Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan baru saja reda ketika Dina menurunkan kopernya di depan sebuah bangunan kos tua di pinggiran kota. Bangunannya tiga lantai, cat kremnya sudah mengelupas di banyak sudut, papan namanya setengah pudar: KOS PUTRI RATNA. Meski tampak kumuh, harganya jauh lebih murah dibanding kos-kosan lain yang sempat ia survei. Sebagai mahasiswi baru yang harus menghemat, pilihan ini terasa “masuk akal”, meski hatinya masih diliputi ragu.
“Dina, ya?” Suara serak seorang perempuan paruh baya membuatnya menoleh. Perempuan itu bertubuh agak gemuk, memakai daster bunga-bunga dan sandal jepit. Senyumnya ramah, tapi entah kenapa mata itu terasa… lelah.
“Iya, Bu. Saya yang sudah janjian lewat WA,” jawab Dina, mencoba terdengar ceria. Tangannya dingin memegang gagang koper.
“Masuk dulu. Hati-hati, anak tangganya agak licin kalau habis hujan,” ujar Bu Ratna, sambil melangkah pelan menuju pintu besi yang berderit saat dibuka.
Begitu masuk, aroma apek langsung menyambut. Lorong lantai dasar sempit, hanya cukup untuk dua orang berpapasan. Dindingnya penuh bercak lembap, lampu neon berkedip-kedip. Dina menahan batuk. Ah, mungkin cuma perlu dibersihkan, pikirnya.
Kamar Dina berada di lantai dua. Sambil menaiki tangga besi yang sedikit berkarat, ia sempat melirik ke atas. Lantai tiga tampak gelap. Lampu di sana mati, dan tidak ada suara kehidupan. Hanya bayangan tiang dan dinding kusam.
“Lantai tiga kosong, ya, Bu?” tanyanya iseng.
Bu Ratna berhenti sejenak, tangannya menggenggam pegangan tangga lebih erat. “Iya. Sudah lama nggak dipakai. Bocor di sana-sini. Jangan ke sana dulu, ya. Nanti kalau ada yang rusak, malah baha...