Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
WUJUD makhluk yang di sedang berada tepat di depannya itu sungguh meluruhkan nyali Gaya. Ukuran tubuhnya tiga kali lebih besar dari tubuh Gaya. Seluruh area kepalanya dipenuhi bulu-bulu. Kedua matanya besar dan bulat berbentuk seperti helm berjaring. Tanpa pupil, tanpa kelopak. Tepat di tengah kedua mata itu menjulur sebuah belalai yang menggulung, seperti tali laso yang siap digunakan untuk melilit mangsanya. Dua batang antena yang tertanam di bagian atas kepalanya menjuntai panjang bak pecut yang siap menyerang musuh dari arah depan.
Dengan tiga pasang kakinya yang ramping dan berbulu runcing makhluk itu perlahan mendekati Gaya. Sayapnya yang lebar bagaikan kipas raksasa sesekali mengepak, memamerkan kuasa kepada mangsa di depannya yang sedang terjebak di ambang takut.
Gaya beringsut mencoba menjauh. Tapi bahkan sebagian besar ruangan kamarnya sudah disesaki oleh tubuh makhluk tersebut. Akhirnya, upaya Gaya harus berakhir dengan terpojok di sudut tembok kamarnya. Benar-benar tak berkutik. Gaya hanya bisa mendengar degup jantungnya yang menyeru bertalu-talu sambil merasakan keringat dingin membasahi tubuh.
Makhluk itu makin dekat. Mengetahui mangsanya sudah tiada daya, ia menghentikan langkah. Didekatkan kepalanya ke muka Gaya yang kini menangis meratapi nasib. Kakinya mencoba menyentuh-nyentuh tubuh sang mangsa, memindai sisa-sisa tenaga yang masih ada. Lalu makhluk itu menjulurkan belalainya. Pelan, tapi sudah cukup membuat Gaya bergidik ngeri karena tiba-tiba otaknya memunculkan bayangan makhluk tersebut dengan lahap menghisap habis darahnya.
Ya Allah, adakah yang bisa menyelamatkan aku?
"Gaya!” Sebuah guncangan pelan pada tubuhnya menyadarkan Gaya. “Kamu sakit?”
Gaya membuka mata dan mengangkat kepalanya dari meja. Desman, dosen Filsafat, berdiri menunduk di depan meja Gaya sambil memegang bahunya. Ia menatap heran wajah Gaya yang pucat pasi dan tubuhnya basah oleh keringat dingin.
"Sebaiknya kamu pulang kalau sedang tidak enak badan,” Desman menyarankan. “Mampir ke klinik kampus dulu kalau kamu butuh memeriksakan kondisimu, ya.”
Gaya mengangguk, mengucap terima kasih, lalu beranjak keluar kelas diiringi tatapan mata seluruh isi kelas.
Sambil berjalan menyusuri lorong sekolah Gaya menggumamkan keluhan pada diri sendiri. Sudah kesekian kalinya Gaya hilang kesadaran seperti tadi. Dan itu selalu gara-gara makhluk bernama Lepidoptera yang sulit sekali diusir dari dalam kepalanya. Sengaja Gaya menyebut nama makhluk itu dengan nama Latin. Sebab kalau tidak, dia akan menjelma menjadi sosok menyeramkan yang membuat dirinya takut setengah mati, bahkan kadang sampai tak sadarkan diri.
Di dalam kelas tadi, Desmanlah yang memicu Lepidoptera lepas dari kandang di dalam benaknya. “Kalau kita mau menikmati hidup, belajarlah dari kupu-kupu,” kata Desman. “Sabar dan pantang menyerah menjalani fase kehidupannya yang berubah-ubah dan penuh perjuangan. Dari telur yang rapuh, ulat yang menjijikkan, kepompong yang buruk rupa, hingga menjadi kupu-kupu yang cantik rupawan. Semua akan indah pada waktunya kalau kita tetap fokus dan sabar menjalaninya.”
Begitu mendengar kalimat Desman tersebut, langsung terbayang di kepala Gaya adegan dalam mimpinya enam bulan lalu itu: diteror makhluk laknat! Seketika amigdala di dalam otak Gaya aktif melancarkan serangkaian aktivitas pertahanan diri. Dari membungkam pikiran sadar hingga melepaskan hormon adrenalin yang membuat jantung berdegup kencang, napas tersengal-sengal, dan keringat dingin keluar. Situasinya makin parah karena Gaya tidak ingin kondisi dirinya tersebut diketahui orang lain. Maka ketika hal itu terjadi di tengah orang banyak, ia memilih untuk memendamnya, yang justru menyebabkan Gaya jatuh pingsan karena tak kuat menahan serangan mental tersebut.
