Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lorong itu panjang, gelap, dan dingin. Dinding-dindingnya lembap, dipenuhi coretan-coretan vandalisme yang tak terbaca. Bau apak dan pesing menyengat hidung, membuatku ingin segera keluar dari tempat terkutuk ini. Tapi, kakiku seolah terpaku, tak mampu bergerak.
Namaku Rio, seorang penulis yang kehilangan kata. Bukan hanya kehilangan inspirasi, tapi kehilangan kemampuan untuk merangkai kata menjadi kalimat yang bermakna. Semua itu berawal sejak aku mengalami writer's block parah beberapa bulan lalu.
Dulu, aku adalah penulis yang produktif. Novel-novelku laris manis di pasaran, mendapatkan pujian dari kritikus, dan diadaptasi menjadi film layar lebar. Aku hidup dalam kemewahan dan popularitas.
Namun, semua itu berubah dalam sekejap. Tiba-tiba saja, aku kehilangan kemampuan untuk menulis. Setiap kali aku mencoba menulis, pikiranku menjadi kosong. Jari-jariku terasa kaku di atas keyboard. Kata-kata yang dulu mengalir deras dari otakku, kini membeku menjadi es.
Aku mencoba berbagai cara untuk mengatasi writer's block-ku. Aku membaca buku-buku tentang menulis, mengikuti seminar dan workshop, berkonsultasi dengan penulis-penulis senior, bahkan pergi berlibur ke tempat-tempat yang indah.
Namun, semua itu sia-sia. Aku tetap tidak bisa menulis. Semakin aku berusaha, semakin aku merasa frustrasi. Aku merasa seperti seorang pelari yang kehilangan kakinya, seorang penyanyi yang kehilangan suaranya.
Aku mulai menjauhi teman-temanku dan keluargaku. Aku mengurung diri di apartemenku, menghabiskan waktu dengan menonton film dan bermain game. Aku berusaha melupakan kenyataan bahwa aku adalah seorang penulis yang gagal.
Suatu malam, aku berjalan-jalan tanpa tujuan di kota. Aku merasa lelah, putus asa, dan ingin mengakhiri hidupku. Aku berjalan menuju sebuah lorong gelap, berharap bisa menemukan kedamaian di sana.
Lorong itu semakin panjang dan gelap. Aku merasa semakin takut dan cemas. Aku ingin berbalik arah, namun kakiku seolah terpaku. Aku terus berjalan, tanpa tahu apa yang menantiku di ujung lorong.
Tiba-tiba, aku melihat sebuah cahaya di ujung lorong. Cahaya itu kecil, redup, namun cukup untuk memberikan harapan. Aku mempercepat langkahku, ingin segera mencapai cahaya itu.
Semakin dekat aku dengan cahaya itu, semakin jelas aku melihatnya. Ternyata, cahaya itu berasal dari sebuah lentera yang tergantung di dinding. Lentera itu tua, berkarat, dan kacanya pecah. Namun, cahayanya tetap bersinar, menembus kegelapan.
Di bawah lentera itu, aku melihat seorang wanita tua duduk di kursi roda. Wanita itu mengenakan pakaian lusuh, wajahnya keriput, dan rambutnya putih semua. Namun, matanya bersinar dengan kehangatan dan kebijaksanaan.
Aku menghampiri wanita itu. "Siapa kamu?" tanyaku dengan suara gemetar.
Wanita itu tersenyum. "Aku adalah penjaga lorong ini," jawabnya dengan suara lembut. "Aku bertugas untuk memberikan harapan kepada orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan."
Aku terkejut mendengar jawaban wanita itu. "Bagaimana kamu tahu bahwa aku tersesat?" tanyaku.
Wanita itu tertawa kecil. "Aku tahu segalanya tentangmu, Rio. Aku tahu bahwa kamu adalah seorang penulis yang kehilangan kata. Aku tahu bahwa kamu merasa putus asa dan ingin mengakhiri hidupmu."
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa malu dan bersalah.
Wanita itu mengulurkan tangannya kepadaku. "Jangan takut, Rio," katanya. "Aku tidak akan menghakimimu. Aku hanya ingin membantumu."
Aku meraih tangan wanita itu. Sentuhannya terasa hangat dan menenangkan. Aku merasa seperti mendapatkan kembali harapan yang telah lama hilang.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku.
Wanita itu tersenyum. "Kamu harus menemukan kembali kata-katamu," jawabnya. "Kamu harus menulis lagi. Kamu harus berbagi cerita dengan dunia."
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tidak bisa," kataku. "Aku sudah kehilangan kemampuan untuk menulis."
Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak kehilangan kemampuanmu, Rio," katanya. "Kamu hanya kehilangan kepercayaan pada dirimu sendiri. Kamu harus percaya bahwa kamu bisa menulis lagi. Kamu harus percaya bahwa kamu memiliki sesuatu yang berharga untuk dibagikan."
Wanita itu menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Ia mulai bercerita tentang kehidupannya. Ia bercerita tentang suka dan duka, tentang cinta dan kehilangan, tentang harapan dan kekecewaan.
