 
				 
							Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara lonceng sekolah tua berdentang tiga kali. Di tengah lorong panjang dengan dinding kusam dan jendela besar berdebu, seorang siswa bernama Raka berjalan pelan sambil membawa buku sejarah tebal yang sudah mulai mengelupas di bagian pinggirnya. Hari itu, kelas XI IPS mendapat tugas menulis esai tentang “Pahlawan Tak Dikenal dari Masa Penjajahan.” Raka menghela napas pelan, merasa bingung. “Pahlawan tak dikenal?” gumamnya lirih, “yang dikenal aja kadang aku lupa tanggal lahirnya.” Namun kata-kata gurunya, Pak Hendra, terngiang di kepalanya: “Sejarah itu bukan cuma nama besar di buku, Rak. Kadang sejarah disimpan oleh mereka yang tak pernah ditulis.”
Saat pulang sekolah, hujan turun deras. Raka berteduh di rumah peninggalan kakeknya yang sudah lama kosong, rumah kayu tua di ujung kampung dengan atap seng berkarat. Ia menyalakan lampu kecil di ruang tengah dan melihat sesuatu yang aneh—sebuah peti kayu berdebu di bawah meja. Di sisi peti itu terukir angka “1946.” Dengan rasa penasaran, Raka membuka perlahan dan menemukan tumpukan surat kuning kecokelatan yang diikat tali rafia. Di surat paling atas tertulis, “Untuk siapa pun yang menemukan surat ini di masa depan, aku menitipkan cerita yang mungkin tak akan ada di buku pelajaran mana pun. - Darma, 1946.”
Raka mulai membaca surat itu. “Namaku Darma. Aku hanyalah pemuda desa dari pinggiran kota Medan. Tahun ini, 1946, Indonesia baru saja merdeka. Tapi di sini, tentara Belanda datang lagi, membawa senjata dan ketakutan. Mereka bilang ingin ‘mengatur ulang pemerintahan,’ tapi yang kulihat hanya api dan tangis. Aku bukan tentara, aku hanya anak petani. Tapi ketika kudengar teman-temanku gugur di Lubuk Pakam karena menolak menyerah, hatiku terbakar. Aku ingin berjuang, walau tak tahu bagaimana.” Raka membayangkan pemuda itu—seumuran dengannya—berlari di tengah ladang tebu, membawa bambu runcing, bersembunyi di balik pohon saat patroli musuh lewat.
Surat-surat berikutnya menceritakan bagaimana Darma bergabung dengan kelompok kecil bernama Laskar Rakyat Sumatera Timur. Mereka bukan tentara profesional, hanya orang-orang desa yang nekat melindungi tanahnya. “Kami tidak punya seragam, hanya kain merah putih kecil di lengan. Kami tidak punya senjata lengkap, hanya bambu, parang, dan doa.” Di salah satu surat, Darma menulis tentang seorang gadis bernama Ranti, perawat muda yang membantu para pejuang yang terluka. “Ranti selalu tersenyum meski tangannya gemetar saat menjahit luka-luka. Ia bilang, ‘Kita tidak boleh takut mati, Darma. Takutlah kalau nanti anak cucu kita tidak tahu kita pernah melawan.’”
Raka terus membaca hingga tiba di surat yang menggambarkan pertempuran di Kampung Sei Lepan. “Kami bertarung dari sore sampai malam. Aku melihat Surya jatuh, lalu Ranti menyeret tubuhnya ke semak-semak sambil menahan tangis. Aku sendiri hanya punya dua peluru, satu untuk musuh, satu kalau aku tertangkap.” Raka bisa merasakan ketegangan itu, seolah ia berada di sana. “Saat fajar tiba, kami tinggal berlima. Belanda membakar gudang padi dan menembaki siapa pun yang lari. Aku memegang tangan Ranti, tapi dia sudah dingin. Matanya terbuka, menatap langit, seperti menatap masa depan yang tak sempat datang.” Air mata Raka jatuh di atas kertas yang mulai rapuh.
Surat terakhir bertuliskan huruf miring, seperti ditulis dengan tangan gemetar. “Kepada siapa pun yang membaca ini... mungkin Indonesia sudah merdeka sepenuhnya. Mungkin tidak. Tapi kalau kau hidup di masa damai, jangan lupakan kami yang mati dalam sunyi. Kami tidak ingin dihormati, kami hanya ingin dikenang. Kalau kau membaca ini di rumah kayu di ujung kampung, berarti darah kami tidak sia-sia. - Darma, 17 Agustus 1946.” Raka menutup surat itu perlahan. Hujan sudah reda, tapi dunia di sekitarnya terasa berbeda. Ia menatap peti itu lama sekali dan berkata pelan, “Terima kasih, Darma.”
