Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kaila mengelus perutnya yang mulai membuncit. Kedua matanya menatap ke arah layar televisi yang menampilkan sebuah acara kompetisi memasak. Wanita itu berkali-kali menelan ludah ketika melihat sang dewan juri mencicipi masakan para peserta. Sebenarnya peserta tersebut hanya memasak rendang, namun entah kenapa di mata Kaila saat ini makanan itu terlihat begitu menggiurkan.
"Kayaknya enak," gumamnya. Bersamaan dengan itu, suara pintu terdengar. Kaila menoleh dan mendapati Edgar yang baru saja pulang dari kampusnya.
"Apa?" Edgar membuka suara saat menyadari tatapan Kaila.
"Enggak. Hehe." Kaila tersenyum kecut. Dia ingin sekali berkata kalau dia ingin makan rendang, namun dia terlalu takut. Edgar pasti akan mengomelinya seperti beberapa hari yang lalu.
"Udah makan?" tanya Kaila pada akhirnya. Edgar kini membaringkan tubuhnya di ranjang, tepat di sebelah Kaila. "Kalo belum, nanti aku masakin—"
"Gak usah. Gue udah makan tadi, sama Diandra."
Ucapan Kaila menggantung. Mulutnya bahkan masih setengah terbuka. "O-oh."
Lagi-lagi wanita itu.
Kaila meremas sprei tanpa Edgar sadari. Lelaki itu kini terlihat memejamkan kedua matanya. Kaila ingin sekali marah, dia cemburu setiap kali Edgar pergi dengan Diandra yang tidak lain adalah kekasihnya. Wanita itu tersenyum kecut. Edgar adalah suaminya, dan lelaki itu tidak seharusnya pergi berkencan dengan wanita lain, apalagi istrinya kini tengah mengandung anaknya.
"Lo udah makan?" tanya Edgar tanpa membuka kedua matanya.
"U-udah." Kaila menatap perutnya yang membuncit. Kehamilannya sudah menginjak bulan ke lima. Sejujurnya dia sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hatinya. Namun— Kaila menoleh pada Edgar. Dia tidak yakin lelaki itu juga akan sebahagia dirinya. Kenyataan itu harus Kaila telan pada akhirnya.
"Bayi itu bukan anakku."
Kalimat itu kembali berputar di dalam kepala Kaila. Ingin sekali Kaila meneriaki lelaki brengsek yang saat ini tengah berbaring di sebelahnya itu. Namun dia kembali harus menahan.
"Setelah anak itu lahir nanti, kita bercerai."
Setetes cairan bening berhasil lolos dari salah satu mata milik Kaila. Dia kembali mengelus perutnya. Anak yang tengah dikandungnya tidaklah bersalah. Dia harus bersabar, meskipun nanti dia mau tidak mau harus menerima ketika hubungannya dengan Edgar berakhir di meja hijau. Dia melakukan semua ini untuk anaknya.
Batin Kaila menjerit, “bayi ini anakmu, Ed. Anak kita."
Kaila hendak menyentuh rambut milik Edgar, namun lelaki itu tiba-tiba membuat pergerakan menjadi membelakanginya.
"Matiin TV-nya, berisik."
Tanpa banyak bicara, Kaila meraih remot yang tergeletak di sebelahnya dan segera mematikan TV. Ditatapnya punggung Edgar. Andai saja hubungannya seperti dulu. Kaila tidak habis pikir mengapa semuanya berubah begitu drastis. Dia dan Edgar dulunya adalah sepasang kekasih. Mereka saling mencintai satu sama lain, sebelum akhirnya sebuah peristiwa mengerikan terjadi.
Kaila hamil. Itu bukan kehendaknya, sungguh. Edgar-lah yang memaksanya. Kaila meminta pertanggung jawaban namun Edgar malah membentaknya. Dia bahkan menyalahkan Kaila.
Kehamilan itu mereka rahasiakan dari semua orang, termasuk orang tua mereka. Sampai akhirnya Edgar menyetujui permintaan Kaila agar segera menikahinya, namun dengan satu syarat. Setelah bayi itu lahir, Kaila harus bersedia bercerai.
