Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siang yang cerah tanpa diselimuti oleh awan-awan hitam yang selalu ingin mencurahkan tangisannya.Yang terlihat hanyalah awan putih bersih dan langit biru keindahan yang membentang luas tanpa diketahui sisi serta ujungnya. Sepertinya alam juga merasakan apa yang dirasakan oleh seorang remaja berumur lima belasan, atau lebih tepatnya kelas tiga sekolah menegah pertama.
Anak itu baru merasakan sensasi berbahagia pada hari ini. Sebelumnya ia sempat lelah menghadapi ujian pertengahan semester dan pada detik ini segala kepenatan terbayarkan oleh nilai raportnya yang memuaskan, yaitu peringkat pertama.
"Hei, Atta, buruan sini!" Pinta seorang leleki paruh baya yang tidak jauh dari sisi tempat ia berdiri.
"Ia, Pa, Atta datang." Jawab anak itu, ternyata lelaki paruh baya tadi adalah ayahnya Atta yang memintanya agar segera menghadap padanya.
"Buruan naik ke mobil."
"Kenapa, kok getir banget sih, Pa?"
"Nanti aja, di mobil Papa jelasin." sambung papa Atta yang membuatnya sedikit bingung.
"Memangnya ada apa, ya? Kok, Papa nyengir terus?" Tanya Atta dalam hati sambil memasuki mobil. Di tengah perjalanan yang hening, dipecah oleh suara deruan mobil yang melaju kira-kira delapan puluh KM perjam.
"Ta, berapa hari liburnya, Nak?"Tiba-tiba papa Atta bertanya.
"Sepuluh hari kurang lebih, Pa," jawab anak itu sambil melirik-lirik isi raportnya.
"Wah, Pas banget itu. Ada yang ingin papa katakan padamu dari tadi makanya papa nyengir terus." Atta baru faham sebab gerak-gerik dan pertanyaan papanya barusan, pasti ini sabuah kejutan karena nilainya yang memuaskan. Bisa jadi jalan-jalan yang ia tidak tahu-menahu kemana, makanya ditanya soal liburannya berapa hari.
"Kita kan udah dua tahun nggak mudik, lebaran juga kita ke luar daerah diajak rekan bisnis papa. Gimana kalau liburan tahun ini kita habiskan di rumah nenek? Pasti seru, mau nggak?!"saran papa Atta.
"Ya jelas mau dong, Pa. Papa gimana sih, terus kapan kita berangkat?" Tanpa ditawar dua kali, dia langsung saja bersemangat mendengar penjelasan papanya barusan.
"Gitu dong. Papa juga rindu sama nenek, makanya papa ngajakin kamu. Kalau masalah berangkatnya, nanti sore saja langsung," Semakin diperjelas papanya.
***
Sore itu, tanpa memperpanjang waktu. Atta beserta keluarga kecilnya langsung melintasi jalan lintas kabupaten. Yang mana keunikannya adalah jalanannya di pinggiran pantai dan sangatlah lurus laksana jalan tol. Diindahkan juga oleh deruan ombak yang hilir mudik diterpa angin darat atau laut. Juga terlihat disana banyak sekali nelayan yang mulai angkat sauh mencari rezeki di malam hari. Semakin melaju mobilnya maka semakin terlihat warna merah merekah milik senja di langit bak cipratan cat yang ditumpahkan di atas langit luas sana. Indah sekali!
Keindahan sejenak tadi raib dari pandangan, tanda waktu magrib telah masuk, mobil dengan cekatan dikemudikan papa Atta untuk mencari-cari masjid. Dalam sekejap, langsung tampak di penghujung jalan dekat tikungan sebuah masjid. Atta dan keluarga turun sejenak untuk salat.
"Kita salatnya langsung di jamak aja ya!?"Kata papa Atta.
"Oh ya, agar menghemat waktu perjalanan kita juga"sambung mamanya yang ia balas dengan sebuah angukan.
Setelah salat maghrib usai, mama Atta didampingi adiknya Alicia membawa beberapa bungkusan ke sudut teras masjid.
"Atta makan dulu aja, nanti mual. Perjalanan kita jauh," Pinta mama Atta.
"Iya, Ma,"Atta akhirnya makan untuk mengganjal perut kosongnya.
