Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu hujan turun seperti peringatan. Suara derasnya menenggelamkan suara-suara lain di Stasiun Arven, tempat di mana kereta-kereta datang tanpa jadwal, dan penumpang hanya bisa naik jika memiliki tiket tanpa tujuan. Tiket yang tak dijual, tak ditemukan—hanya datang jika kau benar-benar dibutuhkan oleh Lorong 47.
Elia berdiri di antara penumpang-penumpang yang wajahnya seperti kabur tertutup kabut. Ia bahkan tak tahu mengapa ia berada di sana, hanya mengingat sehelai tiket muncul di sakunya saat ia terbangun dari tidur siang.
Tiket: Lorong 47 - Naik saat pintu ketiga terbuka. Jangan tanya kenapa.
Lorong 47 bukan bagian dari peta stasiun mana pun. Tapi orang-orang seperti Elia, yang merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, selalu ditarik oleh kekosongan itu. Kereta datang—bukan dengan suara peluit, melainkan dengan bisikan serempak. Seolah seribu mulut membisikkan namanya dari balik dinding.
Elia melangkah, tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang tak bisa ia lawan. Di gerbong ketiga, ia melihat hanya dua orang lain duduk: seorang perempuan tua bermantel hijau lumut dengan matanya tertutup kain hitam, dan seorang anak kecil yang mencoret-coret dinding dengan arang. Tidak ada suara. Tidak ada petugas.
Lalu pintu menutup. Dunia luar menghilang.
Kereta bergerak mundur.
Kereta melaju tanpa suara di antara bayangan. Tak ada guncangan. Hanya sensasi ringan seperti melayang. Elia duduk, memperhatikan lorong panjang yang tampak tak memiliki ujung. Ia mencoba menanyakan waktu kepada perempuan tua di seberangnya, namun perempuan itu hanya mengangkat jari telunjuknya ke bibir—tanda diam.
Anak kecil di pojok gerbong masih menggambar di dinding. Gambarnya bukan coretan biasa. Elia memperhatikan: pertama sebuah rumah, lalu sebuah danau gelap, lalu sesosok pria dengan wajah terhapus.
Setiap gambar itu, perlahan, mulai bergerak.
Elia menyipitkan mata. Mustahil. Tapi ia yakin rumah itu tadi tidak memiliki jendela. Kini ada bayangan mengintip dari sana.
Ia menoleh ke jendela kereta. Dunia di luar tampak seperti lukisan bergerak. Lanskapnya tak nyata—seperti dunia lain. Ada pohon yang tumbuh terbalik, sungai yang mengalir ke langit, dan bangunan-bangunan seperti mengambang di udara.
“Berapa lama kita akan berada di sini?” tanya Elia akhirnya, meski ia tahu ia takkan mendapat jawaban.
Perempuan tua itu membuka mulutnya. Tapi bukan suara yang keluar—melainkan asap hitam tipis. Di tengah asap itu, terdengar suara:
"Kau akan tahu saat pintu terbuka untukmu. Tapi ingat, Elia...
Pintu keempat jangan pernah kau masuki.”
Elia membeku. Ia tak pernah menyebutkan namanya.
Ketika ia menoleh ke arah anak kecil, dinding gerbong kini sudah penuh gambar. Dan di sudut kanan atas, ada gambarnya sendiri—berdiri di depan sebuah pintu yang terbuka sedikit.
Di bawah gambar itu tertulis dengan kapur putih:
“Jangan buka pintu keempat.”
Kereta berhenti. Tanpa suara. Tanpa guncangan. Elia berdiri perlahan. Tak ada pengumuman, tak ada tanda. Tapi ia merasa harus turun. Gerbong yang tadi ramai, kini kosong. Bahkan anak kecil dengan gambar-gambarnya telah menghilang. Di dinding, hanya satu gambar tersisa—gambarnya sendiri berdiri di depan Pintu Keempat, kini terbuka sedikit lebih lebar.
Lorong peron gelap dan sempit. Hanya satu arah: maju. Setiap langkahnya bergema aneh, seperti berjalan di dalam gua. Udara terasa lebih berat. Ada sesuatu yang menekannya dari semua arah, seperti kereta membawa ruang yang bukan milik dunia ini.
Di ujung lorong, Elia menemukan empat pintu. Keempatnya identik. Tanpa pegangan. Tanpa nama. Namun di bawah masing-masing, terdapat ubin tua dengan angka samar:
Elia mengingat pesan perempuan tua itu.
"Pintu keempat jangan pernah kau masuki."
