Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Geger! Pengusaha kelas wahid, Fadli Umar, ditemukan tewas mengenaskan dengan leher hampir lepas di parkiran sebuah hotel. Pemuda yang membunuhnya, menyerahkan diri ke Polres terdekat. Ia membawa parang yang digunakan untuk menghilangkan nyawa korban. Polisi yang pertama kali mendengar pengakuan pria kurus itu di pos penerimaan pengaduan sampai terkaget-kaget, karena sang pelaku terus mengatakan, “Hanya aku yang bisa membunuh orang yang tepat.”
Sebenarnya jika boleh memilih, maka Iptu Hasbi lebih baik disuruh menginterogasi seorang perampok daripada orang seperti lelaki itu. Ruwet! Pikirannya berputar-putar ke sana kemari. Siapa yang tidak mengenal Iptu Hasbi. Petugas reserse paling ditakuti para kriminal saat pemeriksaan. Rampok, begal, tukang todong dengan tampang seram, jika sudah di kantor ini langsung mengerut seperti kerupuk melempem. Jika Iptu Hasbi menggertak sedikit, pasti langsung mengaku. Namun, manusia model lelaki kurus ini lebih alot, ia bukan hanya segumpal liat bernyawa, pikirannya aneh tetapi hidup.
Sebenarnya gampang saja, ia membunuh orang, datang menyerahkan diri dengan membawa barang bukti. Beres. Lebih-lebih, ia memberi tahu di mana dan bagaimana ia menghabisi korbannya. Semuanya sesuai dengan kenyataan di lapangan setelah olah TKP. Namun, perkara seperti ini harus punya motif. Motif lelaki bernama Tarman itu mengada-ada. Ia mengatakan, jika ia membunuh Fadli Umar karena pengusaha itu pantas dibunuh karena telah membunuh ayahnya, meski pengusaha itu tidak pernah bertemu dengan ayahnya sama sekali. Bagaimana bisa?
“Kamu orang mana?” tanya Iptu Hasbi. Biasanya panggilan kamu atau saudara atau bapak, tergantung pada situasi. Situasi tersangka kali ini sangat pantas dipanggil kamu dan bukan bapak karena kasusnya tidak melibatkan sejumlah dana.
“Ah, itu pertanyaan yang susah sekali. Tapi aku akan mencoba menjawabnya. Ayahku mengatakan, jika dahulu kakekku orang buangan. Ia terdampar di Makassar kemudian menjadi pelaut. Lalu dia berlayar ke selatan. Bertemu nenek di Surabaya. Kemudian ayahku lahir. Ayahku kemudian kembali ke Makassar setelah ayahnya mati. Ia ingin tahu dari mana darahnya bermuara. Sepertinya tidak dia temukan. Maka dia kembali lagi ke Surabaya lalu menikahi ibuku. Jadi aku orang buangan yang setengah Jawa.”
“Alamat rumahmu di mana? Surabaya?”
“Iya.”
Iptu Hasbi geleng-geleng.
Sesungguhnya, wajah pemuda ini menenangkan. Matanya sayu tetapi dalam. Alisnya tebal, sedikit menanjak di bagian tengah seperti orang cerdas pada umumnya. Lekuk rahangnya memang seperti orang jauh. Iptu Hasbi pun sudah tahu akan bertemu dengan orang yang sulit.
“Kamu tidak memakan nasi bungkusmu?” Pelayan hukum itu melihat nasi bungkus yang disediakan untuk sang tersangka masih utuh.
“Aku puasa.”
Mata polisi itu telihat seperti akan keluar. Ia mendelik dengan sangat lebar. Jawaban itu mengejutkan. Seorang pembunuh yang berpuasa. Lelaki itu mengatakan dengan lantang jika ia lah pembunuh yang membunuh dengan benar. Tidak menyesal sama sekali dan sekarang mengaku berpuasa. Siapa pun akan meragukan jika lelaki itu berniat mengambil hati.
“Ini hari Kamis,” ujarnya melanjutkan.
Iptu Hasbi mengangguk-angguk.
“Kamu kemarin mengatakan jika ayahmu dibunuh oleh Fadli Umar. Tapi menurutmu, ia tidak pernah bertemu dengan orang itu. Jadi, bagaimana mungkin kamu tahu jika telah membalas orang yang tepat?”
“Ayahku mati gantung diri. Karena ia tidak bisa melunasi utang yang ia janjikan pada sahabatnya. Uangnya dirampok orang. Demi harga diri, utang itu dia bayar dengan nyawanya. Dia lelaki hebat bukan?”
“Apakah perampoknya Fadli Umar? Atau orang yang disuruhnya?”