Kaila terkejut bukan main dengan keputusan Edgar. Lelaki itu adalah ayah dari anak yang dikandungnya, dia adalah ayah biologis dari bayi itu. Namun kenapa malah seperti ini? Dan yang lebih parahnya lagi, Edgar malah berkencan dengan Diandra yang merupakan rekan kuliahnya. Bahkan dia pernah membawa wanita itu ke rumah. Kaila tidak habis pikir, sebenarnya apa yang ada di dalam otak lelaki itu? Edgar yang dia kenal adalah sosok lelaki yang lembut terhadap wanita dan juga pengertian. Bukan lelaki brengsek seperti sekarang.
Kaila kembali menghapus air matanya. Dengan gerakan perlahan, wanita itu menyelimuti tubuh Edgar dengan selimut. Ditatapnya kembali punggung Edgar sebelum dia beranjak dari ranjang dan pergi keluar kamar.
Sakit sekali. Ketika orang yang dulu paling mencintaimu, kini berubah menjadi orang yang seakan-akan paling membencimu.
"Apa salahku, Tuhan?"
Kaila menuruni anak tangga dengan perlahan. Semenjak hamil, dia tidak diperbolehkan pergi keluar oleh Edgar. Aneh sekali, padahal lelaki itu justru bertingkah seenaknya di luar sana.
Bel berbunyi ketika Kaila mencapai anak tangga terakhir. Wanita itu segera berjalan menuju pintu. Begitu pintu dibuka, dia terkejut bukan main saat melihat sesosok lelaki tengah berdiri di baliknya. Senyumnya mengembang begitu melihat Kaila.
"Kok diem? Ini kan bukan pertama kali lo lihat gue," ujarnya diiringi kekehan.
"Kok diem? Ini kan bukan pertama kali lo lihat gue," ujarnya diiringi kekehan.
Kaila mengerjap. Lelaki itu adalah Fatih, yang merupakan temannya saat masih di bangku SMA dulu.
"Tambah cantik aja lo, Kai." Fatih mencubit salah satu pipi Kaila. Dia kemudian berjongkok. "Halo. Udah tambah gede aja ya? Cepet lahir, nanti biar bisa main bareng." Dia lalu mengelus perut Kaila.
Kaila terdiam. Andai Edgar seperti ini padanya. Lelaki itu bahkan jarang menyapa calon anaknya atau sekadar mengelus perutnya. Salah satu hal yang semakin membuat Kaila kesepian.
"Tadaaaa ... " Tiba-tiba Fatih mengangkat salah satu tangannya yang memegang sebuah pepper bag.
Kaila mengernyit sembari menunjuk benda itu dengan telunjuknya. "Kamu bawa apa?"
Namun bukannya menjawab, Fatih malah menarik tangan Kaila agar mengikutinya. Lelaki itu menyuruhnya duduk di sebuah kursi yang berada di teras. Dengan cekatan dia mengeluarkan sebuah lunch box berukuran sedang yang dibawanya.
Kedua mata Kaila seketika berbinar saat melihat rendang yang berada di dalamnya. Dia langsung menatap Fatih tidak percaya. "Kamu kok tahu—"
"Tahu lah. Kebetulan tadi gue nonton acara masak di TV. Terus gue tiba-tiba inget lo. Kebetulan nyokap gue tadi bikin rendang, jadi sekalian aja gue bawain buat lo. Hehe." Fatih menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya ampun Fatih, aku lagi pengin makan rendang." Kaila langsung merebut lunch box yang masih berada di tangan Fatih dan langsung memakannya dengan lahap.
Melihat itu, Fatih tersenyum. Dia mengacak puncak kepala Kaila dengan gemas.
"Ngomong-ngomong Edgar udah pulang, Kai?"
Kaila mengangguk di antara kegiatan mengunyahnya. "Udah. Sekarang lagi tidur."
Salah satu alis Fatih terangkat. "Lo tuh aneh, ya. Kalo lagi ngidam tinggal bilang aja sama suami lo, bukannya ditahan. Apalagi kalo sampe lo yang pergi ke luar sendiri. Kan emang udah tugasnya suami manjain istri pas hamil." Fatih melipat kedua tangannya di dada.
"Lo bahagia gak sih nikah sama Edgar?"
Pertanyaan itu sukses membuat Kaila tersedak, tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulut Fatih.
