Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jam sudah menunjukkan pukul 22.48 saat Damar mengunci ruang guru terakhir di SMA Bakti Utama. Ia adalah penjaga malam baru di sekolah itu, menggantikan Pak Surya yang mendadak pensiun setelah "terkilir parah akibat jatuh dari tangga." Begitu katanya. Tapi Damar tahu ada sesuatu yang tak beres—tangga sekolah hanya dua tingkat dan dilengkapi pegangan di kedua sisi. Tidak cukup curam untuk membuat seorang penjaga tua sampai harus resign seminggu setelah insiden.
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan genangan yang mengilap di bawah lampu taman. Sambil menyeringai kecil, Damar memasukkan kunci ke saku jaketnya. Ia suka bekerja malam. Tak ada rekan kerja yang cerewet, tak ada siswa berisik, dan yang terpenting: sepi.
Namun malam ini berbeda.
Saat hendak menuruni tangga menuju pos satpam, ia melihat sesuatu. Sebuah lorong—sempit, gelap, dan basah—terbuka di antara dinding gedung perpustakaan dan gudang alat musik. Damar mengernyit. Setahunya, ruang di antara dua gedung itu hanya selebar satu meter dan ditutupi pagar besi. Tapi pagar itu sekarang... tidak ada.
Rasa penasaran mengalahkan nalarnya. Ia melangkah mendekat.
Lorong itu tidak sepenuhnya gelap. Di kejauhan, sekitar sepuluh meter ke dalam, ada cahaya redup. Seperti lampu kuning tua yang tergantung dan bergoyang pelan, seolah ditiup angin dari arah yang tidak terasa.
"Damar..."
Suaranya membeku. Ia menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.
Bodohnya, alih-alih mundur, ia justru melangkah masuk ke lorong.
Langkah demi langkah, suara detak sepatunya teredam lumpur dan dedaunan basah. Cahaya itu semakin dekat. Lorong yang awalnya terasa sempit kini terasa... panjang. Terlalu panjang. Ia mencoba menoleh ke belakang—dan jantungnya mencelus. Jalan yang tadi ia lewati telah menghilang, digantikan dinding bata tua dengan lumut tebal dan coretan tak terbaca.
"Damar..."
Kali ini lebih jelas. Suara perempuan. Terdengar dekat, tapi tak ada bayangan siapa pun.
Ia melangkah mundur. Lalu berbalik. Lari.
Tapi lorong itu seolah memutar dirinya sendiri. Ia tak lagi tahu mana depan, mana belakang. Sampai akhirnya, gelap menelan semuanya.
---
Pukul 02.00 WIB — Hari Rabu
Damar terbangun di pos satpam. Keringat dingin membasahi punggungnya. Televisi menyala, memperlihatkan siaran ulang berita malam.
Ia meraba ponsel di saku. Layar menunjukkan tanggal: Rabu, 16 April.
"Apa tadi mimpi?"
Kakinya gemetar. Ia melirik ke luar jendela pos. Lorong itu tak terlihat. Semuanya kembali seperti semula.
Hanya satu hal yang mengusik pikirannya. Di dalam sakunya, ada tiga butir kelereng basah yang tidak ia bawa dari rumah. Dan pada salah satu kelereng itu, ada ukiran kecil: “Rabu”.
Pagi harinya, Damar tidak bisa memikirkan hal lain selain kejadian semalam. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah mimpi akibat kelelahan. Tapi tiga kelereng itu masih ada di sakunya, bahkan setelah ia berganti pakaian. Dan saat disentuh, kelereng bertuliskan “Rabu” terasa lebih dingin dari yang lain, seolah baru dikeluarkan dari dalam es.
Ia menyimpannya dalam laci meja pos satpam, menguncinya dengan kunci kecil yang hanya ia pegang. Tak ada gunanya membuat orang lain ikut panik. Namun ada satu hal yang terus menghantui pikirannya:
Ia tidak mengingat bagaimana ia kembali ke pos.
Sepanjang hari itu, Damar mencoba beraktivitas seperti biasa. Ia membersihkan ruang guru, mengecek gerbang, mencatat stok air di kamar mandi siswa. Tapi setiap kali ia melewati gedung perpustakaan dan gudang alat musik, bulu kuduknya meremang. Lorong itu tidak ada. Pagar besi yang ia kenal kembali terpasang di tempatnya. Semua tampak normal.
Terlalu normal.
“Pak Surya juga pernah ngomong soal ‘lorong’ itu,” gumam Bu Ayu, guru BK, saat mereka berbincang santai di kantin guru. “Waktu itu dia cerita sambil ketakutan, bilang jangan pernah keluar dari pos malam-malam pas hari Selasa. Aku pikir cuma omongan orang tua yang mulai linglung.”
