Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pikiranku berkelana kembali pada hujan bulan Juni kala itu, di tahun 2019.Saat pertama kalinya teduh mata kita beradu menyemai bibit baru yang langsung mekar. Bunga-bunga indah mawarni mengundang kumbang beterbangan mengitari ranum sari. Ada besit yang tidak bisa dijelaskan. Ada detak yang tak bisa diutarakan. Hingga di penghujung tahun, kita pertama kalinya menyiram bunga-bunga itu bersama-sama. Membiarkannya tumbuh liar tak terkendali. Membuncah bersit keindahan merajut banyak cerita seru.
“Aku agam kanti kamu.”
Malu-malu semu muka memerah saat kau mengatakannya. Berhenti detak jantungku. Berhenti dunia berputar. Jam-jam berdiam diri tidak berderak. Keheningan merambah, menyisakan kita berdua bersua di dalamnya. Padahal nyaris saja otak kita hampir habis diperas lantaran kesulitan mengerjakan soal-soal ujian. Serasa langsung utuh kembali secara penuh.
Aku kabur.
Seketika kesiapanku sirna. Adakah ini nyata, pikirku. Adakah ini tidak salah terjadi pada diri ini, sesalku. Aku tidak siap lantaran takut dibayang-bayang masa lalu yang belum sepenuhnya hilang. Disia-siakan, dibiarkan mengemis, ditinggalkan, takut akan terjadi hal sama kedua kalinya. Maka, dalam ragu menyelamatkan diri aku kabur darimu. Pelarian pertama dalam cerita ini.
Kenyataannya semesta membiarkan kita kembali bertemu dalam asa. Kamu tidak mengejar, aku berhenti kabur. Memilih berdamai dengan masa lalu yang sakit. membiarkan semua berjalan dengan langkah riang. Keseruan hari-hari kita menghabiskan banyak waktu bercakap-cakap, mengecat dinding kelas, berlarian saling mengejar dan usil satu sama lain. Kamu ingat, seragam abu-abu milikku berkecipak cat putih yang sulit hilang. Tapi anehnya aku suka, menganggap itu cerita lucu.
Hingga tragedi virus itu melanda penjuru bumi. Semesta menjauhkan kita dalam waktu lama.
“Tidak apa-apa. Nanti kita bertemu via udara.” ucapmu penuh ketenangan.
Kehangatan menjalar ke relung terdalam ruang dadaku. Sebetulnya ada ketakutan yang kutepis jauh. Akan kehilangan lagi teman melangkah, akan ditinggalkan lagi. Dalam diriku berkecamuk luar biasa. Tidak. Jarak ini hanya sementara, bukan?
Sekolah vakum 100 hari. Tidak ada yang bisa bertemu satu sama lain, apalagi kita saat itu. Kamu tidak mencariku, aku sedang keterbatasan alat komunikasi. Hilang. Kita benar-benar saling menghilang. Kamu berbohong akan bicara via udara. Kenyataannya udara itu bisu tidak bersuara. Angin tidak membisikkan apa pun padaku. Tidak ada rindu yang kamu titipkan. Kamu ke mana? Akankah ini menjadi pelarian kedua dalam cerita ini?
Hingga kita sampai pada puncak kesengsaraan dalam diam. Saat semesta mengembalikan waktu kita kembali bertemu. Matahari memerhatikan bagaimana kehidupan berjalan normal sedia kala. Kita tak kunjung beranjak dari keasingan yang terasa ‘asing’.
Aku menggeleng heran. Adakah manusia unik macam kamu yang tiba-tiba menghilang lalu kembali dengan keasingan? Padahal sebelumnya baik-baik saja. Seperti mangsa yang kabur dari pemburu, kau menghindariku macam bertemu hantu. Di kelas, di kantin, di perpustakaan, di mana pun kita sempat berpapasan kamu langsung terbirit-birit. Apakah gerangan?
Kudapati jawabannya enam bulan kemudian. Menjelang kenaikan kelas dua belas di momen salah paham. Demi keindahan foto bersama satu kelas, mau tak mau aku harus memberanikan diri menyapamu lebih dulu. Membuang segala malu dan harga diri, aku menyampaikan pesan dari kelas.
“Esok datanglah ke kelas memakai seragam yang rapi, kita foto bersama.” Nyaris tidak bernada aku mengucapkan kalimat patah-patah.
Alih-alih kabur seperti biasa, kamu mengetuk ujung meja dengan irama bagus, menatapku dengan wajah semu merah seperti waktu itu.” Aku takut tidak sempat bertemumu lagi.”
Blang.
Aku hampir pingsan memandangi keindahan di depanku. Tubuhku limbung hampir jatuh. Awalnya aku tidak mengira kamu akan salah paham begitu. Tapi itu kebetulan sempurna. Besoknya kita berbaikan. Duniaku kembali penuh, lihatlah mekar bunga yang kembali tumbuh. Amboi! Meski pada akhirnya libur sekolah memisahkan raga kita lagi, kali ini bisa teratasi lebih baik.
Lompat ke tahun 2022.
Mengucapkan perpisahan dengan almamater menjadi ruang haru biru. Tangan-tangan berjabatan erat tidak mau lepas, enggan berpisah. Salim kehormatan guru-guru menjadi memori ter-sedih yang pernah tercatat di benakku. Memandangi teman-temanku satu persatu dalam rangkul perpisahan, mereka akan menjemput asanya masing-masing .Menentukan langkahnya sendiri. Hingga pandanganku sampai di kamu, berlinang air mata kau mengangguk bangga, kau sudah menentukan takdir terbaik kehidupanmu.