"Ya ampun, segitunya amat, Kai. Gue kan cuma nanya. Masa iya lo gak bahagia sama Edgar?" Fatih menepuk-nepuk punggung Kaila. "Gue ambil minum, ya? Dapurnya gak jauh kan?" Dia beranjak dari kursinya dan melangkah pergi. Namun langkahnya terhenti bahkan sebelum melewati pintu.
Sepasang mata elang kini menatapnya nyalang. Edgar menatap Fatih dari atas hingga bawah. Lalu pandangannya beralih pada Kaila yang menyadari kehadirannya. Wanita itu tampak terkejut.
"Ed, aku bisa jelasin—"
"Masuk."
"Ed, dia Fatih. Dia temenku—"
"Masuk, Kaila!"
Kaila tersentak. Dia tidak menyangka bahwa Edgar akan membentaknya di depan Fatih. Dengan perlahan dia beranjak pergi dari tempatnya dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Salah satu alis Fatih terangkat. "Lo gak seharusnya bentak dia. Inget, dia lagi ngandung anak lo. Dia gak boleh stres, Ed. Lo harus—"
"Sebaiknya lo pergi dari sini. Gak usah balik lagi." Edgar langsung menutup pintu rumah, meninggalkan Fatih yang masih berada di luar.
"Apa lo bener-bener bahagia sama Edgar, Kai?"
***
"Dia Fatih, Ed! Temen SMA aku!"
"Oh, ya? Kalo gitu jangan suruh dia ke sini lagi! Gue gak mau lihat dia lagi!"
Kaila dengan cepat menahan lengan Edgar ketika suaminya itu hendak menginjakkan kakinya di anak tangga .
"Aku gak nyuruh dia ke sini. Fatih yang datang sendiri. Dia bilang—"
"Dia bilang apa? Dia bilang kalo dia inget sama lo terus bawain lo makanan. Gitu?"
Susah payah Kaila menahan air matanya dan kini cairan bening itu benar-benar turun membasahi pipinya.
"Lo punya gue, Kai! Lo bisa minta apa pun sama gue!"
"Memangnya kapan kamu peduli? Kamu terlalu sibuk sama pacar kamu, sampai kamu lupa kalau kamu punya aku di sini!" Kaila meluapkan segala emosinya. Dia mulai lelah.
"Anak yang ada di perut aku ini adalah anakmu, Ed. Setidaknya akui itu sebelum kita benar-benar berpisah." Suara Kaila kembali bergetar. "Kamu boleh benci sama aku. Tapi kamu jangan benci anak ini, anak kita." Kaila langsung pergi setelah mengucapkannya. Dia kembali terluka.
Edgar terdiam. Ini pertama kalinya Kaila membentaknya. Lelaki itu menatap punggung Kaila yang bergerak menjauh. Edgar mengacak rambutnya dan mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku celananya. Dia pergi dan menutup pintu rumah dengan kasar.
***
"Kenapa, Ed?" Seorang gadis dengan balutan dress ketat berwarna hitam kembali bertanya dengan nada sedikit tinggi. Suara musik yang berdentum kencang membuatnya sedikit kesulitan bertanya pada Edgar yang tiba-tiba datang dengan ekspresi wajah yang tidak biasa. Sudah lebih dari dua jam Edgar hanya duduk diam di sana. Biasanya lelaki itu akan ikut minum atau setidaknya berceloteh, namun kali ini tidak.
"Berantem sama Kaila, ya?" Diandra tertawa pelan dan menyentuh bahu Edgar. "Namanya juga wanita hamil, jadi ya sensitif lah."
"Anak yang ada di perut aku ini adalah anakmu, Ed. Setidaknya akui itu sebelum kita benar-benar berpisah!"
Ucapan Diandra membuat Edgar mengingat kalimat yang dilontarkan oleh Kaila.
Berpisah.
Edgar membuang napas. Dia lalu menoleh pada Diandra yang tengah menghabiskan segelas wine. Apakah perasaannya pada gadis itu hanya sebatas pelampiasan? Edgar tidak mengerti, dia hanya tidak ingin menikah di usia muda apalagi jika harus memiliki seorang anak. Namun hal itu justru malah terjadi padanya.