Damar terdiam. Ini bukan hanya tentang mimpi atau halusinasi. Ia bukan orang pertama yang mengalaminya.
---
Malam berikutnya — Selasa, 22.30 WIB
Damar bersumpah tidak akan keluar dari pos. Ia menyiapkan kopi, menyalakan lampu, dan mengunci pintu dari dalam. Ia bahkan membawa mushaf kecil dan mendengarkan murattal lewat ponsel. Tapi rasa kantuk datang menyerang. Meskipun mencoba menahan, matanya mulai berat. Hingga akhirnya ia tertidur sambil duduk.
Suara ketukan membangunkannya.
Tok… tok… tok…
Bukan dari pintu, tapi dari bawah meja.
Damar menyentak bangun. Ia mengangkat taplak kecil yang menjuntai, dan di bawah meja…
Ada sebuah kelereng baru.
Basah, sedikit berlumut, dan pada permukaannya terukir kata: “Rabu”—lagi.
Ia langsung berdiri dan membuka pintu. Dingin malam menerpa wajahnya. Sekolah sunyi. Tapi jauh di sana—di antara gedung perpustakaan dan gudang—ia melihatnya lagi.
Lorong itu terbuka.
Cahaya kuning yang sama. Kabut tipis yang menggantung. Dan sesuatu yang lain—bayangan anak kecil yang berdiri di mulut lorong, menatapnya. Tak bergerak.
“Jangan masuk. Jangan masuk. Jangan masuk,” bisik batinnya.
Tapi tubuhnya bergerak sendiri. Langkahnya pelan, seolah tertarik oleh kekuatan tak terlihat. Saat ia mendekat, anak itu menghilang. Lorong tampak lebih dalam dari sebelumnya. Cahaya kuning bergoyang seperti obor tua yang kehabisan minyak.
Ia melangkah masuk.
---
Kali ini berbeda.
Langit lorong bukan hitam, tapi merah kelam seperti senja yang membusuk. Bau anyir menyeruak, seperti darah yang basi. Damar menahan napas.
Di sisi dinding, ia mulai melihat ukiran-ukiran aneh. Tanggal-tanggal. Nama-nama. Semuanya disusun rapi, memanjang seperti catatan absen. Salah satu nama membuatnya berhenti:
Surya W. — 13x Rabu
Ia menelan ludah. Ia tak tahu maksud angka itu, tapi firasatnya buruk.
Langkah berikutnya membawanya ke ruang sempit yang lebih terang. Ada cermin besar di ujung lorong. Saat Damar menatap ke sana, ia tertegun. Bayangannya… bukan dirinya.
Refleksi itu lebih tua. Matanya cekung. Kulitnya pucat. Tapi yang paling menakutkan: di sekelilingnya, berdiri anak-anak berseragam SMA. Wajah mereka kosong, matanya hitam. Mereka tidak bergerak, tapi terasa seperti menunggu perintah.
“Kamu sudah memasuki Rabu kedua.”
Suara itu muncul dari dalam cermin.
“Ada sebelas Rabu tersisa.”
“Untuk apa?” desis Damar. “Apa maksud semua ini?!”
Cermin bergetar. Suara anak-anak itu berbisik pelan, tapi tumpang tindih hingga membentuk dengungan yang membuat telinganya berdesing:
“Tinggal bersama kami… agar tidak sendirian…”
Ia menjerit dan berlari ke arah sebaliknya, tapi lorong itu melengkung lagi. Dinding mulai bergerak, seperti napas makhluk hidup. Semua suara menyatu dalam pekik panjang dan memekakkan.
---
Pukul 02.00 WIB — Hari Rabu
Damar terbangun di pos satpam. Nafasnya memburu. Televisi menyala dengan tayangan dokumenter alam. Sama seperti minggu lalu.
Ponsel di sakunya menampilkan tanggal: Rabu, 23 April.
Ia menatap ke laci. Membukanya perlahan. Ada dua kelereng tambahan di sana. Semuanya berukir kata yang sama: “Rabu”.
Total sekarang: lima butir.
Hari Rabu berlalu dalam kabut kebingungan dan ketakutan. Damar tidak bisa lagi menganggap semua ini mimpi atau sugesti. Ada bekas nyata di pikirannya, ada kelereng di lacinya. Dan yang lebih menyeramkan—ada nama Pak Surya yang tercantum di dinding lorong itu. Damar tidak bisa mengabaikan lagi bahwa sesuatu di sekolah ini memang salah.
