Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Lentera Terakhir di Benteng Ujung Galuh
0
Suka
3
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi itu, langit Ujung Galuh berwarna abu-abu, seakan menandakan perubahan besar yang akan datang. Benteng yang kokoh, yang dibangun oleh leluhur Majapahit, kini berdiri seperti saksi bisu perjalanan waktu. Di tengah terik matahari yang semakin tinggi, Mahesa, juru tulis muda yang bertugas menjaga arsip kuno, duduk di ruang bawah tanah benteng, tempatnya menyelamatkan naskah-naskah berharga. Ruangan yang jauh dari jangkauan mata-mata VOC ini menjadi tempat Mahesa menulis dan mencatat setiap peristiwa sejarah yang sedang berkembang, meskipun sejarah itu semakin berbahaya untuk dicatat.

Di luar benteng, kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa: para pedagang melintas dengan barang dagangan mereka, nelayan kembali dengan perahu-perahu penuh ikan, dan tentara VOC bersiaga di setiap sudut kota. Namun, di balik ketenangan itu, Mahesa merasakan ketegangan yang semakin terasa. Seiring dengan semakin kuatnya pengaruh VOC, banyak orang yang mulai hilang, menghilang dalam diam, atau dipaksa untuk tunduk pada aturan-aturan yang tak mereka pahami.

Mahesa melirik ke rak-rak penuh dengan gulungan naskah kuno yang berisi catatan tentang kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara. Naskah-naskah ini tidak hanya berisi sejarah, tetapi juga cerita tentang kebebasan dan kemerdekaan, kisah tentang perjuangan yang tak pernah tercatat dalam buku sejarah resmi yang ditulis oleh para penjajah. Ia selalu menyembunyikan naskah-naskah ini di balik dinding batu yang tak terlihat, berharap tidak ada yang menemukannya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Mahesa cepat-cepat menyembunyikan gulungan naskah terakhir yang sedang ditulis. Dari balik pintu kayu yang tebal, terdengar suara seorang wanita.

“Mahesa?”

Wanita itu masuk, mengenakan jubah panjang yang menutupi tubuhnya. Matanya tajam, penuh rasa cemas, tetapi juga menyimpan kedalaman yang tak bisa disembunyikan. Rambutnya yang hitam panjang tergerai, namun ada sesuatu yang aneh tentang cara ia berjalan, seakan-akan ia membawa sebuah rahasia yang sangat besar.

“Siapa kamu?” tanya Mahesa, berdiri dan menatap wanita itu dengan curiga. Ia menyembunyikan perasaan bingung yang mulai menyelimuti dirinya. Tidak banyak orang yang berani datang ke benteng ini, terlebih seorang wanita.

“Nama saya Lintang,” jawab wanita itu dengan suara yang tegas. “Saya datang membawa pesan.”

Mahesa mengernyitkan keningnya, tidak tahu harus berkata apa. Pesan? Dari siapa? Untuk apa? Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Saya butuh tempat yang aman untuk bersembunyi,” lanjut Lintang. “Dan saya butuh bantuanmu.”

Mahesa masih terdiam, menilai situasi ini. Wanita ini datang dengan tergesa-gesa, dan matanya yang penuh rahasia membuatnya merasa bahwa kedatangannya bukanlah kebetulan.

“Bantu saya, Mahesa,” katanya, mendekat dan menundukkan suara. “Saya datang dari pasukan Mataram yang tersisa. Kami sedang merencanakan pemberontakan, dan saya membawa informasi penting yang akan mengubah jalannya sejarah. Tapi... saya harus bersembunyi dari mereka yang mengincar saya.”

Mahesa terkejut. Pasukan Mataram? Pemberontakan? Segala sesuatu yang berhubungan dengan Mataram dan VOC selalu berakhir dengan darah dan air mata. Namun, di balik kata-kata Lintang, Mahesa merasakan adanya dorongan yang tak bisa ia abaikan. Sesuatu dalam hatinya berkata bahwa inilah kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini disembunyikan.

“Bagaimana aku bisa membantumu?” tanya Mahesa, berusaha menjaga suara tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.