"Lo bisa cerita sama gue, Ed," ucap Diandra yang menyadari tatapan Edgar padanya.
"Di ... " panggil lelaki itu.
"Hm?"
"Gue rasa gue gak bisa lanjutin semua ini."
Kedua mata Diandra membulat mendengar ucapan Edgar. "Ed, maksud lo—"
"Lo berhak bahagia, Di. Tapi bukan sama gue.” Edgar beranjak dari tempatnya dan pergi dari sana. Diandra terdiam. Dia menatap pilu ke arah Edgar yang berjalan menjauhinya.
Edgar melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Secara tiba-tiba dia membelokkan setir dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Beruntung keadaan jalanan malam ini tengah sepi.
Lelaki itu meremas setir dengan wajah yang memerah hingga ke telinganya. Dia melihat layar ponselnya yang sudah menunjukkan jam sembilan. Dia berniat menelepon Kaila, menanyakan apakah wanita itu sudah tidur atau belum. Namun hal itu dia urungkan mengingat pertengkaran mereka beberapa jam yang lalu. Kaila pasti sudah tidur, lagi pula dia tidak mungkin sampai hati menunggu kedatangannya pulang.
Dengan perlahan Edgar kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Rumahnya sepi begitu dia sampai, seperti biasanya. Tiba-tiba dia membayangkan adanya suara tangisan bayi ketika dia pulang. Atau seorang anak kecil yang berlari ke arahnya dengan senyum yang mengembang. Edgar tersenyum kecut membayangkannya. Dia bahkan tidak yakin hal itu akan terjadi.
Tepat ketika dia membuka pintu, dia melihat Kaila yang tertidur di atas sofa. Edgar melangkah mendekat dan segera mengangkat tubuh istrinya itu. Wajah Kaila terlihat begitu tenang. Kedua matanya terlihat sembab dan Edgar merasa sedikit menyesal. Dia sudah terlalu sering membuat Kaila menangis
"Ed?" Kaila membuka kedua matanya ketika Edgar membawanya ke kamar.
"Baru pulang?" tanyanya.
"Kenapa lo tidur di sofa?" Edgar balik bertanya tanpa menatap Kaila. Pandangan lelaki itu masih lurus ke depan.
"A-aku nunggu kamu pulang. Tapi malah ketiduran," lirih Kaila.
"Lain kali jangan nunggu. Lo tidur aja di kamar, gimana kalo misalnya gue gak pulang?" Edgar menurunkan tubuh Kaila ke permukaan ranjang.
"M-maaf."
"Sekarang tidur." Edgar melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Kaila meremas jemari tangannya. Dia menatap langit-langit.
"Lo bahagia gak sih nikah sama Edgar?
Kaila tersenyum miris. "Aku bahagia, meskipun dengan sikapnya yang seperti ini. Tapi dia enggak."
Pintu kamar mandi terbuka setelah Edgar selesai membersihkan tubuhnya. Dilihatnya Kaila sudah tertidur kembali. Wajah istrinya terlihat damai. Hari-hari yang dilaluinya pasti begitu berat.
Edgar naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya tepat di samping Kaila. Lelaki itu memerhatikan wajah Kaila dengan saksama. Disingkirkannya helaian rambut yang menutupi wajah istrinya itu. Pandangannya teralih pada perut Kaila. Edgar mengelusnya dengan lembut, dan gelenyar aneh seakan hinggap di dadanya. Rasanya begitu perih.
"Maaf, Kai." Diraihnya tubuh Kaila ke dalam dekapan hangatnya.
Tanpa dia sadari, Kaila membuka kedua matanya. Sedari tadi wanita itu belum tertidur, dia hanya memejamkan mata sampai menyadari apa yang dilakukan Edgar. Wanita itu tersenyum dalam diam.
***
Kehamilan Kaila kini sudah menginjak bulan ke sembilan. Itu berarti, bayinya akan lahir sebentar lagi. Namun, sikap Edgar padanya tetaplah sama. Dia pikir, Edgar akan berubah semenjak kejadian malam itu. Namun semuanya tidaklah berarti. Kaila bahkan sudah mengetahui kalau hubungan Edgar dan Diandra telah berakhir. Dia bahkan sempat berpikir kalau Edgar memiliki wanita yang baru, namun dia dengan tegas meyakinkan hatinya kalau hal seperti itu tidak pernah terjadi lagi.
