siswa baru itu.
Alfan kah?
Asya menggeleng-gelengkan kepala, sesekali menepuk pipinya. Tersentak, kala wali kelas memanggilnya. Baru sadar, kalau kelakuannya ini membuat semua yang ada di kelas heran. Termasuk Alfan si siswa baru.
"Ada masalah?"
"Nggak." Asya menghela napas sejenak, mencoba bersikap biasa. Pasalnya, saat guru bertanya. Detik itu juga, Alfan melewati bangku yang didudukinya, hingga sampai di bangku kosong tepat di belakang.
Ada apa denganku? Kenapa kembali terjadi, hal seperti ini?
Asya benar-benar tidak percaya apa yang baru saja dirasakannya, bisa dibilang sudah lama tidak pernah terjadi. Karena sosoknya belum ada tanda ataupun kabar untuk kembali padanya, memang saat itu Asya sempat memastikan akan kembali atau tidak sama sekali. Sayangnya, Asya tidak mendapat jawaban apapun. Hanya melihat senyuman tipis, yang ditujukan padanya sebagai wujud perpisahan.
Pelajaran kini tengah berlangsung, tetapi perasaan yang sudah lama hampir tidak pernah mengusik Asya. Benar-benar membuat Asya tidak fokus sama sekali dengan materi yang dijelaskan oleh guru.
Beruntung, tidak disebut untuk menjawab soal yang sengaja dituliskan di papan guna mencari tahu apa semua siswa masih memahami. Kalau tidak, guru tadi akan mengulang sedikit sampai semua siswa di kelas benar-benar paham.
Asya semakin bernapas lega, kala mendengar bel berbunyi—pertanda istirahat telah tiba. Namun, Asya tidak ada niatan untuk pergi ke kantin. Lebih memilih untuk tetap di kelas, tepatnya sih menenangkan pikiran sekaligus perasaan yang mendadak mengusiknya dan jujur sulit dimengerti Asya.
Lambat laun, Asya paham kalau yang dirasakannya ini efek rasa kesepian tanpa ada sosoknya. Dulu sebelum pergi, Asya selalu bersamanya. Benar-benar membuat Asya merasakan nyaman hingga berhasil menjalin hubungan.
Entah ini dianggap sebagai putus, atau hanya break?
Atau mungkin, sebagai hubungan jarak jauh? Anehnya, Asya benar-benar tidak mendapatkan kabarnya. Atau dihubungi, sebagai wujud melepas rindu yang cukup lama tidak pernah bersama lagi dengannya.
Terkadang, Asya iri dengan pasangan remaja di sekolah. Ya, seringkali melihatnya kala Asya melintas di setiap koridor dan lorong sekolah. Asya dalam sekejap menganggap, apa yang terjadi dan dirasakannya begitu miris.
"Tadi itu, ada masalah denganku 'kan?"
Asya tersentak, kemudian menoleh patah-patah. Detik itu juga merutuki kebodohannya sendiri, karena tidak menyadari kalau siswa baru—tidak lain Alfan—berada di kelas. Asya benar-benar mengira, sendirian. Karena setiap harinya, memang selalu sendirian. Ada masanya berbaur dengan teman sekelas atau dari kelas lain, tetapi itu tergantung mood saja. Selebihnya, tetap berada di kelas.
"Maksudnya?" Efek tidak percaya, Alfan akan bertanya hal tadi. Membuat Asya kikuk dibuatnya.
Alfan mendengkus pelan. "Tatapan matamu, seakan menumpahkan kekesalan terhadapku."
Asya terpaku, karena Alfan menganggap tatapan yang ditujukannya seperti ingin menumpahkan kekesalan. Setahunya, karena sudah lama tidak merasakan hal ini. Asya menganggap, semua ini hanya wujud kerinduan akan sosoknya saja. Bukan bermaksud menumpahkan kekesalan yang teramat besar—terus dirasakannya—semenjak sosoknya pergi.
"Maaf kalau membuatmu terganggu." Asya menghela napas sejenak. "Tadi itu, aku tanpa sadar menatapmu." Asya memutuskan pergi, tepatnya menemui teman dari kelas lain. Dari sekian banyak teman akrab di sekolah, Asya lebih sering bertemu dengan satu siwa perempuan terkenal tomboy—berenergi banyak. Habisnya, seakan tidak lelah berbaur dengan siswa laki-laki untuk ikut tanding basket ataupun sepak bola.
