Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di dunia ini, setiap manusia hidup dengan sebuah lilin kecil di dalam hatinya.
Tidak ada yang bisa melihat nyala itu.
Kecuali Arga.
Sejak kecil, ia dikutuk dengan kemampuan untuk melihat nyala lilin orang lain,
melihat kapan mereka mulai menyala… dan kapan mereka perlahan padam.
Lilin itu menyala setiap kali dua orang saling mengenal,
dan padam saat mereka berhenti saling mengingat.
Entah karena waktu, jarak, atau kematian.
Itu sebabnya Arga memilih hidup sendirian.
Tanpa teman dekat.
Tanpa cinta.
Ia takut.
Karena setiap kehangatan yang ia rasakan, cepat atau lambat, pasti akan berubah menjadi gelap.
Ia menjaga jarak, membangun tembok tinggi di sekeliling dirinya.
Ia percaya hidupnya aman hanya dalam kesunyian.
Namun hidup, seperti lilin, tidak pernah tunduk pada rencana manusia.
Hari itu, hujan turun seperti biasa.
Arga berjalan pulang sambil menunduk, menghindari tetesan air yang jatuh dari atap toko.
Di tengah derasnya hujan, berdiri seorang gadis di bawah payung bening, seolah terpisah dari dunia di sekelilingnya. Cahaya lilin di dadanya menyala sangat terang. Terlalu terang, hingga Arga hampir menyipitkan mata.
Tidak ada lilin yang pernah ia lihat seperti itu.
“Kamu sedang apa menatapku seperti itu?” tanyanya ringan.
“Aku cuma... melihat sesuatu yang indah,” jawab Arga gugup.
Nama gadis itu adalah Lea.
Sejak hari itu, mereka mulai sering bertemu.
Bukan sekali atau dua kali, tetapi terlalu sering untuk disebut kebetulan.
Kadang Lea duduk di taman, memakan roti isi sambil memberi makan burung-burung kecil.
Kadang ia duduk sendirian di halte bus, memainkan ranting kecil sambil menunggu hujan reda.
Kadang ia muncul di warung kecil dekat sungai, memesan teh panas dan tersenyum ke arah Arga seakan sudah mengenalnya lama.
Di setiap tempat itu, nyala lilin di dada Lea selalu bersinar paling terang dibanding siapa pun.
Arga memegang dada pelan.
Ia merasakan sesuatu yang asing.
Hangat kecil muncul di dadanya sendiri, seperti percikan pertama dari api yang nyaris terlupakan.
Seolah hatinya yang selama ini ia biarkan gelap, akhirnya menemukan seseorang yang cukup terang untuk membuatnya ingin mencoba menyala.
Beberapa bulan setelah kebiasaan mereka bertemu di taman, hidup seolah sedang menguji sesuatu yang tak pernah Arga siapkan.
Lea jatuh sakit.
Awalnya hanya demam ringan, tapi lama-kelamaan ia mulai kehilangan tenaga.
Tubuhnya melemah, wajahnya pucat, dan nyala di hatinya mulai berkedip. Pelan, goyah, seperti api yang sedang berjuang melawan angin.
Arga merasakan dingin merayap ke seluruh tubuhnya.
Ia sudah terlalu sering melihat nyala lilin meredup seperti itu.
Itu tanda yang ia kenal lebih baik dari siapa pun.
Waktu Lea mulai habis.
Lea duduk bersandar di ranjang. Garis-garis lelah terukir di matanya.
Tapi ia tetap tersenyum saat Arga masuk, seakan dunia tidak sedang runtuh di dalam tubuhnya.
“Kamu kenapa kelihatan sedih?” tanya Lea.
“Aku hanya takut... kehilangan cahaya,” jawab Arga.
Lea tertawa kecil. “Kamu bicara seperti penyair, Ga.”
Tapi Arga tidak sedang berpuisi.
Ia sedang takut.