Lantas, mereka pun melanjutkan perjalanan setelah perut terisi. Papa Atta mulai memasang lagu di Mp3 mobilnya untuk memecah keheningan malam. Dari depan belakang juga samping mobilnya, banyak truk-truk dan mobil angkutan berlalu-lalang ke tujuannya masing-masing Di tengah mondar-mandir kendaraan yang melintas, bila mata Atta mulai terasa berat. Sayup-sayup penglihatannya mulai buram, ia memutuskan untuk beristirahat di atas jok mobilnya yang dikunci oleh sit-belt. Mobil terus melaju menuju daerah tujuan keluarga Atta.
"Bangun, Kak," Perintah Alicia pada Atta dengan menggoyang-goyangkan badannya.
Atta keluar dari mobilnya seraya menutup pintu kendaraan roda empatnya. Ia berjalan sambul mengucek matanya menuju rumah panggung yang tampaknya baru direnovasi dengan gaya layaknya zombie sedang mencari mangasa, sangat kikuk. Kakinya bergetar kedinginan ,pandangannya terhalang embun pagi bak berjalan di engah- tengah asap yang sedang mengepul. Hawa tersebut seperti tengah membekukan tubuhnya.
"Assalammualaikum," Sapa Atta di ambang pintu rumah tersebut.
"Waalaikumussalam, wah cucu nenek datang," Dengan tertatih-tatih juga sedikit membungkuk, sorang nenek tua berjalan menuju binkai pintu dengan dibopong oleh seorang lelaki setengah baya.Ya, itu paman Baim, pamamnnya Atta sendiri.
"Bagaimana kabar cucu nenek?"
"Baik, Neek"
"Alicia udah makin besar ya, cantiknya juga bertambah," Puji neneknya pada Alicia. Pipinya langsung memerah seketika.
Dengan berbagai basa-basi yang dilontarkan sebagaai pelepas rindu dua tahun, neneknya langsung mengajak masuk dan menunjuk sepasang kursi kayu yang dilapisi oleh jok sofa di tengah ruangan dengan artian mempersilahkan tamunya untuk duduk. Seketika hawa yang membekukannya beralih menjadi hangat saat dia langsung berlari menuju pojok ruangan itu, karena di sana ada seperti ruangan kotak kecil menjorok kedalam. Di sana isinya adalah bara api yang memuntahkan asapnya melalui cerobong panjang sambungan dari ruangan kotak kecil tadi.
Tiba-tiba terlemparlah sebuah sweater dan syal yang mendarat di punggung Atta, lalu ia menoleh ke belakang.
"Pakai tuh sweater, Papa kamu suruh," Perintah paman Baim.
"Siap, Bos, terus syal-nya dari mana?"Jawabnya sambil menyalam ciumkan tangan pamannya.
"Punya kamu, itu dari paman.Terus, ngapain manggilnya bos segala?" Selidik paman Baim.
"Karena kalau boleh jujur, setiap aku datang kesini terus jumpa sama paman, aku tuh patuh banget gitu. Ngomong-ngomong ini syal-nya bagus banget. Makasih ya, Bos," Katanya sambil nyengir.
"Siang nanti ikut, Paman, ya"
"Emangnya mau kemana sih, pakai ngajak-ngajak segala?"
Ke gunung, nuntun kerbau nenek balik ke kandangnya."
"Ooo... Gitu, memang aku nggak pernah ke gunung kalau di rumah.Tapi ini kedengarannya menarik," Cetus Atta dengan mengungkapkan ketertarikannya atas usul paman Baim itu.
Paman Baim lalu mengajak Atta beranjak menuju teras rumah panggung itu. Beberapa detik kemudian, lalu datang papa Atta dari dalam menyusul mereka berdua. Lenggang sejenak, lalu paman Baim memutuskan untuk memulai percakapan dengan papanya, ia faham cerita itu pasti cerita orang tua. Jadi Atta faham lalu undur diri dan langsung beranjak dari tempat duduknya, sebuah bangku panjang yang sudah mulai lusung dimakan waktu yang konon katanya papa Atta lah yang membuatnya sebelum pergi merantau dahulu.
Matahari mulai mendaki menuju puncaknya, yaitu berada di titik pas di atas kepala atau lebih tepatnya pukul dua belas pas yang membuat jiwa paman Baim semakin semangat untuk ke gunung siang itu adalah cuaca yang mendukung. Meskipun sudah tengah hari, sang surya masih merasa malu untuk menampakkan wujudnya. Ia dibantu oleh sekelompok awan-awan yang masih menumpuk di atas sana, mereka pun tak ingin berpisah satu sama lain.
Tanpa menunggu lama, karena hanya akan menyia-nyiakan waktu saja. Paman Baim mengajak Atta ke samping rumah. Di sana sudah terparkir gagah satu unit motor trail warna hijau milik paman pribadi. beberapa menit berlalu, motor sudah dihangatkan dan tibalah saatnya suara lengkingan motor itu.
