Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di awal, Rakai tidak menganggap bahwa gadis itu, Sekar Anjani, adalah seseorang yang penting dalam hidupnya. Mereka berdua tidak pernah memiliki ekspektasi kalau dunia kecil mereka akan bersinggungan suatu hari nanti.
Gadis itu hanyalah gadis biasa. Kacamata bulat, rambut lurus sebatas bahu, selalu mengenakan kemeja atau kadang kala dress polos, atau rok A-line dengan kaos turtle neck dan kemeja sebagai outer, tidak pakai riasan. Kadang matanya terlihat mengantuk, kadang terlihat berkilat penuh semangat.
Mereka berdua bukan teman satu organisasi, hanya pernah menjadi teman sekelas dua kali, dan kebetulan berada di fakultas yang sama. Dia hanya mengetahui siapa nama gadis itu dan begitu pula sebaliknya. Mereka berbicara seperlunya, hanya saat menjadi teman satu kelas dan topik yang dibicarakan tidak pernah jauh dari tugas kampus.
Ketika tidak sengaja bertemu di kantin, koridor, taman fakultas, atau di perpustakaan, mereka bukan teman lama yang saling sapa dan menanyakan hal-hal klasik atau basa-basi tentang suatu hal yang tidak perlu. Mereka hanya seseorang yang sebatas tahu nama, dan melewati bahu masing-masing dengan santai. Untuk kebetulan-kebetulan yang bisa dihitung jari, kadang mata mereka bertemu di kejauhan. Ketika si gadis di kantin dan lelaki itu di tempat parkir fakultas, baru saja datang untuk menghadiri sebuah perkuliahan. Tidak ada senyum atau lambaian tangan dari ketidaksengajaan mata mereka bertubrukan. Dengan cepat, mereka berdua pasti langsung memalingkan wajah ke arah lain. Si gadis akan kembali sibuk dengan makan siang dan obrolan bersama teman-temannya, sementara lelaki itu berjalan menuju gedung dimana kelasnya akan diselenggarakan.
Salah satu tempat dimana mereka cukup sering bertemu adalah perpustakaan. Lelaki itu sering melihatnya berjalan di rak khusus novel — menjelajahi satu per satu novel yang belum ia baca. Kadang juga raut wajahnya menampilkan kebingungan dengan dua novel di tangan — bingung untuk membaca novel di tangan kanan atau tangan kirinya lebih dulu. Kadang ia meminjam kedua novel itu, kadang meminjam salah satunya, dan meletakkan satu novel yang tidak jadi dipinjam sambil mengerucutkan bibir — mungkin dalam hati dia agak sedih karena seharusnya dia bisa membaca keduanya, tapi dia harus memilih karena mungkin saja tugas-tugas kampusnya sedang banyak sehingga dia tidak boleh kebanyakan membaca novel atau tugasnya akan terbengkalai. Sekali waktu, gadis itu pernah dengan sukarela membantu penjaga perpustakaan untuk merapikan tumpukan skripsi hard cover yang sudah dijilid rapih untuk diletakkan berdasarkan tahun kapan skripsi itu ditulis. Ia akan naik tangga untuk meletakkan skripsi-skripsi yang memang harus diletakkan di rak paling atas. Ia membersihkan tumpukan skripsi itu dari debu menggunakan kemoceng, membuatnya bersin beberapa kali dan harus mengenakan masker — membuat lelaki itu berasumsi bahwa boleh jadi, gadis itu memang alergi debu. karena pekerjaan sukarela itu, ia pernah pulang sore sekali. Sebagai bayarannya, biasanya penjaga perpustakaan akan memberikannya dua minuman dingin dan ia akan keluar perpustakaan sembari menempelkan dua minuman dingin itu ke pipinya, berjengit kaget oleh serangan rasa dingin. Melihat bagaimana gadis itu mengerjakan pekerjaan sukarela membuat ia bertanya dalam hati, kenapa dia mau merepotkan diri sendiri untuk melakukan pekerjaan sukarela itu? Bukan masalah apakah gadis itu dibayar untuk melakukannya atau tidak, ia hanya berpikir… lebih baik waktu yang dipunya digunakan untuk tidur dibanding berjibaku dengan tumpukan skripsi berdebu yang akan terus bertumpuk seiring banyaknya kakak tingkat yang akan lulus nanti, dan boleh jadi, skripsi-skripsi itu akan kembali menjadi tumpukan yang tidak enak dipandang