Tapi rasa penasaran seperti mendesak dadanya. Pintu 1–3 tampak membisu. Tapi dari balik Pintu 4, terdengar suara samar:
Tok… tok… tok… tok.
Empat ketukan.
Ia merapatkan telinga ke daun pintu. Terdengar desahan. Bisikan yang seolah datang dari dirinya sendiri.
"Elia… kau sudah pernah ke sini. Kau hanya lupa."
Tangan Elia bergerak sendiri. Jari-jarinya menyentuh celah pintu. Tubuhnya kaku, seolah dikendalikan.
Ia menarik napas panjang.
Dan tepat saat ia akan menyentuh pintu keempat—
BRAK!
Suara dari arah belakang—seseorang membanting pintu logam di ujung lorong. Seorang pria dengan jas hitam berdiri, wajahnya tertutup topi.
“Kalau kau masuk ke sana, kau tak akan bisa kembali.”
Elia mundur satu langkah.
“Lalu… apa yang harus kulakukan?”
Pria itu menoleh sedikit. Suara kereta terdengar kembali. Dan lorong pun mulai bergetar.
“Kau harus ingat, Elia. Ingat siapa dirimu. Itu satu-satunya jalan keluar.”
Pria itu menunjuk ke arah Pintu 3.
“Mulailah dari masa yang nyaris terlupakan. Tahun 1999. Di sana semua dimulai.”
Elia menatap angka 1999 di ubin di bawah pintu ketiga. Detak jantungnya menggema lebih keras daripada langkah kaki. Ia menggenggam napas, dan mendorong pintu itu perlahan. Tidak berderit. Tidak bergetar. Tapi begitu pintu terbuka, cahaya putih menyilaukan memenuhi penglihatannya.
Lalu, ia berdiri di ruang kelas sekolah dasar.
Bangku-bangku kecil. Papan tulis hijau. Bau kapur dan kayu lapuk yang entah bagaimana terasa sangat familiar.
Anak-anak berlarian. Guru sedang menulis di papan. Tak ada yang menyadarinya berdiri di pojok ruangan.
Namun Elia tahu ini bukan sekadar kilas balik.
Ia menatap ke arah bangku paling pojok dekat jendela.
Seorang anak laki-laki kecil duduk di sana—sendirian. Tangannya menggambar sesuatu di atas kertas lusuh. Gambarnya adalah lorong panjang dan pintu-pintu.
Dan di pojok kertas: angka 47.
Itu dirinya.
Kecil. Diam. Dan penuh ketakutan.
Elia mendekat. Anak kecil itu tiba-tiba mendongak. Dan berkata:
“Kau akhirnya kembali…”
Elia tercekat. Dunia di sekeliling mereka membeku.
Anak itu berdiri.
“Aku menunggumu lama sekali. Mereka pikir aku mengarang. Tapi aku tahu Lorong itu nyata. Kau yang membukanya.”
“Apa maksudmu?” tanya Elia.
Anak itu menunjuk ke dada Elia. “Karena rasa takut itu kau pelihara. Kau yang membuatnya tetap hidup.”
Elia menunduk. Kini ia mulai mengingat. Tahun 1999. Ia pernah menghilang selama beberapa jam di sekolah. Semua orang mencarinya. Tapi ia ditemukan di perpustakaan tua—tidur, katanya. Namun Elia tahu, ia tidak tidur. Ia berada di Lorong 47. Tapi otaknya memutus ingatan itu demi bertahan.
Anak itu menyentuh tangannya.
“Sekarang, saatnya kita menutupnya. Bersama-sama.”
Tiba-tiba, suara detik jam terdengar keras. Kelas berubah menjadi gerbong kereta. Anak kecil itu menyatu ke dalam dirinya. Elia kini berdiri sendirian di tengah lorong kereta kosong.
Terdengar suara terakhir:
“Lorong 47 hanya terbuka bagi mereka yang takut. Tapi kini, kau bukan anak kecil lagi.”
Lampu kereta menyala kembali.
Dan pengumuman berbunyi:
“Kereta akan segera tiba di tujuan akhir.”
Elia membuka mata di kursi kereta. Pagi telah datang. Ia berada di gerbong yang kini terisi penumpang. Tak ada yang aneh. Tak ada pintu misterius.
Tapi di dalam sakunya, ada selembar kertas tua. Gambar lorong dan angka 47. Di bawahnya tertulis tulisan tangan anak kecil:
“Terima kasih karena tidak lagi melupakan aku.”
Elia menatap ke luar jendela. Senyumnya pelan. Lorong 47 telah tertutup. Dan ia, akhirnya bebas.
TAMAT