Lintang menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah gulungan kecil dari balik jubahnya. Gulungan itu terlihat tua, seperti sebuah peta yang sudah lusuh. Ia membuka gulungan itu perlahan, memperlihatkan gambar sebuah benteng kecil di tengah hutan.

“Ada tempat ini,” katanya. “Tempat yang tak dikenal oleh VOC. Di sinilah kami menyimpan semua catatan penting yang bisa menghancurkan mereka. Mereka harus tahu bahwa mereka tidak akan selamanya menguasai kami.”

Mahesa menatap gambar itu dengan seksama. Gambar itu bukan gambar sembarangan. Itu adalah gambaran yang sangat akurat dari sebuah tempat yang selama ini hanya diketahui oleh kalangan tertentu, mereka yang masih setia kepada perjuangan kemerdekaan.

“Tapi kenapa aku?” tanya Mahesa, masih tidak percaya. “Aku hanya seorang juru tulis.”

“Kau bukan hanya seorang juru tulis,” jawab Lintang, tatapannya tajam. “Kau adalah penjaga sejarah. Kau tahu cara menjaga catatan-catatan ini. Kau tahu apa yang harus dilakukan.”

Mahesa terdiam. Ia merasa seolah beban besar berada di pundaknya. Membantu Lintang berarti mengambil risiko yang sangat besar. Jika VOC mengetahui keberadaan Lintang, semuanya akan berakhir buruk. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa ia abaikan. Sesuatu yang membuatnya merasa bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh.

Dengan hati yang ragu, Mahesa mengangguk. “Baiklah, aku akan membantumu.”

Namun, sebelum Lintang bisa mengucapkan terima kasih, suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Mahesa segera menarik Lintang ke dalam ruang arsip tersembunyi di balik rak buku. Mereka bersembunyi dalam kegelapan, menunggu dengan cemas. Namun, langkah-langkah itu semakin dekat, dan Mahesa tahu bahwa waktunya untuk bertindak semakin singkat.

Suasana dalam ruang arsip terasa semakin mencekam. Mahesa dan Lintang hanya bisa mendengar detak jantung mereka yang saling bersahutan, menciptakan ketegangan yang semakin menggantung di udara. Langkah kaki yang semakin dekat itu tidak membawa kabar baik, dan Mahesa bisa merasakan betapa beratnya keputusan yang baru saja ia buat.

Setiap detik terasa begitu lama. Mahesa menatap Lintang, yang tampaknya juga mulai gelisah, meskipun wajahnya tetap tenang, berusaha menyembunyikan kecemasan yang ada di dalam hatinya. “Kau yakin mereka akan tahu kita di sini?” tanya Mahesa, bisikan suaranya hampir tak terdengar.

“Kita hanya bisa berharap tidak,” jawab Lintang dengan suara rendah. Ia menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan diri.

Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat keduanya terlonjak. Mahesa segera menarik Lintang ke sisi lain ruangan, bersembunyi di balik sebuah rak buku besar yang hampir menutupi tubuh mereka. Dari balik rak, mereka bisa melihat dua orang tentara VOC yang masuk dengan langkah penuh keyakinan, wajah mereka keras dan penuh kecurigaan. Mereka berkeliling, memeriksa setiap sudut ruangan dengan cermat.

Mahesa menahan napas. Ia bisa merasakan getaran yang memancar dari tubuhnya. Jika mereka ditemukan, itu akan berakhir buruk. Namun, langkah-langkah tentara itu terus maju, hampir sampai ke tempat mereka bersembunyi. Mahesa berharap Lintang bisa tetap tenang, sementara ia berusaha berpikir dengan cepat.

"Ada sesuatu yang tidak beres di sini," salah satu tentara itu berkata, suaranya dalam dan penuh kewaspadaan. “Periksa lagi, mungkin ada sesuatu yang disembunyikan.”

Mahesa dan Lintang saling menatap, rasa takut yang tak bisa disembunyikan di mata mereka. Namun, dalam ketegangan itu, Lintang menarik napas panjang dan berbisik dengan lembut. "Kita harus keluar dari sini, cepat!"