mata sebab hanya diletantarkan di lantai atau meja — kesannya kurang menghargai kerja keras mahasiswa yang menyusun skripsi sampai dibelain tipes, maag, gerd, hingga stress. Tapi kemudian ia berpikir, mungkin saja gadis itu melakukannya karena panggilan hati. Siapa tahu dia sebenarnya terpaksa melakukannya karena miris melihat sistem penyimpanan arsip berupa skripsi di fakultasnya yang buruk karena perpustakaannya bahkan kurang luas untuk bisa menampung banyak buku dan banyak skripsi. Bisa jadi ia juga dongkol dalam hati, tapi hanya bisa menggerutu tanpa suara, dan kekesalannya yang mungkin sudah ditumpuk sekian lama, akhirnya meluap dan membuatnya bergerak untuk membantu penjaga perpustakaan merapikan tumpukan skripsi itu. Kemudian dia menyadari kalau membantu seseorang, walaupun lelah, ternyata bukan sesuatu yang buruk, dan itulah mengapa gadis itu bisa keluar ruangan dengan wajah yang ceria di antara keringat yang membuat anak-anak rambutnya basah dan menempel di pelipis.
Perpustakaan kemudian menjelma menjadi tempat dimana ia mencari gadis itu.
Gadis itu tidak pernah punya jam khusus untuk mengunjungi perpustakaan dan menghabiskan satu-dua jam lebih untuk membaca buku. Tapi ia punya asumsi kalau gadis itu selalu ke perpustakaan setiap kali kelasnya selesai. Kadang, gadis itu sudah di perpustakaan beberapa menit sebelum ia datang. Kadang, ia datang lebih dulu dan gadis itu datang sekian menit kemudian. Kadang, mereka berdua datang di saat yang bersamaan tanpa direncanakan. Kadang, ia pura-pura fokus pada buku atau laptopnya, padahal sebenarnya pandangannya sedang menyapu sekitar, menoleh ke arah pintu terbuka untuk melihat apakah yang datang adalah gadis itu atau bukan, baru setelah gadis itu duduk di tempatnya dan mulai membaca, ia bisa fokus dengan buku atau tugas di laptopnya. Sesekali ia melirik ke arah gadis itu — memeriksa apakah ia masih di sana atau sudah pulang. Atau sekadar memeriksa ekspresi apa yang akan diperlihatkan gadis itu ketika membaca novel. Kadang gadis itu tersenyum, mengernyitkan dahi sambil memundurkan pandangannya seolah tidak percaya dengan apa yang ditulis penulis di novel yang ia baca, kadang ia mengernyitkan dahi sambil memiringkan sedikit kepalanya ke kanan seolah mempertanyakan apa yang ditulis oleh penulisnya, kadang ia juga mengangguk-angguk atau menggeleng, kadang ia istirahat sejenak sambil meregangkan tubuhnya, melakukan pemanasan kecil sambil menatap sekitar atau jam tangan kecil di pergelangan tangan kirinya seolah ingin tahu sudah berapa jam waktu berlalu ketika ia tenggelam di dunianya sendiri, kadang ia membaca sambil menguap, kadang juga ia membaca dengan salah satu tangan menopang pipinya, kadang ia juga membaca sambil menyumpal telinga dengan headphone — membuat lelaki itu penasaran apa yang didengarkan olehnya. Lagu dari band mana, apa judul lagunya, apakah lagu itu sudah didengarkan selama sekian bulan karena merupakan salah satu lagu kesukaannya, atau dia malah mendengarkan instrumen. instrumen apa? Dilihat dari penampilannya, lelaki itu agak kesulitan menebak instrumen apa yang mungkin saja didengarkan gadis itu. Apakah dia suka mendengarkan instrumen studio Ghibli, apakah ia suka mendengarkan instrumen klasik seperti Black Swan yang terkenal? Atau sekadar instrumen alat musik tertentu dari lagu kesukaannya. Atau malah ia hanya mendengarkan suara hujan dan petir yang entah bagaimana caranya bisa membuatnya merasa tenang, atau instrumen air mengalir, mungkin. Oh, mungkin saja dia mendengarkan instrumen Sape atau Rindik Bali untuk menambahkan kesan tenang saat membaca. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat lelaki itu ingin menampar pelan wajah sendiri karena mendadak berubah menjadi orang aneh hanya karena seorang gadis yang bahkan hanya ia ketahui namanya.