Ia mencoba mencari data lama di ruang TU. Alasan resminya, memeriksa catatan keamanan dan buku kehadiran pegawai. Tapi ia tahu apa yang ia cari.
Nama: Surya Wijaya.
Posisi: Petugas keamanan.
Tanggal berhenti: Mei 2021.
Keterangan: Mengundurkan diri. Tidak bisa dihubungi.
Tidak ada foto. Tidak ada kontak keluarga. Seakan orang itu benar-benar menghilang begitu saja.
Di pojok ruangan, di antara berkas-berkas tua, Damar menemukan sesuatu yang lebih aneh: sebuah jurnal kecil, tertulis tangan, tanpa nama pemilik. Halaman pertama penuh dengan coretan, tetapi satu kalimat terbaca jelas:
“Rabu bukan hari biasa. Ini adalah penjara.”
Jantung Damar berdetak cepat. Ia membaca lebih lanjut. Tulisan itu bercerita tentang lorong yang hanya muncul pada malam Selasa, membawa siapa pun yang masuk ke dalam siklus waktu terkutuk. Setiap kali seseorang memasuki lorong, ia akan terperangkap dalam lingkaran hari Rabu yang hanya bisa dilalui sebanyak tiga belas kali. Setelah itu… mereka lenyap.
"Aku sudah enam kali masuk Rabu. Aku mulai lupa wajah ibuku. Aku tidak yakin, apakah ketika aku kembali, dunia di luar tetap sama. Karena setiap kali aku kembali, satu hal berubah: bayanganku tidak mengikuti gerakku."
– kutipan dari jurnal, halaman 9.
Damar sudah melewati dua Rabu.
---
Selasa malam — Pukul 23.45
Ia tidak tidur. Tidak kali ini. Damar duduk di pos sambil memegang kelereng yang terakhir, menggenggamnya erat seperti jimat. Lorong itu akan muncul. Ia tahu.
Dan memang, tepat saat jam menunjukkan pukul 00.00, udara di sekitarnya berubah. Sunyi berubah menjadi hening menusuk. Cahaya jalan meredup, dan dari kejauhan—lorong itu terbuka lagi.
Kali ini, Damar sudah siap. Ia membawa senter besar, mushaf kecil, dan jurnal yang ia temukan. Ia ingin mencatat semuanya. Tapi saat ia mendekat ke lorong, ada yang berbeda.
Lorongnya tidak kosong.
Seorang gadis berdiri di sana. Seragamnya SMA, wajahnya pucat, rambut terurai. Tapi yang paling menyeramkan adalah matanya—tidak hitam legam seperti yang lain. Mata itu kosong. Seperti kaca.
“Damar…” bisiknya.
Ia mundur. “Kau siapa?”
“Aku… pernah menjadi seperti kamu. Tapi aku tidak kembali. Aku keempat belas.”
Damar tertegun.
“Kalau tiga belas kali masuk, kenapa kamu masih ada di sini?”
“Karena aku tidak pernah berhenti… berharap seseorang keluar membawa kami.”
Tangannya terulur, menunjuk ke dalam lorong. “Kamu bisa melihat kami, tapi kamu tidak bisa menyelamatkan kami—kecuali kalau kamu menyerahkan sesuatu…”
“Apa?”
“Hari Rabu milikmu yang terakhir.”
---
Damar melangkah masuk, meski ketakutan melilit seperti rantai. Kali ini, lorong membawa ke tempat berbeda—lebih menyerupai sekolah, tapi dalam versi yang membusuk. Lantai pecah, tembok berlumut, dan papan tulis yang mencoretkan sendiri nama-nama yang berganti terus-menerus.
Ia mengenali sebagian nama itu. Murid-murid. Guru-guru. Bahkan nama dirinya—berulang. Dan di bawah namanya, kini tertulis: Rabu ke-3.
Ia mulai kehilangan waktu. Jam tidak berdetik. Tak ada matahari. Hanya “Rabu”, berulang dan tak pernah usai. Ia berbicara pada orang-orang yang sudah tidak mengingat dunia luar. Mereka hidup dalam sisa-sisa harapan. Setiap kali mereka mencoba keluar dari lorong, mereka selalu kembali ke tempat yang sama.
Damar sadar… ini bukan sekadar lorong waktu. Ini kuburan waktu.
---
Hari Rabu, di dunia nyata — Pukul 07.15
Damar terbangun. Di ruang pos. Tapi ada hal aneh—semua jam menunjukkan pukul 07.15, bahkan ponsel, tapi matahari belum muncul. Sekolah sunyi. Terlalu sunyi.
Ia berlari ke luar. Tak ada siswa. Tak ada guru. Hanya dirinya… dan suara langkah pelan dari arah lorong.