"Ayo naik!"
"Ya, paman," Tanpa berfikir lagi, langsung naik di kursi penumpang, tepatnya di belakang paman Baim. Di ambang jendela, terlihat Alicia yang sepertinya tergiur melihat tingkah kedua lelaki tanggung itu.Tetapi sayang seribu sayang, mamanya tidak memberikan izin padanya untuk pergi. Ia hanya memfokuskan pandangannya ke satu sisi tanpa melihat Atta dan pamannya bak patung liberty yang selalu memojokkan pandangannya ke satu arah, sebenarnya sesekali ia mencuri pandang ke arah dua lelaki itu.
"Pa, Atta pergi, ya."
"Ya, hati-hati di jalan." Balas papanya dari teras depan rumah panggung itu sambil membaca koran dan ditemani oleh secangkir kopi hitam yang mengepul-ngepulkan asapnya.
Motor melesat dengan cekatnya didampingi lengkingan dari knalpot yang membuat telinga orang yang mendengarnya peka. Saking cepatnya, kalau diadakan sirkuit di sini, mungkin pamannya Atta ini juaranya. Bisa jadi, beberapa menit berlalu dengan cepatnya, keduanya mulai memyusuri jalanan setapak yang sepertinya jalan itu adalah jalurnya para petani menuju ladang. Atta terlihat sedikit panik melihat medan yang benar-benar kacau-balau.Tidak tepat dikatakan seperti bukan jalan. Dan tibalah mereka di bawah Tusam rindang nan besar, sampai-sampai cahaya matahari pun hanya sedikit harapannya untuk menerobos ke bawah. Paman Baim melirik sekitar seperti memastikan sesuatu.
"Atta, kamu boleh turun."
"Sampai sini aja ya, Paman. Terus di mana semua kerbau-terbaiknya." Selidik Atta.
"Kamu kan lihat sendiri, jalannya seekstrim ini. Dari bawah ke sini aja sepias ini wajahmu kamu. Jalan aja, yuk!"
"Yaudah kalau gitu." Seketika mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, sambil menepis-nepis semak belukar yang mmbingungkan perjalanan. Atau bisa jadi menyesatkan.
Hutan ini persis hawanya seperti tadi pagi, sangat menusuk dinginnya. Semakin dimasuki ke dalam, semakin menjadi-jadi gumpalan embun yang elok itu. Sesampainya mereka di puncak, Atta melihat sekelilingnya hanya ada awan putih. Laksana kapas yang bergumpal-gumpal. Artinya paman Baim dan Attas sedang berada di atas awan.
"Ini keren loh, Paman. Di rumah aja tidak pernah kulihat sensasi alam seperti ini." Puji Atta.
"Namanya juga rumahmu di pesisir, ya mana ada lah beginian. Ini kan di dataran tinggi." Tanya jawab mereka terhenti ketika paman Baim melihat kerbau-kerbau nun di bawah sebuah pohon besar. Atta lalu diajak menuntun hewan ternah neneknya itu ke kandang yang tidak jauh dari pohon Tusam tempat motor tril tadi berhenti.
"Loh, ternyata di sini kandangnya." Tanya Atta kebingungan.
"Di mana lagi?"
"Kukira tadinya di dekat rumah nenek."
"Ko kamu nggak tau sih?"
"Dulu kan, Paman kalau pergi ke sini sendiri aja, aku aja baru tau kalau nenek punya kerbau. Sebelum-sebelumnya hanya dengar cerita aja sih. Hehehe."
"Oh, ya maaf, Paman juga lupa." Keduanya tertawa sambil menghidupkan api di sela-sela kandang. Api semakin membesar ketika paman Baim menumpuk-numpukkan pupuk kandang ke atas bara api tersebut.
Sepulangnya dari lereng gunung itu, alias kandang kerbau-lerbau tadi, paman Baim mengajak Atta untuk mandi sore di salah satu sungai yang berhulu di gunung tempatnya melihat-lihat awan bergumpal tadi. Atta yang digandeng paman Baim dengan motor tril kembali melalui medan ekstrim itu. Akan tetapi, kali ini ia mulai paham dengan kondisi. Tidak lagi terlalu panik meski ada sesekali. Motor tril mulai menyusuri jalan setapak tadi hingga sampailah mereka ke sebuah bendungan, atau lebih tepatnya irigasi kecil, karena hanya membendung air untuk dialirkan ke sawah-sawah. Tepat di pinggir jalan itu, indah sekali. Di sana terlihat banyak penduduk yang bertujuan sama dengan mereka berdua, yaitu mandi.