Pada suatu kali, Rakai menjadi hapal jadwal tidak tertulis dimana gadis itu, Sekar Anjani, akan mengunjungi perpustakaan.
Hari Senin, ia akan datang pada pukul 14.30.
Hari Selasa, ia datang pukul 10.30.
Hari Rabu, ia datang pukul 09.00.
Hari Kamis, ia datang pukul 12.00
Hari Jum’at, ia datang pukul 09.00
Dan dari kelima hari itu, ia hanya bisa bertemu Sekar pada Senin, Rabu, dan Kamis. Karena Jum’at kelasnya sampai 16.00 dan hari Selasa, ia tidak ada kelas — biasanya akan digunakan untuk berdiam diri di rumah, main ke kosan teman, atau sekadar jalan-jalan keliling kota dengan motor kesayangannya, tapi entah sejak kapan, ia tetap ke kampus di hari Selasa, datang sepuluh sampai lima belas menit lebih awal dibanding Sekar dan ia akan keluar perpustakaan lima belas sampai dua puluh menit sesudah gadis itu meninggalkan perpustakaan, dan ia lakukan hal itu setiap hari, supaya Sekar tidak merasa sedang diikuti olehnya dan merasa risih.
Rakai terkekeh pelan sembari menggelengkan kepala. Sejak kapan ia memikirkan tentang perasaan takut kalau Sekar akan risih terhadap kehadirannya dan menyuruh Rakai jauh-jauh dari gadis itu, padahal mereka tidak pernah dekat? Tapi ia tetap melakukannya supaya tak ada orang yang menyadari kalau Rakai selalu meninggalkan perpustakaan karena Sekar sudah tak ada di sana, sama seperti kenapa ia ke perpustakaan hanya karena ingin melihat eksistensi gadis itu.
Dan di sinilah dia sekarang. Di depan layar komputernya yang menampilkan akun blog Sekar yang berhasil ia dapatkan dari mencari tahu username instagramnya yang kebetulan gadis itu mencantumkan website yang mengarah langsung pada laman blog yang berisi beberapa tulisannya.
Seseorang yang suka membaca biasanya juga suka menulis dan kemampuan menulisnya sebaik kemampuan ia memahami bacaan — pepatah bijaksana ini juga tiba-tiba saja muncul tanpa diminta Rakai saat ia mengklik salah satu tulisan Sekar yang berjudul “suatu hari nanti, aku akan hidup dengan rambut tergerai.”
“Hah? Kenapa nggak sekarang aja?” celetuknya tanpa sadar dan terus membaca tulisan itu sampai habis kemudian bergumam sambil mengangguk-angguk paham, “Oh… jadi itu maksud tulisannya. Bagus, bagus.”
Berjam-jam berlalu dan selama itu pula ia habiskan untuk membaca dua puluh lima tulisan yang diunggah Sekar ke blog pribadinya, yang setelah ia mematikan komputer untuk segera tidur, ia baru sadar ada yang aneh dengan dirinya. Kenapa ia melakukan sesuatu sampai sejauh ini? Ini memang belum sejauh yang bisa ia bayangkan, tapi ini sudah cukup jauh.