“Bukan. Namanya Purwoto. Tetanggaku.”
“Purwoto yang merampok ayahmu sehingga ayahmu mati bunuh diri?”
“Iya.”
“Gila! Kamu gila?! Yang jadi cikal bakal ayahmu mati itu Purwoto, lalu yang kamu bunuh Fadli Umar? Jangan-jangan Purwoto juga sudah kamu bunuh?”
“Dia di Medaeng.”
Lagi-lagi Iptu Hasbi mendelik. Lelaki itu memang sulit. Jika mengingat-ingat, parang yang digunakan si Tersangka bukanlah parang yang tajam. Parang itu terlihat hitam karena jarang diasah. Akan tetapi, leher Fadli Umar hampir putus dibuatnya. Sepertinya, parang itu diayun dengan kekuatan maha dahsyat. Hanya orang dengan keinginan yang sangat besar yang bisa mengayun sekuat itu.
Alisnya bergerak-gerak ketika Iptu Hasbi bertanya di mana dia mendapatkan senjatanya. Dia menjawab, dibawa dari Surabaya. Parang tumpul itu dimasukkan dalam tas ransel. Sedang di TKP tidak ditemukan tas ransel. Ia mengaku membuang tas ransel itu.
“Kamu gila! Sepertinya kamu harus dites psikiater!”
“Aku tidak gila. Kamu hanya tidak mengerti. Aku membunuh orang yang tepat. Tidak salah lagi, pengusaha itu pembunuh ayahku sesunguhnya. Bukan Purwoto. Purwoto pun korban. Aku juga membalas untuk Purwoto. Bukankah itu hebat? Aku membalas untuk dua orang sekaligus. Membunuh orang yang tepat untuk dua orang sekaligus.”
“Kamu hanya gila!”
“Aku bahkan membunuh untuk tiga orang, bukan dua orang.”
Iptu Hasbi hampir hilang kesabaran. Tangannya sudah akan melayang ke arah wajah pemuda itu, jika saja azan Ashar tidak menghentikan ayunannya.
“Jika kamu fasih mengaji, silahkan imami aku. Jika tidak. Aku bisa mengimami kamu,” kata pemuda itu dengan tenang.
“Aku salat di musala saja!” Iptu Hasbi langsung keluar, membanting pintu ruang interogasi dengan keras. Dua orang anak buahnya yang sejak tadi menunggu di luar ruangan itu terkaget-kaget sebelum segera mengunci pintunya.
Iptu Hasbi meluapkan penat di kepalanya dengan mengguyur bagian itu dengan air sebelum berwudu dengan benar. Napasnya tersengal-sengal menahan emosi sambil menengadah. Jawaban berbelit lelaki itu benar-benar membelit kepalanya dengan keras.
Lalu pada saat itu munculah seekor kupu-kupu, terbang berkeliling mengitarinya. Ia merasa seperti bunga yang mekar, seumpama ada putik-putik menguning tumbuh di kepalanya. Pikiran Iptu Hasbi terpaku pada kebiasaan ibunya dulu. Kupu-kupu menandakan ada tamu. Namun, ia merasa tak mungkin akan mendapatkan tamu. Karena mungkin sampai besok atau lusa, ia akan tetap berada di kantor bersama lelaki itu.
Ketika polisi bertubuh tegap itu masuk ke ruangan interogasi itu kembali, si Tarman masih duduk di antara dua sujud. Sang petugas harus menunggu sampai selesai.
“Kamu menyesal? Salatmu panjang.” Iptu Hasbi memulai. Si pembunuh sudah duduk di kursinya pesakitannya.
Lelaki itu tersenyum. “Saya bersyukur.”
“Tadi kamu bilang membalaskan dendam Purwoto?”
“Benar.”
“Apa hubungan Purwoto pada kejadian ini? Apakah Purwoto yang disuruh Fadli Umar?”
“Fadli Umar tidak menyuruh siapa-siapa. Purwoto tidak mengenal tua bangka itu juga. Purwoto hanya orang susah. Ia menjadi begal, membegal ayahku karena tidak ada pekerjaan. Pria frustrasi itu transmigran, ladang sawitnya ikut terbakar saat kebakaran hutan kemarin.”
“Kamu gila? Cerita apa lagi ini?”
“Aku tidak gila. Kamu hanya tidak mengerti.Purwoto hidup dari sawit. Hutangnya banyak di sana. Harusnya bisa dibayar jika lahannya tidak terbakar. Akhirnya ia pergi ke Surabaya. Di Surabaya dia menganggur, pekerjaan sekarang sulit. Anaknya butuh makan, mau tidak mau ia membegal. Jadi, ia tidak membunuh ayahku.”