Takut dengan cara yang paling manusiawi.
Takut melihat lilin itu padam seperti yang lainnya.
Setiap kali ia menatap lilin Lea, cahaya itu berkedip semakin sering.
Makin lemah.
Makin pudar.
Dan ketika dokter berkata Lea hanya punya beberapa minggu, Arga memutuskan melakukan hal yang mustahil.
Arga mulai mencari “Orang Lilin”
Legenda lama yang mengatakan bahwa di balik dunia ini, ada orang yang tahu bagaimana cara memindahkan nyala lilin dari seseorang.
Ia berjalan menembus hujan, melewati gang-gang gelap kota tua, hingga akhirnya tiba di rumah tua penuh lilin-lilin tak bernama.
Di sana duduk seorang wanita tua dengan mata kosong. Matanya seperti menatap ke dalam waktu.
“Kamu ingin memindahkan nyala seseorang?” tanya wanita itu tanpa menatapnya.
“Ya,” jawab Arga. “Aku ingin lilin miliknya tetap hidup, meski lilinku harus padam.”
Wanita itu tertawa pelan.
“Nak…” katanya, suaranya lembut tapi mengiris,
“kalau kamu memindahkan api itu, kamu tidak hanya memberi cahaya padanya.”
Ia mendekat, menatap Arga dengan mata yang seperti jurang tua penuh rahasia.
“Kamu memindahkan umurmu, jiwamu, seluruh hidupmu.
Dan lebih dari itu… ketika cahaya itu masuk ke dalam dirinya,
dia akan hidup, tapi… mungkin takkan mengingatmu lagi.”
Arga terdiam.
Ia membayangkan Lea hidup tanpa dirinya.
Lea tertawa tanpa tahu ia pernah menyinari hidup seseorang.
Lea berjalan di bawah langit biru tanpa tahu ada seseorang yang pernah membiarkan dirinya tenggelam demi cahayanya.
Itu menyakitkan.
Lebih menyakitkan dari apa pun yang pernah ia rasakan.
Tapi ia juga membayangkan satu hal lain.
Lea hidup.
Lea tertawa.
Lea melihat hari lain, musim lain, cahaya lain,
meski tanpa Arga.
Arga menutup mata.
Menahan napas.
Lalu, dengan suara yang sangat pelan, tetapi lebih kuat daripada seluruh ketakutannya, ia berkata:
“Kalau itu harga untuk membuat lilinnya terus menyala… aku rela menjadi gelap.”
Malam itu, di rumah sakit, Arga duduk di samping tempat tidur Lea. Ia menatap wajah gadis yang selama ini menjadi warna paling terang di hidupnya.
Di tangannya, dua lilin kecil menyala.
Lilin miliknya, lilin yang redup.
Dan lilin milik Lea, lilin yang hampir padam, seperti nyawa yang mencoba bertahan.
Api kedua lilin itu bergetar dalam gelap, memantulkan cahaya lembut di mata Arga.
Ia menunduk, memejamkan mata, lalu mengucapkan mantra yang diajarkan oleh Orang Lilin itu. Mantra yang terdengar seperti doa yang sudah berusia ratusan tahun, membawa sesuatu yang tidak hanya magis, tapi juga tragis.
Lilin Arga bergetar.
Cahayanya memanjang, merambat, seperti seutas benang yang mencari tempat untuk pulang.
Perlahan… sangat perlahan… cahaya itu mulai bergerak ke lilin Lea.
Cahaya dari lilinnya semakin lama semakin redup, seolah memuntahkan seluruh nyawa, kenangan, dan cintanya ke satu arah. Lea.
Hingga akhirnya…
Api itu berpindah sepenuhnya.
Arga tersenyum.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan hangat yang berbeda. Hangat yang tidak berasal dari dirinya, tetapi dari kelegaan bahwa seseorang yang ia cintai akan hidup esok hari.
Keesokan paginya, Lea membuka mata pelan. Seolah bangun dari tidur panjang yang tak ia sadari.