Tanpa memberitahu lebih banyak, Lintang menyelipkan sebuah benda kecil ke dalam tangan Mahesa, sebuah benda yang hampir tidak tampak di dalam kegelapan. Itu adalah kunci. Kunci yang sangat penting untuk mereka berdua. “Kunci ini untuk pintu rahasia di ujung lorong. Pergilah ke sana sekarang. Aku akan mengalihkan perhatian mereka,” bisik Lintang dengan cepat.

Mahesa ingin mengatakan sesuatu, tetapi Lintang sudah mengangkat tangan, memberi isyarat agar ia segera bergerak. Mahesa tahu waktunya sangat terbatas. Dengan terburu-buru, ia bergerak ke arah yang ditunjukkan oleh Lintang, berlari pelan di antara rak-rak buku dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk menghindari deteksi.

Tapi langkah-langkah itu semakin mendekat. Mahesa bisa merasakan ketegangan di udara. Dengan tangan gemetar, ia memegang kunci yang diberikan Lintang dan berlari menuju lorong kecil yang tak tampak dari pandangan tentara. Lorong itu berkelok tajam, begitu sempit hingga ia hanya bisa berjalan dengan hati-hati, takut mengeluarkan suara.

Namun, rasa cemas yang melanda tubuh Mahesa semakin meningkat. Bagaimana jika mereka mengejar? Bagaimana jika mereka sudah mengetahui keberadaannya?

“Ini dia,” gumam Mahesa pada dirinya sendiri saat tiba di sebuah pintu tua yang terbuat dari kayu gelap. Dengan cepat, ia memasukkan kunci ke dalam lubang kunci, dan pintu itu terbuka dengan suara berderit pelan. Sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari luar.

Mahesa melangkah masuk, dan pintu itu menutup dengan sendirinya. Namun, tidak ada rasa lega. Ia tahu bahwa dirinya baru saja memasuki sebuah dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan. Ruangan itu terasa sepi, hanya ada rak-rak penuh dengan tumpukan dokumen dan gulungan naskah.

Apa yang harus dilakukannya sekarang? Ia masih tidak tahu apa yang harus dicari di sini, apa yang menjadi tujuan sebenarnya dari pertemuannya dengan Lintang. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki kembali terdengar dari kejauhan.

Mahesa bergegas menuju rak-rak besar, mencoba menyelinap di antara tumpukan kertas yang hampir setinggi kepala. Ia harus menemukan jawabannya, secepat mungkin, sebelum semua terlambat.

Namun, saat ia bersembunyi di balik rak, ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Di atas meja dekat jendela yang setengah tertutup oleh tirai kusam, terdapat sebuah peta tua yang tergeletak begitu saja. Peta itu hampir serupa dengan peta yang pernah ditunjukkan Lintang. Peta yang menunjukkan lokasi benteng tersembunyi, tempat yang akan mengubah nasib Mataram dan seluruh tanah Jawa.

Peta itu adalah kunci, kunci menuju masa depan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan semuanya. Mahesa tahu bahwa apa yang ia lakukan berikutnya akan menentukan segalanya.

Mahesa memandang peta yang tergeletak di atas meja. Hatinya berdebar-debar. Peta itu tampak biasa, namun ada sesuatu yang berbeda. Garis-garis yang ditarik di atasnya begitu rapat, seolah menunjukkan jalur-jalur yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang benar-benar tahu. Sebuah titik yang dilingkari dengan tinta merah menandai lokasi yang tak pernah ia dengar sebelumnya, tempat yang tersembunyi jauh di dalam hutan yang tak terjamah. Itu adalah benteng yang selama ini menjadi legenda, tempat terakhir yang menjadi simbol dari kekuatan yang hilang.

Namun, saat ia hendak mengambil peta itu, suara langkah kaki semakin mendekat. Mahesa segera menyembunyikan peta di balik bajunya dan bersembunyi di balik rak buku, menahan napas. Pintu ruangan terbuka perlahan, dan dua orang tentara VOC memasuki ruangan. Mereka saling berbisik pelan, seakan mencurigai sesuatu.

"Apakah kita benar-benar harus mencarinya di sini?" suara salah satu tentara terdengar penuh keraguan.

"Tentu saja," jawab temannya dengan suara lebih keras. "Laporan yang kita terima menunjukkan bahwa orang yang kita cari ada di sini. Semua bukti mengarah ke tempat ini."