Asya menangkap siluet temannya itu, tengah duduk di bangku panjang pinggir lapangan sembari meminum habis air meneral dalam botol. Sepertinya datang di waktu yang tepat, karena temannya ini telah selesai bertanding dengan siswa laki-laki dan bisa dikatakan selalu saja menarik perhatian kaum hawa lain.
Terbukti, Asya terusik dengan teriakan siswa perempuan yang duduk di seberang. Terus memanggil, sesekali mencari perhatian dengan siswa laki-laki yang sudah memulai lagi pertandingan dan kali ini basket. Setelah tadi sepak bola.
"Kenapa? Tumben keluar?" Rasha melirik heran, tidak biasanya Asya mendatanginya. Habisnya, setiap kali diajak ke kantin atau apapun. Asya menolak dengan alasan malas, katanya lebih enak sendirian di kelas. Seketika Rasha menganggap, Asya ini plinplan.
"Ingin saja." Asya membalas cepat, tetapi tahu kalau jawabannya ini tidak berhasil membuat Rasha percaya. "Di kelas ada orang lain, makanya aku keluar."
"Hoo gitu." Rasha meregangkan otot dan meluruskan kakinya. "Tetap saja, tumben."
Asya mencebik kesal.
Rasha melirik serius. "Kudengar, di kelasmu ada murid baru ya?" Agak heran, karena di awal memasuki tahun akhir sekolah kedatangan murid baru, pindahan lagi.
"Ya, siswa barunya cowok. Kalau diperhatikan, tipe tidak suka diganggu dan namanya Alfan." Asya mulai menjelaskan. "Sebenarnya, tadi itu agak sebal karena Alfan mengatakan tatapanku seperti ingin menumpahkan kekesalan terhadapnya!" Dengan nada mencibir, Asya terus membeberkan apa yang terjadi tadi. "Padahal baru menjadi siswa baru, mendadak berkata begitu terhadapku!"
Walau sebenarnya, melihat kehadirannya. Ehm, tepatnya sih pribadinya itu membuat kerinduanku terbalaskan. Meskipun, melalui orang lain.
Asya menghela napas. "Intinya begitu."
Rasha berdeham, bahkan objek fokusnya saat ini pada siswa laki-laki yang masih bertanding basket. Sebenarnya, setelah mendengar penjelasan Asya tadi. Entah kenapa, ada sesuatu yang menggelitiknya. Tepatnya, saat Asya menyebut nama Alfan. mengingatkannya, pada teman lama yang mendadak pindah karena pekerjaan orang tuanya dimutasi.
Bisa dikatakan, Rasha mengalami hal sama seperti yang dirasakan Asya. Namun, berbeda status. Meski begitu, bukan berarti Rasha tidak merindukan atau hanya menganggapnya teman saja. Mungkin, tanpa sadar memiliki rasa terhadap temannya itu dan status teman menjadi tembok penghalang untuk mengatakannya dengan jujur.
Masa sih? Orang yang sama?
Rasha masih tidak percaya apa yang didengarnya, setelahnya beranjak untuk menuju ruang ganti. Karena sebentar lagi, memasuki pelajaran terakhir. Untung saja, tadi sudah membeli camilan dulu, sebelum bertanding dengan siswa laki-laki.
Asya sendiri memilih kembali ke kelas, berharap Alfan tidak ada di sana. Namun, mengingat perangainya. Hanya bisa pasrah, kalau Alfan benar-benar berada di kelas. Ternyata, tidak juga. Karena Asya baru sadar, kalau ada yang berjalan di belakang dan masuk ke kelas yang sama.
Alfan habis berkeliling di sekolah barunya, meskipun sadar menjadi siswa pindahan terkesan dadakan. Saat berkeliaran ke sepanjang penjuru gedung sekolah, hingga melewati lapangan matanya menangkap siluet seseorang yang membuatnya rada kesal di hari pertama menjadi siswa dan juga, siluet orang yang merasa dikenalnya sudah lama. Tetapi, mengingat dirinya mudah sekali melupakan orang yang menurutnya pengganggu. Jadi, merasa tidak yakin.
Alfan mendelik sebal. "Apa lagi? Atau kau mau mengaku, kalau tadi yang kukatakan kebenaran?"