Andai saja tadi Pak Desman menyebut Lepidoptera, bukan kupu-kupu, aku tentu akan baik-baik saja.
Kini Gaya memilih untuk menelan sendiri deritanya, sejak ia merasa semua orang menganggap fobia adalah sesuatu yang aneh dan menjadi bahan olok-olok. Bahkan pun bapak dan kakaknya sendiri. Masa otakmu tidak bisa membedakan hewan cantik dan hewan menyeramkan, kata bapaknya lalu terkekeh. Kakaknya lebih parah. Ia selalu dengan sengaja menunjukkan foto kupu-kupu atau melemparkan gantungan kunci berbentuk kupu-kupu kepada Gaya sehingga ia langsung lari dan mengurung diri di dalam kamar.
Hanya satu orang yang peduli dengannya.
"Gaya!” sebuah teriakan dari arah belakang menghentikan langkah Gaya. Ia menoleh dan dilihatnya Body—pacarnya—berlari menyusulnya.
“Kamu oke, kan?” tanya Body setelah berada di sisi Gaya. “Aku tadi minta izin Pak Desman untuk menemanimu.”
“Aku sudah mendingan kok, Bod.”
“Syukurlah. Sekarang kamu mau ke mana?”
“Nggak tahu. Pulang ke rumah malas, mau nongkrong juga takut. Lepidoptera ada di mana-mana.”
“Aku paham, Gay. Tenang saja, selama ada aku, aku pastikan kamu aman dan nyaman,” kata Body sambil merangkul pundak Gaya.
Gaya tersenyum senang. “Terima kasih, Bod. Hanya kamu yang peduli padaku.”
“Ah, kita nonton Netflix di rumahku saja, yuk,” cetus Body. “Banyak film baru, loh.”
Tidak ada penolakan dari Gaya.
Siang hari itu rumah Body tampak sepi. Hanya ada seorang asisten rumah tangga yang sedang menyelesaikan pekerjaannya di lantai dua. “Mamaku sedang mendampingi papa dinas ke luar kota dan baru pulang besok,” kata Body.
Baru beberapa detik mereka duduk di ruang keluarga, Body menyeletuk, “Ah, baru ingat, teve ini belum ‘pintar’, jadi nggak bisa streaming, he he he. Ke kamarku saja, yuk. Teve sudah smart, dan sejuk pula.”
Di dalam kamar, Body menyerahkan remote control pada Gaya lalu pamit keluar kamar untuk mengambil minuman dan camilan. Sambil memandangi Body keluar kamar, Gaya merenungi keberuntungannya menjadi kekasih Body. Selama dua tahun pacaran Gaya merasa benar-benar menjadi perempuan. Body tahu betul bagaimana memperlakukan seorang perempuan dengan baik. Ia berharap hubungan mereka akan berlanjut ke episode-episode hidup yang menyenangkan hingga akhir masa kelak.
Sambil merebahkan dirinya di atas kasur Gaya menyalakan televisi dan mencari-cari film yang ia dan Body suka. Tidak sampai dua menit kemudian ia menemukan sebuah film thriller psikologi baru. Sambil menunggu Body, Gaya memilih untuk menonton trailer film tersebut. Namun begitu ia memencet tombol di remote control, Gaya terkejut. Alih-alih trailer film, yang tertayang di layar televisi adalah sebuah film dokumenter tentang kupu-kupu!
Gaya menjerit takut dan secara spontan melempar remote control ke arah televisi. Adegan demi adegan yang muncul meneror mental Gaya. Ratusan kupu-kupu memenuhi layar televisi, berganti dengan seekor kupu-kupu yang sedang hinggap di atas kelopak bunga, lalu kamera bergerak zoom-in, memperbesar wajah kupu-kupu itu.
Gaya meloncat turun dari ranjang, berniat keluar dari kamar. Tapi ia terkejut ketika melihat sebuah poster besar bergambar kupu-kupu tertempel di daun pintu. Ia berteriak-teriak memanggil Body, namun tidak ada tanggapan. Gaya mulai merasakan gemetar dan berkeringat dingin. Suaranya melemah. Kakinya pun mulai lunglai. Dilihatnya remote control yang terjatuh di dekat meja televisi. Ia paksakan dirinya melangkah ke sana, namun ia hanya mampu bergerak pelan dalam dua langkah. Lalu Gaya pun terjatuh. Pingsan.
Di ruang keluarga, Body tersenyum puas menonton dokumenter kupu-kupu dari ponselnya. Bukan puas pada tayangannya, melainkan puas pada akibat yang ia sudah perkirakan terjadi di dalam kamarnya saat ini. Setelah meninggalkan Gaya di kamar beberapa menit lalu ia melakukan mirroring ponselnya ke televisi di kamar, lantas memutar video tersebut. Dengan begitu televisi di kamarnya menayangkan video yang sama.