"Cepat lahir ya, Mama sama Papa udah nunggu kamu." Kaila mengelus perutnya yang sudah membesar. Dia tidak sabar menanti buah hatinya lahir ke dunia. Meskipun setelah itu, dia mungkin akan kehilangan Edgar.
Kaila meraih ponselnya yang bergetar.
Gimana kabar calon ponakan gue? Jaga baik-baik ya. Haha. Nanti gue ke rumah lo. Bilang dulu sama Edgar, gue gak mau lo kena omel lagi.
Kaila tersenyum tipis saat membaca pesan dari Fatih. Lelaki itu masih sama dengan Fatih yang dulu dia kenal.
"Gue pergi dulu," ucap Edgar yang baru saja kembali dari dapur.
"Mau ke mana?"
"Jalan sama temen. Gak usah nunggu. Gue pulang malem."
Kaila sedikit mengerucutkan bibirnya. "Jangan terlalu malam, ya."
Edgar menoleh. "Kenapa?"
Kaila menggigit bibirnya dan kembali mengelus perutnya. "Dokter bilang bayinya kemungkinan lahir minggu ini." Kaila takut ketika merasakan kontraksi, Edgar tidak mendampinginya. Kedua orang tua mereka pun sudah terlanjur termakan kebohongan Edgar yang berkata kalau anak yang dikandungnya bukan darah daging lelaki itu, hingga mereka tidak begitu memedulikan kehamilan Kaila. Dan lagi mereka tinggal di luar kota dan hal itu semakin membuat Kaila cemas.
Helaan napas terdengar dari bibir Edgar. "Ini masih hari Senin. Masih lama."
"Tapi Ed—"
"Kalo ada apa-apa lo bisa telepon gue." Setelah mengatakan itu, Edgar pergi. Kedua mata Kaila kembali berair. Dia meremas jemarinya kuat. Sampai kapan dia harus seperti ini? Dia harus bertahan demi anaknya, anaknya bersama Edgar. Tapi bagaimana pun, Kaila tetaplah Kaila. Dia akan selalu mencintai Edgar apa pun yang terjadi.
Sementara itu, Edgar pergi ke sebuah rumah sakit. Kedua kakinya bergerak menuju salah satu kamar rawat. Dia membuka pintu dan melihat seorang wanita yang tersenyum ke arahnya.
"Dokter bilang apa?" Edgar mendudukkan dirinya di kursi yang berada di sebelah ranjang.
"Gue demam."
Salah satu alis Edgar terangkat mendengar ucapan Diandra. "Lo cuma demam dan lo dirawat di rumah sakit sebesar ini?" Edgar beranjak dari tempatnya namun tangannya segera dicekal oleh Diandra.
"Gue gak mau lo pergi."
***
Fatih menutup memarkirkan mobilnya di depan halaman rumah Kaila. Dilihatnya mobil Edgar tidak berada di garasi, itu artinya lelaki itu sedang pergi. Apa Kaila juga pergi?
Dia menekan bel beberapa kali. Sudah lama sekali dia tidak mengunjungi Kaila. Kegiatannya di kampus benar-benar membuat waktunya berkurang.
Tidak kunjung mendapat respon dari dalam membuat Fatih kecewa. Mungkin Kaila memang sedang pergi, pikirnya. Dia baru saja berbalik hendak pergi, namun telinganya menangkap sesuatu yang tidak beres dari dalam.
"Kai?" panggilnya sembari mengetuk pintu beberapa kali. Entah kenapa perasaannya mendadak tidak enak. Tak kunjung mendapat jawaban, lelaki itu langsung menerobos masuk ke dalam dan dia terkejut bukan main ketika melihat Kaila yang terbaring di bawah tangga.
"Astaga, Kaila!!"
***
Edgar menutup pintu kamar rawat Diandra dengan pelan. Gadis itu tertidur, dan hal ini digunakan Edgar untuk segera pergi dari sana. Dia melihat beberapa panggilan tidak terjawab di ponselnya, dan semua itu dari Kaila. Kakinya dengan cepat bergerak keluar dari rumah sakit. Dia mencoba menghubungi Kaila, namun tidak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Sampai akhirnya sebuah panggilan masuk diterimanya. Namun itu bukan Kaila, melainkan nomor asing. Tanpa pikir panjang Edgar pun segera mengangkatnya.