Asya membeku. "Mungkin, karena kau muncul membuatku merasakan hal yang selama ini kuharapkan semenjak kepergiannya."
Alfan enggan merespon apapun, tetapi agak tergelitik saat Asya jujur dengannya. Yang notabene baru mengenal. "Mirip denganku kah?" Perkataannya, berhasil menghentikan langkah kaki Asya yang ingin pergi ke tempat duduknya.
"Ya, tepatnya sih perangaimu mirip sekali dengannya." Asya menjawab dengan nada amat pelan, tetapi yakin masih bisa didengar amat jelas oleh Alfan.
***
Semenjak, kedatangan Alfan sebagai murid baru. Membuat Asya dilanda kebimbangan teramat besar. Dulu sebelum kepergiannya, Asya mencoba meyakinkan hatinya untuk tidak berpindah ke lain hati. Sayangnya, semua itu lenyap.
Meskipun, Asya sudah mencoba meyakinkan diri lagi. Namun, tetap saja tidak bisa dan semakin membuatnya bimbang. Terlebih lagi, baru sadar beberapa minggu ini selalu mendapatkan tugas kelompok dan itu bersama Alfan.
Wajar bukan?
Perangai Alfan mirip sekali dengan sosok yang sangat dirindukannya, terus saja bersama dalam waktu yang begitu lama. Meski terjadi, karena dalam kondisi untuk mengerjakan tugas sekolah.
Asya juga tidak bisa membohongi diri, kehadiran Alfan membuatnya mendapatkan kembali apa yang selama ini seperti hilang dan membuat ada satu tempat kosong di hatinya. Ditambah lagi, semua yang diharapkan Asya agar bisa mendengar kabar. Sama sekali belum dapatkannya.
Tanpa sadar melangkahkan kakinya mengekor Alfan, yang kala itu siluetnya tertangkap tengah berjalan menuju perpustakaan. Asya benar-benar bingung dengan yang dilakukannya, ingin menghentikan seakan tubuhnya tidak merespon perintahnya untuk berbalik—menjauhi Alfan.
Hatinya juga tidak sesuai dengan yang dipikirkan Asya untuk menjauh dari Alfan, karena sadar yang dilakukannya ini hanyalah wujud pelampiasan akan rindu teramat besar akan sosoknya yang menghilang dari sisinya.
"Kau bertingkah lagi, seperti di awal aku menjadi siswa baru. Meski sedikit berbeda." Alfan mendelik kesal dengan kelakuan Asya.
Asya mematung.
Alfan kembali melanjutkan pencarian buku sejarah, mengabaikan keberadaan Asya yang mendadak mendekatinya. Bahkan, mulai mengekor lagi. "Ada sesuatu kah?"
Asya tidak menjawab, lancang sekali menghamburkan diri pada Alfan. Bahkan, memeluknya amat erat. Batas kebimbangan yang dirasakan Asya, sekaligus pertahanan untuk tidak melampiaskan kerinduannya pada Alfan. Benar-benar gagal.
Alfan sedikit terkejut dengan kelakuan Asya yang begitu lancang padanya, mengingat kalau Asya selama ini memiliki masalah di hati. Efek merindukan seseorang yang katanya, pribadi dari orang yang dirindukannya itu mirip sekali dengannya.
Jujur, sejak Alfan selalu saja menjadi teman kerja kelompok dengan Asya. Tahu, kalau keberadaannya hanya dijadikan pelampiasan kerinduan Asya. Karena tidak ayal, perlakuan Asya terkesan berlebihan, dan seakan lupa kalau dirinya bukan orang yang dirindukannya.
"Kau bisa lancang juga ya? Kupikir, kau salah satu siswa kalem di sekolah tidak akan berbuat begini. Nyatanya bisa ya?"
Asya sedari tadi memeluk erat dan membenamkan wajahnya di dada bidang Alfan, mulai mendongak. Namun, karena kerinduan teramat besar menguasainya, membuat Asya tidak peduli dengan kelakuannya ini begitu lancang.
Alfan menghela napas pasrah, melihat Asya tidak merespon ucapannya. Bahkan, kembali membenamkan wajahnya. Satu hal yang tidak disadari Alfan, satu tangannya refleks terulur untuk mengelus lembut kepala Asya.
Tangannya yang lain digunakan, untuk mengambil buku yang berhasil ditemukan. Manik hitamnya, fokus pada deskripsi singkat di belakang buku. Setelahnya, beralih ke arah Asya lagi dan menepuk kepalanya.