Setelah tidak mendengar lagi suara Gaya, Body masuk ke dalam kamar yang sudah ia kunci dari luar sebelumnya. Ia mengangkat tubuh Gaya yang tergolek lemas di lantai dan memindahkannya di atas ranjang. Body lantas menyiapkan tripod di samping tempat tidurnya, menyesuaikan tingginya, lalu memasang ponsel di atasnya dan menyetel angle yang tepat.
Sambil bersenandung Body naik ke atas ranjang dan mulai membuka kancing baju Gaya satu per satu. Body menarik kedua ujung bibirnya, menampakkan senyum puas. Siang ini ia akan mendapatkan banyak materi konten foto untuk dijual di beberapa platform daring yang ia ikuti. Dan, tentu saja, video dengan pemeran utama mereka berdua.
Baru saja Body hendak melepas kancing terakhir, tiba-tiba Gaya membuka matanya. Keduanya sama-sama terkejut, tapi refleks Body lebih cepat. Ia langsung meraih kedua tangan Gaya, mencengkeramnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya membekap mulutnya. Body mengangkangi tubuh Gaya dan menduduki kakinya. Gaya masih merasa lemas tiada daya. Tapi wajahnya tampak marah dengan mata membelalak menatap Body.
“Duh, Gaya, kalau begini aku terpaksa harus menjalankan plan-B. Obat penenang sudah siap. Tapi sebelum itu kamu berhak tahu mengapa aku melakukan ini,” kata Body. “Simpel saja, aku tidak ingin kehilangan dirimu. Maka dengan mempertontonkan tubuhmu—sekaligus aksi ranjang kita nanti, tidak akan ada cowok yang sudi kepadamu. Hanya aku yang mau. Karena memang hanya aku yang sayang padamu apa adanya.”
Pelan-pelan Gaya merasakan tenaganya kembali pulih. Kini saatnya ia berontak. Dengan mengerahkan seluruh tenaga ia menarik tangannya dari cengkeraman Body lalu dengan cepat mendorong tubuh Body dengan keras, membuat Body terpelanting dari tempat tidur. Gaya cepat-cepat berlari menuju pintu kamar sambil berteriak minta tolong.
Body bangkit mengejar dan berhasil membanting tubuh pacarnya itu. Gaya kembali tak berkutik karena kini Body berhasil menyumpal mulutnya dengan kain dan mengikat kedua tangannya. Body menarik paksa tubuh Gaya menuju meja di samping ranjang. Gaya melirik ke sana dan langsung tahu tujuan Body: jarum suntik berisi obat penenang.
Body meraih jarum suntik tersebut lalu membuka tutupnya dengan mulutnya. “Mulai sekarang kamu menjadi milikku selamanya, Gaya,” desisnya sambil mengarahkan jarum suntik ke lengan Gaya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara benda terbanting keras. Rupanya jendela kamar terbuka tiba-tiba dan menghantam dinding akibat embusan angin kencang dari luar. Sejurus dengan itu puluhan ekor kupu-kupu ikut menerobos masuk terbawa angin dan langsung menampar wajah Body. Body melepaskan cengkeramannya dari tangan Gaya untuk menepis gerombolan Lepidoptera itu.
Melihat peluang emas itu Gaya pun menyingkir dan mengintip adegan luar biasa di hadapannya itu dari bawah meja.
Upaya menghalau kupu-kupu membuat fokus Body teralihkan. Ia terpeleset remote control, membuatnya hilang keseimbangan, dan terjatuh dengan jarum suntik menusuk lehernya. Selain rasa nyeri, Body juga merasakan cairan di dalam jarum suntik mengalir ke dalam tubuhnya. Perlahan tapi pasti, Body menyadari dunianya menjadi gelap. Berbarengan dengan itu angin berhenti berembus dan gerombolan kupu-kupu itu kembali terbang ke alam bebas.
Gaya masih tercekat. Sambil duduk ia mencoba mengurai adegan demi adegan yang baru saja ia alami. Dua hal ia sadari kini. Pertama, Body bukanlah untuk dirinya, dan kedua, makhluk yang sangat ia takuti selama ini justru menjadi penyelamat hidupnya.
“Terima kasih, kupu-kupu,” gumamnya lirih.
Tiba-tiba Gaya tersentak begitu menyadari sesuatu yang lain. Ia baru saja melihat dan menyebutkan kupu-kupu tapi tiada apa pun yang terjadi padanya.
***