Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rumah yang dindingnya dianyam dari hari-hari yang tak pernah utuh, beratap genteng tua yang berdendang setiap kali langit menumpahkan luka, tumbuh lima kelopak dari akar yang lebih dulu patah. Mereka bukan bunga yang merekah karena pelukan hangat mentari, melainkan tunas-tunas yang menjulur dari tanah yang menggigil, diguyur air mata yang tak sempat kering, dan tumbuh di bawah cahaya dari suara yang meledak, bukan cahaya dari langit.
Mereka tidak lahir dari pelukan, melainkan dari celah yang dibiarkan menganga, dari tanah yang tak pernah dijaga, dari musim yang hanya tahu merontokkan. Namun tetap, mereka tumbuh seperti tunas yang ragu menembus batu, tak yakin, tapi enggan lenyap. Sebab kadang, hidup bermula bukan dari sambutan, tapi dari tekad untuk tetap melangkah, meski tak pernah ditunggu.
Pagi tak pernah mengetuk lembut di rumah itu. Ia masuk tanpa salam, membawa derap sepatu yang menggores lantai, denting piring yang terjatuh, dan suara yang mencabik udara seperti sembilu. Ibu menjelma langit yang tak selesai menurunkan hujan, tangan lebih dulu bicara sebelum hati sempat menimbang, mulut tak henti berlayar di gelombang amarah. Katanya ada cinta di sana, di balik bentakan dan telapak yang hinggap ke pipi. Tapi cinta itu datang dalam ukuran yang hanya ia sendiri yang tahu, keras, meledak, dan tak pernah berbentuk pelukan.
Ayah hanyalah bayang di sudut ruangan, seperti siluet yang tak pernah selesai dilukis cahaya. Tatapannya tak menembus batas, seperti jendela yang diguyur malam dan tak pernah dibuka. Ia tak menegur, tak menampik, hanya diam dalam hiruk-pikuk yang menyayat. Sosoknya hadir, tapi tak menjelma apa-apa, selain napas yang menguap di antara bentakan dan tangis. Ia tinggal di rumah yang sama, tapi tak pernah benar-benar tiba.
Lima jiwa tumbuh dari tanah yang gemetar, dibesarkan oleh malam-malam yang menolak tidur.
Rani, si sulung, seperti angin sejuk yang memilih diam ketika badai datang. Lina, yang cerewet seperti burung pagi, perlahan kehilangan kicauannya dan suatu malam pergi tanpa pamit. Sari dan Dina, seperti dua bara yang menolak padam, melawan agar tak dikubur hidup-hidup oleh luka. Dan Adit, satu-satunya lelaki kecil, tumbuh meniru bara, berharap kelak bisa menyala tanpa membakar dirinya sendiri.
Hari itu langit menumpahkan segala sesak yang digendong awan. Hujan jatuh deras, seperti amarah yang tak sempat dijelaskan, dan angin menggoyang-goyangkan daun jendela tua hingga mengaduh dalam denting kayu. Di dalam rumah, suara sendok yang tergelincir menjadi pemantik, dan ibu, seperti petir yang tersulut, meledak hanya karena sepiring nasi yang tak sesuai harap, Ibu mengamuk karena nasi terlalu lembek. Tangannya melayang, tepat jatuh di pipi Rani, tak ada kata yang terucap, hanya tunduk, hanya sunyi. Sari menggenggam pergelangan itu, menghentikan laju amarah, dan dari situlah segalanya pecah, suara, air mata, dan keberanian yang selama ini dipendam dalam diam.
“Jangan sentuh Kak Rani lagi!” bentaknya. “Kalau Ibu mau marah, marahlah sama yang layak dimarahi. Kami sudah cukup diam!”
Ibu menoleh, pandangannya seperti pisau yang melesat dalam diam. Tak sampai hitungan nafas, suara pecahan kaca memecah udara, melayang dari sudut dapur, menghantam lantai seperti amarah yang kehabisan arah. Adit mengejang, tubuh kecilnya seperti daun tersentak angin. Bola matanya membesar, bukan karena dikejutkan rasa takut, tapi karena tubuhnya sudah terbiasa menjadi saksi keributan yang tak pernah memilih waktu. Perlahan, ia meraih lengan Dina, menggenggamnya lirih, lalu berbisik seperti doa di tengah badai, “Nanti kita bantu Kak Sari, ya?”