Asya mendongak lagi, sembari mengernyitkan dahi.
"Lepas!" Alfan kembali mendelik kesal.
"Kelakuanmu ini, membuatku sulit bergerak."
Detik itu juga, Asya melepas pelukannya. Tetap kembali mengekor Alfan, yang kini berjalan menuju satu meja letaknya di pojok ruangan. Asya melihat Alfan mulai sibuk dengan buku sejarah yang berhasil didapatkannya.
Alfan melirik sekilas, habisnya Asya kini duduk di sebelahnya dan terus-menerus menatap ke arahnya. Lambat laun, kembali tidak mempedulikan. Tetapi, mendadak ada rasa kasihan yap hanya kasihan. Bukan berarti Alfan, dalam sekejap memiliki rasa terhadap Asya. Hanya karena terus diganggu.
"Kau rindu sekali ya?"
Asya mengangguk cepat.
"Apa kau sempat tidak percaya lagi kalau yang kau rindukan selama ini, benar-benar tidak akan kembali?"
Asya kembali terpaku. "Hampir, aku selalu mencoba meyakinkan diri dia benar-benar akan kembali. Tapi tetap saja, ada masanya aku hampir ingin melupakan dan mencari yang lain."
Alfan benar-benar terusik, dengan kalimat terakhir yang diucapkan Asya. Yakin sekali, kalau itu terjadi. Asya akan beralih perasaan terhadapnya, mungkin ini akan menjadi sepihak. Karena hanya Asya saja, yang memiliki rasa sedangkan dirinya tidak.
"Itu artinya, kau tidak bisa menjaga hatimu untuknya."
Asya membenarkan ucapan Alfan. kalau dirinya amat jahat dan egois, hanya karena lelah terus bayangkan rasa rindu begitu besar dan ingin melupakan sekaligus melampiaskan semuanya pada lelaki lain.
"Kalau misalnya, kau mencari lelaki lain. Bersamaan orang yang kau rindukan muncul di hadapanmu, apa yang akan kau lakukan dan jelaskan? Atau kau memilih diam, dan bertingkah seakan takut menjelaskan dan pasti orang yang kau rindukan akan memahaminya?"
Asya tidak percaya apa yang didengarnya, penuturan Alfan benar-benar sama dengan yang ada dalam pikirannya.
"Apa kau sadar? Yang kau lakukan, hanya menjadikanku pelampiasan? Karena aku tau, kalau kau mencari lelaki lain. Pasti orang itu, aku 'kan?"
"Semua yang kau katakan benar, dan aku sejak awal sudah sadar telah menjadikanmu sebagai pelampiasan." Setelahnya, Asya pergi.
Kali ini, Asya ingin meyakinkan diri lagi. Tidak mau jatuh semakin dalam, terhadap perlakuan Alfan meskipun tahu dijadikan pelampiasan olehnya. Namun, masih saja menerima—tepatnya sih membiarkan dirinya bertingkah. Lambat laun, tingkahnya juga amat berlebihan.
Alfan hanya menatap kepergian Asya, ada rasa lega karena berhasil menghentikan kelakuan Asya yang terus saja menjadikannya pelampiasan. Buku yang tadi diambil dan berniat dibaca, kini dibiarkan tergeletak dan tangannya mulai mengusap kasar wajahnya.
"Aku tidak berlebihan atau terkesan mengatakan hal jahat padanya 'kan?" Alfan mendadak ribet sendiri, serba salah, dan takut perkataannya ini tanpa sadar melukai Asya. "Hah, kenapa aku harus terjebak dengan hal merepotkan seperti ini?"
Alfan kembali mengusap kasar wajahnya, mendadak penglihatannya menangkap siluet seseorang yang membuat Alfan merasa telah mengenal lama.
Siapa?
Alfan mendadak kesal, karena mudah sekali melupakan orang yang pernah dikenalnya—terlebih lagi mengganggu. Anehnya, mulai beranjak dan memutuskan duduk di dekat orang yang dimaksud. Dengan tujuan, memastikan secara langsung. Meskipun sadar, gelagatnya ini akan dikira aneh.
Yang didekatinya tersentak, Alfan tidak peduli. Karena dipikirannya saat ini, hanya ingin memastikan langsung.