Atta tanpa sabar menerobos jalanan semen, disusul paman Baim. Tanpa berlama-lama, paman Baim langsung melompat ke air yang tampakmnya tenang. Sepertinya tempat itu dalam, karena selain warnanya hijau yang pekat di sekitarnya banyak juga tetlihat riak-riak yang memutar air bak angin puting beliung. Tidak terlihat kepanikkan pada diri Atta, mungkin karena ia sudah terbiasa melihat gelombong pasang surut air laut di rumahnya. Ia juga langsung meloncat ke sisi paman Baim.
Mandi sudah, saatnya untuk mereka pulang. Atta juga terlihat mulai kikuk karena airnya tidak jauh bedanya dengan air es. Di perjalanan pulang, paman Baim membelikan Atta makanan ringan. Disantapnya di tempat itu langsung dan membelikan punya adiknya Alicia yang sedang berada di rumah nenek. Ia sudah menanamkan perilaku seperti ini sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Semuanya telah beres, makanan yang ada di mangkuk telah raib alias sudah masuk dalam perut. Paman Baim sudah membayarnya. Sekarang tanpa ada berhenti-berhenti lagi, mereka juga tidak ingin berlama-lama. Motor yang dikendarai mereka melesat menuju rumah nenek Atta.
"Halo, Pa, " Sapa Atta yang sepertinya tampak kelelahan.
"Papa tau, nggak, ternyata di sini itu banyak tempat-tempat indah, ya?"
"Ya dong, terus kamu kok keliahatannya senang sekali?"
"Banget, Pa."
"Ih, kebangetan itu!" Celetuk Alicia dari dalam rumah, dan menuju ke kumpulan kecil itu.
"Ohiya, kakak hampir lupa. Ini ada bakso buat kamu." Diulurkan Atta sebuah plastik berisi bungkusan bakso kepada Alicia.
"Makasih ya, Ka." Rampas Alicia sambil kembali masuk ke dalam. Seketika semuanya tertawa kecil melihat tingkah laku Alicia yang menggelikan perut.
***
Jam demi jam merangkai siang malam, siang demi malam membentuk hari, hari-demi hari berlalu.
Sudah sepekan Atta dan keluarga kecilnya menghabiskan waktu di rumah nenek. Kini saatnya untuk kembali ke rumah. Papa Atta melanjutkan pekerjaannya, demikian juga mamanya. Ia melanjutkan sekolahnya begitu pun si kecil Alicia. Waktu berlibur keluarga kecil ini telah habis ditelah waktu. Seluruh keluarganya sudah puas dengan liburan, kecuali ia sendiri. Di dalam benaknya masih terbesit rasa ingin tahu atas berbagai macam atau beragam keunikan yang ada di kampung halaman papanya itu.
Atta meminta izin kepada papanya, bahwa ia ingin melanjutkan liburannya kurang lebih tiga hari saja. Kalau masalah pulang, paman Baim berkenan mengantarkannya. Tetapi dengan berat hati, papanya tidak mengizinkan pendidikannya rusak hanya karena menghabiskan waktu itu menjadi sia-sia. Itu dapat merugikan diri sendiri.
"Puasa nanti kita juga akan ke sini lagi." Bujuk papa Atta.
"Tapi, papa nanti pasti ngajakin Atta berlibur sama teman-temannya, Papa. Rugi dong nggak ada waktu ke sini." Bantah Atta.
"Liburan puasa nanti, papa janji kita tuh ke sini lagi. Kalau sekarang Atta bolos, nanti nggak dapat peringkat pertama lagi, ya lebih rugi dong. Terus, manfaatnya apa liburan? Libiran itu kan cuma merilekskan pikiran sejenak."
"Nggak lo, Pa, di sini tu liburannya beda dengan yang lain. Kalau sama paman Baim, liburan juga bermanfaat." Dengan berbagai macam alasan yang diberikan papa Atta padanya, akhirnya ia pun kalah karena neneknya dan paman Baim membantu membujuk. Begitulah sampai mereka pulang atau pergi meninggalkan kampung halamannya papa Atta.
-Awal ditulis di gedung Mekkah, Rabu 29 Februari 2024.
Selesai di masjid Jami' Darul Amin, Jum't 01 Maret 2024.
Berkisaran pukul 19: 26 WIB.
Salam Literasi.
Lisanda: Literasi Santri Darul Amin.