Di kamar, Rani mengusap luka di pipinya. Lina yang beberapa minggu lalu sempat menghilang tiga hari, duduk di sampingnya, membawa salep dari laci yang tersembunyi.
“Kenapa kamu selalu diam?” tanya Lina pelan. “Kita bukan batu. Luka kita bukan hal biasa, Kak.”
Rani tersenyum getir. “Karena kadang diam lebih aman daripada menjelaskan pada seseorang yang tidak mau mengerti.”
Lina terdiam. Rasa di dadanya seperti air yang tertahan di bendungan retak, menunggu waktu untuk tumpah. Dalam benaknya masih ia ingat bagaimana dirinya malam-malam berlari ke rumah temannya, kakinya berlari menembus angin, menapaki jalanan tanpa alas, tubuhnya hanya dibalut pakaian tidur yang belum sempat ia ganti. Di punggungnya tergantung ransel kecil, di dalamnya ada buku harian yang penuh coretan dan sepotong roti. Ia kira pelarian itu akan membebaskan, tapi di luar sana pun, suara Ibu tetap menggema dalam kepalanya. Tiga kali matahari terbit dan tenggelam, ia kembali. Bukan karena luka di rumah telah sembuh, tapi karena ia tak sanggup hidup dengan bayangan bahwa adik-adiknya dan sang kakak ditinggalkan dalam reruntuhan yang tak mereka pilih.
Sari dan Dina tumbuh bukan sebagai bayang-bayang, melainkan sebagai ujung pisau yang menolak tumpul oleh waktu. Mereka bukan hanya menyimpan bara, tetapi juga meniupkannya agar tetap hidup, menjadi nyala yang tak bisa dipadamkan begitu saja. Dalam deru hari-hari yang riuh oleh bentakan, mereka memilih berdiri, bersuara, meski suara itu kadang bergetar. Pernah suatu malam, saat Ibu menumpahkan kemarahan dengan menyeret-nyeret masa lalu Ayah, tangan Dina sempat meraih piring, nyaris melayang ke udara, namun tertahan oleh napas panjang Sari yang mencoba menjadi pengikat di antara ledakan.
“Kalian semua kayak Bapak kalian! Pendiam, lemah, tak berguna!” suara Ibu menggema dari dapur ke ruang tamu.
Ayah hanya duduk di kursi reyot di sudut ruangan, tempat yang tak pernah berganti sejak waktu mulai terasa berat baginya. Ia menyalakan rokok dengan tangan yang bergerak pelan, seperti menahan sesuatu yang tak kasatmata. Asap mengepul, mengambang lambat di udara, seperti ingin melarikan diri dari tubuhnya sendiri. Ia tidak menjawab, tidak mengangguk, tidak menoleh. Diamnya menjelma dinding tinggi yang membentengi suara-suara dari luar. Tatapannya menembus papan-papan rumah yang telah lapuk oleh musim, seolah hanya benda-benda bisu itu yang mengerti bahasa yang tak pernah ia ucapkan, bahasa luka yang tak selesai, yang ia simpan sejak dunia di sekelilingnya tak lagi ramah.
“Kenapa Bapak nggak pernah bela kami?” tanya Dina suatu malam.
Ayah tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit kamar dan berkata, “Bapak dulu dipukul juga. Kalian masih bisa tumbuh. Bapak dulu nggak sempat.”
Dina nyaris meneriakkan isi dadanya, namun suara itu karam, tenggelam bersama butiran air yang jatuh tanpa aba-aba. Di sela isaknya, ia menyadari perih memang diwariskan, mengalir dalam aliran yang tak kasat mata, turun-temurun seperti bisik luka dari masa silam. Tapi ia juga tahu, setiap rantai bisa patah, dan harus ada tangan yang berani mematahkan, agar tak lagi membelenggu yang datang sesudahnya.
Malam itu, Adit menyusup ke kamar dua saudarinya. Ia menyelip di antara mereka, membawa bantal yang dipeluk seolah pelindung.