"Halo?"
"Dimana lo sekarang?!"
"Siapa ini?" Kening Edgar mengerut mencoba mengingat suara yang terdengar tidak asing itu.
"Istri lo di rumah sakit sekarang!"
Kalimat itu seperti sebuah batu yang menghantam Edgar. Dia langsung masuk ke dalam mobilnya dan pergi ke rumah sakit tempat Kaila berada.
Begitu dia sampai, seorang lelaki tampak berdiri di depan pintu. Edgar mengenalinya.
Kedua mata Fatih langsung menatap nyalang Edgar. Dia langsung menghalangi Edgar yang hendak masuk.
"Ke mana aja lo?!" Fatih langsung mendorong tubuh Edgar menjauh.
"Gue mau masuk! Gue tadi harus pergi, Diandra sakit!"
"Diandra?" Fatih berdecih dan langsung menarik kerah baju Edgar.
"Gue nyesel biarin Kaila hidup sama lo! Dia gak bahagia, Ed! Kaila gak pernah bahagia! Dan sekarang, lo pergi nemenin wanita lain sementara di sini istri lo berjuang mati-matian! Dia berjuang demi anak lo!"
Fatih melepas cengkeramannya dan membiarkan Edgar masuk ke dalam. Edgar melihat Kaila yang tengah duduk bersandar dengan bayi di dalam dekapannya. Wanita itu tersenyum melihat kedatangan Edgar.
"Ed, bayi kita laki-laki."
***
Edgar sibuk dengan pekerjaannya pasca lulus kuliah dan bercerai dengan Kaila. Mereka tidak pernah bertemu lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Kaila kini pindah ke luar kota dan telah menikah lagi. Dia hidup bahagia sekarang. Namun sepertinya kini Edgar tengah dihukum. Setelah semua yang dia lakukan, Diandra pergi begitu saja meninggalkannya. Kedua orang tuanya marah padanya setelah dia mengatakan semuanya.
Tapi setidaknya kini Kaila hidup bahagia, bersama buah hatinya. Edgar menatap seorang anak kecil yang tengah berlari mengejar sebuah bola dengan begitu gembira. Seorang lelaki tampak berusaha mengejarnya, sementara seorang wanita terlihat duduk di sebuah bangku tidak jauh dari mereka.
Edgar merindukan wanita itu. Dia berpikir kalau dia akan bahagia setelah bercerai. Namun nyatanya tidak. Jauh di dalam hatinya, dia tetap mencintai Kaila. Lalu ke mana perginya perasaan itu dulu?
Air matanya jatuh menatap wajah anak kecil yang kini tengah digendong oleh ayahnya. Edgar tersenyum dan langsung berbalik. Dia baru saja pergi namun sesuatu menyentuh kakinya. Dia melihat sebuah bola. Lelaki itu menoleh, melihat seorang anak laki-laki berlari ke arahnya.
"Papaaaaaa!!"
Untuk pertama kalinya Edgar merasa begitu bahagia. Dia berjongkok dan langsung memeluk erat tubuh anak itu. Air matanya tidak sanggup lagi dia bendung.
Dia menatap sepasang suami istri tadi yang kini berada di hadapannya.
"Kai, bagaimana bisa—"
Kaila tersenyum. "Dia anakmu, Ed. Dia berhak tahu siapa ayah kandungnya."
Edgar kembali memeluk putranya semakin erat.
"Ngomong-ngomong namanya Daniel," ucap lelaki di sebelah Kaila. Edgar menatapnya. Lelaki itu tersenyum.
"Kaila bahagia sama gue." Lelaki itu—Fatih, langsung merangkul bahu Kaila.
Edgar tersenyum. Dia lalu mengelus puncak kepala Daniel, putranya. Dia senang melihat Kaila dan Daniel bahagia, walaupun bukan bersamanya.
—SELESAI—
I’d been holding on to you for so long
But now I must let go
There’s nothing I can do for you
It’s the only way to make you happy
So I let go, let go, let go
🎶Day6 - Letting Go