Keesokan harinya di kelas, Pak Hendra meminta setiap murid mempresentasikan tokoh sejarah pilihan mereka. Teman-teman Raka menyebut nama besar seperti Soekarno, Hatta, dan Sudirman. Saat gilirannya tiba, Raka berdiri sambil membawa surat tua yang sudah dimasukkan ke plastik bening. “Nama pahlawanku mungkin kalian belum pernah dengar,” katanya pelan. “Namanya Darma, seorang pemuda biasa dari Medan yang ikut berjuang tahun 1946. Dia tidak ada di buku sejarah, tapi tanpa orang seperti dia, mungkin Indonesia tidak akan berdiri seperti sekarang.” Kelas menjadi hening. Pak Hendra menatap Raka dengan mata berkaca-kaca dan bertanya, “Dari mana kamu tahu kisah ini, Nak?” Raka tersenyum kecil, “Dari rumah kakek saya, Pak. Di bawah meja tua, ternyata ada surat-surat yang menunggu untuk dibaca.”
Malamnya, Raka menyalin seluruh isi surat Darma dengan rapi dan mengirimkannya ke Museum Perjuangan Sumatera Timur. Beberapa minggu kemudian, surat balasan datang. “Kami mengonfirmasi bahwa nama Darma tercatat dalam arsip lama Laskar Rakyat, tapi tanpa data lengkap. Terima kasih, karena berkat kamu, kami bisa memulihkan kembali sejarah yang hampir hilang.” Raka tersenyum. Ia merasa seperti Darma sedang berdiri di belakangnya, menepuk pundaknya dengan bangga. Di luar jendela, matahari terbenam berwarna jingga keemasan. Ia menggantungkan bendera kecil di depan rumah kayu itu, bendera yang dibuatnya sendiri dari potongan kain putih dan merah. Ia menatap langit dan berbisik, “Tenanglah, Darma. Ceritamu nggak akan hilang lagi.”
Beberapa tahun kemudian, rumah tua itu dijadikan rumah baca sejarah. Di dalamnya, ada foto Darma hasil rekonstruksi dari arsip, surat-surat aslinya, dan tulisan tangan Raka di bawahnya: “Sejarah bukan cuma tentang siapa yang menang, tapi tentang siapa yang berani melawan walau dunia tidak mengenalnya.” Setiap kali ada anak sekolah datang berkunjung, Raka—yang kini menjadi mahasiswa sejarah—selalu berkata dengan senyum kecil, “Jangan cuma baca nama besar di buku. Kadang, pahlawan itu bisa jadi orang yang tinggal di sebelah rumahmu.”
Suatu sore, beberapa bulan setelah rumah tua itu resmi dijadikan rumah baca sejarah, Raka duduk di beranda sambil memandangi halaman yang mulai dipenuhi anak-anak kecil bermain. Mereka tertawa sambil memegang bendera kecil dari kertas warna-warni. Di tangan Raka, masih ada surat Darma yang sudah ia laminating, kini jadi benda yang paling ia jaga. Kadang, ia masih membacanya ulang, seperti berbincang dengan masa lalu. “Lucu ya, Darma,” gumamnya pelan, “kita hidup di dunia yang jauh beda, tapi rasa cintamu sama negeri ini masih bisa aku rasain sampai sekarang.”
Tiba-tiba datang seorang pria paruh baya berjaket lusuh, memperkenalkan diri sebagai cucu dari salah satu anggota Laskar Rakyat. Ia mendengar kabar tentang rumah baca itu dari radio lokal dan datang jauh-jauh dari Tebing Tinggi. Ia membawa sebuah foto hitam putih yang mulai pudar. “Aku kira cuma legenda keluarga, Nak,” ucapnya, “tapi waktu dengar nama Darma disebut di radio, aku yakin ini bukan kebetulan.” Raka menerima foto itu dan matanya membulat—di sana ada Darma, berdiri di antara belasan pemuda berseragam lusuh, memegang bambu runcing dengan senyum lelah tapi bangga.
Sejak hari itu, makin banyak orang datang membawa peninggalan—topi lusuh, surat, bahkan sisa bendera yang robek di ujungnya. Rumah baca itu berubah jadi tempat berkumpulnya kenangan. Raka menulis ulang semua kisah yang datang, menyalin dengan hati-hati, lalu menempelnya di dinding bersama kalimat kecil di bawah setiap foto: “Mereka pernah ada.” Setiap malam, sebelum menutup rumah baca, Raka selalu menatap foto Darma dan berkata dalam hati, “Aku janji, kisahmu dan teman-temanmu nggak akan tenggelam lagi.”
Beberapa tahun kemudian, ketika Raka diundang menjadi pembicara di acara Hari Pahlawan di kotanya, ia berdiri di atas panggung sambil membawa surat Darma yang asli. Suaranya bergetar namun tegas saat ia berkata, “Sejarah bukan cuma tentang siapa yang dikenang, tapi tentang siapa yang berani melawan meski tahu mungkin tak akan pernah disebut.” Tepuk tangan bergema di aula itu. Dan malamnya, saat Raka pulang ke rumah tua itu sendirian, ia tersenyum kecil. Angin berhembus lembut, dan di antara desiran pohon bambu, ia merasa seperti mendengar suara samar seseorang berkata, “Terima kasih, Nak.”