Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Lorong yang Menganga
3
Suka
81
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pembuka - Setting & Foreshadow

Hujan deras mengguyur kota malam itu, seakan langit sedang mencuci habis sisa-sisa siang yang berdebu. Air mengalir deras di got-got sempit, memantulkan lampu jalan, yang bergetar redup. Rina menyeret koper tuanya yang berdecit rodanya, langkahnya berat menyusuri gang becek menuju sebuah bangunan kos di pojok paling ujung.

Dari jauh, bangunan itu sudah tampak asing. Dinding hijau pucatnya mengelupas, bercampur lumut hitam. Atap seng meneteskan air dengan ritme tak beraturan. Lampu neon di teras berkedip-kedip, seolah enggan memberi cahaya.

Begitu kakinya menginjak teras kayu, aroma lembab bercampur bau kayu lapuk menyambutnya. Rina merapatkan jaket tipisnya. Kenapa tempat ini terasa... Seperti menunggu.

Kos ini memang tua, tapi murah. Dan bagi seorang mahasiswi rantau dengan uang pas-pasan, murah adalah kata paling manis. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri: murah bukan berarti menyeramkan.

Di ruang depan, seorang ibu tua duduk di kursi goyang reyot. Wajahnya penuh garis keriput, rambut putih disanggul seadanya. Tapi senyumnya ramah. “kamarmu di lantai dua, nomer tiga,” ujarnya dengan suara lembut. Tatapannya bertahan sedikit lebih lama dari yang seharusnya, seakan menimbang sesuatu. “ Jangan khawatir, Nak, anak-anak di sini baik-baik semua.”

Tangga kayu menuju lantai dua berderit setiap diinjak, seperti menjerit pelan. Koridor panjang terbentang, dengan pintu-pintu kamar berjejer rapi. Cat dinding kusam, lampu redup bergoyang terkena angin dari celah jendela pecah.

Rina berhenti sebentar. Saat mencari kamar mandi, matanya terpaku pada sesuatu: sebuah lorong lain di ujung koridor. Gelap, sempit, seakan tak berujung.

Ia mengernyit. Lho... Bukannya tadi cuma ada enam kamar di denah?

Udara dari lorong itu lebih dingin, menusuk tulang. Ia melangkah setengah, mencoba mendekat.

“Dek, kamar mandi bukan kesitu. Belok kiri aja,” ujar seorang penghuni kos, perempuan berambut pendek, sambil tersenyum tipis.

Rina menoleh sebentar padanya. Saat kembali menatap ke ujung koridor… lorong itu hilang. Hanya tembok putih lembap.

Jantungnya berdegup cepat. Ia tertawa kecil untuk menenangkan diri. Pasti cuma bayangan. Aku capek.

Namun perasaan dingin itu menempel di tengkuknya, seakan ada sesuatu yang sedang mengintai dari balik tembok.

---

Awal Teror – Ketidakpastian

Hari-hari pertama berjalan biasa. Penghuni kos jarang berinteraksi. Ada dua mahasiswa laki-laki di kamar ujung, seorang mahasiswi pendiam di sebelah kamarnya, dan Bimo—pemuda berkacamata yang suka main gitar di malam hari. Mereka ramah, tapi tidak pernah lama bercakap.

Tapi setiap kali Rina melewati lantai dua seorang diri, lorong itu muncul lagi. Selalu sama: gelap, panjang, dingin. Dan anehnya, begitu ada orang lain lewat, lorong itu lenyap, tergantikan dinding.

Udara dari dalamnya membawa bau tanah basah bercampur amis besi. Kadang ada suara samar—tap… tap… tap…—seperti langkah kaki menjauh, lalu mendekat.

Di dapur suatu malam, Rina memberanikan diri bertanya.

“Eh, kalian pernah lihat lorong di ujung koridor nggak sih?” tanyanya sambil menyendok mie instan.

Dua penghuni lain saling pandang.