"Apa?" Rasha benar-benar terkejut, saat Alfan mendekatinya. Jujur, ada rasa senang. Terlebih lagi, tidak menyangka kalau murid baru di sekolah memiliki nama 'Alfan' adalah orang yang sama.
Detik itu juga Rasha paham, Alfan itu tipe melupakan orang di sekitarnya apa lagi mengganggu. Mengingat, dulu sebelum Alfan pindah karena orang tuanya dimutasi. Dirinya selalu dianggap pengganggu oleh Alfan, terkadang suka diejek perempuan setengah lelaki atau apapun itu.
Anehnya, lambat laun membuat Rasha semakin dekat dengan Alfan. Meskipun, yang menyadari hal itu adalah dirinya saja. Sedangkan Alfan, jangan diharap. Terbukti sekarang, Alfan benar-benar melupakannya.
"Apa kita pernah mengenal?" Alfan langsung to the point.
"Ya." Rasha dengan sengaja mengiyakan.
Alfan mengerutkan kening. "Kenal sejak kapan?"
Rasha sebal. "Pikir aja sendiri!" Lama-lama muak, langsung pergi meninggalkan Alfan yang dilanda kebingungan setelah mendengar jawabannya.
Asya kebetulan terlihat berjalan sendirian di koridor, bersamaan berusaha meyakinkan dirinya kembali bahwa yang dirindukannya akan kembali. Meskipun, tidak tahu kapan akan terjadi. Namun, dalam sekejap lenyap karena melihat Rasha berjalan cepat dan mendahuluinya dengan raut wajah amat kesal.
"Kau kenapa?" Asya berhasil membuat langkah Rasha terhenti.
Rasha menghela napas sejenak, dan mencoba untuk bersikap biasa lagi. "Kau tau nggak sih? Dilupakan itu rasanya tidak enak. Apa lagi, melihat yang orang yang melupakanku beberapa minggu ini terlihat dekat dengan seseorang!"
Asya mulai memproses penuturan Rasha.
"Meskipun aku tau, kalau yang dilakukannya itu karena kasihan." Rasha kembali berbicara. "Walau begitu, sakit loh. Apa lagi selama ini aku menyukainya, dan memang dia itu nggak peka dan selalu menganggapku sebagai pengganggu. Hingga tidak sadar aku menyukainya." Rasha benar-benar curhat dadakan dengan Asya.
Sebenarnya, perkataan yang dilontarkan Rasha itu sengaja. Karena semua itu tertuju pada tingkah Asya pada Alfan yang notabenenya adalah lelaki yang selama ini disukainya. Rasha berharap Asya menyadarinya.
"Aku duluan ya! Maaf kalau jadi curhat dadakan!" teriak Rasha, sembari berlari menuju kelas.
Asya masih memikirkan ucapan Rasha, hingga menyadari sesuatu hal. Jujur, saat Rasha berkata begitu. Dirinya mendadak merasa ada sebuah kesalahan terbesar yang tanpa sadar dilakukannya.
"Kenapa baru sadar ya?"
Asya sejak awal tahu kalau hanya menjadikan Alfan pelampiasan, tetapi terlupakan kalau ada hati lain ikut tersakiti dengan kelakuannya. Sebenarnya, saat menceritakan tentang Alfan saat menjadi siswa baru di kelasnya. Melihat, raut wajah Rasha mendadak aneh.
Kenapa aku mengabaikan gelagatnya?
Asya benar-benar merasa bersalah teramat besar.
***
Di penghujung kegiatan sekolah, Asya melangkah gontai keluar dari kelas. Namun, terhenti karena melihat Alfan melewatinya. Detik itu juga, Asya mengingat soal Rasha. Tanpa pikir panjang berlari mengejar Alfan dan menghalangi jalannya.
"Apa lagi?" Alfan benar-benar kesal karena terus diganggu oleh Asya.
"Maaf, karena menjadikanmu pelampiasan." Asya mengatakannya sembari menunduk.
"Oh sudah semakin sadar ya? Baguslah." Alfan melangkah pergi. "Kelakuanmu itu sangat menggangguku!" gerutunya.
Asya mencebik kesal. "Aku kan sudah minta maaf!" pekiknya, tidak peduli kalau sekarang masih ada di sekolah dan dilihat banyak siswa yang berjalan di sekitarnya dengan tujuan yang sama. Yakni, pulang.