Tubuhnya terasa ringan.
Sakitnya lenyap.
Napasnya lebih mudah.
Ia bangkit perlahan, meraba dadanya… dan terkejut melihat nyala hangat yang baru di dalam hatinya.
Cahaya itu kuat, hidup, seolah baru saja dilahirkan.
Tidak ada rasa berat, tidak ada ketakutan, tidak ada rasa sekarat.
Hanya kelegaan yang membuat air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Namun ketika ia menatap kursi di samping tempat tidurnya. Kursi yang biasanya ditempati seseorang. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Sebuah ruang kosong yang terlalu hening.
Ruang yang terasa… pernah terisi.
Ia mencoba memikirkan orang itu.
Pria yang selalu datang membawakan bunga mawar.
Pria yang duduk diam menemaninya melewati malam-malam panjang.
Pria yang kadang menahan air mata sambil berkata dia baik-baik saja.
Ia mencoba mengingat wajahnya.
Suaranya.
Namanya.
Tapi seperti lembaran kertas yang sudah dihapus berkali-kali, pikirannya kosong.
Arga…
Nama itu tidak muncul.
Tidak pernah muncul.
Yang tersisa hanya perasaan ganjil. Seperti ada seseorang yang ia tahu, tapi tidak bisa diingat. Seseorang yang penting, tapi hilang dari peta hatinya.
Lea menatap keluar jendela.
Ia merasakan keinginan kuat untuk berterima kasih pada seseorang yang tidak ia kenal.
Di tempat berbeda. Atau mungkin bukan tempat sama sekali. Ada ruangan sunyi yang dipenuhi ribuan lilin.
Beberapa menyala pelan, beberapa berkedip, beberapa padam.
Dan di tengah ruangan itu, ada satu lilin kecil yang tidak bercahaya lagi.
Namun asap tipisnya melayang tinggi, tidak padam oleh angin, seolah enggan pergi.
Itulah sisa terakhir Arga.
Ia tidak lagi berpijak di dunia manusia.
Tidak lagi berjalan, tidak lagi berbicara.
Namun ia tidak hilang.
Ia berubah.
Arga berdiri dalam bentuk yang tidak lagi memiliki bayangan, hanya garis halus yang bergerak seperti cahaya.
Ia menatap lilin-lilin lain di sekelilingnya.
Semua nyala kehidupan yang pernah ia lihat.
Semua kisah yang pernah ia biarkan berjalan tanpa sentuhan.
Dan di salah satu sudut ruang itu, ada satu lilin yang menyala paling terang.
Warnanya jingga lembut, seperti senja yang menolak pergi.
Lilin itu milik Lea.
Ia sehat.
Utuh.
Dan cahaya di dadanya menyala hangat, terang, lembut, dan penuh kehidupan.
Nyala yang dulu ia selamatkan.
Lea menatap langitnya sendiri seakan bertanya-tanya.
Ada sesuatu di matanya. Kerinduan samar pada seseorang yang tak lagi bisa ia ingat.
Arga hanya berdiri dari jauh.
Tidak mendekat.
Tidak memanggil.
Ia tahu perannya telah selesai.
Namun tiba-tiba, Lea menoleh.
Ia tidak mengenal Arga.
Tidak pernah melihatnya.
Tidak punya nama untuk pria itu.
Tapi hatinya… bergetar sangat pelan.
Seperti lilin yang mengenali hangat yang pernah memeluknya di kegelapan.
Ia tersenyum kecil, tanpa alasan.
Arga membalas senyum itu.
Hujan terus turun.
Lilin-lilin di hati manusia lain terus menyala.
Dan di antara mereka semua, ada seorang pria tanpa cahaya…
yang pernah menjadi nyala paling terang yang tidak terlihat.
Dan entah di mana. Atau entah di balik apa. Nyala terakhir Arga ikut tersenyum kembali.