Aku pergi.
Tidak hanya dari hadapanmu, tidak hanya dari almamater tempat kita bertemu. Aku pergi melangkah paling jauh bersama kepal dukunganmu. Di detik terakhir aku pergi, aku melihat tangan melambai paling kencang di antara yang lain. Itulah dukungan paling berhargaku.
Selepas itu, perjalanan kita sama sekali tidak mudah. Pada hari pertama kakiku menapak di tanah Jawa, aku kehilangan satu-satunya alat yang bisa menuju kepadamu. Seratus hari tanpa gawai, seratus hari tanpamu. Kerinduan yang mencekik berkedut pada malam-malam bergeming sendu.
“Tidak papa. Nanti kita bicara via udara.”
Ucapanmu berdenging di telingaku berkali-kali. Malam-malam yang panjang tidak membuatku lekas mengantuk dan tertidur. Bergerak ke sana kemari bergantian posisi. Atau kadang bermimpi bertemu denganmu. Rupa-rupa kegelisahan menghantuiku setiap hari.
Setakat hari berkecimpung di dunia perkuliahan. Adaptasi yang membuat depresi kalut berkepanjangan. Tekanan dari segala sisi membenturku ke segala arah. Rasaku mulai tercerai berai. Perasaan tidak nyaman, ingin kabur dari kenyataan dan rasa ingin mati. Maka saat kehadiranmu kembali, aku bombardir kau hingga meledak.
Karena aku butuh kau di masa gentingku.
Itu yang aku pikir. Ketakutan akan ditinggalkan teman separuh hati kembali merambah menyelimutku, kali ini lebih kuat. Obsesi, posesif, kutuntut waktumu dua puluh empat per-tujuh. Kucekik keleluasaanmu bergerak, menguncimu dalam depresiku. Jahat. Iya, aku egois.
Hampir mati kau menahan teriakmu. Memekik kau di amarah tertahan. Benarlah ketakutan terbesarku. Aku kehilangan eratmu lagi. Kau ada tapi tak hadir. Kau ada tapi tidak ada. Semakin kuat aku menggenggammu, semakin kau mencari celah kabur di sela jemari. Setahun, dua tahun, tiga tahun. Seiring waktu perlahan berlari menjauhi masa, semakin hambar perasaan antara kamu dan aku. Erat genggam di tangan tak berasa sampai hati. Sekian waktu itu, aku menyadari, tidak ada gunanya menahanmu. Aku pamit kabur. Pelarian ketiga dalam cerita ini.
Tidak lama. Hanya kurun waktu tiga kali bulan purnama. Kerinduan lebih dulu menyerbu membabi buta. Ah entah! Kita ini terlalu aneh sebetulnya. Saling kabur tiap masa tenggang. Saling merindu kemudian bertemu lagi. Begitu seterusnya.
Menepis segala ego, kita duduk selesaikan segala bentuk perubahan, evaluasi. Memulai lagi dari titik nol, memulai terima lagi keadaan yang tak sesuai. Toleransi tingkat tinggi dan perbaikan.
"Lebih sakit jika tanpamu. Lebih mematikan rindu daripada bertengkar tanpa temu." Aku tersenyum menetralkan gelora di muara biru permukaan benik.
Kali ini, kita tidak hanya memperbaiki temali emosional tapi menentukan arah kemana kita akan pergi. Perlahan, hambar perasaan bisa kita tepis jauh. Enyah. Melebur bersama asa yang kian tumbuh di atma berdua.
Tidak lama juga.
Permasalahan eksternal mulai melempari batu ke arah kita. Restu semesta, Urusan jarak juga jadi bumerang, dan ego yang belum pulih. Kita saling pasang badan dari jauh tapi juga saling memukul dari dalam. Aku tahu kau ingin kabur. Tapi kali ini tidak akan kubiarkan.
Bukan karena takut kesepian. Lebih kepada, "ayo kita hadapi bersama. Alih-alih kabur lebih seru kita selesaikan. Kita sudah dewasa, bukan? Hal seru bukan lagi tentang saling melempar bola di jam olahraga sekolah, hal seru saat ini adalah selesaikan masalah dengan baik tanpa kabur. Ini tantangannya, ayo kita hadapi bersama."
Kau menggeleng keras-keras. "Terlalu banyak panah yang menembus pertahanan kita. Lihat yang menancap di punggungmu, aku gagal melindungi mu lagi. Sudah ya, kita sibuk sembuhkan diri sendiri saja dulu. Aku hendak tidur yang lama."
Avoidant.
Belum pernah aku se-kalang kabut ini. Aku begitu tidak memahami mu bahkan jika hanya sekecil debu yang menempel di dagu. Cerita ini hanya tentang pelarian yang tidak pernah berakhir.
"Tidurlah yang tenang. Besok ketika kamu bangun, tidak akan ada lagi kabar dari ku sampai bangunmu lusa, dan seterusnya. Pastikan kamu melepas ku dengan benar. Jangan tinggalkan jejak di aku lagi. Benar katamu. Panah di punggungku terlalu banyak. Tapi kenapa tidak berasa. Aku sudah mati rasa."
2019-2025, cerita kita resmi sudah usai.