Mahesa mendengarkan dengan saksama, mencoba menangkap setiap kata yang mereka ucapkan. Dari apa yang ia dengar, tentara VOC sedang mencari seseorang, seseorang yang memiliki informasi tentang lokasi benteng tersebut. Mereka tidak tahu bahwa Mahesa sudah lebih dulu menemukan peta itu.

Sambil bersembunyi, Mahesa mencoba untuk tenang. Ia tahu bahwa dirinya bukan satu-satunya yang terlibat dalam pencarian ini. Lintang pasti memiliki rencana besar, dan Mahesa hanya perlu mengikuti petunjuk yang ada.

Namun, langkah-langkah tentara itu semakin dekat. Mahesa memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Dengan cepat, ia melangkah menuju pintu kecil yang terletak di sisi lain ruangan. Pintu itu terbuka dengan mudah, mengungkapkan sebuah lorong sempit yang menuju ke ruang penyimpanan lebih dalam. Tanpa membuang waktu, Mahesa berlari menuju lorong itu, meninggalkan suara langkah kaki yang semakin menjauh di belakangnya.

Langkah demi langkah, Mahesa terus berjalan. Ruangan itu semakin gelap dan sempit, namun ia terus melangkah, mengabaikan rasa takut yang menguasai dirinya. Di ujung lorong, ia melihat sebuah pintu besar yang terbuka sedikit. Pintu itu terlihat tua, namun sepertinya masih kokoh. Mahesa mendekat, perlahan membuka pintu itu dan memasuki ruangan yang tersembunyi di baliknya.

Di dalam ruangan itu, udara terasa lebih berat, dan bau lembap menyelimuti hidungnya. Di sudut ruangan, ia bisa melihat sebuah meja besar dengan tumpukan kertas yang tidak teratur. Di atas meja, terdapat sebuah kotak kayu tua yang terukir rumit. Tanpa berpikir panjang, Mahesa membuka kotak itu dan menemukan sebuah gulungan naskah tua yang dibungkus dengan kain hitam.

Naskah itu tampaknya sangat penting. Dengan hati-hati, Mahesa membuka gulungan itu dan membacanya dengan seksama. Tulisan yang ada di dalamnya menunjukkan petunjuk lebih lanjut tentang benteng tersembunyi yang sedang dicari-cari. Benteng itu bukan hanya simbol kekuatan, tetapi juga mengandung rahasia yang dapat mengubah sejarah.

"Ini dia," gumam Mahesa, terkejut dengan apa yang ia temukan. "Tapi, ada sesuatu yang tidak beres di sini."

Saat ia mencoba memahami lebih dalam, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari luar ruangan. Mahesa cepat-cepat menyembunyikan gulungan naskah itu di balik jaketnya, lalu bersembunyi di balik rak buku yang ada di sudut ruangan. Matanya terpaku pada pintu yang perlahan terbuka.

Dua orang tentara VOC masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. Mereka berbicara dengan suara rendah, berusaha mencari sesuatu. Mahesa bisa merasakan ketegangan yang semakin menguat. Setiap detik terasa begitu lama, seolah waktu berhenti. Ia harus menemukan jalan keluar, dan cepat.

Namun, saat kedua tentara itu mulai memeriksa ruangan, salah satu dari mereka berhenti tepat di depan rak buku tempat Mahesa bersembunyi. Mahesa menahan napas, berharap mereka tidak akan melihatnya. Jantungnya berdetak semakin cepat, dan sepertinya detik demi detik semakin menambah ketegangan.

"Sepertinya tidak ada apa-apa di sini," salah satu tentara itu akhirnya berkata. "Lanjutkan ke ruangan berikutnya."

Mahesa merasa lega, namun ia tahu bahwa mereka tidak akan berhenti sampai mereka menemukan apa yang mereka cari. Ia harus bergerak cepat. Begitu kedua tentara itu pergi, Mahesa segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari menuju pintu darurat yang terletak di ujung ruangan. Dengan gemetar, ia membuka pintu itu dan berlari ke luar menuju lorong yang lebih gelap dan sempit.