“Purwoto yang mengambil uang ayahmu untuk melunasi utangnya.”
“Tidak.”
“Dasar gila!”
Fadli Umar adalah seorang pengusaha di berbagai bidang dan cukup terkenal. Ia menancapkan bisnis di rumah sakit internasional, perusahaan farmasi, jasa antar barang, showroom, dan bidang lain.
Kematian Fadli yang tragis mengundang banyak perhatian. Seluruh stasiun televisi dan koran besar mengulas sepak terjangnya selama ini, semua mata merujuk pada satu kesimpulan yang sama, menyayangkan kejadian ini terjadi padanya. Sebulan sebelum peristiwa, wajahnya muncul di media masa saat menyerahkan bantuan untuk korban banjir.
Hal ini tentu berbeda dengan liputan yang diperoleh si Tersangka. Ia mendapatkan jendela yang rusak dan reyot. Hal-hal tak hebat darinya dikupas menjadi buruk. Hal-hal baik pun dikupas menjadi busuk. Seperti kegiatannya menghadiri banyak pengajian.
“Kamu mungkin disuruh orang?!” tanya Iptu Hasbi.
“Ya tentu. Diri saya sendiri. Saya orang, bukan?”
“Kampret! Jawab yang bener! Tadi kamu bilang tiga orang, siapa lagi?”
“Marzuki!”
“Siapa Marzuki?”
“Orang yang membakar hutan.”
“Orang yang membakar hutan?”
“Iya, Marzuki disuruh membakar hutan. Karena dia tidak punya pekerjaan dan istrinya akan melahirkan.”
“Apa maksudmu?”
“Purwoto menjadi begal karena Marzuki membakar hutan dan lahannya ikut terbakar.”
“Oooh! Aku mulai mengerti. Jadi Marzuki yang menyebabkan ayahmu mati? Ah, bukan. Fadli Umar. Tapi sayang sekali anak muda. Fadhli Umar tidak punya usaha sawit. Dia tidak menyuruh Marzuki membakar hutan. Kamu hanya gila!”
Iptu Hasbi mulai mengerti. Lelaki itu mengurutkan penyebab. Dia mengurutkan sebab-sebab itu hingga jauh. Muaranya ada ada di Fadli Umar. Polisi itu mulai tertawa. Lama-kelamaan tawanya makin kencang dan susah dihentikan.
“Kamu salah orang! Aku sudah bisa menebak jalan pikiranmu. Si Marzuki itu tersangka kebakaran hutan kemarin? Termasuk yang sembilan orang itu? Bukan begitu?” Iptu Hasbi tertawa lagi. ”Sayang, Fadli Umar–tua bangka itu–tidak punya lahan sawit. Tidak juga dalam waktu dekat dia akan membuka usaha seperti itu.”
“Marzuki pernah menjadi cleaning servis di rumah sakit Fadli Umar,” kata lelaki itu tiba-tiba.
“Diam! Aku tebak. Ia dipecat?”
Tarman mengangguk.
“Lalu pulang ke Jambi?”
Ia mengangguk lagi.
“Menganggur, lalu diajak kawannya membakar hutan karena tidak punya uang?”
“Iya.”
“Konyol sekali kamu! Ada sembilan orang yang membakar hutan yang menyebabkan Purwoto kehilangan lahan. Kamu akan membalas pada semuanya. Orang-orang dibelakangnya?”
“Iya. Termasuk juga orang yang menyebabkan Marzuki dipecat. Seorang polisi yang tergelicir lalu mengamuk di rumah sakit itu. Begitu kata Marzuki.”
Iptu Hasbi tertawa terbahak-bahak. Dia tidak pernah menemukan hal sekonyol ini.
“Siapa polisi itu? Aku?”
“Iya.”
Iptu Hasbi terkejut seketika. Dia berdiri, keluar dari kursinya lalu mundur perlahan. Namun, beberapa saat dia telah menguasai dirinya.
“Kamu gila! Kamu juga bodoh! Jika ingin membunuh semuanya. Seharusnya kamu tidak boleh tertangkap.” Iptu Harbi kembali tertawa.
Lelaki itu ikut tersenyum, “Aku sudah membunuh orang yang tepat. Aku rasa yang lain akan membunuh orang yang tepat juga. Kamu belum menemukan tasku bukan?”
Tarman menyeringai seperti singa akan menerkam mangsa. Sementara di atas plafon ruangan, seseorang sudah menyusup masuk seraya membawa benda berkilat di tangannya. Sepuluh menit lagi untuk menghabisi target berikutnya.
-Tamat-