Asya kembali merutuki kebodohannya, karena melupakan soal Rasha. Asya kembali mengejar dan menghalangi jalan Alfan. "Aku ingin memastikan satu hal, jadi jangan sewot dulu!" Awalnya, memang Asya menganggap Alfan mirip dengan orang yang dirindukannya. Nyatanya, ada sebuah perbedaan yang perlahan terlihat jelas oleh Asya. Alfan itu, tipe mudah naik darah dan ketus pada perempuan.
Alfan mengernyit heran. "Mastiin apa?"
"Eh bukan mastiin deh!" Asya dengan muka tidak bersalah, berkata begitu. Benar saja, detik itu juga raut wajah Alfan semakin kesal dan muak dengan kelakuannya. "Kau parah, karena mudah sekali melupakan orang dan nggak peka!" Setelahnya, Asya kabur karena tidak mau menjadi korban amukan Alfan.
Namun, langkahnya terhenti saat tangannya dicekal meski tidak erat berhasil membuatnya sulit melepaskan. Pelakunya adalah Alfan.
"Aku tau, sekarang sudah mengingatnya."
Asya lega, karena Alfan tidak mengamuk. "Tapi, kau parah. Eh tapi, aku juga sih. Karena terus mendekatimu, membuat kesalahpahaman yang semakin rumit."
Alfan menghela napas sejenak. "Meski begitu, tetap saja aku yang salah." Raut wajah Alfan, kembali kesal. "Pergi sana!"
"Dih! Nggak usah ketus juga kali!" Asya mulai menggerutu kesal. "Kau kasar banget sama cewek!"
Alfan tidak peduli, tetapi sadar kalau kelakuannya selalu kasar bila dengan perempuan. Meskipun, ada masanya bisa menjadi lembut. Itu karena kasihan, seperti yang dilakukannya terhadap Asya.
"Ke mana dia?" Sebenarnya, sebelum Asya memastikan hal itu. Alfan sudah berencana untuk menemui Rasha.
Sepertinya keberuntungan berpihak pada Alfan, Rasha terlihat baru saja keluar dari kelas dan tepat melintas di hadapannya. Rasha menoleh, saat menyadari kehadiran Alfan di dekatnya.
"Apa!" Rasha sepertinya masih kesal, kekesalan teramat besar hanya pada Alfan saja. Sedangkan Asya, Rasha memaklumkan karena sejak awal tidak pernah menceritakannya.
"Kok sewot sih?"
"Kau sendiri juga suka sewot! Apa lagi kalau dengan perempuan, meski sudah diajak bicara baik-baik akhirnya jadi emosi!" Rasha muak dengan Alfan. "Mau ngapain hah?"
Alfan mendelik kesal. "Melihatmu begini, membuatku jadi malas meminta maaf padamu!"
"Hah?" Rasha mendadak loading dengan apa yang didengarnya, seketika tersentak saat Alfan mendorong wajahnya dengan telapak tangan besar.
"Cewek setengah lelaki, karena sukanya main bola dan ... tumben nggak ada skateboard? Biasanya, ke manapun pergi selalu pake?" Alfan mulai mengamati Rasha. "Ah iya, aku baru sadar kau cocok juga dengan rambut terurai. Biasanya selalu dicepol pendek, hingga mirip lelaki." Bahkan, satu tangannya mulai tergerak untuk menyentuh surai Rasha yang panjang sebahu.
Rasha mematung.
Sorot mata Alfan, menjadi biasa dan seakan ada kehangatan yang dipancarkan dari binar matanya. "Maaf karena aku melupakanmu, dan juga nggak peka."
Rasha benar-benar tidak percaya apa yang didengarnya, bahkan saat pipinya dielus lembut dan surainya diacak-acak oleh Alfan—masih dianggap sebuah mimpi belaka. Padahal, semua ini nyata.
"Kau itu selalu saja mengganggu dan berakhir membuatku kesal, soal nggak peka. Sebenarnya, aku sengaja melakukannya karena tidak mau didekati banyak orang. Tapi, beda dengan kau terus saja berisik dan mengganggu!" gerutu Alfan. "Aku tau kau menyukaiku."
Rasha matanya memanas.
"Aku tau, karena sorot matamu lambat laun berubah setiap kali berada didekatku dengan niatan mengganggu." Alfan benar-benar mengatakannya dengan jujur. "Sekarang, sorot matamu juga beda, kesal padaku tapi masih menyukaiku 'kan?"