Langkah-langkahnya semakin cepat. Ia harus kembali bertemu dengan Lintang dan memberi tahu tentang apa yang baru saja ia temukan. Rahasia yang disembunyikan selama bertahun-tahun ini akhirnya akan terbuka. Namun, apakah mereka siap menghadapi apa yang akan datang setelahnya?

Saat Mahesa dan Lintang terus bergerak di kegelapan malam, angin berdesir, menambah ketegangan dalam perjalanan mereka. Mereka tak banyak bicara, namun pemikiran mereka terhubung dalam kesunyian yang mengikat. Setiap langkah mereka terasa berat, namun semangat untuk mengungkap kebenaran memberi kekuatan pada tubuh yang mulai lelah. Mereka tahu, meski penuh bahaya, mereka tak bisa mundur lagi.

Setibanya di ujung jalan yang memisahkan mereka dari hutan lebat, mereka berhenti sejenak. Di depan mereka terbentang padang rumput luas yang mengarah pada tempat yang lebih tinggi, tempat di mana benteng yang mereka cari tersembunyi. Tempat ini bukan hanya benteng biasa, namun merupakan pusat dari segala informasi yang mereka butuhkan untuk membongkar rahasia masa lalu yang tak terungkap.

"Ini dia," Lintang berbisik, matanya menatap jauh ke arah benteng yang tertutup rapat oleh pepohonan. "Tapi kita harus hati-hati. Ini bukan hanya soal kita lagi, ada banyak yang ingin menghancurkan semua ini."

Mahesa mengangguk pelan. "Kita tidak punya banyak waktu. Jika kita terus mundur, mereka akan menguasai segalanya. Kita harus masuk sebelum mereka tiba."

Dengan perasaan cemas yang mendalam, mereka melangkah ke arah benteng yang tampaknya tak bernyawa, seolah menunggu kedatangan mereka. Pintu besar yang mengarah ke dalam tertutup rapat, namun ada jalur sempit di sampingnya yang cukup untuk mereka lewati. Mereka memilih jalan itu.

Langkah demi langkah mereka memasuki lorong gelap, memerhatikan setiap suara, setiap gerakan. Telinga mereka sangat tajam, mengamati apa yang terjadi di sekitar mereka. Beberapa detik kemudian, mereka sampai di sebuah ruangan yang penuh dengan naskah-naskah kuno, banyak di antaranya tampak usang dan terpisah-pisah.

Namun, di tengah kekacauan itu, mereka menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan. Di dalam sebuah peti kayu besar yang tampaknya terkunci rapat, terdapat sebuah gulungan peta dan dokumen yang terlihat lebih baru. Ketika Mahesa membuka gulungan itu, ia merasakan kegelisahan yang luar biasa. Dokumen itu berisi petunjuk yang menunjukkan titik-titik penting di wilayah ini, tempat di mana kekuatan besar tersembunyi.

"Ternyata benar," kata Mahesa dengan suara terbata-bata. "Ini bukan hanya soal benteng atau naskah yang hilang. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus kita hadapi."

Lintang membaca dengan seksama dan mengangguk. "Ya. Mereka tahu kita akan datang. Kita harus lebih cepat."

Dengan tekad yang semakin menguat, mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka ke lokasi yang lebih dalam di dalam benteng itu. Mereka tahu, meski mereka baru saja mulai mengungkap sebagian dari rahasia ini, banyak ancaman yang masih mengintai di setiap sudut. Mereka harus bersegera, sebab musuh sudah semakin dekat.

Di tengah pencarian yang semakin mendalam, langkah mereka semakin berat, namun satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa mereka berada di jalur yang benar. Rahasia besar yang tersembunyi di balik benteng ini tak hanya mengubah sejarah, tetapi juga takdir mereka.

Saat mereka tiba di ruang bawah tanah benteng, pintu besar yang mengarah ke ruang paling tersembunyi sudah terbuka. Di dalamnya, sebuah altar besar berdiri tegak dengan simbol yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Lintang menatap altar itu dengan cemas. "Ini... ini lebih dari sekadar sebuah benteng. Ini adalah tempat penyembahan."

Mahesa merasa darahnya berdesir, sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan. "Apa yang sedang mereka sembunyikan di sini?"