Penasaran. Ia yakin kalau ia hanya penasaran dengan Sekar Anjani. Sebab gadis itu tidak banyak bicara, bahkan tidak banyak berekspresi. Atau mungkin ia adalah tidak sediam yang Rakai pikirkan — sesederhana mungkin saja gadis itu bisa berbicara banyak hal kepada seseorang yang sudah dekat, akrab, dan membuatnya nyaman menceritakan apa saja. Kalau memang Sekar bisa bercerita banyak, kira-kira apa yang akan ia ceritakan? Apakah ia adalah gadis yang suka mengeluh tentang banyaknya tugas kuliah? Apakah ia akan menceritakan buku-buku yang ia baca? Atau ia malah akan membicarakan gosip terhangat di fakultas? Tapi Rakai menggeleng. Yang ketiga sepertinya tidak mungkin, sebab ia yakin, orang yang suka membaca biasanya akan lebih berhati-hati dalam berpikir, mengambil keputusan, bertindak, dan berkata. Dari semua tulisan di blog gadis itu, dari bagaimana bahasanya yang tertata rapi dan enak dibaca, walaupun pendiam, Rakai yakin kalau Sekar adalah seseorang yang punya kemampuan komunikasi yang baik, setidaknya secara non verbal seperti tulisan-tulisannya. Apakah dia berbicara sama baiknya dengan ketika ia menulis? Atau ia hanya baik dalam menulis dan tidak terlalu pandai dalam bicara dan mengungkapkan perasaannya dengan lisan? Atau bahkan Sekar pandai di kedua hal itu? Pemikiran-pemikiran seperti itulah yang membuat Rakai secara kebetulan, mengalami susah tidur yang tiba-tiba. Ia telah mengubah posisi tidur puluhan kali, mencoba memejamkan mata dan mengundang rasa kantuk dengan menghitung domba sebanyak seratus kali, tapi tetap saja kantuk belum membuat matanya terasa berat. Sialan. Sungguh sialan. Dia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Mana mungkin ini semua salah Sekar. Gadis itu bahkan tidak berinteraksi dengannya. Rakai sendiri yang memilih untuk memerhatikan dan sekarang bertanya-tanya tentang seperti apa gadis itu.
Pada hari Selasa di minggu berikutnya, Rakai mencoba menahan diri untuk tidak ke kampus, tepatnya ke perpustakaan fakultasnya. Lagipula, alasannya ke sana hanya untuk melihat Sekar sedang apa — padahal kegiatan gadis itu tidak pernah berubah. Datang, mengisi daftar hadir, mengembalikan buku yang sudah habis ia baca, menjelajahi rak demi rak untuk mencari novel apa lagi yang akan dibacanya, mungkin sekarang sedang bingung untuk melahap novel yang mana karena mungkin saja di tangannya sudah ada tiga buah novel yang sama bagusnya, atau mungkin ia akan mengerucutkan bibir dan mendengus pelan karena novel yang ingin ia baca sedang dipinjam orang lain, atau mungkin saja hari ini dia tidak sedang bingung memilih novel mana yang akan dibaca, dia membawa novel itu ke tempat biasanya ia duduk — di bangku dekat jendela yang posisinya membelakangi rak berisi buku-buku filsafat sastra dan menghadap rak-rak buku sejarah, rak buku khusus novel, rak buku sastra, rak buku berbahasa inggris, rak buku tentang perfilman, dan rak berisi buku-buku terbitan dosen FIB. Atau mungkin ia akan duduk di bangku mana saja yang kosong setelah merasa agak kecewa karena bangku yang diklaim sebagai bangku favoritnya tanpa pernyataan tertulis ternyata sudah ditempati oleh orang lain. Mungkin sekarang ia membaca bukunya tanpa headphone di telinga atau mungkin sedang ingin pakai headphone. Dia mungkin sedang melakukan salah satu ritual sebelum membaca halaman pertama bukunya, yaitu menciumi aroma kertas lalu mengelus permukaan buku sambil tersenyum kecil seolah itu adalah satu-satunya benda paling ia sayangi di dunia.