Rasha menampar keras Alfan, setelahnya menghamburkan diri ke dalam dekapannya. Alfan menerima saja, lagi pula ini memang kesalahannya. "Satu lagi, meski kau mencoba memperlihatkan sisi perempuanmu. Aku lebih suka, kau menjadi peribadi biasa yang sering kau perlihatkan." Alfan menerima Rasha apa adanya.
Intinya, Alfan suka kalau Rasha tidak mengikuti gaya perempuan lain. Terutama yang suka sekali menghias diri secara berlebihan, bukannya menarik yang ada membuat Alfan bergidik ngeri.
"Masih kesal?"
"Pake nanya lagi!" Rasha pergi duluan, karena memang benar-benar kesal dengan kelakuan Alfan yang mudah sekali melupakan orang.
Alfan tersenyum tipis, bahkan mulai mengekor Rasha.
Sementara itu, Asya terlihat sendirian dan kembali berusaha meyakinkan diri kalau yang dirindukannya benar-benar akan kembali. Di satu sisi, masih merasa bersalah karena sudah melukai Rasha yang ternyata menyukai Alfan.
"Harusnya tadi aku meminta maaf langsung!" gerutu Asya, kesal sendiri.
Langkah kakinya terhenti, detik itu juga keterkejutan teramat besar melandanya. Karena, di hadapannya ini benar-benar muncul seseorang yang amat dirindukannya. Asya bahkan menepuk pipinya sendiri, takut kalau semua ini hanya halusinasi.
"Kau tidak berubah meski ditinggal lama." Orang itu adalah Rafan. "Entah kenapa, aku merasa kau hampir ingin beralih ke lelaki lain."
Asya mematung.
"Ehm, wajar sih. Karena aku tidak mengabarimu, bahkan saat dulu sebelum pergi tidak menjawab pertanyaanmu ... soal aku akan kembali atau tidak." Rafan menghela napas sejenak. "Alasanku tidak menjawab, karena aku tidak tau dan takut tidak bisa memegang janji."
Rafan hampir terdorong kala, Asya menghamburkan diri padanya. Bahkan memukul keras dadanya, tetapi tidak marah. Lagi pula, soal tidak mengabari Rafan sengaja melakukannya. Karena ingin memastikan juga, apa Asya akan pindah ke lain hati.
Nyatanya, hampir.
Rafan mengelus lembut kepala Asya. "Kau masih ingat nggak? Aku pernah mengatakan kau boleh menjalin hubungan dengan lelaki lain, kalau lelah menungguku kembali?"
Asya mendongak dan menggeleng cepat.
Rafan agak sebal melihat respon Asya. "Kau tau, ada rasa berat hati saat mengatakan hal itu. Ternyata, kau tidak menyadari bahkan ingat."
"Kau akan pergi lagi?" Asya tidak mau ditinggal lagi.
"Mungkin." Rafan berkata begitu, sembari menyentuh wajah Asya. "Tapi, menunggumu lulus dan setelah itu membawamu untuk pergi juga." Kemudian melepas pelukan Asya, dan melangkah duluan.
Asya masih loading, hingga otaknya berhasil mencerna perkataan Rafan. "Kau kok jadi ngeselin!" Asya mengejar Rafan dan menyamakan langkah kakinya, bersamaan mencoba menyembunyikan wajahnya dengan menoleh ke arah lain. Asya yakin, wajahnya ini memerah seperti tomat, setelah mendengar penuturan Rafan.
"Oh kau nggak mau ikut kah?" Rafan bertanya dengan nada santai.
"Aku tidak menjawab begitulah!" Asya kesal.
Rafan tersenyum tipis. "Maaf, karena meninggalkamu lama sekali."
"Iya, jangan pergi lagi!" Asya jadi takut ditinggalkan lagi.
"Kan sudah kubilang, aku kembali sekalian menunggumu lulus dan setelah itu, membawamu untuk ikut."
"Iya! Iya! Iya!" balas Asya. "Tetap saja, takut!" gerutunya.
Asya senang, Rafan benar-benar kembali. Ditambah lagi, setelah mendengar penuturan Rafan. Membuatnya semakin senang.
Bagi Asya, ini sebuah kebahagiaan yang teramat besar. Setelah dilanda kerinduan yang cukup lama.