“Lorong? Di lantai dua?”

“Mana ada, Rin. Ujung koridor itu tembok.”

“mungkin bayangan lampu kali,” tambah yang lain sambil terkekeh.

Rina diam. Masa aku doang yang lihat?

Malam berikutnya, pintu kamarnya bergetar, padahal tidak ada angin yang bertiup. Ventilasi mengeluarkan desis lirih, seperti ada seseorang berbisik dari dalam.

“Masuklah…”

“Masuklah…”

Suaranya samar, menusuk telinga.

Rina buru-buru menyumbat celah pintu dengan kain, menyalakan musik keras-keras dari ponsel. Tapi bisikan itu tetap tembus, berulang, sampai membuatnya sulit tidur.

Lingkar hitam menghiasi matanya. Ia berusaha rasional: mungkin aku stres. Ujian, pindahan, semua bikin aku halusinasi. Namun setiap kali aku memejamkan mata, lorong itu muncul lagi—panjang, berliku, menunggu.

---

Ekskalasi – Intensitas Teror Meningkat

Seminggu berlalu. Lorong itu semakin jelas. Dindingnya basah, dilapisi lumut. Lantai tanahnya becek, meninggalkan jejak lumpur.

Suatu malam, Rina menempelkan tangannya ke dinding kamarnya. Dirinya hampir berhenti—dinding itu berdenyut pelan, seperti organ hidup. Ia mundur sambil menahan jeritan, menutup mulut agar tidak membangunkan tetangga.

Ia mencoba berbagai cara: doa ditempel di pintu, semprotan parfum, bahkan kertas doa dari ibunya. Namun suara itu tetap hadir.

“Masuklah… Masuklah...”

Malam itu, ia bermimpi berjalan di lorong. Panjang, tanpa ujung. Ada sesuatu di belakangnya, mendekat. Ia berlari, tapi lorong memanjang terus. Nafasnya tersengal, kakinya berat.

Saat terbangun, tubuhnya gemetar. Ia menatap kakinya—basah, berlumpur, berbau tanah.

Rina hampir pingsan. Kalau ini mimpi, kenapa ada lumpur nyata di kakiku?

Keesokan harinya ia memberanikan diri bicara pada Bimo. “Bim... Kamu pernah lihat lorong itu?”

Bimo menatap lama.Wajahnya pucat.

“kamu juga, ya?” suaranya bergetar. Rina mengangguk cepat. Bimo menunduk. “Kalau kamu pintar... Jangan pernah coba masuk. Banyak yang sudah nggak balik.”

“Banyak?” Rina terkejut.

Tapi Bimo tidak menjawab lagi. Dia masuk kamar, menutup pintu rapat-rapat.

Sejak itu, Rina makin terobsesi. Setiap hari ia mencatat: kapan lorong muncul, berapa lama, apa yang ia dengar.

Catatan itu penuh kalimat berulang: “lorong makin panjang.”

“suara makin jelas.”

“seperti menunggu aku.”

---

Puncak – Konfrontasi

Malam ketujuh. Hujan deras, angin mengamuk. Listrik padam. Kos gelap gulita, hanya kilat menyambar sesekali menyinari dinding cahaya biru singkat.

Rina duduk di ranjang, memeluk lutut. Nafasnya cepat. Dari celah pintu, samar terlihat lorong itu—bukan lagi di ujung koridor, tapi menjulur langsung ke dalam kamarnya.

Udara dingin, basah, menusuk tulang. Bau tanah bercampur besi memenuhi ruang. Bisikan semakin jelas, bukan satu suara lagi, tapi puluhan, ratusan, bergema serempak:

“Masuklah… Masuklah... Jangan kembali... Kamu milik kami sekarang...”

Pintu kamar bergetar keras, lalu terbuka sendiri. Gelap pekat menganga.

Kakinya bergerak tanpa kendali, seakan ditarik. Lilin yang ia pegang bergetar, api kecilnya hampir padam.