Jam dinding di kamar Rakai sekarang menunjukkan pukul 10.45 WIB. Lima belas menit telah berlalu dan Sekar pasti sedang tenggelam dalam bacaannya.
10.50 WIB dan Rakai berjalan mondar-mandir di kamarnya sembari mempertimbangkan apakah harus benar-benar ke kampus atau tidak. Rumahnya juga tidak jauh dari kampus. Hanya dua puluh menit dengan motor. Kalau macet bisa sampai 30 hingga 45 menit.
11.07 dan Rakai mengumpat pelan. Sejak kapan jarum jam dinding itu bergerak sangat cepat?
11.28 dan dia menyerah. Ia segera menyambar jaket dan kunci motornya untuk segera ke kampus. Setelah memarkirkan motornya, ia berjalan cepat menuju perpustakaan, membalas sapaan beberapa temannya yang ada kelas di hari Selasa dengan singkat, lalu sesi berjalan cepat itu berubah menjadi lari-lari kecil hingga ia sampai di perpustakaan. Ia mengintip dari jendela kacanya, membuat penjaga yang refleks menoleh ke jendela berjengit kaget sambil mengelus dada, Rakai memberikan cengirannya ketika beberapa pasang mata menatap ke arahnya sekilas. Dia menyapukan pandangannya untuk mencari keberadaan Sekar dan ia bahkan tidak menemukan keberadaan gadis itu di antara rak-rak buku. Apa dia nggak ke perpus hari ini, ya? Ia bertanya dalam hati.
“Mas, kalau mau masuk, masuk aja,” ucap seseorang yang membuat Rakai berjengit kaget dan refleks menoleh ke arah seorang gadis yang ia cari. “Lah, Rakai. Kenapa nggak masuk? Biasanya juga masuk.” sambung gadis itu, menatapnya bingung dengan dahi mengernyit. Biasanya juga masuk. Jadi, dia sadar eksistensi Rakai di perpustakaan akhir-akhir ini?
“B-bentar lagi masuk,” balas Rakai sambil meremas kedua tangannya. Ingin rasanya ia meninju diri sendiri. “Dari mana?”
“Kamar mandi,” jawab Sekar kemudian tangannya sudah menggapai kenop pintu perpustakaan, tapi ia berhenti memutar benda itu saat Rakai mengatakan sesuatu.
“Aku baca tulisanmu di blog. Bagus-bagus tulisannya.”
Sekar mengernyitkan dahi, menatap Rakai dengan satu alis terangkat dan tangan menyilang di depan dada. “Bagus-bagus tulisannya?” tanyanya bergumam pelan. Rakai mengangguk kikuk sebagai jawaban. “Bagus-bagus? Emang berapa banyak tulisanku yang kamu baca? Gimana caranya kamu nemuin username blog-ku?”
Kenapa cewek harus nanya pertanyaan yang bikin cowok pengin nyeburin diri sendiri ke dasar laut sambil ngibarin bendera putih, sih? Rakai menggerutu dalam hati.
“Semua tulisan di blogmu udah aku baca.”
“Bohong.”
“Ngapain aku bohong?”
“Tahu darimana aku punya blog?”
“Ya stalking, lah!” balas Rakai pada akhirnya meloloskan kata itu setelah ia tahan-tahan sekian menit lamanya. “Aku cari username instagram kamu, terus ketemu sama website blog kamu karena kamu taruh di bio, aku klik dan aku baca tulisanmu. Sesimple itu.”
“Iya, tahu, simple, tapi kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa kamu cari username instagram aku?”
“Iseng.” Lelaki itu menjawab dengan cepat. Bukan karena ia tahu kalau jawaban itu benar, tapi semata-mata hanyalah refleks belaka. Jawaban yang sebenarnya, ia juga tidak tahu kenapa malam itu setelah menyicil tugas-tugasnya yang menumpuk, ia malah punya pikiran untuk mencari username instagram Sekar, dan ia benar-benar melakukannya.