Namun sebelum Lintang bisa menjawab, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Mereka sudah tidak punya banyak waktu. Musuh mulai mendekat.

"Lari!" seru Lintang, menarik tangan Mahesa.

Mereka berlari menuju pintu keluar bawah tanah, namun ternyata tidak semudah itu. Pintu yang tadinya terbuka kini sudah tertutup rapat, menghalangi jalan mereka keluar. Panik, Mahesa menoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada jalan lain.

"Lintang! Apa yang harus kita lakukan?" teriak Mahesa.

Lintang memandang sekeliling dengan tajam, menemukan celah di dinding batu. "Tunggu, aku tahu jalannya," jawabnya dengan cepat.

Mahesa mengikuti Lintang yang bergerak cepat menuju celah kecil di dinding. Mereka berhasil keluar dari sana, namun langkah mereka tak berhenti. Mereka tahu, ini hanya awal dari perjalanan yang lebih berbahaya. Rahasia besar yang mereka temukan di balik benteng ini tidak akan mudah dilepaskan. Musuh akan mengejar mereka ke mana pun mereka pergi.

Dengan peta yang mereka temukan, Lintang dan Mahesa tahu bahwa mereka harus lebih berhati-hati. Ini bukan hanya soal melarikan diri. Ini adalah pertarungan untuk hidup mereka dan masa depan yang lebih cerah.

Mereka harus bertahan, apapun yang terjadi. Perjalanan ini belum berakhir.

Mahesa dan Lintang berdiri di bibir jurang yang menatap langit senja yang kelabu. Setelah perjalanan panjang dan berliku, akhirnya mereka sampai di tempat yang selama ini mereka cari—tempat yang menyimpan kunci untuk menghentikan kekuatan yang semakin mengancam dunia mereka.

"Ini dia," bisik Mahesa, menatap sebuah batu besar yang terletak di tengah altar kuno. Batu itu tampak biasa saja, namun ada sesuatu yang berbeda—sebuah aura gelap yang tampaknya terhubung dengan seluruh perjalanan mereka. "Kekuatan ini berasal dari sini."

Lintang, yang kini tampak lelah namun tetap kuat, mengangguk. "Aku tahu kita bisa sampai di sini. Meskipun banyak rintangan, kita harus mengakhirinya."

Mereka melangkah mendekat. Batu besar itu bergetar saat Mahesa mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Namun, sebelum jarinya menyentuh permukaan batu itu, suara seseorang terdengar dari belakang.

"Jangan lakukan itu!"

Mahesa dan Lintang berbalik, melihat sosok yang mereka kenal dengan baik—Satria, teman lama Mahesa yang ternyata telah jatuh ke dalam pengaruh kekuatan yang mereka buru selama ini. Satria berdiri dengan wajah yang dipenuhi amarah dan rasa kecewa.

"Satria..." Mahesa terkejut. "Kau... kau yang selama ini menghalangi kami?"

Satria tertawa kecut, "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Kekuatan ini bisa menyelamatkan dunia ini, Mahesa. Dunia ini butuh kekuatan lebih besar untuk bertahan."

"Tapi itu bukan jalan yang benar!" seru Lintang. "Kita tak bisa mengorbankan banyak nyawa hanya untuk mendapatkan kekuatan. Itu bukan cara yang benar!"

Satria terdiam, kemudian berbicara pelan. "Kau pikir aku tidak tahu? Aku tahu apa yang telah kuperbuat, tapi aku tidak punya pilihan. Dunia ini terlalu rapuh, dan aku merasa tak punya lagi tempat untuk lari."

Mahesa merasakan beban di dada. Teman lama yang dulu mereka anggap sebagai saudara kini berada di sisi yang salah. Namun, ia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan.

"Jika kau merasa dunia ini rapuh, itu karena kita semua lupa bagaimana memperbaikinya. Bukan dengan kekuatan, Satria. Tapi dengan saling mengerti, berjuang bersama," kata Mahesa, suara penuh harap. "Kita bisa memperbaiki dunia ini, jika kita mau."