Lorong menyambutnya dengan dinding berlumut meneteskan air. Tanah lengket menjerat kakinya. Semakin ia masuk, lorong makin menyempit.

“Berhenti! Lepaskan aku!” jeritnya.

Tawa bergema. Dinding lorong berdenyut, cepat, seperti lambung menelan mangsa.

Ia berlari, tapi lorong selalu berubah arah. Setiap kali menoleh, lorong memanjang lagi, menutup rapat di belakang.

Sosok-sosok samar muncul di dinding: wajah orang-orang menjerit, tangan meronta. Beberapa wajah ia kenali—penghuni kos yang katanya pindah. Termasuk perempuan berambut pendek yang pernah menegurnya soal kamar mandi.

“Tidak... Astaga...” Rina gemetar.

Dari kejauhan, langkah berat terdengar. Tok... Tok... Tok...

Bayangan besar mendekat. Sosok tinggi, wajahnya hitam tanpa mata, tanpa mulut. Dari tubuhnya mejulur lorong-lorong kecil seperti akar, merambat ke dinding.

Rina menjerit berusaha mundur, tapi tanah di bawahnya berubah menjadi lumpur pekat. Tarikan itu makin kuat.

Sosok itu mengangkat tangan, dan lorong di depannya membuka seperti mulut raksasa. Dinding merekah, menampilkan gigi-gigi batu tajam.

“Tidak…!”

Tubuh Rina terseret, masuk ke dalam gelap yang berdenyut. Jeritannya terputus.

---

Twist Ending – Cyclical Horror

Pagi cerah. Hangatnya matahari menimpa kota. Kost tampak biasa saja. Burung gereja bercicit di atap seng.

Di ruang depan, ibu kos duduk di kursi goyang, senyumnya ramah.

Seorang mahasiswi baru datang msmbawa koper. Wajahnya lelah, tapi berbinar. “ibu, kamar kosong masih ada?” tanyanya.

“Ada, nak. Lantai dua nomer tiga,” jawab ibu kost lembut. “kebetulan semalam saja kosong. Anak sebelumnya pindah mendadak.”

Mahasiswi itu mengangguk lega lalu menaiki tangga.

Tidak ada yang ingat nama Rina. Grup WhatsApp kost tidak mencatat jejaknya. Dosen tidak pernah menyebut absen dirinya, seolah ia tak pernah kuliah di sana.

Kost berdiri tenang, menatap dunia dengan wajah biasa.

Namun di salah satu jendela lantai dua, samar terlihat kegelapan tak wajar. Lorong itu masih menganga. Menunggu mangsa berikutnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Lorong yang Menganga
Aulia umi halafah
Novel
RUMAH YANG MENELAN PENGHUNINYA
Noferius Laia
Flash
Belum Mati
Roy Rolland
Cerpen
Bronze
Jerat Senyap
Christian Shonda Benyamin
Novel
FRIENDS!
Emma N.N
Novel
Pesantren Gaib
Ariny Nurul haq
Novel
Bronze
DI BALIK KAMPUS (1998)
Embart nugroho
Cerpen
IBLIS BETINA
Hendra Wiguna
Cerpen
Bronze
Telinga Kelima
Jasma Ryadi
Flash
Gelap Gulita
Celica Yuzi
Cerpen
Bronze
Kuburan Laut Buton
Risti Windri Pabendan
Cerpen
Bronze
Aroma Kopi Di Bangunan Tua
Christian Shonda Benyamin
Flash
Bronze
Langkah di Balik Anyaman Bambu
Risti Windri Pabendan
Cerpen
Bronze
Pemakaman Jhon Mortonson karta Ambrose Bierce penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Flash
Ditakuti Anak-anak
Kiara Hanifa Anindya
Rekomendasi
Cerpen
Lorong yang Menganga
Aulia umi halafah
Cerpen
Ketika Lampu Padam
Aulia umi halafah