Aku mendengarkan cerita wanita itu dengan seksama. Aku terinspirasi oleh ketegaran dan kebijaksanaannya. Aku menyadari bahwa hidup ini penuh dengan tantangan, namun kita harus tetap berjuang dan tidak menyerah.
Setelah beberapa jam, wanita itu berhenti bercerita. Ia menatapku dengan tatapan penuh kasih. "Sekarang, giliranmu untuk bercerita," katanya. "Ceritakan tentang dirimu, tentang mimpimu, tentang harapanmu."
Aku ragu-ragu. Aku takut ceritaku akan membosankan dan tidak menarik.
Wanita itu tersenyum. "Ceritamu berharga, Rio," katanya. "Ceritamu bisa menginspirasi orang lain. Jangan takut untuk berbagi ceritamu."
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita. Aku bercerita tentang kehidupanku sebagai seorang penulis, tentang kesuksesanku, tentang kegagalanku, dan tentang writer's block yang kualami.
Aku bercerita dengan jujur dan terbuka. Aku tidak menyembunyikan apa pun. Aku merasa lega setelah berbagi ceritaku dengan wanita itu.
Setelah aku selesai bercerita, wanita itu tersenyum. "Kamu telah berhasil, Rio," katanya. "Kamu telah menemukan kembali kata-katamu. Kamu siap untuk menulis lagi."
Aku terkejut mendengar kata-kata wanita itu. Aku merasa seperti ada energi baru yang mengalir dalam diriku. Aku merasa siap untuk menghadapi tantangan apa pun.
Aku berterima kasih kepada wanita itu. Aku berjanji akan menulis lagi dan berbagi ceritaku dengan dunia.
Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju ujung lorong. Lentera di dinding bersinar lebih terang dari sebelumnya. Aku tersenyum. Aku tahu, aku tidak lagi tersesat. Aku telah menemukan jalan keluar dari kegelapan.
Aku keluar dari lorong itu, menghirup udara segar malam dengan penuh syukur. Langit bertaburan bintang, seolah menyambutku kembali ke dunia. Aku merasa ringan, seolah beban berat yang selama ini membebani pundakku telah menghilang.
Aku kembali ke apartemenku, membuka laptopku, dan mulai menulis. Jari-jariku menari di atas keyboard, merangkai kata demi kata menjadi kalimat yang bermakna. Ide-ide baru bermunculan di benakku, seolah tak ingin berhenti.
Aku menulis tentang pengalamanku di lorong gelap, tentang wanita tua yang menjadi penjaga lentera, tentang harapan yang kutemukan kembali. Aku menulis dengan jujur, terbuka, dan penuh semangat.
Aku menulis sepanjang malam, tanpa henti. Aku lupa makan, lupa minum, lupa tidur. Aku hanya ingin terus menulis, menuangkan segala yang ada di dalam hatiku.
Pagi harinya, aku menyelesaikan cerpen pertamaku setelah sekian lama. Aku membaca ulang cerpen itu, dan aku merasa puas. Cerpen itu bukan hanya sekadar rangkaian kata, tapi juga cerminan dari perasaanku, pengalamanku, dan harapanku.
Aku mengirim cerpen itu ke sebuah majalah sastra ternama. Beberapa minggu kemudian, aku mendapatkan balasan. Cerpenku diterima dan akan diterbitkan dalam edisi mendatang.
Aku merasa sangat senang dan bangga. Aku telah membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa menulis lagi. Aku telah berhasil mengatasi writer's block-ku dan menemukan kembali jati diriku sebagai seorang penulis.
Aku memutuskan untuk kembali mengunjungi lorong itu. Aku ingin berterima kasih kepada wanita tua yang telah membantuku. Aku ingin berbagi kebahagiaanku dengannya.
Aku berjalan menuju lorong itu, dengan hati yang berdebar-debar. Aku berharap bisa bertemu dengan wanita tua itu lagi.
Namun, ketika aku tiba di lorong itu, aku tidak melihat siapa pun. Lentera itu masih tergantung di dinding, namun cahayanya redup. Wanita tua itu menghilang, seolah ditelan bumi.
Aku merasa sedih dan kecewa. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, namun aku tidak tahu di mana ia berada.
Tiba-tiba, aku menemukan sebuah catatan kecil di bawah lentera. Aku mengambil catatan itu dan membacanya.
"Terima kasih telah berbagi ceritamu, Rio. Jangan pernah berhenti menulis dan berbagi harapan. Ingatlah, selalu ada lentera di ujung lorong."
Air mata menetes di pipiku. Aku mengerti, wanita tua itu adalah malaikat penolongku. Ia telah datang untuk membantuku, dan kini ia telah pergi.
Aku tersenyum. Aku tahu, aku tidak akan pernah melupakan wanita tua itu. Ia akan selalu menjadi inspirasiku, menjadi lentera yang menerangi jalanku. Aku akan terus menulis dan berbagi harapan, demi menghormati jasanya. Aku akan terus berjalan, karena aku tahu, di ujung setiap lorong, selalu ada lentera yang menanti.