Satria memandang Mahesa dengan tatapan penuh keraguan. Ada sekilas kelembutan di matanya, namun juga keraguan yang dalam. "Dan jika aku gagal, Mahesa? Apa yang akan terjadi pada kita semua?"

Mahesa menggelengkan kepala, "Kita tak akan gagal. Kita bersama, kita saling membantu."

Satria akhirnya menunduk, terdiam sejenak. Akhirnya, dengan suara yang nyaris tidak terdengar, ia berkata, "Aku tak tahu apakah aku masih pantas ikut bersama kalian..."

"Lalu kenapa kau masih berdiri di sini?" tanya Lintang, tegas namun lembut.

Satria terdiam, lalu menghembuskan napas panjang. "Karena aku tidak bisa lagi melawan semuanya sendirian."

Dengan hati yang berat, Satria menurunkan pedangnya. Seakan melepaskan beban yang telah lama ia pikul. "Aku akan bersama kalian, Mahesa. Aku akan berjuang di sisi kalian."

Tanpa kata-kata lebih lanjut, Mahesa, Lintang, dan Satria mengalihkan perhatian mereka kembali ke batu besar yang mengandung kekuatan itu. Mereka tahu bahwa keputusan mereka untuk bersama-sama menghentikan ancaman ini adalah langkah terakhir yang bisa mereka ambil. Tidak ada lagi jalan mundur.

Mahesa menyentuh batu itu dengan penuh keyakinan. Sebuah cahaya menyilaukan meledak dari batu itu, mengelilingi mereka bertiga. Semuanya menjadi gelap, dan suara gemuruh terdengar seolah-olah alam semesta sedang bergemuruh. Mereka merasakan seolah-olah waktu berhenti sejenak.

Kemudian, dalam sekejap, semuanya menjadi sunyi.

Batu besar itu mulai retak, dan dari dalamnya, sebuah energi kuat yang dulu terperangkap mulai mengalir keluar. Namun, kali ini tidak ada lagi kebencian atau kekuatan jahat yang mengalir—hanya sebuah energi yang memberi kehidupan dan harapan.

Satria menatap Mahesa dan Lintang dengan tatapan yang berbeda. "Kita berhasil," katanya pelan, penuh rasa syukur.

Mahesa tersenyum. "Ya, kita berhasil."

Dengan langkah yang pasti, mereka berjalan menjauh dari tempat itu, meninggalkan masa lalu yang penuh dengan kegelapan. Kini, mereka tahu bahwa masa depan ada di tangan mereka—sebuah masa depan yang dibangun bukan dengan kekuatan, tapi dengan keberanian untuk saling mempercayai.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Lentera Terakhir di Benteng Ujung Galuh
Penulis N
Novel
Perempuan Sehabis Gelombang
Panji Pratama
Novel
Rana Cinta
Dee_ane
Novel
Gold
Komsi Komsa
Falcon Publishing
Cerpen
Luweng Grubug
Tia Dia
Novel
Gold
Mencari Buah Simalakama
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
KAU, AKU DAN GELORA REVOLUSI
Akhmad Faizal Reza
Cerpen
Melati dari Suroboyo
Penulis N
Flash
Dari Hindia Belanda
Lentera jingga
Novel
Gold
Dunia Sophie
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Ungku Idris dan Kisah Barunya
Anjrah Lelono Broto
Novel
Di Balik Pintu yang Tertutup
feny anggely theodora
Flash
Kebahagiaan
Ilham saidinah
Flash
Bronze
GARA-GARA PINJOL
HERLIYAN BERCO
Novel
Pita Merah
Miftachul W. Abdullah
Rekomendasi
Cerpen
Lentera Terakhir di Benteng Ujung Galuh
Penulis N
Cerpen
Operasi Phantom: Jejak di Tengah Bayangan
Penulis N
Cerpen
Melati dari Suroboyo
Penulis N
Novel
Sah Iya, Cinta Nanti!
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Flash
Lorong Tanpa Akhir
Penulis N
Novel
Phantoms Eclipse
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N
Flash
Kopi Terakhir di Stasiun 12
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Cerpen
Warkop Sebelah
Penulis N
Cerpen
Paket Salah Alamat
Penulis N
Flash
Suara dari Kamar 213
Penulis N