Tiga kelereng baru ada di sakunya sekarang. Total: delapan.
Langit tetap gelap meskipun jam menunjukkan pukul delapan. Damar berdiri di halaman sekolah yang tak lagi ia kenali. Sunyi meresap sampai ke tulang, seolah dunia memutuskan untuk berhenti bernapas.
Di sakunya, delapan kelereng bergemerincing pelan. Tangan Damar bergetar ketika menyadari satu hal: waktu tak lagi berjalan seperti seharusnya. Ia menyentuh dinding gedung sekolah—masih dingin, nyata. Tapi ada sesuatu yang berubah. Bayangannya tak lagi mengikuti geraknya.
Rabu ini bukan hanya aneh. Ini palsu.
Ia kembali ke pos, mencari jurnal itu. Halamannya kini terbakar sebagian. Tapi di halaman terakhir, muncul tulisan baru, samar, seperti ditulis oleh tangan yang gemetar:
> “Jika kamu membaca ini, kamu sudah terlalu jauh. Tapi masih ada satu cara.
Hapus jejakmu dari dunia ini. Tanggalkan siapa dirimu.
Biarkan Rabu melupakanmu, maka kau akan bebas.
Tapi ingat: seseorang harus tetap menjaga pintu.
Jika tidak… lorong akan terbuka selamanya.”
Damar menatap tulisan itu. Menyerahkan identitasnya? Apa itu artinya ia harus... dilupakan? Tidak dikenal lagi?
Ia melangkah ke cermin kecil di ruang UKS. Memandang dirinya sendiri. “Damar Prasetya,” bisiknya.
Dan cermin… tidak memantulkan apa-apa.
---
00.00 — Lorong terbuka kembali.
Tapi kini, bukan hanya Damar yang ada di sana. Enam sosok berdiri di dalam kabut lorong. Anak-anak. Remaja. Semua dengan mata kosong dan tubuh pucat. Mereka mendekat, tak bersuara, lalu menyodorkan tangan.
Masing-masing memberi satu kelereng.
Total: tiga belas.
Damar terdiam. “Ini akhirku, ya?”
Salah satu sosok mengangguk. Anak perempuan yang dulu menyapanya, kini tersenyum sendu. “Kami sudah menunggu cukup lama. Waktumu habis. Tapi kamu bisa memilih: ikut kami… atau mengakhiri siklus ini.”
Damar menunduk. Tangannya menggenggam tiga belas kelereng yang terasa berat seperti batu nisan. Ia bisa saja masuk… menyerah… hilang bersama mereka.
Tapi ia ingat pesan terakhir di jurnal: seseorang harus tetap menjaga pintu.
Ia mendongak. “Kalau aku tinggal, lorongnya bisa ditutup?”
Anak perempuan itu mengangguk. “Ya. Tapi kamu akan tinggal di antara waktu. Tidak ada yang akan mengingatmu. Bahkan namamu akan hilang dari dunia.”
Damar menarik napas. “Kalau aku tidak diingat, maka Rabu tak bisa menemukanku lagi.”
“Benar,” bisik mereka bersama. “Tapi kamu juga tak akan bisa kembali.”
Ia tersenyum tipis. “Mungkin itu harga yang adil.”
---
Rabu — Satu minggu kemudian
Pak Dedi, petugas keamanan baru, sedang berjaga. Ia heran karena loker lama di ruang pos tidak bisa dibuka. Kuncinya hilang. Ia bertanya ke kepala sekolah tentang penjaga sebelumnya, Damar.
“Damar siapa?” tanya kepala sekolah.
Pak Dedi mengernyit. “Penjaga sebelum saya. Yang bertugas sampai dua minggu lalu…”
“Maaf, setahu saya, setelah Pak Surya menghilang, tidak ada yang menjaga malam hari sampai Anda diterima kemarin.”
Pak Dedi merasa ada yang janggal. Tapi tidak ada nama Damar di daftar pegawai. Tidak ada jejaknya di mana pun. Bahkan meja pos malam terlihat seperti belum pernah dipakai.
Namun, malam itu, saat berjalan melewati lorong belakang, Pak Dedi melihat sesuatu di tanah. Ia membungkuk, memungutnya.
Sebuah kelereng bening.
Ia tersenyum heran, meletakkannya di saku.
Lorong tetap tertutup. Tapi penunggunya masih berjaga.
Dan di dunia yang tak terlihat, seorang pria berdiri membelakangi waktu, menatap pintu lorong yang kini terkunci rapat. Ia tak punya nama. Tak punya bayangan. Tapi ia tahu satu hal:
Selama ada penjaga, Hari Rabu tidak akan menang.