Sekar mendengus geli sembari terkekeh pelan. Ia menggeleng lalu bergegas masuk. Gadis itu kembali fokus dengan bacaannya seolah peristiwa barusan tidak mengganggu konsenterasinya, padahal Rakai merasa ingin limbung seketika itu juga. Ia terduduk dengan jiwa yang meninggalkan tubuhnya sepersekian detik, pandangannya kosong, bibirnya menganga. Ia kini mengusap wajah kasar sembari mengacak rambut gusar. Gobloook, goblok. Harusnya emang tadi di rumah aja daripada mempermalukan diri sendiri.
Pada akhirnya, Rakai memilih untuk tidak ke perpustakaan karena mendadak malu sebab Sekar masih ada di sana, jadi dia memutuskan untuk nongkrong di kantin, mengobrol dengan beberapa teman satu jurusannya, walaupun sesekali ia secara refleks menoleh ke arah luar kantin — sekadar melihat apakah Sekar sudah keluar dari perpustakaan atau belum — membiarkan lehernya agak pegal karena terlalu banyak menatap ke luar kantin.
Tatapannya menajam dan menjadi fokus ketika melihat sesosok gadis dengan rok A-line, turtle neck hitam yang diberi outer kemeja warna peach, sedang berjalan sembari memeluk buku dan telinganya disumpal headphone. Sejenak, Rakai sempat bertanya dalam hati, apakah ia harus menghampiri Sekar atau diam saja. Ia menjadi gemas sendiri ketika Sekar sudah akan mencapai gerbang kampus karena ternyata hari ini ia tidak membawa motor sendiri. Ia lalu berbelok ke kanan, berjalan di trotoar kampus dengan santai. Shit!
“Balik duluan, ya.”
Rakai tidak merespon beberapa celetukan temannya yang mengatakan betapa singkatnya waktu nongkrong mereka, padahal Rakai suka mengobrol dan nongkrong hingga berjam-jam, bahkan kalau teman-temannya main ke rumah saat malam Minggu, biasanya mereka akan mengobrol tentang apa saja sampai menjelang dini hari.
Rakai melajukan kuda besinya meninggalkan parkiran FIB dan di sinilah ia berada sekarang — di atas motornya yang sengaja diberi jarak yang tidak terlalu dekat dengan Sekar yang berjalan di trotoar dengan headphone di telinga. Ia tidak mungkin mengajak gadis itu untuk pulang bersama walaupun ia ingin, sebab Sekar pasti bingung dengan tindakannya yang tiba-tiba. Mereka benar-benar tidak akrab untuk bisa pulang bersama. Dan lelaki itu tahu jawabannya; ia memang harus mencoba dekat dengan Sekar. Sehingga keesokan harinya, di hari dimana ia tidak ada perkuliahan, ia selalu menyempatkan diri untuk melihat daftar buku apa saja yang sudah dipinjam oleh mahasiswa FIB — dan mencatat novel apa saja yang sudah dibaca oleh Sekar di perpustakaan itu — penjaga perpustakaan untungnya bukan seseorang yang kelewat kepo dengan urusan anak muda, jadi ia membiarkan saja Rakai meminjam catatan peminjaman buku beberapa bulan terakhir. Setelah mengantongi beberapa judul buku yang sudah dibaca Sekar, ia bertekad untuk membaca semua buku itu, mencatat poin-poin besarnya, kemudian memberanikan diri mendiskusikan buku-buku itu dengan Sekar. Dengan begitu, Rakai yakin Sekar akan lebih tertarik mengobrol dengannya, sebab menurut Rakai, seseorang seperti Sekar Anjani biasanya tidak akan mau membuang waktu untuk obrolan-obrolan yang tidak berguna. Lelaki itu diam-diama terkekeh sendiri — menyadari betapa cepatnya gadis itu berubah menjadi seseorang yang penting untuk dirinya.