“Kak, nanti kalau aku besar, aku juga akan berani. Aku nggak akan diam kayak Kak Rani. Aku juga nggak akan lari kayak Kak Lina,” katanya lirih. “Aku mau jadi kayak Kakak berdua.”
Sari mengusap kepala adiknya. “Berani itu bukan berarti harus teriak, Dit. Tapi jangan juga terus-terusan diam. Berani itu tahu kapan melawan, kapan memeluk.”
“Kita nggak selamanya bisa hidup dalam rumah yang menyakitkan,” tambah Dina. “Tapi jangan sampai hati kita tumbuh menjadi luka yang sama dengan yang kita benci.”
Adit mengangguk, meski belum mengerti sepenuhnya . Tapi malam itu, ia memejamkan mata dengan napas lebih panjang, seolah ada yang memeluknya, bukan dengan tangan, melainkan dengan janji bahwa hari esok akan berbeda.
Hari beringsut, menggerus waktu tanpa suara. Ibu menua, bukan hanya di tubuh, tapi juga dalam cara amarahnya menggema. Ia masih menyulut api, tapi bara itu tak lagi membakar seperti dulu. Tangan yang dulu mengayun tanpa ragu kini mulai goyah, dan suara yang dulu bisa mengguncang langit-langit rumah tak lagi mampu menenggelamkan suara keberanian yang perlahan tumbuh di dada anak-anaknya.
Suatu malam, saat suara amarah kembali menggelegar karena Sari pulang terlambat, tidak hanya satu tubuh yang berdiri dalam gelap. Rani bangkit dari diamnya. Lina menyusul, membawa bayangan masa lalu yang pernah ia tinggalkan. Dina meraih jemari Adit, dan bersama, mereka membentuk barisan yang tak berniat menyerang, hanya ingin didengar meski sekali saja.
Satu kata meluncur, bukan sebagai serangan, tapi sebagai penanda batas.
“Cukup.”
Untuk pertama kalinya dalam hitungan tahun yang panjang dan sunyi, rumah itu diam, seperti menarik napas yang tak jadi dilepaskan. Ibu terduduk, tubuhnya tak lagi bergerak seperti ombak yang kehilangan angin. Tatapannya menyapu wajah-wajah yang dulu hanya ia dengar lewat teriakan, kini berdiri tenang di hadapannya. Tidak ada air mata, tidak ada kata maaf. Hanya jeda panjang dan pekat yang menggantung di antara mereka.
Dari balik pintu yang selama ini hanya menjadi bayangan, Ayah melangkah pelan, seperti seseorang yang akhirnya pulang dari perjalanannya sendiri. Untuk kali pertama, ia berdiri di hadapan anak-anaknya bukan sekadar hadir, tapi utuh. Tangannya terulur, menyentuh bahu Rani, bukan sekadar genggaman, melainkan pengakuan yang lama terpendam.
“Bapak...” suaranya nyaris patah oleh waktu, “...pernah diam terlalu lama. Tapi hari ini, Bapak minta maaf.”
Itu bukan penawar yang menyembuhkan segalanya, bukan juga jembatan yang menutup jurang. Tapi di tengah sisa-sisa luka yang belum sepenuhnya tenang, itu menjadi tanda bahwa langkah untuk pulih telah dimulai. Dan bagi mereka, itu sudah menjadi titik yang bisa dipijak. Cukup untuk bernapas. Cukup untuk melanjutkan.
Dan itu cukup. Tidak sempurna, tidak juga menutup semua luka. Tapi cukup.
***
Kini, waktu telah melarung jauh dari dermaga gelap tempat mereka dulu terikat.
Rani menanam kata-kata di taman kecil dalam benak anak-anak, menyiramnya dengan air yang ditampung dari hujan masa lalunya ia menjadi peluk yang menjelma kelas, menjadi guru bagi benih-benih yang baru tumbuh.
Lina, burung yang pernah kehilangan langitnya, kini berkicau di hutan maya, menabur serpihan kisah di dahan-dahan forum tempat luka-luka disapa, bukan disembunyikan.
Sari dan Dina melangkah di lorong-lorong penuh bayangan, menggenggam bara yang dulu membakar dada, kini mengubahnya menjadi obor bukan untuk perang, melainkan untuk menerangi jalan pulang bagi mereka yang hilang arah.
Mereka masih membawa api bukan lagi di genggaman tangan telanjang, tapi dalam lentera-lentera yang terbuat dari serpihan luka dan cahaya. Api itu tak lagi mengaum, melainkan berbisik. Mereka menapaki kabut dengan nyala kecil di dada, menyibak gelap bukan untuk membakar, tapi untuk menunjukkan jalan pulang bagi jiwa mereka sendiri, dan bagi siapa pun yang pernah terjebak dalam malam yang tak tahu arah.
Adit? Ia menanam benih mimpi di dasar laut kenangan, ingin kelak menjadi penyelam jiwa-jiwa mungil yang tenggelam sebelum sempat belajar bernapas. Katanya, ia ingin menjadi dermaga bagi mereka yang kehilangan pelabuhan kasih. Kini, ia tengah meniti riak-riak ilmu. Ia sedang menempuh pendidikan, digandeng oleh beasiswa yang ia dapat dari kisah hidup yang ia ceritakan saat wawancara.
Kadang, ketika langkah-langkah mereka kembali bergetar di lantai ruang tengah ruang yang dulu hanya tahu gema jerit dan kini mulai hafal irama tawa mereka menoleh ke belakang, bukan dengan api, melainkan dengan tangan-tangan yang saling menggenggam cahaya dari luka yang pernah menganga. Dahulu, mereka bagai tunas yang nyaris tercabut sebelum sempat mengenal cahaya. Namun bumi di bawah kaki mereka tak sepenuhnya menolak. Mereka terus tumbuh, meski dengan akar yang retak, menolak layu meski musim tak ramah. Mereka mekar bukan karena angin membantu, tapi karena kehendak sendiri yang tak sudi tumbang.
Ibu kini kerap menetap di serambi, membiarkan pandangannya jatuh pada taman yang pernah hanya berupa tanah kosong di depan rumah. Di sanalah lima pot berdiri, masing-masing menyimpan kelopak yang tumbuh tak seragam, namun tetap menjulang ke arah cahaya. Seolah setiap lembar daun itu menyimpan cerita, tentang luka yang tak diberi nama, tentang akar yang tetap memilih mencengkeram walau bumi sempat menggoyang. Tak ada yang tahu persis warna apa yang menyelimuti bunga-bunga itu. Tapi siapa pun yang melihatnya tahu: mereka pernah hampir luruh, namun memilih untuk tidak menyerah.
Sesekali, suara langkah kecil terdengar melintasi halaman, anak-anak dari rumah seberang datang berlari, membawa riang seperti angin pagi. Mereka duduk di bangku kayu, tepat di dekat bunga-bunga yang tumbuh dari tanah yang pernah menyimpan sunyi. Ibu tak lagi melarang. Ia menuang teh dalam cangkir-cangkir lusuh, menyodorkan kue yang dibuat dari apa yang tersisa. Lalu, dari bibirnya yang dulu lebih sering menyimpan badai, melintas seberkas lengkung tenang. Ia mendengarkan tawa-tawa itu mengalun, tawa yang dahulu hanya menjadi gema dalam harapan anak-anaknya.
Di matanya, kadang terbit bayang-bayang dari waktu yang jauh, namun tak lagi membawa gemuruh. Hanya diam yang menggantung, dan jejak-jejak yang tak sempat disapu bersih. Ia tak pernah menyusun kata maaf dengan lengkap, tapi dari caranya menyentuh cangkir, menata bunga, dan memanggil nama anak-anaknya perlahan, terlihat ia tengah belajar menjadi manusia yang tak lagi menumpuk luka.
Dan kelima anak itu, dengan langkah yang tak selalu lurus tapi penuh arah, tetap pulang. Bukan karena lupa pada perih yang pernah singgah, tapi karena hati mereka telah belajar menumbuhkan maaf, meski tanahnya dulu retak. Mereka datang bukan membawa dendam, melainkan benih harapan yang terus mereka semai di rumah yang pernah hampir runtuh, tapi kini berdiri dengan cahaya yang mereka sulut sendiri.